Dikepung rasa takut yang tidak tertahankan, mendadak Kenduri melihat sinar lampu yang begitu kilau. Ia memejamkan pandangnya sejenak lalu perlahan-lahan membuka matanya.
Teranglah sekarang dan ia bisa melihat seperti apa tempat yang dimasukinya. Lorong sempit itu menjorok jauh ke dalam. Kenduri menduga pula kalau lorong itu jika ditelusuri akan membawanya ke satu lorong lain, bahkan mungkin berlorong-lorong.
Mula-mula Kenduri mengerti bahwa ia tidak perlu membuat-buat rasa penasaran, atau kalau penasaran itu terlanjur ada ia tak usah menurutinya.
Ungkapan bahwa rasa penasaran membunuh kucing kerapkali benar. Namun, Kenduri belakangan tidak tahan berlama-lama diam. Ia pun beranjak untuk mengetahui lebih banyak.
Pelan-pelan ia melangkah. Tangannya meraba-raba dinding batu yang disemen rata. Tempat itu sebenarnya lebih tepat disebut terowongan. Tingginya sedikit lebih tinggi dari tubuh Kenduri, lebarnya hanya muat dilewati satu orang.
Tiap beberapa meter terpasang lampu bercahaya kuning di kanan atas tembok, lampu itu diberi kurungan besi. Juga terlihat saluran udara meski itu tidak banyak menolong. Lambat tapi pasti Kenduri tiba di ujung lorong yang berliku ke kiri.
Diikutinya arah itu, dan tak lama sesudahnya terowongan berbelok ke kanan. Belokan kedua sangat pendek, sehingga ia menikung lagi ke kanan. Sekarang terowongan itu kelihatan panjang. Selain itu tampaknya ada beberapa ruang di depan, terutama di ujung.
Kenduri digelayuti ragu sejenak. Berpaling atau menelusuri tempat itu sampai habis. Namun ia ingat perjanjian yang ia buat bersama dirinya seorang, bahwa ia bertekad menyelidiki rumah itu.
Dan itu seakan-akan takdir yang tidak dapat ditolak. Betapa kuatnya keinginan meninggalkan rumah itu, di ujungnya ia tetap kembali.
Kenduri akhirnya mematuhi janjinya. Ia juga mengira kakinya sudah kadung tercebur, basah saja sekalian. Apa bedanya di sini dengan di luar bertemu dengan Reby kalau ujungnya sama-sama petaka. Begitulah keadaannya. Ia tidak tahu mana yang benar.
Pelan-pelan ia sudah sampai di tengah terowongan. Rupanya tidak ada ruangan lain di tengah lorong, melainkan hanya satu di ujung. Dan sekarang gadis itu menangkap samar suara manusia, bukan saja satu, tetapi banyak.
Ia makin ingin tahu apa yang ada di sana. Mendekatlah ia kian dekat. Suara-suara itu bertambah jelas. Seperti satu perkumpulan rahasia yang sedang mempercakapkan suatu topik serius.
Ia mengenali beberapa suara di dalam sana, yakni Hasana, Nasikhin, Barry, dan gadis dari kamar 20 yang terakhir kali disebut bernama Mirantih.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Mirantih yang biasanya pendiam malam ini justru kedengaran cerewet. Malah agaknya Mirantih yang memimpin perkumpulan itu.
Kenduri berhenti. Jaraknya dengan ruangan rahasia itu tinggal sejengkal, hanya terpisah pintu besi yang terbuka sedikit. Melalui celah itu suara-suara terdengar.
Lalu ia mengintip ke dalam ruangan sebelah kanan. Tiada seorang pun. Mungkin mereka terpusat di sebelah kiri, pikir Kenduri. Dan ia tidak berani memasuki tempat itu.
Sesudah itu pembicaraan orang-orang terhenti sejenak, digantikan siaran radio.
"Mari simak bersama, pasti ada cerita menarik malam ini," suara Mirantih menengahi.
Yang mengudara selanjutnya adalah iklan-iklan yang dibawakan penyiar radio. Kenduri menunggu di luar dengan pendengaran terpasang penuh. Akhirnya iklan-iklan itu habis. Penyiar segera memandu segmen acara.
