Creepylogy Profile picture
Mar 12 114 tweets 14 min read
-RAHASIA MAMA-

Maaf, narsis, ini cerita bagus banget 😀

RT biar rame
Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror Image
Saya dengar tempat semacam ini dari seorang teman asal Jawa Timur. Bagaimana pun, ini cerpen fiksi.
-RAHASIA MAMA-

Aku selalu percaya keluargaku sangat bahagia. Mama telah mencukupi segala hal melampaui semua yang bisa diharapkan, perhatian, kasih sayang, kelembutan, contoh sifat setia sehidup-semati, dan tentu saja uang.
Seingatku perempuan itu bekerja pontang-panting sewaktu aku kecil, mungkin pula sebelum mendiang Mas Gio lahir. Ia mampu melakukan apa saja, atau setidaknya terlihat mampu.
Tenaganya seolah tak pernah habis, kerja dari pagi sampai malam, tetapi tak pernah sekali pun mama meninggalkan santap malam di meja makan kesayangan kami.
Aku pernah berkata saat kami sedang menikmati sop konro di suatu malam, "Andaikata aku sudah dewasa sekarang, aku lebih senang bekerja sepanjang hari menggantikan mama. Bisakah mama santai beberapa hari saja, begitu?"
Seperti biasanya mama tak pernah lama menjawab, dan ada saja senyum tersisa untuk anaknya. Kata mama, "Seandainya kerja keras mama hari ini membuat kamu tidak perlu bersusah-susah di masa depan, itu lebih menggembirakan mama."
Mama juga tidak pernah tampak sedih, tidak pernah takut atau kelihatan rapuh, pendek kata ia seperti tidak bisa dijatuhkan.
Satu ketika mama berkata, "Sedih dan takut hanyalah ilusi dari pemandangan yang sesungguhnya, yaitu kehilangan, kemiskinan dan tidak adanya kemampuan memilih."
Ia ucapkan kalimat itu dua pekan sebelum kami pindah ke rumah baru yang luas serta bagusnya berlipat-lipat daripada yang lama.
Ya, sebelum membeli, mama mengontrak rumah sudah lama, semenjak gadis, bahkan ia dipertemukan jodohnya di rumah petak yang catnya berkerak-kerak jamur itu, yang tidak bukan ialah bujang tetangga ujung gang. Kemudian aku menyebutnya papa.
Aku tidak dapat bercerita banyak tentang lelaki itu, oleh karena ia meninggal setelah ditujah levernya saat sedang mengantar barang, tujuh bulan sebelum aku lahir. Meski begitu aku bisa menceritakannya sedikit.
Yang paling menarik ialah kisah mama ketika sudah memacari papa, dan pada satu malam ia ditabrak lari oleh seorang pengendara motor. Kejadiannya tidak jauh dari rumah sehingga hal itu diketahui pacarnya.
Tanpa banyak pertimbangan pemuda itu langsung melarikannya ke rumah sakit. Luka luarnya begitu parah, tetapi itu belum seberapa dibanding saat dokter mengumumkan bahwa perempuan itu mengalami hemothorax. Jalan keluarnya harus operasi yang tentunya tidak murah.
Yang mengagumkan, papa membuat semua itu jadi amat sederhana. Ia menjual sebagian peralatan musiknya yang dicicilnya dari tahun ke tahun guna membiayai operasi tersebut, bahkan ia nekat menggadaikan audio mixer kepada temannya. Singkat kisah mama bisa dioperasi dan kabar baiknya,
operasi tersebut berhasil. Beberapa tahun kemudian mereka pun menikah. Sayangnya itu hanya sebuah perkawinan berumur pendek. Namun mama tidak mampu melupakan pria itu, sehingga hatinya seolah-olah tertutup untuk kawin lagi.
Rumah baru memberikan kisah dan warna yang baru pula. Yang sangat kentara ialah ketika kusadari harapanku tentang mama cepat terwujud. Sejak kami pindah ia tidak lagi bekerja mati-matian. Lebih banyak waktunya habis bersamaku,
malah sebaliknya, aku yang sering meninggalkannya lantaran wajib sekolah. Mama setiap hari mengantarku ke sekolah, juga menjemputku pulang, dan seringkali ia mengajakku bersukaria ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Namun demikian, untuk kali pertama aku akhirnya melihat mama murung, yakni ketika hari sore, ia duduk di sebuah ruangan dengan wajah yang amat ditekuk. Aku tak berani bertanya, pun mulanya aku tidak kaget.
Sebagai anak yang mulai berpikir aku mengerti bahwa perasaan manusia dapat silih berganti. Mungkin saja mama sedang mengenang kebaikan-kebaikan papa, sebab ia pernah berujar kepadaku,
"Sebaik-baiknya suami setidaknya akan menjahati istrinya dengan kepergiannya yang terlalu menyakitkan." Maka kubiarkan saja mama bersama perasaannya, tidak kutanya-tanya, tidak pula kudekati.
Tentang Mas Gio, dia kakakku, akan tetapi dia pun mirip papa, yang meninggal begitu cepat hingga aku hanya mengetahui namanya. Hidupnya hanya sampai 14 bulan atau 15 bulan, lalu papa menghamili mama untuk kali kedua sebelum ia menyusul pergi selamanya.
Aku lebih tidak mengenal Mas Gio daripada papa, wujudnya entah bagaimana, kenapa ia berumur pendek, yang penting aku sudah diberitahu faktanya. Dan aku tetap menulis namanya dengan sebutan Mas sebagai penghormatan terhadap riwayat keluarga.
Waktu aku beranjak remaja kutanya mama soal di mana tempat pemulasaran papa dan Mas Gio. Sebelum mendengar jawabannya, aku menjumpai perubahan yang tiba-tiba dari parasnya.
Aku jadi merasa salah, mungkin saja sebuah pertanyaan sederhana malah justru membangkitkan kedukaannya. Mama kemudian menyebut nama tempat pemakaman umum di kota kami.
"Dua-duanya dikubur di situ?"

