Bang Beben Profile picture
Feb 19 93 tweets 12 min read
---Tamat---

Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar
Bab 20 : Dendam Dari Alam Kubur

Chapter terakhir dari teror Sandah. Selamat Membaca.

@IDN_Horor
@bacahorror_id
@P_C_HORROR

#sandah #ceritaserem #ceritahoror #ceritamistis
Pambakal Sarip berlari sangat kencang menyusuri jalan setapak. Di samping, dua orang anak buahnya terus mengikuti dengan wajah tegang. Hamparan ilalang telah berganti pohon-pohon tinggi. Sebentar lagi, jalan setapak yang membelah hutan akan sampai di muara jalan menuju desa.
Entah sudah berapa menit mereka berlari, yang jelas tersisa mereka bertiga masih bertahan hidup. Beberapa orang warga yang bernasib sial telah menjadi korban keganasan sandah.
Pambakal Sarip merasakan tubuhnya semakin lelah. Urat-urat kakinya sudah terlalu kencang, tidak bisa dipaksa lagi untuk berlari. Nafasnya sesak dan pembuluh darahnya terasa pecah. Bercucur keringat, pambakal Sarip lunglai kehilangan tenaga.
"Huuh…haah…huuh…haah…"

Pambakal Sarip menarik nafas lalu menghela nafas. Ia duduk tersungkur di atas jalan setapak, di antara pohon-pohon tinggi. Butir-butir peluh sebesar jagung berjatuhan dari wajahnya yang cekung.
Di samping, dua orang kepercayaan ikut duduk di atas rerumputan.

"Celaka, si Misnah. Hantu sandah itu pasti akan mengejarku. Sarkani sialan!" racau pambakal sembari mengatur nafas.
"Pambakal, sebaiknya kita selekasnya pergi, sebelum arwah Misnah sampai kemari," timpal salah seorang kepercayaannya.

Pambakal Sarip mengangguk. Semakin cepat mereka mencapai desa, semakin besar peluang mereka selamat.
Akan tetapi, baru saja mereka berdiri, terdengar suara mencurigakan dari belukar di samping kanan.

Suara rintih tangis, sayup-sayup bertindih dengan suara dedaunan yang tertiup angin. Pambakal Sarip menyorotkan senter ke arah suara, tapi yang terdengar selanjutnya suara lain.
Suara langkah kaki dari arah belakang, terdengar jelas sewaktu menginjak daun-daun kering.

Refleks, ketiga orang itu langsung balik badan. Ketiga orang itu langsung menarik napas lega, karena tak ada suatu apapun yang mereka lihat.
Hanya ada jalan setapak yang gelap tanpa ujung, mengarah ke padang ilalang lalu hamparan padi milik julak Sarkani.

Saat kembali berpaling, ketiganya seketika memekik kaget.

"Allahu akbar…! Allahu akbar…!"
Pekik takbir berkumandang, tatkala Misnah ternyata telah berdiri di tengah jalan. Bermandikan darah dan kuku panjang menyentuh tanah, Misnah menyeringai lebar. Misnah lantas menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan, pemandangan yang mengerikan.
Kraaak… kraaak…

Kepala Misnah melebar senti demi senti, membuat siapapun kehilangan nyali. Ayat-ayat suci yang diucapkan pambakal Sarip dan bawahannya tidak berpengaruh. Malah, Misnah tertawa kencang. Tertawa patah-patah penuh ejekan.
"Kik…kik…kik…"

Pambakal Sarip gemetar dan bulu kuduknya merinding. Namun, kepala desa itu tak kehilangan akal.

Braak…

Seorang bawahannya ia dorong kedepan, tepat menghantam Misnah yang bergerak perlahan.
Tanpa arah, pambakal Sarip dan seorang lagi bawahannya memacu langkah seribu menembus belukar. Mereka asal berlari menembus hutan yang lebat, sementara jerit kematian kembali melengking di belakang.
Orang kepercayaan pambakal Sarip berlari sangat kencang bagai kijang, melompat-lompat di antara semak dan rerumputan. Pambakal Sarip yang kalah cepat mulai tertinggal, sementara jarak cahaya senter di depan semakin menjauh.
Braak…

"Aaaarrrrggghhhhh…!!!"