"Kembali lagi bersama saya Ricky di acara Cermat, cerita malam keramat. Pasti sudah banyak pendengar yang menunggu-nunggu cerita mendebarkan malam ini. Seperti biasa akan ada penelepon yang berbagi kisah-kisah pengalaman mistis kepada semua pendengar.
Tapi khusus malam ini ada yang spesial. Saya baru saja menerima telepon dari seseorang bernama Reby, dan ia sangat berharap bisa menceritakan kisahnya. Hm, tampaknya ini sangat serius. Jadi tambah penasaran, kan?
Oke, langsung saja, kita sudah terhubung dengan Reby. Halo, Reby!"
"Ya, Halo, Ricky, salam untuk pendengar sekalian di mana pun berada. Saya tidak punya banyak waktu, jadi, langsung saja, saya akan menceritakan sebuah rumah di Jakarta,
...yang mana pernah menjadi tempat perkumpulan ajaran sesat. Rumah itu terbakar habis tiga tahun lalu, tetapi masih memakan korban sampai hari ini."
"Maaf, Reby, boleh dikasih tahu sedikit lokasinya, dan dari mana kamu mendapatkan cerita ini?"
Reby langsung memberitahukan lokasinya secara rinci, dan katanya lagi,
"Tempat ini dulu dikenal bernama rumah kos 44. Saya sendiri adalah bekas penghuni kos itu, satu-satunya yang berhasil selamat."
"Maksudmu, semua penghuninya tewas dalam kebakaran? Oh, tunggu, sebelumnya juga ada yang bercerita tentang rumah yang sama, kalau tidak salah si penelepon namanya..."
"Percaya atau tidak, saya satu-satunya orang yang tahu kisah itu. Wanita yang menelepon sebelumnya itu punya nama yang sama dengan salah satu penghuni yang tewas."
"Jangan bercanda, Reby, maksudmu dia..."
"Maaf, tidak ada banyak waktu. Saya menelepon malam ini dengaan tujuan meminta tolong kepada pendengar."
Penyiar segera maklum. Mulai sekarang dan seterusnya Reby akan bercerita selengkapnya.
"Saya tinggal di rumah kos 44 dari menjelang akhir tahun 1997 sampai pertengahan 1998. Tidak sampai setahun. Semester satu saya masuk. Abang saya lebih dulu di situ, jadi, kami berdua tinggal satu kamar...
...Semua orang di sana sangat akrab satu dengan yang lain, lebih-lebih dari keluarga. Mula-mula itu mengherankan. Asal tahu saja, abang saya sudah tinggal di sana tujuh tahun sebelum saya datang.
...Ia tampak tidak peduli apa pun kecuali terhadap orang-orang di rumah itu. Bahkan ia bergelagat tidak mau menikah. Dan dengan bertambahnya hari saya akhirnya melihat sejumlah perubahan pada dirinya. Dia punya pandangan hidup yang aneh.
...Menurutnya hidup tidak hanya sekali, tetapi akan berkali-kali, seperti besi yang dapat dilebur lalu dibentuk kembali. Karenanya dia mengatakan tidak perlu takut terhadap apa pun, sebab kematian itu tidak ada.
Para penghuni selalu mengadakan perkumpulan tiap sabtu malam, kecuali saya. Mulanya tak sedikit pun saya menggubris hal itu, hingga lama kelamaan saya jadi mau tahu.
...Dalam perkumpulan sabtu malam disyaratkan tiap-tiap orang membawa persembahan berupa kepala kambing yang telah diawetkan. Ada 23 pajangan kepala kambing di satu ruangan yang tampak mencolok.
Itu milik mereka yang harus dibawa saban sabtu. Perkumpulan itu dipimpin seorang gadis muda yang penampakannya paling aneh di antara semua keanehan. Gadis itu menempati satu kamar di lantai dua.
...Ia tak pernah mengangkat wajahnya, tetapi pernah terlihat oleh saya bahwa ia berwajah amat lisut, seolah-olah kemudaannya sirna. Namanya Mirantih. Dengar-dengar dia adalah anak pasangan pemilik rumah itu.
...Mirantih adalah sosok yang paling disayangi sekaligus dihormati semua orang. Sukar menjelaskan hal ini. Begini, sebetulnya saya menganggapnya gila atau mungkin dalam pengaruh, entah obat atau hal lain.