"Hanya papamu. Gio ada di Jawa Timur."

"Aku belum pernah mengunjungi mereka. Kurasa mulai sekarang mama bisa mengajakku pergi ziarah ke tempat-tempat itu."
Maka tibalah hari ketika mama akhirnya mengajakku menziarahi papa. Kuburan umum, tempat papa berimpit-impit dengan ribuan manusia lain yang telah wafat.
"Guglielmo Ibrahim," gumamku aneh. Dan aku merasa sangat bodoh, karena bahkan aku tidak pernah mau tahu siapa nama papa. Pantas saja badanku bongsor dan berkulit cerah seperti kaukasian. Maka kutanya, "Papa keturunan Eropa? Spanyol?"
"Italia."

"Ah, Italia. Setidaknya ia campuran Indonesia."

"Ibrahim diambil dari keluarganya yang berasal dari Melayu-Singapura," koreksi mama.
"Ibrahim diambil dari keluarganya yang berasal dari Melayu-Singapura," koreksi mama.

"Jadi benar-benar dia perantau?"

"Kakek dan nenek dari papamu dulu merantau kemari. Mungkin karena sudah terlalu lama di Indonesia mereka akhirnya mengganti kewarganegaraan."
"Bagaimana dengan keluarga di sana?"

"Di Singapura? Yang benar saja, mereka sudah terlalu susah dilacak."

"Kalau kakek dari mama?"
"Dia meninggal jauh sebelum kamu ada." Mama mencondongkan matanya padaku, dan sebelum aku tanya tentang mamanya, ia lebih dulu mengatakan, "Nenekmu meninggal hanya berselang dua bulan setelah kakekmu. Hanya ada satu pamanmu, dia di Libya dan tak pernah kembali."
"Setidaknya aku masih punya paman."

