simpledandism123 Profile picture
Mar 30 135 tweets 18 min read Twitter logo Read on Twitter
Assalamualaikum,
Maaf terlambat dari jadwal biasanya. Yuk kita mulai,

"TEBU MANTEN"
Part 8
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa cek profil atau ke KaryaKarsa
Ijin tag Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @bacahorror_id @threadhororr @SpesialHoror #horror #horor Image
Belum sempat aku menjawab rasa mual menyerangku, sontak aku bangun dan bergegas ke toilet. Derik ranjang bersahutan dengan suara pintu terbanting membangunkan Adis yang terlelap. 

Wanita itu bahkan tak sempat mengusap wajahnya dan segera menyusulku. “Mamas kenapa?”
Kecemasan menguasai Adis. “Mamas?” suaranya semakin keras.
Aku hanya menjawab dengan melambaikan tangan padanya. Mualku memaksa otot diafragmaku berkontraksi, membuat perutku kram juga nyeri luar biasa.
“Mamas sakit ya?” Tanya Adis sambil menepuk lembut punggungku.

Detik berikutnya tubuhku mengeluarkan hal yang sulit di terima akal sehat. Di toilet gumpalan darah beku kehitaman keluar dari dalam lambungku juga beberapa serpihan kecil seperti tulang.
Sungguh menjijikkan, apalagi gumpalan itu juga bergerak. Secepat mungkin aku menyiramnya namun sayang Adis sudah terlanjur menjerit ketakutan “Getih? Mamas kok muntah darah toh?”
“Mamas sakit opo toh? MAMAS!” Adis semakin histeris. Aku hanya melambaikan tangan, lalu menyeka bibir, aku sudah tak sanggup bicara. Energiku terkuras habis. Bulir keringat membasahi dahi dan punggungku.
Firasatku mengatakan jika itu adalah guna-guna darah kotor yang Mbak Ayu kirimkan.

Dia mengeluarkannya, diriku yang lain!

Aku bangkit kepayahan, sendi tubuhku seperti lepas. Utung saja ada Adis yang memapahku meskipun wanita ini juga kesulitan karena tubuhnya yang mungil.
Jika tidak aku pasti merangkak keluar dari toilet, lemasnya tak main-main. 

“Maaf ya Adis? Mamas merepotkanmu.”

“Ish ... Mamas ki ngomong opo toh? Adis panggil Mas Aji biar anterin Mamas berobat yo?” Wanita di sampingku sudah menangis, Iris matanya berkabut.
Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Meskipun kepayangan Adis berusaha membawaku ke kursi dapur dan merebahkanku yang lemah seperti lumpuh.

“Minum Dis?” Pintaku lirih.
Secepat kilat wanita ini mengisi gelas dan membantuku seperti seorang ibu sambil terisak pilu. “Adis, Mamas gak apa-apa, sudah jangan nangis begitu.” Ujarku.

“Mamas tu sakit opo?” Wajah itu masih cemas dan penuh tanda tanya, suara bergetar bersahutan dengan isakannya.
“Mamas gak sakit loh dis. Nih sehat begini kok.” Aku membusungkan dada menghibur Adis, tapi siapapun pasti takkan percaya.

“Ngapusi, itu tadi opo? Kenapa muntah darah begitu? Mamas ada yang disembunyikan dari Adis ya?” Firasat perempuan itu memang tajam seperti sebilah pisau.
Namun tak mungkin aku mengatakannya, dia pasti semakin cemas.

“Mamas tadi tu bibirnya kegigit waktu tidur. Sudah jangan nangis lagi,”  hiburku.
“Ngapusi?”

“Enggak Dis.”

“Beneran?”

“Iya.”

“Tenanan?”

“Iya!”

“Ish, seng bener toh?” 

“Ho’oh”
“Ih… Mamas iki! Seng bener toh?”

“Iya Adis, Mamas sudah gak apa-apa. Demamnya juga sudah turun, nih kalau tidak percaya?” Aku meraih tangan Adis dan meletakkannya di dahiku yang basah. Adis akhirnya percaya meski tak sepenuhnya.

“Mamas jangan mati! Adis ndak mau sendirian.”
Astaga! Sembarangan sekali wanita ini bicara, tapi melihat matanya yang basah juga wajahnya yang cemas aku tahu dia hanya khawatir.

“Gak! Mamas gak akan mati tapi kalau Adis tinggalin Mamas, gak janji ya?”

Ya kali ini aku tak lagi sendiri, Adis sudah ada bersamaku.
Malam ini aku terpaksa masuk kerja, padahal seharusnya hari ini jadwalku untuk libur, tapi karena kejadian buruk kemarin pengerjaan pengecoran lantai gudang tertunda. Untung saja sudah sempat beristirahat dan tidur tadi siang.
“Mamas bukannya libur?” Adis segera protes melihatku mengancingkan seragam. 

“Ada kerjaan, belum selesai.”

“Tapi kan Mamas sakit.” Adis meneruskan protesnya.
“Namanya saja buruh Dis, mau gak mau harus masuk. Mamas sudah sehat jangan khawatir begitu.” Aku hanya mengusap kepalanya sambil keluar kamar namun Adis menghadang jalan, matanya kembali berembun, aduh cingengnya.