...Mirantih senang berkhalwat di kamarnya dan cuma keluar sekali dalam sepekan. Namun semua orang begitu perhatian padanya, kerap mengirimi apa pun melalui perantaranya, yaitu ibunya. Namun demikian, saya pernah menyaksikan kejadian Mirantih yang luar biasa.
...Suatu sabtu seorang penghuni membawa padanya seekor kucing abu-abu mati dengan badan hampir membusuk. Mirantih kemudian membawa kucing tersebut ke kamarnya. Tak lama ia kembali bersama kucing itu yang tiba-tiba berubah lincah dan lapar.
Setelah berbulan-bulan saya jadi tahu kalau seisi rumah itu adalah penekun sebuah ajaran yang aneh—atau sesat. Sewaktu-waktu saya mendengar keributan dari rubanah. Saya pun menyelidiki suara-suara itu hingga saya menemukan mereka sedang berteriak histeris di depan sebuah patung.
...Penyelidikan saya itu belakangan menjadi sebab saya harus pergi dari rumah itu. Mungkin saja ada yang bertanya, mengapa saya tidak terlibat bersama mereka. Sebab sedari awal saya memang berencana tinggal hanya sementara waktu.
...Kira-kira dua pekan sesudah saya pindah saya mendapat kabar malam hari bahwa rumah kos 44 ditimpa kebakaran dahsyat. Saat itu juga saya meluncur ke lokasi. Menyaksikan kobar api yang tingginya seakan-akan melangit.
...Hanya dengan melihat apinya saya segera yakin bahwa tidak ada harapan bagi siapa pun dapat selamat. Keyakinan itu persis sama dengan kenyataan. Tiada seorang pun yang beruntung. 23 orang semuanya hangus.
...Penyebab peristiwa itu tidak pernah terungkap. Tidak ada jejak arus pendek atau apa pun itu. Api seperti tiba-tiba saja ada lalu menghabisi semua-mua yang ada di dalam bangunan itu.
...Satu tahun berselang saya telah melupakan tragedi itu, termasuk mengikhlaskan kepergian abang saya. Namun, suatu hari saya melihat satu pria yang tampak berumur tiga puluan memasuki rumah itu pada malam hari.
...Tentu saja saya langsung mengejarnya lalu menjelaskan kenyataannya. Pertama kali pria itu menuduh saya gila, tetapi entah bagaimana, tiba-tiba ia tampak ketakutan. Lalu dia membenarkan perkataan saya. Dan malam itu saya membantunya berkemas pergi.
...Jika saya mengira itu sudah selesai, ternyata tidak. Beberapa hari kemudian ia ditemukan tewas di rumah 44 oleh sepasang muda-mudi pada malam hari. Kematian tersebut dilaporkan ke pihak yang berwajib.
..Pemeriksaan otopsi kemudian menyatakan ia tewas karena luka dan pendarahan hebat di organ pencernaan. Lelaki itu menelan pecahan kaca yang tidak karuan banyaknya. Tentunya ini mengherankan, sehingga saya menelusuri informasi mengenai keadaan terakhir korban sebelum kematiannya.
...Keluarganya menuturkan bahwa mendiang menunjukkan perubahan drastis sejak ia kembali dari rumah 44. Lelaki itu seperti manusia yang tidak punya pikiran maupun ingatan. Dia pergi tanpa diketahui keluarganya sampai akhirnya tewas."
Kenduri menyimak setiap kata yang terdengar dari speaker radio. Sukar dipercaya, tetapi itulah yang ia dengar. Dan Reby telah berbuat sejauh itu, memberitahukan semua orang,
yang artinya ia punya pertimbangan serius sebelum melakukan hal tersebut. Secara pasti batin Kenduri bergejolak. Antara yang benar dan salah. Tetapi sial, jika Reby ternyata benar, Kenduri juga telah terjebak di tempat yang tidak seharusnya.
Reby juga meceritakan kisah Aryani yang berakhir di rumah perawatan mental, dan akhirnya ia menyebut nama Kenduri.
"Dan Kenduri malam ini terjebak di dalam terowongan terkutuk itu. Saya harus mengeluarkan dia secepatnya dan inilah tujuan saya bercerita...