"Jangan berharap banyak, Nak. Mama selalu menganggap sebaliknya."
Dengan bertambahnya waktu aku makin kenal mamaku. Juga kutahu bahwa dia sebenarnya tidak seceria ketika aku masih kecil. Ada satu kamar di rumah kami yang cuma boleh ia masuki. Aturan itu selalu kuhargai.
Boleh jadi itu adalah tempat ia merenung, mengerjakan hal-hal yang belum pantas aku ketahui, atau mungkin saja sebagai ruang ibadah yang sangat privat. Untuk yang terakhir sebetulnya aku ragu.
Aku tak pernah diperkenalkan pada agama, demikian pula mama yang tampaknya punya prinsip dan aturan sendiri. Namun, ya, bisa saja seseorang memahami Tuhan dengan jalan lain yang lebih independen.
Ekonomi keluargaku sangat cukup, bahkan sangat bergelimang harta. Bisnis mama berceceran di bidang apa saja. Yang paling kusukai ialah pabrik pembuatan bakso yang dengan hebatnya menyuplai ratusan pedagang bahkan restoran dari mana-mana.
Itu adalah pabrik pertama yang mama buat, sehingga terasa spesial bagiku. Bahkan mama juga punya jaringan restoran bakso yang cukup ternama.
Pelan-pelan aku belajar bisnis, dimulai dengan perencanaan ide. Guruku siapa lagi kalau bukan mama. Memang ia juga menekanku agar masuk di sekolah bisnis terkemuka, sebab menurutnya yang paling penting dari kampus ialah menanam jaringan untuk masa depan.
Akan tetapi aku lebih dulu memperkenalkan seorang gadis kepada mama daripada proposal bisnis. Ya, hasrat muda sukar dibendung.
Aku menjadikan mama sebagai standar utama, yaitu menarik fisiknya, pintar, dan terutama punya kemauan keras. Dialah Ananda. Aku jatuh hati begitu cepat dan takkan membiarkan dirinya lepas ke pelukan para bujang pesaing.
Untungnya Ananda membalas perasaanku. Maka kami berpacaran secara tidak sah, karena memang tidak ada hubungan yang sah kecuali perkawinan menurut hukum.
Bagaimana tanggapan mama? Astaga, ternyata dia pun cepat kepincut pada Ananda. Ya, aku tidak salah pilih, mataku jeli, firasatku tajam terhadap wanita. Dialah sebaik-baik gadis yang dapat diharapkan.
Sampai-sampai namaku langsung melambung di jagat kampus setelah memacari Ananda. Apa lagi kurangnya Ananda, tidak ada! Kecuali kami cuma sekadar berpacaran. Sebab aku tidak menginginkan hanya sebatas itu. Kuingin mengawininya, kalau bisa selekasnya.
Ananda tidak suka berkencan di luar, melainkan lebih senang menghabiskan waktu bersama di rumah. Katanya itu efektif mencegah bisikan setan. Aku paham.
Dalam bahasaku, setan adalah hasrat untuk berbuat lebih banyak, terkait interaksi yang intim, antara satu dengan yang lain.
Bagiku tidak masalah. Setan atau hasrat bisa kucegah dengan mudah. Aku tidak mengincar tubuhnya walau kuakui ia sangat menarik. Yang paling penting ialah dirinya seutuhnya
Kemauan Ananda menjadikan aku mengenal keluarganya, begitu pula kebalikannya. Ia jadi lebih banyak tahu tentang mama. Keduanya mudah akrab, apalagi mereka sama-sama suka membuat pastry.
Jadi, hubungan ini mulanya lancar-lancar saja. Kalau pun ada yang sedikit mengusik, atau tepatnya hal baru yang membutuhkan adaptasi, yaitu sikap Ananda yang disiplin menyembah Tuhannya.
Akhirnya aku membelikan karpet kecil namanya sajadah serta baju kurung bernama mukena, supaya dia tidak perlu repot-repot menenteng benda itu kalau berkunjung ke rumahku.