“Mamas sudah sembuh, Adis tenang saja ya?” Ujarku.
Wanita ini kembali memelukku. “Pokoknya Mamas jangan mati!”

Entah kenapa aku justru tertawa mendengarnya. “Iya Adis, sudah ya? Mamas nanti telat.”
Adis mengantarku ke teras dan menyiapkan sepatu. Aku masih duduk di kursi saat Adis menunduk untuk menalikan sepatuku, selintas bayangan samar mendekat dan semakin jelas. Sosok pengantin wanita yang aku lihat sebelumnya di atas lemari,
berdiri didepan teras sambil menenteng kepalanya, Aku bergidik ngeri namun juga iba.

Mungkin karena rasa takutku sudah berkurang, wajahnya terlihat lebih jelas dengan helaian rambut yang lengket karena gumpalan darah.
Aku pikir dia akan mendekat atau masuk kedalam rumah tapi entah kenapa dia tak berani mendekat dan hanya berdiri di luar halaman.

Pendaran cahaya mobil memantul di ruang tamu, Adis segera menutup pintu sesaat setelah aku berangkat. Lagi-lagi Loro Istri menjauh dariku.
kepalanya yang buntung bergerak seiring langkahku masuk ke mobil. Wajahnya terlihat lebih jelas dengan tahi lalat dibawah matanya yang sayu. Saat aku perhatikan lebih lama, dia menangis saat melihatku.
Eh? Tapi sepertinya aku salah, dia tidak melihat ke arahku tapi Mas Bambang? Aku masih memperhatikannya sampai memutar kepala, masih belum yakin juga. Tahi lalat dibawah mata itu? Atau hanya mirip saja!
Rasanya aku ingin mengumpat habis-habisan! Tengah malam aku berdiri sendirian di depan gudang gula tanpa teman. Aku rasa Pak Wiro sengaja mengerjaiku. Masalahnya pekerjaan pengecoran lantai gudang sudah selesai dari tadi. Semua pekerja sudah kembali ke mess.
Tapi entah kenapa pria gempal itu memerintahkanku untuk menunggunya di sini. Alasannya ingin mengecek hasil pekerjaan ini secara langsung.
Hari sudah lewat tengah malam saat Mbah Santo datang menghampiriku di ujung pintu keluar. Pria tua itu mendekat, menjinjing buntalan hitam yang firasatku berbisik jika hal itu sesuatu yang tak benar.

“Mas Andra, sudah rampung?”
Suara dan tatap mata pria ini ramah, namun entah kenapa aku tak menyukainya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di sana.

“Sudah Mbah.” Sebisa mungkin aku menahan diri dan mengalihkan pandangan ketempat lain, namun lagi-lagi mataku kembali pada buntalan yang dibawanya.
“Gimana kerja disini? Betah?” 

“Lumayan Mbah.” Jawabku sekenanya. Jika saja bukan karena keinginanku untuk mencari tentang masa laluku dan membantu Aji mengusutnya, aku pasti sudah angkat kaki dari sini.
Mbah Santo hanya manggut-manggut. Lagi-lagi firasatku mengatakan untuk waspada. Seiring tatapan Mbah Santo yang berubah. Entah kenapa seakan aku merasa jika dia juga mendengar bisikan hatiku. Pria ini juga memiliki sesuatu sepertiku. Gila! Aku sudah seperti cenayang saja.
“Mas Andra sudah berubah ya?” Tiba-tiba saja pria tua itu bicara.

“Berubah gimana Mbah?”

“Saya ngerasa sampeyan lain saja, dari terakhir ketemu.” Ucapnya lagi

“Lain gimana toh Mbah?” Jujur saja aku tak paham.
“Firasat saya tepat.” Pria tua itu berlalu meninggalkanku yang memeras kepala mengartikan ucapannya, semenit kemudian dari kejauhan Pak Wiro datang menjinjing sebuah keranjang anyaman yang berukuran cukup besar,
di belakang punggungnya wanita yang paling ingin aku hindari juga mendekat - Mbak Ayu - yang tersenyum genit padaku.

Keduanya mendekat pada Mbah Santo yang membuka buntalan berisi umbo rampe keperluan ritual,  entah apa maksudnya. Bau menyan menyeruak membuat kepalaku sakit.
Kerajang anyaman Pak Wiro rupanya berisi sepasang ayam cemani, yang dipotong hidup-hidup dengan sadis. Ayam itu menggelepar di tangan gemuk Pak Wiro, sedangkan Ayu sibuk menadah darah dengan batok kelapa, sedangkan pandangannya terkunci padaku. Seperti kemarin, tajam dan mistis.
Mbah Santo menyiramkan darah ayam di atas cor-an semen yang basah, udara berhembus kencang, mataku menangkap puluhan bayangan sosok mendekat. Eh! Mereka mengundang … Setan? 

Bau menyan yang semakin kuat memaksaku bergegas keluar gudang.
Apalagi kumpulan energi semakin pekat, membuatku sesak.