...Kepada siapa pun yang berkenan membantu, mohon segera datang ke lokasi. Harap diingat, terowongan bawah tanah itu ditutup oleh pintu besi yang begitu kuat."
Ketika Reby memohon bantuan kepada semua pendengar, Kenduri akhirnya mengerti siapa yang benar. Namun ia hanya dapat menyesali semua itu.
(28)
Sudahlah terang benderang masalah ini. Kebenaran tentang realitas terpampang di depan mata, tidak lagi samar dan berbayang. Akan tetapi kebanyakan orang sesungguhnya tidak pernah siap menerima kebenaran.
Seperti beberapa kisah tentang wanita yang mencurigai kekasihnya main serong dengan wanita lain, dan ia meyakini kebenarannya memang begitu, lalu wanita itu diam-diam menyelidiki suaminya sehingga ia memperolah kenyataan yang sama persis dengan dugaannya.
Walhasil wanita itu jadi hancur, lalu ia senang melakukan hal-hal gila, dan dalam hatinya ia tak pernah bisa menerima prasangkanya berbuah kebenaran. Tidakkah mestinya ia berbahagia suaminya selingkuh, sebab itu adalah kebenaran yang ia mau, alih-alih menyesalinya?
Demikian pula yang menimpa Kenduri malam ini. Dari semula ia berkeinginan menyelidiki rahasia rumah 29 lantaran ia meyakini ada yang tidak beres.
Berbagai prasangka dan tindakan secara sengaja telah mengantarkannya sampai ke sini. Bukan semata-mata kebetulan. Ruang bawah tanah ini adalah maunya sendiri, bukan maunya pihak lain.
Benar bahwa awalnya dia tidak tahu, tetapi saat mendapatkan informasi tentang itu, dia punya pilihan yang terbuka dan bebas, tertarik atau tidak tertarik. Dan dia telah tertarik menggali kebenaran itu yang berangkat dari keyakinannya.
Lantas seperti apa kenyataan sekarang? Kenyataannya Kenduri menyesali perbuatannya padahal perbuatan itu sendiri menuntun pada kebenaran yang sesuai keyakinannnya. Bukankah ini lucu? Adakah yang lebih lucu dari orang yang menolak sesuatu yang diinginkannya mati-matian?
Namun, mungkin juga ada yang berpendapat kalau Kenduri bukan menyesali kebenaran, tetapi kesalahan prasangkanya terhadap Reby. Hey, perkataan Reby itu hanya fakta sekunder yang bergantung pada realitas primer,
yang berarti itu dapat dikesampingkan tanpa ada konsekuensi berlebihan. Bagaimana seandainya Reby tak pernah ada, bukankah Kenduri tetap pada keyakinannya untuk menyelidiki rumah ini?
Sesungguhnya pada sebagian hal, yang menimpa Kenduri malam ini dapat dikatakan sebagai komedi. Tetapi komedi kadang-kadang juga tersaji dalam bentuk tragedi. Malah jujur saja, semua ini berawal dari komedi tentang selisih nilai uang yang tak seberapa.
Andaikata Kenduri menerima kenyataan bahwa ia hanya dapat hidup dengan uang saku pas-pasan atau sangat pas-pasan, nasibnya tidak akan begini.
Juga tidak benar jika nasib Kenduri dilimpahkan kepada bapaknya yang mengarahkan dia untuk tinggal di rumah Nasikhin, sebab Kenduri sudah cukup dewasa memilih. Problema gadis itu sesungguhnya hanyalah ketidakpuasan terhadap jumlah yang ia miliki.
Ia menginginkan tinggal di rumah Nasikhin agar bisa menabung, padahal tujuannya datang kemari adalah untuk belajar, bukan menabung. Di situlah letak komedinya.
Menarik dicermati bagaimana Kenduri akan menyelesaikan komedi yang sudah ia buat.
****
Pada puncaknya Kenduri berharap ia tidak pernah berada di tempat itu. Tangis turun dari bola matanya, hanya itu, sementara angannya terbang ke mana-mana. Seandainya, andaikata, jika saja, dan semua perumpamaan yang tidak mungkin terjadi karena masa lalu sudah tertinggal jauh.