Pada satu kesempatan ia bertanya, "Kamu tidak pernah salat?"
Aku tak yakin harus menanggapi seperti apa. Salat? Aku mengerti itu wajib untuk orang Islam. Tapi untukku? Sedang aku saja tidak mampu mendefinisikan keyakinanku.
Jangan salah, bukan aku tidak percaya Tuhan, sebaliknya, Dia lebih mungkin dan lebih baik ada daripada tidak. Aku hanya belum punya rencana beragama. Menjadi beragama berarti harus siap dengan petualangan jiwa yang membutuhkan aksi-aksi nyata.
Berkaitan dengan pertanyaan Ananda, kujawab begini, "Itu masih jauh. Aku harus menentukan lebih dulu untuk beragama atau tidak."

"Beragama? Hei, lihat namamu, I-B-R-A-H-I-M. Dialah bapak semua agama."
"Tentu saja. Justru itu membuatku bingung karena aku punya tiga pilihan," ujarku berkelakar.

"Astaga, kamu ini! Kupikir kita seagama."

"Jadi kamu sekarang menyesal?"
"Kata siapa? Model pemuda sejenismu itu bukan hanya kamu. Itu biasa terjadi pada beberapa pemuda seumuran kita."

"Artinya kamu akan bersabar menunggu aku memilih agamamu sehingga kita bisa menikah?"
"Ya Allah, kamu selalu menyinggung pernikahan tiap hari. Siapa bilang kita pasti akan menikah?"

"Kamu tidak berencana menikahiku?"
"Yang begitu hanya ada dalam pikiranmu. Itu masih jauh, William. Jangan sempitkan hidupmu dengan kehadiranku. Lihatlah, berapa perusahaan milik mamamu, berapa ribu karyawan yang bernaung di sana...
...Kelak itu semua harus kamu lanjutkan agar kehidupan ribuan orang tidak terguncang. Menikahiku? Hah, itu soal recehan. Begitu pula aku. Ini bukan tentang agama. Lebih masuk akal jika kita memantaskan diri untuk masa depan."
Seharusnya aku kecewa dengan pernyataan sikapnya, nyatanya tidak, malah dengan itu perasanaku pada Ananda kian bersimpuh-simpuh.
Di hari yang lain Ananda mengajukan pertanyaan aneh sekaligus mencolok. "Aku baru tahu mama kamu memelihara kera."

"Kera?"

"Ya," angguknya, "monyet berbulu abu-abu. Aku melihatnya kemarin di kamarnya?"
"Di kamarnya?"

"Yang dekat taman kecil itu? Oh, aku lupa, itu bukan kamarnya, kan."

Aku tak percaya, tapi juga tak sampai hati menuduhnya berdusta. Maka kujawab, "Ya, itu sudah satu tahun ia rawat."
Cara terbaik memahami ucapan Ananda ialah menanyakan mama secara langsung.