Tak nyaman, panas dan pengap padahal aku sudah berada di luar gudang. Semakin lama aku berdiri, semakin banyak yang datang. Dari yang besar sampai yang kecil, dari yang terbang sampai yang melompat,
bahkan ada juga yang berbulu dan bertaring. Hmm ... Sudah seperti binatang yang mendekat pada sumber makanan. Entah bagaimana lagi aku menjelaskannya.
Aku mengalah dan kembali ke gudang sparepart meninggalkan ritual gila yang sesat! Sepertinya Pak Wiro hanya mengerjaiku saja atau mungkin saja Ayu yang melakukannya. Peduli setan!
Langkah kakiku terhenti tepat di pinggir caneyard, gending pengantin temon manten kembali berayun dari kejauhan. Memaksaku mempercepat langkah. Aku sungguh tak ingin melihat sosok Nyi Ireng lagi. Tapi dasar sial!
Lagi-lagi kesadaranku terlempar ke dalam dimensi astral, kepekatan udara di sini membuatku sulit begerak. Nyaliku langsung ciut, di tengah-tengah caneyard dekat lubang cane cutter wanita itu melayang. Padahal dia hanya diam mematung melihat ke arah berbeda.
Tapi aura kegelapannya membuat udara semakin berat, nafasku semakin sakit juga nyeri. Entah sudah berapa nyawa yang dikorbankan untuknya. Aku beringsut menjauh, perlahan-lahan.

Sungguh apes! Dia menyadariku dan mendekat!

Brengsek! LARI!
Aku segera masuk ke dalam pabrik yang sepi. Temaram cahaya kemerahan yang redup juga singup membuat jantungku memompa darah dengan kecepatan maksimum.
Langkahku terseok-seok berlari tak tentu arah, tersesat di dalam bangunan pabrik yang redup hingga di sela pipa yang besar tubuhku meringkuk, iringan gending pengantin itu semakin mendekat. 

“ … Raden … Raden …” Bisiknya lirih diantara kenong dan gendang yang mengayun.
Sambil gemetar tak karuan aku mengintip dari balik pipa besi, demit itu hanya berjarak beberapa meter dariku melayang dengan rambutnya yang menjuntai, menggedekkan kepalanya yang bertanduk dengan gerakan yang tak normal, seolah tahu tempatku bersembunyi, wanita ini menoleh.
Tangannya yang panjang itu menunjukku dengan kuku hitam yang tajam.

Gila! Wajahnya tirus seperti tengkorak terbalut kulit keriput yang menghitam. Matanya menyala merah dengan gigi yang tajam bertumpuk, seperti ikan yang hidup dilaut dalam, bertaring tanpa bibir.
Benar-benar bukan wajah yang bisa dilihat dengan tenang, aku sungguh tak sudi melihatnya dan kembali berlari.

APES! Demit itu terus mengejar sambil terus memanggilku, “… Raden … Raden … Iki Kulo Raden …”
Raden apa dasar bangsat! Argh ... Kenapa yang mengejarku selalu wanita-wanita tak normal. Kemarin Ayu sekarang demit Nyi Ireng. Sumpah serapah ku tumpah mengutuk tak habis-habis.
Tulang keringku berayun cepat tak jarang juga melompat, di antara sela pipa dan kabel tapi pintu keluar didepanku justru semakin menjauh. Kampret! Saat aku menoleh kebelakang, wanita itu masih terus mengejarku dengan gerakan leher dan tangannya yang patah-patah.
Gending pengantin menjadi soundtrack, mengiringiku berlari di antara kabel besar dan pipa yang saling bertaut. Aku bersumpah tak mau mendengar gending mengerikan ini lagi!

SIAL! AKU TERJUNGKAL!
Dan saat aku bangkit ... Nyi Ireng sudah menunduk didepanku dengan gedekan kepalanya yang semakin cepat. Dia berusaha menyentuhku! Sejengkal lagi … Jari-jemari kurus dengan lima ruas itu berhenti tepat di depan wajahku.
Kepalanya berhenti menggedek, menoleh ke arah gudang gula tempat ritual Mbah Santo, lalu kembali menatapku. Wajah pucatnya kembali tersenyum dan mata merah itu semakin membesar.
“ ... Saiki papat ...”

Berbisik, lalu mengikik lirih, seperti hembusan angin yang dingin di tengah malam …
Dan kesadaranku kembali di caneyard berdiri mematung, dengan kepala yang berat seperti dihantam balok besi, pandanganku nanar. Wajah Nyi Ireng terpatri dalam memori bawah sadarku. Ketakutan ini tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Tubuhku lemas tak bertulang, bersimpuh dan merasa lega, Nyi Ireng sudah tak ada didekatku.