Reby telah menutup kisah dan penyiar radio menggilirnya dengan iklan-iklan. Lalu iklan yang mengudara itu berhenti sama sekali. Radio dimatikan, kemudian Mirantih berkata, "Anak itu ada di sini dan telah mengetahui semuanya."
Hasana menyahut dengan tawa, "Kita bisa menyeretnya ke sini dan menyembelih batang lehernya untuk dipersembahkan kepada Kardizun!"
Tetapi Mirantih mengelak, "Jangan! Biarkan dia seperti itu. Dia akan mempersembahkan jiwanya kepada Kardizun dengan penderitaan yang berlama-lama."
"Kami hanya mematuhimu, Mirantih, apa yang kami dengar dari ucapanmu itulah yang pantas kami lakukan. Kau adalah Kardizun itu sendiri."
Mirantih berkata lagi, "Kita hanya perlu menjenguknya sekarang dan memberitahu bahwa kehadirannya di tempat ini adalah demi keabadian hidup kita."
Kenduri telah mendengarkan semua hal itu tanpa cela, membuatnya akhirnya berpikir bahwa ia harus melakukan sesuatu alih-alih pasrah. Melawan atau lari.
Apa pun itu, ia merasa harus mengulur waktu, kalau-kalau Reby dengan bantuan orang lain berhasil membuka pintu baja untuk menolongnya.
Sesaat Mirantih berkata yang terakhir, terdengar langkah ramai-ramai berjalan mendekati Kenduri di luar. Gadis itu rupanya dapat mengkondisikan dirinya lebih cepat dari yang terbayangkan, dan ketik langkah-langkah itu kian mendekat, Kenduri berlari menjauh.
Kemudian dia berhenti di kelokan terowongan, mengamati yang terjadi berikutnya. Namun, penglihatannya tak menangkap apa pun melainkan dinding sempit dan pintu ruangan di ujung sana. Meski demikian ia tetap menunggu, hingga setelah itu terdengar ramai langkah dari arah sebaliknya.
Kenduri yakin mereka tiba-tiba ada di belakangnya, sehingga ia berlari kembali ke ujung. Kepalang tanggung, dia pun menerobos masuk ke dalam ruangan tersebut.
Kenyataan tempat itu kosong manusia. Tidak seorang pun ada seperti dalam pikirannya. Hanya ruang persegi delapan dengan dinding baja yang dibuat sebegitu rupa sehingga sangat berkilau. Begitu kilaunya sampai Kenduri dapat melihat wujudnya memantul jelas dari dinding tersebut.
Butuh waktu bagi gadis itu untuk menyadari situasi yang baru. Dan ternyata ruangan itu tidak sama sekali kosong. Kenduri mendekat ke arah tertentu. Ada sebuah altar di sudut sebelah kiri yang di atasnya berdiri patung berwujud manusia berkepala sapi.
Di bawah kaki patung tersebut diletakkan kepala-kepala kambing yang jika dijumlah ada 23. Kenduri menduga keberadaan altar beserta semuanya berkaitan dengan ajaran yang telah dikisahkan Reby.
23 kepala kambing menjelaskan jumlah penghuni rumah, dan satu di antara kepala-kepala itu adalah kepala kambing jantan yang paling besar dengan tanduk paling panjang. Itu adalah kepunyaan Mirantih yang menjadi pemimpin bagi yang lain.
Kenduri jadi lebih terperangah dengan penemuan itu. Sesekali ia menoleh ke sekitar, mengira orang-orang itu ada di ruang tersebut. Namun, dia tidak menemukan siapa pun, dan belakangan menganggap semuanya tidak lebih dari rasa ngeri yang berlebihan.
Takkan ada ceritanya orang mati bisa kembali. Adapun gagasan sesat tentang hidup yang abadi dan sosok aneh bernama Kardizun, bagi Kenduri itu hanya angan-angan.
Kalau begitu, pikirnya, masalah ini selesai. Tinggal bagaimana caranya keluar dari terowongan yang penuh omong kosong itu. Dan Kenduri baru teringat suatu perkara penting yang ia lupakan. Ketika ia melihat sosok berwujud Hasana di ujung tangga beberapa waktu lalu,
Hasana tampak membelakangi pintu. Kenduri tak ingat bagaimana terakhir kali ia masuk, apakah ia menutupnya dengan mendorong atau menarik, dan itu bisa dimaklumi karena panik.