"Kera abu-abu?" suara mama diangkat tinggi-tinggi setelah aku tanyakan soal itu.
Sukar dijelaskan, kejadian itu membuat aku dan mama bertengkar. Ia menuduh Ananda yang bukan-bukan, gila, halusinasi, kebanyakan minum tablet antidepresan dan banyak lainnya. Sejujurnya aku malah lebih heran pada sikap mama.
Jika ia tidak memelihara kera, bukankah cukup bilang tidak. Atau ia bisa menunjukkan sebentar kamar rahasianya agar aku bisa melihat kebenarannya. Aku pun tidak percaya mama mengadopsi monyet abu-abu, tetapi buat apa juga ia jadi histeris begitu?
Akibat dari peristiwa itu ternyata melampaui dugaanku. Rumah kami serasa berubah sangat panas seiring pertengkaran yang tiada berkesudahan. Aku masih belum mengerti jalan pikiran mama, mengapa perkara kera jadi serumit ini.
Pada ujungnya ia bahkan tidak bisa lagi menerima kehadiran Ananda. Dengan semestinya hubunganku dengan gadis itu ikut memburuk. Kami pun berpisah jalan tanpa alasan yang bisa kupahami.
Kesehatan mama sering terganggu sejak perkara monyet abu-abu. Mulanya sekadar batuk biasa, dengan beberapa gejala yang mirip radang tenggorokan. Namun Lama kelamaan batuknya tidak kunjung reda.
Mama mengaku sudah memeriksakan kesehatannya, dan kata dokter, itu memang radang tenggorokan. Kupikir sakitnya bakal cepat sembuh, ternyata tidak.
Aku terlambat menyadari kondisi kesehatan mama yang turun secara drastis. Satu pagi dia hampir terjatuh saat turun tangga. Aku segera menolongnya, dan saat itulah aku tahu badannya sudah begitu kurus.
"Mama harus periksa sekarang," ujarku panik.

"Tidak apa-apa, Nak, mama akan baik-baik saja. Ini gara-gara napsu makan menurun."
Kuletakkan telapak tangan di lehernya. Suhunya normal. Namun wajahnya pucat bukan main, bibirnya mengkerut seperti kulit jeruk kering, dan jemarinya agak gemetaran.
Tentu aku tidak perlu menunggu persetujuannya untuk diantar ke dokter. Jadi kuangkat saja mama dengan paksa. Namun aku malah makin terheran. Betapa berat tubuh mama, bahkan ia tidak beranjak barang sejengkal meskipun kukerahkan tenaga sekuatnya.
"Mama ada apa?" aku tak bisa berbohong, ini membuatku berdebar.

Kemudian wanita itu turun sendiri hingga lenyap ke dalam kamarnya.
Satu hari satu malam pikiranku sengkarut mengkhawatirkan mama. Ia tidak lagi keluar kamar, hanya masih menyahut kalau dipanggil namanya. Makan tidak, minum pun tidak. Bagaimana ia bisa kembali sehat kalau begitu?
Sehari berikutnya mama mengetuk kamarku. Buru-buru kutemui dia. Ya ampun, hari itu dia berjalan dengan tongkat. Pakaiannya gaun selutut warna hitam, dibalut jas hitam, bersepatu hitam pula. Ia bersuara dengan lirih, "Antarkan mama sekarang. Bawalah baju hangat."
Akhirnya dia lunak juga untuk diperiksa. Secepatnya aku berkemas, lalu kami pergi.

Di satu perempatan jalan mama berkata, "Kita ke kiri."

"Itu bukan arah rumah sakit, Ma."

"Mama bukan ingin ke rumah sakit."

"Mama!"
Ia langsung menyentuh tanganku diiringi ucapan yang kemudian tidak mampu kubantah, "Ini sudah saatnya. Kamu harus tahu kebenarannya."
Demikian akhirnya aku menjadi penurut. Mama menuntun aku menuju jalan tol yang arahnya ke Cikampek. Selanjutnya ia lebih banyak tidur di perjalanan, hanya sekali-sekali terjaga untuk memastikan arah.
Tidak terasa aku telah mengemudi sampai Jawa Timur. Cepat sekali, bahkan ini tidak mungkin. Baru lima jam! Dan langit masih sangat terik.
Mama menyuruh berhenti ketika mobil melewati sebuah bakul pisang. Dari dalam ia panggil penjualnya, meminta sekian tandan pisang raja bulu, yang segera dimasukkan ke dalam bagasi dan kabin belakang hingga penuh sesak.
Selanjutnya ia mengarahkan rute ke selatan, melintasi kota demi kota, hingga kami tiba di sebuah ruas jalan sepi yang dinaungi pepohonan rindang. Kemudian mama menyuruhku agak pelan, dan akhirnya, "Berhenti di sini."
Sedan kuhentikan lebih menepi. Di kanan kiri tampak rimbun. Sesekali ada kendaraan lewat. Sepi. Aku tidak tahu tempat apa ini, tetapi kudengar suara kera sahut menyahut.