Semakin hari kemampuan ini semakin terasah. Firasatku semakin tajam, pendengaran juga pengelihatanku pada mereka.
Puluhan orbs yang melayang, bayangan wanita yang menggantung terbalik, beberapa sosok putih dengan ikatan dikepalanya. Mereka menatapku tapi sosok-sosok ini tak seimbang dengan Nyi Ireng. Aku menangkup wajahku yang berkeringat dengan kedua telapak tangan yang bergetar.
Saat aku membukanya mereka telah menghilang. Suasana kembali seperti tak terjadi apapun. Beberapa orang masih mengelas di kejauhan dengan pendaran cahaya yang berkilat. Di sudut lain dua orang masih saling berbicara. Gema pukulan besi,
deru mesin traktor juga mesin mobil yang sedang diservice sayup-sayup terbawa angin. Jika saja aku mengatakan pada mereka apa yang baru saja terjadi. Aku yakin 100%  mereka semua akan mengirimku ke RSJ.
Aku harus segera menemui Aji dan mengatakan padanya jika Mbah Santo juga terlibat! Dan Nyi Ireng meminta korban lagi, kali ini papat ...
Kejadian semalam membuatku terus mengutuki diri sendiri, seandainya saja Andra yang lain kembali menemuiku pasti sejuta pertanyaan aku lemparkan padanya. Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kelebihan?
Untuk apa jika hanya dikerjar-kejar demit sinting seperti Nyi Ireng. Wajah juga tawanya yang mengerikan melekat di memoriku. Apa yang dia inginkan?
Matahari baru setinggi tombak, beberapa personil polisi sudah sibuk hilir mudik memeriksa bekas kecelakaan kemarin. Beberapa orang juga dimintai keterangan. Beberapa pertanyaan standar mereka lontarkan dan aku jawab sejujur mungkin.
Meskipun menahan kantuk dan lelah yang luar biasa, karena seharusnya aku sudah pulang, bergantian dengan Mbak Ayu yang menyebalkan.

Akhirnya menjelang tengah hari semua selesai, hasil penyelidikan akan diberikan menyusul untuk keperluan asuransi dan santunan.
Di depan pintu gudang, wajah masam Pak Wiro dan Mbah Santo terukir sedari pagi. Guratan kesal keduanya menghilang saat penyelidik menyimpulkan jika ini adalah kecelakaan kerja. Secepat itu juga garis polisi dibongkar, darah mulai dibersihkan.
Pasir di sapu bersih lalu dibuang sejauh mungkin. Karung kotor dibongkar dan diganti. Semua kembali seperti semula seolah tak pernah terjadi apapun.

Sembari mengawasi para pekerja di depan pintu gudang, ingatanku tentang kepala Pak Mamat yang menggelinding, terus berputar,
tak perlu ditanya lagi siapa yang membunuhnya. Tapi lagi-lagi tak ada bukti.

Menurut kabar yang Aji terima, hasil forensik menunjukkan jika pelaku sudah sering menjagal orang. Luka tebasan di leher Pak Mamat sangat rapih juga fatal.
Sayangnya saat kabar penemuan mayat menyebar, puluhan orang berbondong-bondong menuju TKP sebelum polisi datang. Sehingga petunjuk tentang jejak kaki dan jumlah pembunuhnya tak bisa dilacak. TKP sudah rusak, tak ada satu pun jejak tertingal.
Kadang aku berpikir mungkinkah semua orang di perusahaan ini terlibat? Kalau benar begitu aku pasti sudah masuk kandang singa.

“Ndra, kita gak bisa menunggu lebih lama. Gue harus bergerak.” Aji duduk di depan mejaku sambil mengurut keningnya.
Padahal dia tak sendirian mengusutnya tapi tetap saja sulit.

“Tapi Ji mau cari di mana? Kita juga belum tahu siapa saja yang terlibat. Bisa saja semua orang di sini.” Aku bicara sambil menguap, mataku benar-benar merah dan sepet.
Ngantuk luar biasa, setelah dikejar-kejar Nyi Ireng aku tak berani tidur, takut kebablasan dan kembali mendengar gending pengantin yang mengerikan.

“Gue tahu, tapi kalau gak dimulai juga pasti lebih banyak korban. Apalagi loe bilang kalau bakalan ada sesuatu.”
Si pitak mendengus kesal dengan wajah yang masam dan terus bicara. “Awalnya sih gue gak percaya. Tapi setelah loe bilang kalau ‘siji’ itu Pak Mamat , ‘telu’ adalah para pekerja yang tertimbun kapur, gue yakin itu bukan main-main. Bahkan loe juga sudah bilang – apa tadi?”
Aji menggaruk dagunya.

“Papat?”

“Yah itu!” Aji sepakat dengan guratan wajah yang tegas. Jika saja isi kepala kami berdua  adalah sebuah mesin aku jamin saat ini otak kami pasti berasap! Teka teki ini bukannya berkurang justru semakin pelik.
Seperti mengupas bawang, satu lapisan sudah kami buka tapi sudah ada lagi yang harus dipecahkan.

Ketukan di pintu mengejutkan kami berdua, Aji segera memberi isyarat diam!
Saat pintu terbuka Mbak Ayu berdiri ponggah sambil menyilangkan kedua tangannya, membuat kantukku terbang entah kemana.

Mataku menyalak waspada. kini aku mengerti kenapa sejak awal aku tak menyukainya.
Rupanya wanita ini memiliki sosok dibelakang punggungnya - meski samar - aku yakin dia adalah sosok wanita yang menawariku kopi. Karena meskipun wajahnya sama dengan Mbak Ayu tapi aku sangat mengenal seringai dan mata hitamnya yang nanar.
Tak cukup sampai di situ, yang lebih mengejutkan saat tatapan kami bertemu sosok - Mbak Ayu yang lain - ini tertunduk dan menghilang. Apa dia takut padaku? Atau sosok -Andra yang lain - yang ada di dalam diriku? Entahlah dan aku tak peduli!
“Mas Aji, saya mau bicara sebentar dengan Pak Andra, bisa?” Meskipun tanpa ekspresi, namun dari nada bicaranya kami berdua tahu wanita ini memaksa.