Namun ia yakin betul apa yang dilihat sebelumnya. Untuk membuka pintu itu dari dalam seharusnya didorong, bukan menariknya seperti tadi. Masalah semacam ini amat jarang terjadi, tetapi sangat jarang tidak berarti mustahil.
Kenduri juga percaya, yang menimpa Reby disebabkan hal yang sama. Pemuda itu mungkin juga sedang panik sehingga ia kehilangan orientasi terhadap soal-soal kecil, termasuk membuka pintu sesuai arah yang benar.
Dengan mengira masalahnya selesai, ia siap-siap meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia segera mendapatkan perkara yang lain. Baru saja dinding ruangan itu jadi tampak aneh.
Kenduri melihat begitu banyak pantulan dirinya, yang seharusnya paling banyak enam, nyatanya ada berpuluh-puluh bahkan ratusan. Sejenak gadis itu mematung, mengamati sosoknya satu persatu.
Dan rupanya tiap-tiap pantulan itu bergerak tanpa menyerupai objek aslinya. Tidak hanya itu, satu dari mereka dapat bersuara dan Kenduri bisa mendengar yang dikatakan. Saat ia menganggap ini mustahil, sesungguhnya ia harus bersiap menghadapi lebih banyak kemustahilan.
Suara satu pantulan itu, seperti sebuah keniscayaan, segera diikuti suara pantulan yang lain, sehingga tanpa disadari Kenduri mendengar semakin banyak suara. Masing-masing membuat perkataan yang tidak jelas.
Hanya riuh bunyi yang tertangkap dan membuat pekak telinga. Namun ia tak mampu menghentikan mereka bicara, justru yang terdengar kian bising, bahkan pikirannya itu telah terdistorsi sehingga ia kehilangan orientasi untuk melakukan tindakan.
Pada akhirnya Kenduri hanya berdiri mematung setelah tak lagi sanggup berteriak. Terkadang ia terkekeh tanpa sebab sembari melamun macam orang linglung, sampai kemudian ia melihat bayangan dirinya hilang seluruhnya digantikan pemandangan yang lain.
Kenduri menyaksikan puluhan orang berhisteria memuja patung di atas altar, menyuarakan rapal-rapal yang tak jelas artinya tetapi amat nyaring. Perempuan itu tak mengerti sedikit pun, dan lebih-lebih mengherankan mengapa pantulan wujudnya tak lagi terlihat.
Dan pengetahuan tentang itu datang belakangan. Kenduri menginsafi bahwa dirinya yang sejati tidak lagi berada di ruangan itu, melainkan di ruang lain.
***
"Bagaimana caramu membiayai semua ini?" pengurus Yayasan Panti Waras bertanya pada Reby pada suatu sore yang teduh.
"Aku juga tidak tahu. Masih seperti dulu, menjual kaos dan menyanyi."
"Begini, ayah pasien bernama Kenduri baru saja meninggal dan ibunya stroke. Walinya telah menghubungi kami untuk menyerahkan kembali perawatan Kenduri ke yayasan ini."
"Sepertinya aku sudah tahu lebih dulu."
"Begitukah?"
"Aku yang menyarankan kakaknya untuk mengembalikan anak itu ke sini."
"Tapi dalam permohonan yang kami terima, mereka melimpahkan setengah biayanya padamu."
"Itu juga saranku. Mereka sedang kesulitan."
"Kau tidak bisa terus-terusan begini. Aku mengenalmu sejak kecil. Ini tentang rasa bersalah dan tanggung jawab yang tidak perlu."
"Ya, sebagaimana kau menjebloskanku di tempat ini agar lepas dari narkoba. Ayah dan ibuku bertugas di Medan saat itu, bahkan mereka tidak pernah tahu anaknya pernah hampir mati berkali-kali. Kau mengambil tanggung jawab yang tidak perlu dan aku sangat berterima kasih."
"Astaga, itu sudah cukup lama."
"Jasa dan kebaikan tak pernah mengenal waktu."
"Kau ini!"