"Untuk apa kita kemari, Ma?"
Mama sedang memejamkan mata sembari berkomat-kamit semaunya. Pertanyaanku tidak digubris. Baiklah, tunggu saja ia mau apa.
Kusadari belakangan kalau suara beruk makin bising. Agaknya mereka sedang mendekat. Terus terang ini mulai menakutkan. Di sebelahku mama terus mengumik tidak jelas,
di arah yang lain suara segerombolan kera semakin terasa dekat. Adakah mama sedang memanggil kera, dan apa hubungan ia dengan binatang-binatang itu?
Pikiran ini berusaha segesitnya mengait-ngaitkan semua pengalaman yang terlewatkan, semenjak masa kecilku, mama yang pontang-panting bekerja, lalu keadaan berubah begitu terbalik, segala hal jadi sangat membahagiakan,
harta yang berlimpah-limpah, hingga aku bertemu Ananda yang kucintai dengan sangat-sangat, bahkan tidaklah berkurang apa pun perasaanku sampai hari ini, namun dia jugalah yang menghadirkan perdebatan tentang kera berbulu abu-abu!
Wajah-wajah kera itu akhirnya muncul dengan berduyun-duyun seperti dugaanku. Hanya, tidak kukira mereka teramat banyak. Mereka mendekat sangat berani! Kaca sedan buru-buru kututup.
Bersamaan itu aku menengok mama yang memperdengarkan suaranya yang semakin tertatih, "Kekasihmu benar. Ananda."
Mataku segera berpaling lagi menuju sekawanan kera. Dengan bibir gemetar kutanya, "Aku tidak mengerti maksud mama."
"Turunlah, Nak. Keluar dari mobil lalu temuilah mereka. Berikan semua pisang yang sudah kita beli, karena semata-mata itu untuk mereka."

"Aku masih tidak mengerti. Kenapa mama mengajakku kemari dan apa hubungannya dengan mama?"
"Kamu pernah berkata..., mau menengok kakakmu, Gio..."

"Di sinikah makam Mas Gio? Di mana letaknya?"

"Itu hanya akan kamu ketahui setelah kamu turuti ucapan mama."

"Langsung saja, Mama! Ada apa sebenarnya?"
Tidak selayaknya kutinggikan suaraku sementara keadaan mama begitu lemah. Tetapi aku tidak sabar mengetahui kebenaran semuanya. Aku merasa sudah ditipu secara telak oleh semua rahasia mama yang omong kosong.
"Ceritakan saja, mama, aku bukan anak kecil lagi."

Kudengar napas mama semakin payah. Namun ia tetap bersuara, "Cerebral palsy."

"Apa? Siapa yang cerebral palsy?"

"Gio, kakakmu, dia mengidap kelainan itu."

"Karena itu Mas Gio meninggal?"
Setelah itu mama menundukkan pandangan, dengan kata-kata yang terus kudengar. Ujarnya, "Mama telah menukarnya dengan kemudahan hidup." Ia menjeda ucapannya karena tangis yang tidak tertahankan. Yang dapat kulakukan hanyalah menunggu kelanjutannya.
"Itu mama ketahui saat umurnya sepuluh bulan. Mama dan papamu berusaha sabar dengan kenyataan itu. Kemudian kamu hadir di perut mama, dan segalanya tiba-tiba menjadi amat sulit ketika papamu meninggal."
"Apa maksud mama menukar Mas Gio?"

"Tumbal, Nak."