Aji tentu saja tak ingin mengalah, namun aku segera memberikan isyarat padanya.
Pria cepak itu beranjak pergi meninggalkan kami dengan lirikan tajam pada Mbak Ayu yang tetap tenang. Aku akui kemampuan wanita ini untuk mengendalikan emosi memang luar biasa.

“Mau apa?” Singkat, padat dan ketus, jadi cepatlah pergi!
“Wah, Pak Andra sekarang angkuh sekali kalau bicara sama saya?” Lagi-lagi wanita ini bicara dengan gaya centilnya. Tangannya menutup pintu ruangan dan mendekat.

Mau apa lagi dia? Bukannya pergi malah kemari.
“Semalam kenapa tak menunggu saya dulu, malah pergi begitu saja.” Wanita ini dengan santainya duduk di atas meja sambil menyilangkan kakinya, tubuhnya merunduk mendekat hingga wajah kami saling berhadapan hanya berjarak beberapa jengkal saja.
Aku begeming, kali ini dia takkan bisa menggodaku. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa mencium parfumnya yang memuakkan. 

“Buat apa saya menunggu Mbak Ayu? Lagian ritual kalian itu gila!”
Sambil menyilangkan kedua tangan di dada aku telah memastikan satu hal! Getaran aneh itu benar-benar sudah hilang.

“Pak Andra kan bisa belajar, lagian kalau punya sampeyan gak diasah nanti pergi loh!”
“Jangan sok tahu Mbak.” Aku sungguh tak sungkan lagi pada wanita ini. Tapi meskipun sikapku sungguh tak ramah, Mbak Ayu menanggapinya dengan tenang sambil terkekeh, benar-benar mengesalkan! Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk bicara dengan manusia satu ini.
“Jangan ketus begitu dong. Pak Andra tahu tidak, kalau mereka itu harus diurus.” Wanita  ini bicara mendayu-dayu membuatku risih setengah mati.

“Diurus? Memangnya anak-anak? Kalian saja yang aneh.” Ujarku sambil tertawa mencibir ucapannya yang sungguh tak masuk akal.
“Mungkin Pak Andra menganggap itu lucu, tapi mereka berguna loh!”

“Ya! Untuk orang sepertimu tentu saja!” Aku bersungguh-sungguh saat mengucapkannya.

“Orang ... Sepertiku?” wanita ini berbalik mencibir, wajah sedihnya dibuat-buat semakin mengesalkan.
“GILA!” Tegasku. Wanita ini malah tertawa seolah aku melucu dihadapannya, membuatku semakin malas saja.

“Jangan munafik, dunia ini sudah gila dari awal jadi kalau mau bertahan harus lebih gila lagi,” ujarnya sambil mengikik.

“Prinsip hidup yang sinting!”
“Saya tahu kok, pengaruh lintrik saya sudah hilang padahal gak sembarang orang yang bisa lepas. Sepertinya Mbah Santo benar, kita ini berjodoh.”

Berjodoh? Aku hanya mendengus, “Mbak Ayu apa tidak malu bicara seperti itu?” dengan nada paling ketus.
Tapi wanita ini justru tertawa terpingkal-pingkal sakit jiwa. “Pak Andra, saya benar-benar suka sama sampeyan. Seumur hidup saya selalu mengalah tapi -”

“Terus?” Aku sungguh tak peduli.

“Tapi tidak kali ini. Pak Andra harus jadi milik saya,” jawabnya cepat.
“Mimpi saja sana!” Aku beranjak menginggalkan Mbak Ayu yang masih tertawa cekikian. Gemblung!

“Mbak Adis ya? Asal Pak Andra tahu, neptu kalian itu temu pati, gak bakalan bisa bersatu.” Mbak Ayu bicara tersenggal-senggal di antara derai tawanya.
Lagi-lagi kaliamat ‘temu pati’ aku sungguh membencinya, sama seperti ucapan mertuaku saat menikah dengan Adis.

“Saya gak perduli.” Ucapku sambil berlalu meninggalkan Mbak Ayu yang masih tertawa, saat aku melihat lebih jelas, sebenarnya wanita ini tertawa sambil menangis.
Benar-benar edan!

Di dalam mobil Aji sudah terpejam di kursi belakang, sedangkan Mas Bambang setia menungguku dibalik kemudinya. Tapi bukannya pulang, Aji malah mengajakku pergi kesuatu tempat, “Kita mancing!” Si cepak bicara tanpa membuka matanya,
“HAH?!”

Si cepak ini salah bicara atau bagaimana sih?
“Mancing apa? Aku belum bilang sama Adis.” Ucapku pendek. Aku tak pernah pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Bukannya apa, aku hanya tak ingin Adis khawatir. Wanita itu cingeng bukan main!.
“Cuma sebentar.” Aji masih bicara sambil terpejam. Bersender dikursi tengah terkadang ia juga mengusap kasar kepalanya yang cepak.