Orang kepercayaan pambakal Sarip itu tiba-tiba terpelanting menghantam tanah. Ia menjerit kesakitan dan kepalanya berdarah.
Tubuhnya lantas diseret paksa, lalu melayang-layang di udara dengan posisi terbalik.

Sraak… sraak…

Tubuh pria malang itu tercabik-cabik di udara, lalu potongan tubuhnya terlempar ke atas tanah dan rerumputan.
Sembari melayang, hantu Misnah membantai mangsanya tanpa ampun.

Melihat kebrutalan itu, Pambakal Sarip bergidik ngeri, lalu ganti arah berlari sekenanya.

Sraak… braak…
Tanpa ia duga, pambakal Sarip sekonyong-konyong terpental ke udara. Tulang rusuknya remuk akibat membentur batang pohon yang keras. Selama beberapa detik ia merasakan tubuhnya berayun-ayun dengan kondisi terbalik. Tetes-tetes darah mulai mengucur di pelipisnya.
Pambakal Sarip merasakan sakit di pergelangan kaki. Ia merasakan perih akibat belitan yang kencang. Waktu itulah ia tersadar, kakinya terbelit jerat yang biasa digunakan pemburu untuk menjebak rusa atau babi.
Pambakal Sarip memaki dan mengutuk, sumpah serapah berhamburan dari mulutnya. Ia berusah melepas ikatan, tapi tenaganya terlalu lemah. Harapannya segera muncul sewaktu cahaya senter tampak mendekat.
Bisa jadi, itu adalah jerat milik warganya yang berburu di sekitar situ.

Namun, harapannya langsung sirna begitu mengetahui siapa si pemegang senter.

"Ju-julak…tolong ulun julak…lepaskan ikatan ulun," pambakal Sarip menghiba.
Cuiiih!

Julak Sarkani meludah, lalu tersenyum sinis.

"Misnah sudah menyatu dengan minyak perunduk. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Arwahnya kini mampu membunuh manusia-manusia serakah sepertimu."
"Ju-julak. Kenapa aku? Apa salahku?"

"Cih…dasar manusia busuk. Kau kira aku tak tahu, kaulah yang membunuh Misnah. Kau suruh Atul meracuni dia, agar harta Diana bisa kau kuasai.
Agar harta itu jatuh atas nama cucumu. Dasar manusia serakah!" sahut julak seraya menyorotkan senter ke wajah pambakal yang pucat.

"Julak… julaaaak…selamatkan aaakuu…"

Pambakal Sarip terus menghiba pengampunan, tapi julak Sarkani bergeming.
"Sekarang, ada hal terakhir yang harus kuselesaikan. Terimalah upahmu, wahai Sarip yang malang."

Si tua Sarkani kemudian balik badan, meninggalkan pambakal Sarip yang tergantung terbalik. Sejurus kemudian, Misnah mendadak muncul penuh amarah.
Pambakal Sarip terbelalak ketika Misnah tiba-tiba melompat ke arahnya.

Kuku-kuku Misnah yang tajam merobek perutnya, mengoyak daging dan mengeluarkan isi perut.

"Arrrrrgggghhh…"
Jerit kematian pambakal Sarip menggema, terdengar pilu dan menyayat hati. Malam itu, Misnah tertawa mengikik menuntaskan dendamnya.

*****
Calaka kau, Gani. Dasar manusia sialan," Pekik Nini Tuha penuh amarah.

Braak..

Tendangan Nini Tuha membuat ustad Gani terjungkal beberapa meter. Tubuhnya berguling-guling di atas tanah yang penuh dedauanan kering. Ia mencoba bangkit, tapi seluruh sendi tubuhnya terasa remuk.
Nini Tuha bangkit berdiri, lalu mencabut pedang yang menembus jantungnya. Meski darah mengalir di dada, rupanya nenek tua itu belum mati. Beberapa orang pesuruhnya segera menolong Nini Tuha, memapah tubuhnya berjalan.
"Seret dia. Lempar tubuhnya ke tengah api. Pertemukan dia dengan yang ia mau, api penebusan," perintah Nini Tuha lemah. Darah bercampur liur menetes dari mulutnya yang keriput.
Pesuruh Nini Tuha yang bertubuh tinggi bergegas melaksanakan perintah. Ustad Gani di jambak, diseret, lalu dilempar begitu saja ke kobaran api yang membara.