"Tumbal? Berhubungan dengan paranormal?"
"Mama mendatangi paranormal sehingga bisa sampai ke tempat ini. Di sinilah mama mengadakan perjanjian dengan makhluk gaib."
Ini terlalu membingungkan lantaran aku tidak pernah diajarkan dan terutama jadi tidak peduli pada soal spiritual, kepercayaan, dan sebagainya. Namun aku harus memahami kebenaran, dan itulah yang ingin kuketahui melebihi apa pun.
Berkata lagi mama, "Gio adalah salah seekor di antara mereka. Kala itu mama memasrahkannya kepada mereka, sebagai gantinya, mama merawat salah satu makhluk gaib yang menjelma sebagai kera."
"Artinya benar mama merawat monyet di dalam kamar rahasia?"

Wanita itu mengangguk seraya tersengguk-sengguk.

Kutanya lagi, "Kenapa aku tidak melihat monyet di rumah lama kita?"
"Mama menitipkannya di tempat paranormal."

"Juga mengapa dia tak pernah bersuara atau semacamnya?"

"Nak!" Suara mama tiba-tiba kokoh. Namun segera setelahnya ia kembali lemah. "Cepat keluar sekarang. Waktu hampir habis. Kamu akan mengetahuinya lebih banyak setelah itu."
Di tengah-tengah kebingungan aku memilih untuk menuruti ucapannya. Pintu sedan kudorong, bertepatan dengan itu komplotan kera mendekat dengan awas. Yang aneh, mereka tidak lagi berisik.
Maka kukeluarkan bertandan-tandan pisang dari kabin belakang dan bagasi. Pandanganku tidak kalah awas, kalau-kalau hewan-hewan itu bermaksud jahat. Namun mereka berhenti di batas tertentu, seolah mengerti bahwa aku datang membawa kesenangan untuknya.
Satu demi satu tandan pisang kuletakkan di dekat mereka hingga tiada yang tersisa. Tidak lama setelahnya mereka segera mencabutnya. Aku heran monyet-monyet itu tampak begitu sopan.
Mereka hanya mengambil satu lalu memberi giliran kepada kawannya. Pada waktunya tandan-tandan itu menjadi botak. Para kera telah mundur tetapi tidak jauh-jauh. Sedangkan aku mematung di tepi jalan, mengawasi mereka satu persatu.
Akhirnya ada sesuatu yang membikin kepalaku bertanya-tanya, yakni seekor kera yang rupanya sangat dekat dari tempat aku berdiri. Tidak seperti yang lain, ia semata-mata mematung seraya menatapku. Juga dia tidak mengambil bagiannya sedikit pun.
"Apakah jangan-jangan ini adalah yang diceritakan mama?"

Aku balas menatap yang seekor itu. Mata kami saling berpaut. Bulunya abu-abu, wujudnya tak berselisih dengan yang lain. Namun, semakin lama aku tak dapat mengalihkan pandang darinya. Dia sangat menarik namun juga pemurung.
Tanpa kusangka sebelumnya, bibirku berucap, "Mas Gio?"

Entah bagaimana, sesudah kupanggil namanya, aku tidak lagi melihat kera itu, melainkan sesosok bayi mungil yang bersandar pada batang pohon. Ia memperdengarkan rengekan keras yang bersambung-sambung sekaligus memedihkan.
Mustahil aku diam saja, melainkan berusaha menghampirinya. Maka kami menjadi sangat dekat hingga kemudian kusentuh bayi itu.
Kebenaran ini rupanya terlalu menyakitkan. Aku menangis sekerasnya disaksikan sekawanan kera. Sejenak aku tak dapat memikirkan apa pun, hingga tiba-tiba aku ingat mama. Dengan itu segera kuputar kepala ke belakang. Mama tidak kelihatan di kursi depan.
"Mama?"