"Aku bersyukur malam itu aku juga menemukan Pipit."
"Ya. Itu adalah berkah. Bagaimana dengan kalian? Dia sudah diwisuda katamu? Astaga, semua orang di kampus itu lebih cepat lulus dibandingkan kau."
"Aku sudah melamarnya."
"Jangan main-main, Reby!"
"Aku serius."
"Yang benar saja!"
"Astaga, semua pria di dunia ini lebih cepat menikah daripada pria di sebelahku!
"Ya, itu benar, sampai sekarang aku belum menemukan wanita untuk menikah."
"Jangan berbohong."
"Maksudmu?"
"Lihat!" Reby mengalihkan perhatian pada seorang perempuan yang sedang termenung di kursi taman. "Bagaimana keadaannya?"
Pengurus yayasan mengulum senyum, "Syukurlah, Aryani sudah mulai mengenal dan mengucapkan huruf."
"Akankah dia segera pulih?"
"Entahlah. Kuharap begitu. Mungkin benar katamu, ini di luar jangkauan klinis. Aryani tidak mengalami kerusakan saraf, lobusnya semua normal.
...Semua diagnosis sudah ditegakkan, abses otak, hingga patopsikologi menyatakan ia dalam kondisi normal. Tetapi dia kehilangan semua memori, termasuk yang berkaitan dengan instruksional dan kehendak."
"Manusia tanpa kehendak dan perintah?"
"Itu mustahil terjadi, dan Kenduri pun mengalami kondisi serupa."
"Kuharap ini segera berakhir dengan kesembuhan."
"Walaupun dengan melanggar aturan."
"Apa maksudmu?"
Pengurus berkata "Aku hanya pengurus yayasan, bukan dokter, jadi tidak terikat dengan sumpah dan etika yang rumit itu." Kemudian suaranya dipelankan, "aku bisa membawa Aryani keluar sekali atau dua kali sepekan, dan aku membawanya ke pesantren."
"Kau melakukan itu?"
"Ini sudah kali keempat."
"Benar-benar! Kau melakukan segala cara demi gadis itu."
"Hey."
"Kau teman Barry yang sudah kukenal sejak lama. Aku tahu itu."
"Reby, bukan begitu."
"Aku baru ingat mengenai biaya perawatan Kenduri."
"Apa maksudnya?"
"Aku menanggung setengah bersama keluarganya."
"Lantas?"
"Biayanya sama dengan yang kubayarkan untuk Aryani."
Pengurus Panti Waras mendadak terdiam.
Reby meneruskan, "aku senang dengan hal itu. Kuharap Aryani suatu saat kembali agar kamu bisa mendapatkan dia seutuhnya."
"Dari mana kau tahu itu?"
"Tidak penting dari mana asalnya kalau itu fakta. Aku juga pria yang mengerti batas-batas perhatian. Yang penting kau harus berusaha untuknya. Sebab secara hukum kau hanya bisa mendapatkannya jika ingatannya pulih. Itu pun kalau dia punya perasaan sama terhadapmu."
"Itu memang benar," ujar pria itu lalu tertawa.
***
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Disantet berulang kali tak juga mempan, Edi Candra alias Pupung Sadili (54) dan Adi Pradana alias Dana (23) akhirnya diracun serta dianiaya hingga tewas. Mayatnya ditemukan hangus di dalam mobil di Cidahu, Sukabumi.
Pembunuhan ini diotaki oleh istri Pupung, yakni Aulia Kesuma (45). Aulia tidak tahan punya utang usaha sebesar Rp 10 miliar dengan cicilan Rp 200 juta tiap bulan. Karenanya ia membujuk Pupung agar mau menjual rumahnya untuk membayar utang.
Rumah Pupung sendiri terletak di Lebak Bulus, hanya berjejeran jalan dengan rumah Anies Baswedan. Dalam arti kata, kalau kalau rumah itu terjual sangat cukup untuk menutup utang.
Di Pati, jangankan pengusaha rental mobil, bayi tak berdosa berumur 3 bulan pun diberangus oleh bapaknya sendiri. Seperti yang ditunjukkan Muhammad Sholeh Ika Saputra (20) yang membunuh putrinya, Elnaura hanya karena gadis kecil itu nangis melulu.