Ustad Gani menjerit kesakitan, merasakan jilatan api membakar tiap jengkal tubuhnya.
"Biarkan dia melakukan penebusan. Sekarang, kita harus pergi dari sini. Saatnya menghadapi Sarkani."

Para pesuruh Nini Tuha mengangguk, mengiringi langkah sang majikan.

*****
Di dalam kamar hajah Diana, sersan Budi dilanda kecemasan. Entah kenapa lampu rumah mewah ini tiba-tiba padam. Budi menajamkan kuping dengan seksama, karena keadaan terasa mencurigakan. Ia mendengar suara berisik di lantai bawah, seperti suara orang berkelahi.
"Tunggu di sini, ada yang tidak beres," kata Budi.

Hajah Diana mengangguk, setidaknya ada acil Ijum di samping. Budi kemudian beranjak dengan cahaya remang-remang, menuruni tangga menuju lantai utama.
Saat mencapai ruang tamu, polisi muda itu tersentak. Ada bekas darah memanjang di lantai, pertanda tubuh diseret menuju dapur.

Dalam keadaan gugup, Budi mengeluarkan pistolnya. Ia mengikuti seretan darah itu dengan hati-hati.
Setibanya di dapur, Budi langsung menahan napas. Beberapa langkah di hadapannya, julak Sarkani tengah menumpuk mayat acil Lela, amang Idar, Yanti dan Amat.
Budi tak percaya dengan yang ia lihat, ada manusia sebengis itu. Persis di depan matanya, julak Sarkani bermandikan darah.
Budi sekonyong-konyong gemetaran, tatkala julak Sarkani balik badan.
Di tangan kanan, julak Sarkani memegang mandau yang berlumur darah. Di tangan kiri, ia memegang bambu tanpa ruas dengan ujung yang sudah dilancipkan.

"Berhenti! Berhenti, atau kutembak!"
Julak Sarkani yang sudah dipenuhi nafsu membunuh, dapat dengan mudah mencium ketakutam sersan Budi. Dengan beringas ia menerjang, mengarahkan mandaunya ke leher Budi yang gemetaran.

Door!
Julak Sarkani hempas, sebutir peluru mengenai bahunya sebelah kanan. Mandau dan bambu terlempar dari genggaman. Namun, kakek tua itu rupanya kebal peluru. Ia kembali bangkit setelah meraih mandau dan bambunya yang tadi terlempar.

Door…!Door…! Door…!
Letusan demi letusan pistol tak juga membuatSarkani tumbang, hanya memperlambat langkah.

Ceklek..ceklek..

Pistol Budi tak mau menyalak, pelurunya telah habis tumpah semua. Sungguh malang nasibnya, Sarkani dengan cepat melesat.

Sreeet… .
Sekali tebas, tenggorokan Budi langsung menganga. Darah segar mengalir tanpa henti, membasahi lantai ubin yang berwarna putih.

Bruuk…

Sersan Dua Budi terkapar, gugur dalam menjalankan tugas.
Di ujung tangga di lantai dua, hajah Diana ternganga. Acil Ijum langsung menjerit histeris bagai orang gila, lalu hilang kesadaran sedetik kemudian.

Sarkani menatap tajam ke arah hajah Diana yang tersandar di ujung tangga.
Ia kemudian melangkah gontai meniti tangga, mendekati hajah Diana yang terguncang. Darah menetes dari mandaunya, membentuk garis titik-titik sepanjang ia melangkah.

Pikiran hajah Diana kosong, tak ada sepatah kata yang mampu ia keluarkan.
Kengerian yang ia saksikan membuat tubuhnya lemas tanpa tenaga. Bibirnya gemetaran dan air matanya mengalir di pipi.

Hajah Diana pasrah sewaktu bilah mandau yang dingin menempel di kulit lehernya.

"Sa-Sarkani…Sarkani…dimana Jaya… dimana Jaya.. Hu..hu… hu.."
Hajah Diana sesenggukan, tak ia pedulikan lagi nyawanya terancam.

"Jaya sudah kubunuh. Kukirim ia ke alam baka menyusul suamimu."