Di tengah jalan poros utama, si panther hitam melaju meninggalkan jejak debu.
Kami sudah berjalan sekitar 15 menit, menyusuri areal tebu yang panas menyengat. Beberapa kali kami berpapasan dengan mobil perusahaan yang mengangkut tenaga kerja. Tak jarang juga kami menemui traktor yang sibuk membajak areal yang luas.
Debu berhambur bagai kabut, beberapa pekerja bercaping tersebar ditengah areal. Sepertinya mereka pekerja dari Divisi Riset, mengambil sample batang tebu. Padahal cuaca diluar panas bukan main.
Tapi lagi-lagi sebagai budak koorporat, demi sebingkai mimpi, demi piring yang harus di isi. Sama sepertiku kami tetap bertahan.

Kini aku tahu kenapa Aji begitu kekeh mengusut kasus ini. Meski kadang ucapannya ceplas ceplos,
tapi dedikasinya sebagai pelayan masyarakat patut diacungi jempol. Aku pikir negeri ini membutuhkan banyak aparat sepertinya. Aku masih ingat betapa keras wajah dan amarahnya melihat kematian pekerja pupuk kemarin. Seakan mereka juga bagian dari dirinya.
Aji bahkan bersumpah tak akan membiarkan Wiro dan semua orang yang terlibat lolos begitu saja.

Sepanjang jalan kami membelah areal, di kiri kanan berjejer ribuan tebu yang mulai berbunga, tanda jika harus segera di panen, jika tidak kadar gula dalam batang tebu akan berkurang,
setidaknya begitulah yang ku baca di dalam buku SOP tebal kemarin. Sepertinya jika aku resign dari sini, aku pasti bisa menjadi petani tebu yang sukses.

Mobil terguncang-guncang di jalan berlubang, hingga sampai di tengah persimpangan jalan tumpukan tanah menggunung
dengan sebuah ban hitam yang berdiri tegak menjadi tanda batas areal dan perkampungan pribumi. Saat mobil berbelok, tepat di ujung jalan jembatan besi berkarat berukuran lebar empat meter membelah sungai dengan air cokelat keruh.
Sungai ini tidak besar juga tidak kecil, mungkin hanya selebar puluhan meter dengan arus yang tenang. Di pinggir sungai rumput ilalang tumbuh lebat juga pohon ingas yang rimbun dan besar. Beberapa pohon tertutup tanaman merambat, dengan riuk jelantir menutupi hampir seluruhnya.
“Mas Aji, kita maju terus atau gimana ya?” Mas Bambang menghentikan mobil tepat didepan jembatan,

“Nyebrang saja Mas, kita mancing di sana saja.” Aji bicara dari kursi belakang. Dari kaca tengah mobil aku memperhatikan jika sepanjang perjalanan Aji kerap melihat ke belakang.
“Aji? Kita bener mau mancing?” Aku masih ragu dengan ucapan si cepak. Pasalnya tak ada satu pun joran yang kami bawa.

Aji hanya mendehem singkat, lagi-lagi dia melihat kebelakang. “Mas Aji dari tadi nengok terus kenapa toh?” Mas Bambang mewakilkanku bertanya.
“Berhati-hati itu lebih baik.” Singkat dan jelas, meninggalkan kerutan di wajah Mas Bambang yang bingung.

Di seberang sungai puluhan rumah panggung berbahan kayu berjejer dengan atap genting. Masing-masing rumah mempunyai undakan tangga dengan tinggi lebih dari dua meter.
sepertinya perkampungan ini sudah lama berdiri. Beberapa rumah berdinding kayu sudah mulai menghitam, bukti jika usianya sudah puluhan tahun. Bentuk rumah adat di lampung ini hampir sama dengan rumah adat di Palembang. Hanya bentuk tangganya saja yang berbeda.
Tatapan heran para warga terpaku pada panther hitam yang membelah jalan perkampungan. Mobil terus masuk ke dalam perkampungan, melewati jalan tanah yang becek, di pinggir sungai puluhan sampan terikat di pancang kayu. S
epertinya selain bekerja di perusahaan sebagian penduduk di sini juga bekerja sebagai pencari ikan. “Mas Bambang di depan berhenti ya?” Aji menunjuk dengan tangannya ke arah rumah panggung bercat hijau yang cukup besar.

“Enggih Mas Aji!”
Mobil berhenti tepat di depan halaman rumah, menginjak tanah yang becek berwarna kehitaman. Aku yakin kampung ini pasti banjir jika hujan deras, genangan air di bawah  rumah sudah bisa membuktikannya. Ekstrem juga!
Bayangkan saja, jika air meluap maka halaman rumah akan menjadi satu dengan sungai. Kalau ada buaya bagaimana ya? Tidak lucu kan kalau pagi-pagi membuka pintu sudah ada tamu yang merayap.
Dan satu lagi, Si cepak bilang katanya mau mancing, tapi malah berhenti di sini. Aku jadi curiga makna kata ’mancing’ yang Aji ucapkan. Mungkinkah bukan memacing ikan tapi hal yang lain? 

Ah! Begitu rupanya, si cepak belum percaya dengan Mas Bambang!
Seketika Aku paham maksud yang sebenarnya. Memancing informasi.

Dari dalam rumah, seorang pria tua berpeci hitam keluar menyambut Aji yang sudah turun mendahului kami. Sepertinya si cepak sudah sering kemari. Di depan anak tangga Aji memintaku untuk menunggu dengan Mas Bambang.
Sedangkan keduanya naik ke dalam rumah meninggalkan kami berdua.

