Saya menulis kenangan tentang sejarah kelam ini sebagai anak yang kadang-kadang senang bermain di Central Plaza Klender. Tempat ini lebih populer dengan nama Yogya Plaza.
Ada banyak orang yang tidak pernah pulang ke rumah setelah peristiwa penjarahan dan kebakaran Mall Central Plaza Klender, 15 Mei 1998. 400 lebih korban tewas, tidak pernah pasti berapa, karena diyakini banyak yang jadi abu.
Mei 1998 penjarahan meletus di mana-mana, banyak pula yang disertai pembakaran. Namun, kenapa hanya Klender yang begitu parah? Karenanya perlu menengok kondisi sosial demografis kawasan ini 25 tahun silam.
Klender, jika dilihat dari kondisi pemukiman di sekelilingnya, bukan kawasan rawan. Di sisi timur Plaza terdapat Perumnas, sedang di selatan ada Pondok Bambu dan Duren Sawit yang taraf hidup masyarakatnya secara umum cukup memuaskan.
Ke utara ada Rawamangun, yang dari era 1970-an sudah jadi kawasan menengah ke atas. Lagipula tidak mungkin dibangun mall kalau market audience tidak ideal.
Kalau pun ada kantong rawan, itu berada di sebelah barat, meliputi Cipinang sampai Jatinegara, serta bagian timur laut yakni kawasan Pulogadung.
Waktu itu, Central Plaza dapat dikatakan sebagai mall kebanggaan warga Jakarta Timur selain Mall Arion Rawamangun, dan ini adalah mall terbesar.
Central Plaza adalah mall dengan karakter retail dan department store. Mereka menyediakan berbagai produk dan kebutuhan, mulai pakaian hingga furniture.
Di lantai paling atas juga terdapat bioskop dan game arena (kalau tidak salah ada diskotek juga). Anak-anak di era itu pasti akrab dengan dingdong. Di pasar, terminal, atau di mana saja gampang bertemu dingdong.
Akan tetapi kalau sudah main dingdong di mall, apalagi game balap dan tembak-tembakan, derajatnya terasa langsung meroket.
Akan tetapi, kondisi lingkungan pemukiman dan jalanan adalah dua hal yang amat bertentangan. Menelusur ke barat, di sepanjang I Gusti Ngurah Rai hingga Jalan Bekasi Timur Raya berjejer ratusan gelandangan.
Hidup di jalan siang malam, dengan tenda seadanya, dan kebanyakan mereka menjual barang bekas. Tentunya tidak sedikit juga preman dan pengamen jalanan yang tidak pernah tahu akan pulang ke mana.
Tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa, kerawanan dan kejahatan jalanan di seputar Klender cukuplah menyeramkan. Daerah ini terletak di persimpangan Pulogadung dan Jatinegara,
yang berbatasan dengan segitiga kriminal Matraman-Manggarai-Senen, di mana di jalanan kala itu, orang-orang yang tidak punya harapan dapat berharap apa saja, asalkan nekat.
Gelandangan penjual loakan bisa menjadi pencabul, pengamen menjadi pemadat, preman bisa menyambi pengedar, pelacur banci dapat berubah jadi garong yang tak segan menyilet.
Dan nyaris setiap hari serdadu STM berjejalan di atas kereta dengan batu yang siap dilempar serta gesper bermata gear, atau celurit.
Saya masih ingat itu lingkungan jalanan yang berbahaya. Sewaktu predator sadis, Robot Gedek dibekuk di Tegal tahun 1997, dan wajahnya dipampang di koran juga televisi, teman kecil saya langsung berujar kalau kami sungguh pernah bertemu dia di Viaduct saat bermain bola sore hari.
Dia kemudian menggambarkan ingatannya dengan begitu lengkap, sehingga kami pun akhirnya ingat siapa lelaki itu. Dia bahkan sempat mengacau karena minta jadi kiper, dengan kepalanya yang teleng dan senyum aneh.
Kami lantas ingat pula seorang gelandangan penghirup lem Aibon seusia kami, panggilannya bule gembel lantaran berkulit cerah, yang mayatnya ditemukan di selokan dekat rel kereta dua tahun sebelumnya. Entahlah.
Sebelum tragedi mengamuk Klender, kerusuhan telah menimpa daerah lain. Pembicaraan tentang penjarahan tiba-tiba menjadi tren, menyertai kondisi ekonomi yang tidak jelas. Di mana saja orang-orang percaya bahwa menjarah dapat dimaklumi.