"Sarkani, kenapa kau bunuh anakku? Dia keponakanmu. Anak dari mendiang adik kandungmu, hu…hu…hu…."
"Karena kau mengambil hakku," bentak julqk Sarkani, "Kau jual tanah warisan yang seharus menjadi milikku. Sudah kuminta baik-baik, kau malah menghinaku."
"Ta-tapi, sudah kuganti yang menjadi bagianmu. Kau sendiri tahu, segala harta yang kukumpulkan adalah jerih payahku sendiri."

"Cuih," sarkani meludah.

"Kau kira aku bodoh? Hartamu bukanlah karena meminjamkan duit kepada orang miskin, tapi karena tanah warisan.
Misnah Kau jadikan topeng, seolah ia membawa keberuntungan. Karena ulahmu yang serakah, aku hidup dalam kemiskinan. Sudah keriput, masih saja aku menggarap ladang."
Dengan tatapan kosong, hajah Diana angkat bicara. Kali ini, ia berani membalas dengan nada tinggi meski mandau menempel di leher.

"Kau miskin karena ulahmu sendiri. Kau pasti tahu, belajar ilmu hitam membuatmu pantang jadi kaya.
Sedari muda, kau terlalu suka belajar sihir kepada banyak guru. Kusangka kau telah bertobat, rupanya kau masih saja tersesat. Gayamu suka sholat dan mengaji, diam-diam kau semedi!"
Julak Sarkani tersenyum sinis. Ia masih ingin main-main dengan nyawa hajah Diana.

"Keberuntungan akhirnya datang, saat melihat jasad Misnah tidak mau menghadap ke arah kiblat. Aku sadar ada yang tidak beres dengan kematian menantumu itu.
Kupikir, inilah kesempatan untuk membalas dendam. Arwah Misnah yang gentayangan, bisa kumanfaatkan untuk membalas perbuatanmu. Namun, sayang sekali, rencanaku berantakan. Jaya dan Husni membongkar rencanaku, karena itulah mereka kuhabisi."
"Sarkani, polisi sudah tiba di sini. Semua perbuatanmu akan terbongkar. Meski kau habisi keluargaku, harta itu takkan bisa kau nikmati."

"Cepat atau lambat, polisi akan menjemputku.
Daripada sendirian membusuk di penjara, sekalian saja kukirim kau terlebih dahulu ke neraka," sahut Sarkani penuh kebencian.

Braak…

Sarkani terpental dari lantai dua, sekawanan burung hantu menghantam tubuhnya.
Ia merintih menahan sakit, tapi burung-burung hantu itu kembali menerjang. Susah payah ia melawan, burung-burung hantu itu berjatuhan terkena pukulan bambu tanpa ruas.
Penuh amarah, julak Sarkani menghantam kepala burung hantu yang berserakan satu-persatu. Darah-darah segar kembali menggenang, bersama pecahan kepala dan bulu-bulu burung hantu yang berukuran lebih besar dari ayam jantan.
Sarkani menghentikan kesintingannya ketika terdengar suara langkah kaki terseret. Beberapa jarak di depannya, Nini Tuha berdiri ringkih memendam kebencian.

"Kurang ajar kau, Sarkani. Beraninya kau bunuh pesuruhku!"
Nini Tuha membentak, matanya menyala-nyala karena amarah yang menggelegak.

Julak Sarkani mengelap keringat di wajahnya, lalu meludah ke samping.

"Cuiih…andai Utuh Buwak tak turut campur, tak perlu para pesuruhmu ini mati. Mungkin, sebaiknya kau juga pergi ke neraka."
Nini Tuha mengeram, menghunus pedangnya dari tongkat. Ia langsung melompat tapi seketika terpental. Misnah tiba-tiba datang menyergap, melempar Nini Tuha ke sana kemari. Pedang di genggamannya terpental, bergelinding di atas lantai.
Nini Tuha melotot, tak menyangka hantu Misnah sekuat itu. Entah apa yang dilakukan Sarkani, kuntilanak itu melebihi kekuatannya.
Tertatih Nini Tuha bangkit, tapi lagi-lagi hantu Misnah menerjang. Nini Tuha kembali terjungkal dengan luka cakar di sekujur tubuh.
Tak ingin mati konyol, Nini Tuha melawan dengan segenap kekuatan. Berjuang mati-matian, akhirnya Nini Tuha berhasil mencengkeram kedua lengan Misnah. Mata Nini Tuha yang juling tiba-tiba membulat, menatap tajam ke arah Misnah yang menjerit kesakitan.
"Aaaaarrggghhhhh…!!!"