Aku mundur menuju sedan, sedangkan mama sungguh-sungguh lenyap. Mustahil dia pergi jauh. Aku harus segera mendapatkan mama.
Alih-alih begitu, aku dikejutkan sesuatu yang lain. Seekor kera muncul dari balik pintu mobil yang masih terbuka, berjalan lurus dengan tatap yang ditautkan padaku.
Aku memerhatikan langkahnya, dan rupanya ia berhenti pada seekor kera di bawah sebuah pohon yang membuatku menangis haru.

Pada saat itu aku baru percaya bahwa keluargaku sangat tidak bahagia.

-selesai-

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Creepylogy

Creepylogy Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @creepylogy_

Mar 4
-Gedung Sekolah Hilang Karena Disantet-

Parah...Abu Jahl dkk aja gak pernah nyantet Nabi.

RT biar rame
Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
Suatu kesempatan saya ikut kompetisi sepakbola antarsekolah. Di sana saya mendengar kisah ini dari siswa sekolah yang bersangkutan.

Semua tokoh, sekolah, dan daerah bukan nama sebenarnya. Harap anggap ini hanya sebagai kisah fiksi.
Yayuk sumringah sejadi-jadinya siang itu, seolah-olah dialah wanita paling berbahagia di muka bumi. Padahal penyebabnya sederhana. Ia ditunjuk menjadi penanggung jawab penerimaan siswa baru. K
Read 57 tweets
Mar 2
-Rubanah-

Bagian 25 & 26

Ini cewek apes banget dah ah...

RT biar rame
Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror Image
-Bagian 25-

Ada perkataan sederhana dalam psikologi kejahatan. Apabila engkau merasa dalam ancaman kejahatan, jangan beranjak ke tempat yang semakin jauh dari keramaian. Kenduri telah melalaikan satu hal itu, atau karena memang ia tidak tahu.
Read 89 tweets
Feb 15
-Rubanah-

Bagian 23 & 24

Makin parah aja kosan ini...

RT biar rame
Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
-Bagian 23-

Hari yang satu telah digantikan hari yang lain. Untuk kali pertama Kenduri memilih absen kuliah, kendati hari itu ia punya dua jadwal kuliah pengganti.
Read 90 tweets
Feb 11
"MISTERI KEMATIAN GUS MUK"

Bacanya pelan-pelan ya 😀

RT biar rame

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
-Misteri Kematian Gus Muk-

Sepuluh tahun lalu Kuswara masih brigadir. Kerjanya hanya mengintai-intai berandalan di pinggiran kota. Dari tukang buah pindah ke warung asongan, mengorek informasi tentang si polan atau tentang kejadian apa saja.
Pekerjaan seperti itu tidaklah menjanjikan buat anak dan istri. Oleh itu Kuswara takut kawin. Gajinya sekadar harap maklum. Ada tunjangan, tetapi sudah pasti terpotong buat para informan. Sialnya Kuswara sendiri yang nekat menjadi seperti itu.
Read 90 tweets
Feb 4
"MENGINAP DI HOTEL BEKAS GEMPA"

Hotelnya adalah...

RT biar rame

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
Sebuah hotel Z di Kota Y, yang mana pernah terdampak gempa hebat hampir 17 tahun silam. Cerita ini berawal saat saya menginap di hotel tersebut. Lalu saya bertemu teman, dan teman itulah yang mengisahkan pengalaman temannya yang terjadi di hotel yang sama.

***
Namanya Philip. Satu hari di tahun 2012 ia menginap di hotel Z untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya Philip bebas memilih hotel. Namun dikarenakan dia cukup fanatik dengan pilihan hotel keluarga, maka dipesanlah satu kamar di hotel tersebut.
Read 74 tweets
Feb 2
-Bagian 22-

Sementara Hasana menengok situasi di luar rumah, Nasikhin mendudukkan Kenduri di sebuah kursi kayu yang tampak lawas tetapi masih terawat. "Tak perlu cemas, Nak. Anak itu takkan berani mengganggumu lagi. Kamu aman di sini," ucap Nasikhin.
Read 35 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(