Sudah hampir setengah jam kami menunggu di depan undakan tangga, tapi tak ada tanda-tanda jika Aji sudah selesai. Aku masih diam membisu dengan Mas Bambang.
Sebenarnya ada satu hal yang ingin aku tanyakan pada pria disebelahku ini. Semenjak melihat foto istrinya, ada satu hal yang mengganjal di pikiranku.

“Mas? Saya boleh tanya sesuatu?” Aku membulatkan tekat untuk mengatakannya.

“Eh, yo monggo Pak.”
“Tapi agak pribadi, boleh?” Tanyaku sekali lagi. Sebenarnya Mas Bambang sedikit ragu saat menjawabnya, tapi akhirnya pria ini menjawab dengan anggukkan kepalanya.

“Istri Mas Bambang, gimana ceritanya bisa minggat?”
“Oh! Iku ...” Wajah dan suara Mas Bambang langsung berubah, dia meremas kedua tangannya sekuat mungkin menahan gempuran dadanya yang nyeri.

“Waktu itu anak saya, Dewi baru berumur dua tahun, saya sudah bekerja di sini tapi baru beberapa bulan.”
Pria ini mulai bicara, meski sedikit sesak ia terus melanjutkan ucapannya.

“Awalnya semuanya normal Pak Andra, tapi lama-kelamaan istri saya mulai aneh, suka ngelindur, manggil nama laki-laki lain waktu tidur. Waktu saya tanya dia selalu bilang bukan apa-apa, sampai kami kerah.
Wajar saya marah! Siapa yang terima Pak, kalau istri kita manggil nama laki-laki lain ya toh?” Aku hanya manggut-manggut mendengar ceritanya.

“Mas Bambang yakin dia selingkuh?” Sepelan mungkin aku mengatakannya.
“Yah gak tahu juga Pak, soalnya tahu-tahu dia sudah ndak ada di rumah waktu saya pulang kerja.” Mas Bambang mengusap matanya yang berair.

“Saya bahkan ndak sempat tanya siapa laki-laki itu. Tapi saiki kulo wes iklhas Pak.”
Suaranya yang serak, juga getaran di bahu Mas Bambang melukiskan betapa besar kesedihannya.

“Jadi Mas Bambang ngak sempet tanya sama Istri sampeyan?” Pria ini hanya mengangguk. 

“Mas Bambang gak merasa ini aneh?” Tanyaku lagi.
“Ya pastinya Pak! Tapi saya mau nanya sama siapa, lah Istri saya saja gak tahu minggat kemana. Saya sudah pulang ke kampung, siapa tahu dia pulang ke rumah orang tuanya tapi dia juga gak ada disana.”

“Sudah lapor polisi?”
“Sudah, tapi sampai sekarang belum ketemu. Sudah tujuh tahun Pak, tapi saya masih inget sekali sama dia. Saya menyesal sudah marah-marah sama dia waktu itu.” Mas Bambang tak bisa lagi menahan tangisnya.
Isakannya membuat hatiku nyeri, aku sepenuhnya memahami bagaimana perasaan Mas Bambang saat ini.

Penyesalan itu seperti luka yang terinfeksi. Semakin lama bukannya sembuh tapi justru bertambah ngilu. Darahnya tak pernah berhenti mengalir juga bernanah tanpa ada obatnya.
Lukanya semakin besar, menyesakkan, aku yakin Mas Bambang masih bertahan mungkin demi putri tunggalnya, Dewi. Jika tidak entah dari kapan dia nekat. Kenapa aku begitu yakin? Karena tangisan seorang pria hanya terjadi jika itu sudah menggoncang jiwanya.
Mas Bambang masih terisak penuh penyesalan. Membuatku merasa jika aku sangat beruntung, Adis sudah memaafkanku. Hubungan kami kembali seperti semula. Aku tak bisa membayangkan jika hal buruk yang di alami Mas Bambang terjadi juga padaku.
Aku pasti sinting dan gila betulan. Aku hanya memiliki Adis. Wanita itu segalanya bagiku. Aku tak butuh apapun, Adis seorang sudah lebih dari cukup, aku tak inginkan apapun lagi. Aku masih terus mengusap punggung Mas Bambang yang berguncang,
pria ini benar-benar menyayangi istrinya.

Tunggu! Jika begitu, kecurigaanku selama ini benar. Sosok pengantin yang kerap menggangguku dan Adis adalah istri Mas Bambang. Tahi lalat mereka sama. Hatiku tetiba ngilu, bagaimana jika Mas Bambang tahu?
Tidak! Lebih baik aku menahannya. lagi pula pasti dia takkan percaya karena tak ada bukti apapun!

Pekerjaan rumahku kini mencari tahu sosok pria yang kerap di rumah Pak Wiro. Aku yakin pasti bisa menemukan petunjuk juga bukti.
Wiro, Ayu, Juga Mbah Santo? Kenapa mereka melakukan hal ini? Untuk kekayaan?

Dan juga Pak Robert. Benarkah dia terlibat, Lalu bagaimana dengan petinggi perusahaan yang lain? Terakhir hubungan Nyi Ireng dan sosok Andra dalam diriku ?
Aku menggelengkan kepalaku berulang kali, simpul misteri ini justru bertambah.