Misnah bergetar hebat tatkala Nini Tuha membaca mantra. Tubuhnya mulai terbakar sewaktu mantra demi mantra mengalir dari mulut Nini Tuha.

Kraaak…
Tubuh Misnah terbelah dua, menyala-nyala dibakar api. Api terus membara, menghanguskan Misnah menjadi arang lalu lenyap tanpa bekas.

Kelelahan, Nini Tuha tersungkur di lantai. Ia merangkak lemah dengan mulut memuntahkan darah.
Di hadapannya, kini Julak Sarkani berdiri tegak menggenggam bambu pusaka.

Bruuk..

Sekali tendang, Nini Tuha tergeletak tak berdaya. Ia kejang-kejang sewaktu julak Sarkani menusukkan bambu di jantungnya.
Nini Tuha kian melemah hingga akhirnya tubuhnya benar-benar kaku. Terbaring di lantai, Nini Tuha meregang nyawa bermandikan darah.

Sreeek!

Sarkani melotot, merasakan dingin di bagian dada. Ia terheran-heran ketika darah keluar dari mulut.
"Ka…Kau…Diana?"

Julak Sarkani tak menyangka, hajah Diana menusuk jantungnya dari belakang. Tajamnya pedang Nini Tuha mampu menembus kulitnya yang kebal peluru.

Bruuk…
Julak Sarkani ambruk dengan pedang menancap di dada. Masih kurang puas, hajah Diana memukuli kepala julak Sarkani hingga hancur menggunakan bambu tanpa ruas. Matanya nyalang, darahnya mendidih. Hajah Diana yang terhormat telah menjelma menjadi bengis dan brutal.

*****
Kebrutalan hajah Diana baru terhenti ketika warga berdatangan. Perlu berpuluh-puluh pria untuk menahannya tubuhnya, hingga akhirnya wanita itu lunglai kehabisan tenaga. Ia menangis, menjerit-jerit kehilangan akal.
Warga yang berdatangan bertambah banyak, bagai semut mengerumuni gula. Peristiwa di rumah hajah Diana malam itu menggemparkan seluruh penduduk desa. Bagai pasar malam, rumah mewah hajah Diana mendadak riuh.
Letnan Johar dan pratu Berto kaget bukan kepalang, melihat warga berjejal di rumah hajah Diana. Sadar ada yang janggal, letnan Johar berlari menerobos kerumunan. Warga terheran-heran melihat letnan Johar hanya berbalut kain menutupi selangkangan, tapi ia tidak peduli.
Sambil menggendong bayi yang menangis, Berto selekasnya menyusul. Langkahnya terhenti, saat melihat hajah Diana terkulai dibantu beberapa ibu.

Hajah Diana membuka mata, mendengar tangis sang cucu. Dengan sisa tenaga, ia meraih bayi yang diserahkan Berto.
Bayi malang itu ia peluk erat, ia buai penuh kelembutan.

"Terima kasih," ucap hajah Diana lemah.

Berto mengangguk, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Polisi itu tercengang, melihat mayat berserakan. Namun, tak ada seorang pun tahu kalau Nini Tuha sempat ada di situ.
Berto mempercepat langkah, mendekati letnan Johar yang sedang menangis kencang. Mendapati sang atasan tengah memeluk jasad Budi, Berto pun tak sanggup membendung air mata. Keduanya kemudian tenggelam dalam duka.
Malam itu, rumah mewah hajah Diana telah jadi ladang pembantaian. Seekor burung hantu melompat dari atap ke atap, tak mampu terbang sempurna karena terluka parah.

*****
Pagi itu, desa Tumbang Lais dipenuhi polisi yang datang dari kecamatan. Berita pembantaian di rumah mewah hajah Diana telah menyebar hingga ibu kota propinsi.
Pelakunya, menurut keterangan polisi adalah julak Sarkani. Motifnya karena masalah warisan. Selain tumpukan mayat, polisi juga menemukan beberapa bangkai burung hantu. Tak ada yang bisa menjelaskan kenapa ada burung hantu di situ.
Begitu juga tidak ada yang tahu tentang keterlibatan Nini Tuha.