Pada Senin sore (1/5/2023) Sholeh pergi dengan motor Honda Adv dari rumahnya di Pati Kidul menuju sebuah tempat. Biasanya ia motoran bersama dua anaknya, Rahma dan Elnaura, yang harus diangin-angini agar bisa bobo. Namun hari itu Sholeh tampak jalan-jalan sendiri.
Usai jalan-jalan dan pulang ke rumah, Sholeh mendapati si bungsu Elnaura tidak ada di kamar. Dengan panik ia pun segera melaporkan kejadian itu kepada istri dan kedua orang tuanya.
Mitos dari Gunungkidul ini konon telah bertahan dari abad ke abad. Bola api berekor bercahaya terang, melesat bagai komet melintasi langit dusun di malam hari. Mereka yang percaya mengatakan, tak lama lagi akan ada yang mati gantung diri.
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta secara istiqomah menunjukkan angka bunuh diri yang stabil. Dengan rata-rata 30 korban jiwa per tahun setidaknya sejak 15 tahun terakhir, Gunungkidul menjadi salah satu daerah dengan persentase bunuh diri tertinggi se-Indonesia.
Tingginya bunuh diri di Gunungkidul tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan kultural terhadap pulung gantung. Secara harfiah, pulung dapat diartikan ilham, tanda, bisikan, yang secara turun temurun disikapi sebagai takdir Yang Mahakuasa.
–Tujuh bulan dicari keluarga, ternyata dibunuh suami–
Dibantu tiga orang temannya, Asep Saepulah (23) menggorok istrinya, Irma Nurmayanti atau Irma Novitasari di dalam rumahnya. Kasus ini kemudian terungkap setelah kakak korban menerima pesan anonim di Instagram.
Asep dan Irma menikah baru setahun. Perkawinan keduanya tidak harmonis. Asep kerap mengobral talak, berakal pendek, dan temperamen. Ada kabar menyebutkan bahwa Asep beberapa kali terjerat kasus narkoba namun selalu berakhir dengan tebusan.
Irma seorang penyanyi. Cantik, bisa cari uang. Ketika situasi rumah tangganya makin memburuk, ia tak ragu memutuskan pergi dari rumah yang ditinggalinya bersama Asep di Pacet, Kabupaten Bandung menuju Cimahi.
Itu yang diucapkan Muhamad Qo'dad Af'alul Kirom alias Affan (29) setelah ia membunuh AZ (9). Ia yakin perbuatan itu dilakukannya untuk menyelamatkan korban dari kehidupan dunia yang kacau supaya mati syahid.
📷 detik.com
Affan menikah dengan Devi Sulastri, perempuan yang dikenalnya di sebuah tempat hiburan di Surabaya. Devi bekerja sebagai pemandu lagu, sampingannya pemadat. Kemudian ia ketemu Affan yang sama-sama pemadat. Cocok.
Dari pernikahan tersebut lahir AZ, putri semata wayang. Anak ini segera tidak terurus. Affan dan Devi dilanda masalah ekonomi, selain perilaku mereka juga memang soak. Untuk menghidupi keluarga, Affan menjadi bakul narkoba. Akhirnya ia ditangkap dalam sebuah pesta madat.
–Jadian baru dua minggu, Kayla diperkosa dan dibunuh pacarnya–
Pada awal Januari 2024 Argyan Abhirama dilaporkan atas tuduhan perkosaan, tetapi Polres Depok tak kunjung menangkapnya. Dua pekan berselang, pemuda 20 tahun itu memerkosa dan membunuh Kayla, mahasiswi yang baru dipacarinya.
Argyan dan Kayla berkenalan September 2023 di aplikasi Line. Karena sering chat, singkat cerita, keduanya berpacaran di awal Januari. Sebenarnya hubungan mereka tidak begitu baik. Kayla pernah memblokir nomor handphone Argyan, tapi pemuda itu mendekatinya lagi dengan nomor baru.
Kayla dan Argyan belum pernah bertemu sekalipun. Dari pdkt sampai jadian dilakukan secara online. Kayla tentu tidak pernah tahu, saat ia jadian, pacar barunya baru dilaporkan ke Polres Depok atas tuduhan perkosaan.