Akhirnya Aji keluar dari dalam rumah bersama pria pribumi yang memperkenalkan dirinya sebagai Kyai Herman. Pria ini bicara dengan logat lampungnya yang khas.
Aji berbisik, menjelaskan jika Kyai Herman adalah pemimpin adat kampung pribumi yang bersitegang dengan perusahan mengenai permasalahan batas tanah.

“Loe ingat masalah hak guna usaha yang pernah gue bilang?”
“Dia bisa bantu kita, rekan gue di dalam lagi cari bukti penyelewengan mereka. Meski sulit kita harus optimis.” Terangnya lirih sambil melirik Mas Bambang yang sibuk mengelap matanya yang basah.

“rekan?”

“Loe kira gue sendirian?”

“Siapa ji?”
“Belum waktunya!” Lagi-lagi si cepak sok misterius!

Kami sempat berbincang sebentar dan kembali menyusuri jalan merah berdebu, kembali ke kompleks perumahan. Selama perjalanan pulang kami bertiga terdiam, sibuk dengan pikiran dan kesimpulan masing-masing.
Sedangkan mataku menyapu keseluruh areal tebu. Mengingat tiap petak dan menyadari jika aku pernah melihat semua ini, meskipun tak yakin ... Tempat ini tak asing! Bahkan rumah hijau itu juga.
Aku yakin sekali pernah melihat tempat ini sebelumnya. Sungai itu juga, tapi di mana? Mimpi? Semakin aku mencoba mengingat, kepalaku berdenyut semakin nyeri!
teman-teman kalau mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa,

Terima kasih, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan.

karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123

simpledandism123 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Mar 23
Assalamualaikum,
Waktunya saya Up!
"TEBU MANTEN"
Part ke 7
Untuk yang belum baca bisa ke akun KeryaKarsa atau ke profil saya
Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #horror #horor #malamjumat Image
Suara rintihan korban yang tertimbun ratusan ton kapur semakin lemah. Di bawah sela tumbukan karung yang putih, mengalir cairan merah dan kental. Menit berikutnya forklift datang, satu persatu karung di tarik dari bagian atas dengan hati-hati.
Aji sigap mengabarkan paramedis dengan radionya. Suasana tegang dan mencekam. Kami berpacu dengan waktu, secepat mungkin menyelamatkan para korban.
Read 126 tweets
Mar 16
Assalamualaikum.
Malam ini waktunya Up!
Part 6 "Tebu Manten"
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa ke akun atau ke KaryaKarsa, @simpledandism123
Ijin tag ya Bang,
@IDN_Horor @bacahorror_id @SpesialHoror @threadhororr #malamjumat #horor Image
Sedetik sebelum aku berbalik, seseorang memiting leher dan menahan kepalaku, menarik tubuhku kedalam bayangan semak. Aku mencengkram tangannya berusaha melepaskan diri namun cekikannya makin kuat. Sesak! Wajahku memanas dan leherku nyeri, tekanan di kepalaku semakin kuat.
Dia pasti seorang pembunuh,

“Diam! Gue bakal lepasin tapi jangan teriak!” Bisiknya penuh intimidasi, Aji?!
Read 167 tweets
Mar 9
Assalamualikum.
Malam jumat waktunya saya up!.
Part 5 "TEBU MANTEN"
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa cek akun profil saya atau ke watpad aatau ke Karyakarsa.

Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #malamjumat #horror #horor Image
Segelas air di atas meja tandas berhasil membuatku kembali sadar sepenuhnya. Rupanya aku masih di dalam ruangan, tertidur di atas meja kerja. Jam di dinding menunjukan pukul 02.00 WIB. Kapan aku kemari? Bukannya tadi aku sedang menghitung di sudut gudang?
Sekali lagi bisikan itu kembali,

"... Telulas irigan, estri lan jaler, RADEN ... "

Jam 02.00 WIB.

Lagi-lagi jam yang sama dan sudah kesekian kalinya aku mimpi buruk. Jantungku belum juga tenang saat ...
Read 163 tweets
Mar 2
Sudah jam delapan, ayo kita mulai
Part 4 "TEBU MANTEN"
Bismillah, Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #horror #horor Image
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa ke KK dengan user yang sama atau ke profil twitter saya.
Suara gamelan terdengar mengayun lirih ...
Lambat laun aku mengenali irama kenongnya. Seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi di mana? Lagian siapa malam-malam begini memutar kaset gending beginian ...
Read 182 tweets
Feb 23
Janji adalah hutang, saatnya untuk melunasi hutang saya,
Part 3 "TEBU MANTEN"
Kita mulai ya, Bismillah.

Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #Horror #ceritahorror
Untuk yang mau baca part sebelumnya bisa ke akun karya karsa saja, tenang ini saya buka kok.
karyakarsa.com/simpledandism1…
Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.
Read 119 tweets
Feb 16
Maaf ya mundur satu jam dari janji awal. baiklah kita mulai.
@IDN_Horor #IDNH #malamjumat #horror #Horrorindonesia @threadhororr @karyakarsa_id Image
Karena Adis tak suka tidur dalam suasana yang gelap sedangkan aku tak bisa tidur jika lampu menyala. Jalan tengahnya pintu kamar kami biarkan terbuka jadi masih ada cahaya untuk Adis dan tak terlalu silau. Aku sudah hampir terlelap, namun bisikan lirih mencegahku.
Read 123 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(