Polisi bersama warga kemudian berpencar, mereka menemukan beberapa jasad di sekitar huma julak Sarkani.
Termasuk jasad pambakal Sarip, Jaya, Misnah dan lainnya. Beberapa jasad ditemukan dalam keadaan mengerikan, seperti diterkam binatang buas.
Di sekitar batu ampar, mereka menemukan ustas Gani tengah sesengukan. Ia memeluk lutut dengan tubuh mengalami luka bakar sebagian.
Di sampingnya, jasad Atul yang gosong tergeletak di atas serakan kayu yang menjadi arang.

Sedangkan Nini Tuha, tak seorangpun tahu keberadaannya.

*****
Dua bulan setelah pensiun, Johar kembali ke desa Tumbang Lais. Ia kini hanyalah warga biasa, bukan lagi seorang polisi. Menurut keterangan warga, hajah Diana telah menjadi gila.
"Hajah Diana dirawat di rumah sakit jiwa di Banjarmasin. Kebanyakan makan duit riba, begitulah jadinya. Hartanya yang berlimpah lenyap sia-sia. Rumahnya sudah jadi rumah hantu. Kadang, Misnah muncul di sana, hiii…"
Demikianlah gosip acil warung kepada Johar. Anaknya Atul, kini dirawat oleh ibunya. Sedangkam keluarga julak Sarkani telah pergi diam-diam dari kampung, tidak tahan dimusuhi warga.
"Pian hendak kemana?" tanya Acil warung.

Johar hanya diam, lalu beranjak pergi.

"Hati-hati, sekarang Jumat keramat" lanjut acil warung setengah berteriak.

Selang beberapa lama, Johar akhirnya tiba di tujuan.
Namun, ia terheran-heran. Rumah Bubungan Tinggi milik Nini Tuha tampak lebih bagus dari sebelumnya.

Keheranannya langsung terjawab, sewaktu melihat ustad Gani tengah sibuk memperbaiki atap.

"Ustad, apa yang kau lakukan di situ?"
Ustad Gani menghentikan aktivitasnya. Sewaktu melihat Johar, ia langsung tersenyum lebar. Ia sedikit merintih karena luka bakar di bagian pipi.

"Seperti yang kau lihat, letnan. Aku sedang memperbaiki rumah Nini Tuha."
"Aku bukan polisi lagi," sahut Johar.

"Aku juga bukan ustad lagi. Aku menemukan kedamaian di sini."

Johar tercenung beberapa saat, lalu mengangguk. Ia lantas berbalik, meninggalkan Gani dengan kesibukannya.
"Kau tak ingin mampir, Jauhari?"

Dari dalam rumah, terdengar suara yang sudah ia kenal. Suara Nini Tuha.

"Maaf Ni," jawab Johar tanpa menoleh, "sekarang Jumat Keramat. Sebaiknya aku secepatnya pergi dari sini."
Johar lantas melangkah pergi, meninggalkan rumah Bubungan Tinggi di belakang.

"Hei, Jauhari! Pada saat angin-angin bertiup kencang, daun-daun kering akan berguguran!" teriak Nini Tuha.
"Aku bukan daun kering, Ni. Cukuplah dua kalimah syahadat sebagai peganganku," balas Johar seraya terus melangkah.

_____Tamat_____

Terima Kasih sudah mengikuti trit ini dari awal sampai tamat. Wabil khusus kepada semua yang telah mendukung di @karyakarsa_id
Mohon maaf karena masih banyak kekurangan. Sampai jumpa di cerita lainnya.
Tabe.. 😇🙏

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Feb 16
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 19 : Api Penebusan

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR
#ceritahorror #ceritaserem #malamjumat

Jangan lupa like, reply, RT dan Qrt yak.
"Ha…hantu!? Misnah bangkit jadi Hantu!"

Seorang warga menjerit, sewaktu Misnah perlahan duduk berbalut kafan. Rambutnya awut-awutan dan sorot matanya mengerikan.

"Allahu akbar…! Allahu akbar…!"
Pekik takbir bergema di dalam lumbung padi, tapi hantu Misnah tetap anteng dengan seringainya yang menakutkan. Semilir angin meniup kafannya, memperlihatkan bagian bahunya yang membusuk dan penuh belatung.
Read 51 tweets
Feb 12
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 18 : Ustad Gani

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR

#ceritaserem #threadhorror #bacahorror Image
Ustad Gani menunduk lesu, mengingat kejadian kelam sewaktu ia kecil hingga remaja. Ayahnya adalah seorang pemabuk yang gemar berjudi. Selain itu, sang ayah adalah maling kelas teri yang kerap bikin onar.
Hasil mencuri ia habiskan untuk mabuk dan berjudi, sedangkan kebutuhan rumah tangga ia tak peduli.

Demi menyambung hidup, sang ibu terpaksa berhutang kesana-kemari. Hasil jualan kue kerap diambil paksa sang ayah demi berjudi.
Read 37 tweets
Feb 9
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 17 : Nini Tuha

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR
#ceritahorror #ceritaserem #malamjumat

Jangan lupa like, reply, RT dan Qrt yak.
"Tak perlu heran, potongan tubuh itu adalah hadiah dari mendiang suamiku. Potongan tubuh para pengkhianat yang menjual jiwanya kepada penjajah," ungkap Nini Tuha pelan.

Penjelasan Nini Tuha tidak membuat Letnan Johar dan ustad Gani menjadi tenang.
Keduanya justru semakin resah, melihat tengkorak serta daun telinga digantung tepat di tengah ruang tamu. Tengkorak kepala manusia itu tersusun bertumpuk di dalam keranjang rotan, tergantung di beberapa titik.

"Duduklah, aku tahu apa yang kalian cari," lanjut Nini Tuha.
Read 50 tweets
Feb 5
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 16 : Kuntilanak Berwajah Lebar

@bacahorror_id @bacahorror_id @P_C_HORROR

Jangan lupa bantu Reply, Rt dan Qrt yak. Selamat Membaca
#ceritahoror #ceritaserem
Selepas sholat Jumat, pencarian Enor kembali dilanjutkan. Setelah menggela doa bersama, kali ini pambakal Sarip mengajak lebih banyak warga. Ada lebih dari 50 warga yang memukul nyiru, membuat hutan menjadi gaduh. Area pencarian diperluas, kali ini lebih masuk ke dalam hutan.
Tiap celah pohon dan belukar, tak juga terlihat jejak si Enor. Semak belukar pun telah berantakan terkena tebasan parang dan serbuan kaki manusia.

"Enoorrr… .!"

"Enoorrr.. Dimana ikam Nor?"

"Uiiii Nini Datu, tolong kembalikan si Enor…!"
Read 64 tweets
Feb 2
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 15 : Orang-Orang Aneh

@bacahorror_id @bacahorror_id @P_C_HORROR

#ceritahoror #ceritaserem #malamjumaat #malamjumat
Begitu menginjakkan kaki di rumah hajah Diana, sersan Budi dibuat terkagum-kagum dengan betapa mewahnya rumah itu. Meski berada di desa, rumah itu tidak kalah megah dengan rumah para saudagar intan di Martapura.
Polisi muda itu menimbang-nimbang, gajinya seumur hidup takkan sanggup punya rumah semewah itu.

Budi mengedarkan pandang, menatap barisan foto yang dipajang di ruang tamu. Ia terpaku sesaat, lalu bergidik sewaktu menatap foto Misnah yang sedang merangkul Jaya dengan mesra.
Read 72 tweets
Jan 29
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 14 : Batu Ampar

Jangan lupa like, komen, share, rt dan qrt yak.

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR
#ceritaserem #bacahorror #ceritahoror Image
Ustad Gani tidak berani membantah, ia terus melangkah dengan wajah pucat. Berkali-kali ia mengipaskan wajah menggunakan peci hitam, berharap tubuhnya menjadi sejuk. Sedangkan letnan Johar, telah siap meletuskan pistolnya kapan saja.

Kreek… kreek…
Pistol di genggaman letnan Johar mengeluar bunyi bergemeretak, dicengkram sangat erat oleh jari-jari keriputnya yang gemetaran. Sesekali ia melirik ke arah barisan pohon di sebelah kanan, mencari kesempatan untuk melepaskan timah panas.
Read 63 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(