Maka, ketika mereka demikian percaya, mall terbesar di Jakarta Timur adalah target yang sempurna untuk membuktikan hal itu. Jadi, memang sebenarnya tempat itu sudah diincar dalam berhari-hari.
Pada 15 Mei 1998, Central Plaza tidak beroperasi, begitu pula kios-kios perniagaan yang ada di sana. Puluhan preman atau lebih berjaga-jaga di lokasi.
Kondisi rawan dan mencekam juga terjadi di hampir seantero Jakarta, kecuali daerah yang dekat dengan markas kesatuan ABRI seperti Condet, Cijantung, atau Halim. Jalanan sepi, semua aktivitas diliburkan.
Menjelang siang ternyata massa ramai-ramai mendatangi Central Plaza. Tidak jelas lagi siapa yang menyulut, kemudian terjadi kekisruhan. Orang-orang memaksa masuk untuk menjarah.
Namun tidak sedikit juga anak dan remaja serta wanita yang terseret tanpa memahami situasi yang tengah berlangsung. Ujung-ujungnya para preman kalah jumlah. Ribuan orang menyerbu masuk seperti penonton konser.
Pembakaran mall tidak langsung terjadi. Pada awalnya ada juga penjarah yang berhasil menggasak barang lalu keluar dengan selamat. Tak ayal, semakin banyak saja manusia yang terhisap ke dalam.
Seorang kawan saya yang ada sangat dekat dari pintu mall karena diajak abangnya mengatakan, setelah semakin banyak orang masuk, mall terlihat ditutup. Ini adalah plot twist yang tidak pernah dipikirkan.
Kalau alasannya agar penjarah tidak dapat membawa pergi jarahannya, dapat dimaklumi. Namun jika nyatanya pintu masuk utama tetap dipalang sementara api berkobar di dalam, tidak akan ada jalan untuk menerimanya dengan pikiran sehat.
Teman saya selamat karena dilarang masuk oleh kakaknya, untung saja dia patuh. Namun tidak dengan sang kakak. Dan ia tidak pernah melihatnya lagi sejak itu.
Saat huru-hara berlangsung, hari begitu cerah, angin berembus kuat. Orang-orang yang tadinya masih ingin ke dalam langsung tercerai berai lalu menonton dari jauh. Itu seperti pertunjukan kremasi di tengah kota.
Perlu dimengerti bagaimana penataan Central Plaza sehingga begitu banyak korban terjebak. Lantai satu merupakan kios-kios, lantai 2 dan 3 departement store dan retail. Jadi, semakin ke atas ada semakin banyak barang yang nilainya lebih menjanjikan.
Dalam kesempatan selangka itu orang-orang tidak akan pulang membawa kaos atau celana. Kalau ada disc player, televisi, spring bed mahal, jam tangan, bahkan perhiasan, kenapa harus menggondol pakaian.
Justru busana yang rupanya dikumpulkan di lantai paling bawah, kemudian digunakan sebagai bahan bakar untuk menghabisi bangunan tersebut, sekaligus orang-orangnya yang terjebak di dalam.
Tidak akan tergambarkan situasi seperti apa di dalam sana. Gedung over capacity, selanjutnya mereka harus berjejalan menyelamatkan diri. Dan membakar selalu menjadi simbol terbaik bagi suksesnya huru-hara, di mana pun itu.
Sedikit orang yang dapat menyelamatkan diri tentu mereka memperoleh keajaiban sekali seumur hidup. Saya dengar cerita tentang seorang pria penyintas setelah meninju, menendang, dan menginjak-injak sejumlah orang lain agar ia bisa lompat dari kaca dan selamat.
Pada sorenya atau malam situasi tersebut baru terkendali. Banyak orang hendak masuk untuk membantu evakuasi dengan sukarela. Di antara mereka mungkin ada yang tadinya berniat menjarah dan jadi merasa sangat beruntung.
Menurut informasi, pihak berwenang semula datang dengan 170 kantong mayat. Kenyataan yang dibutuhkan jauh lebih banyak lagi. Dan kantong mayat jadi tidak begitu penting dibanding mengevakuasi seluruh korban tewas.
Sebagai perbandingan, jika Anda tinggal di satu blok apartemen yang terdiri dari 150-200 unit, lalu blok Anda terpanggang habis. Seperti itulah gambarannya.
Proses evakuasi sangat tidak mudah. Banyak mayat yang bertumpuk dengan mayat lain hingga lekat. Ada yang berpelukan, jongkok, berdiri menempel tembok, dan itu semua membutuhkan dedikasi ekstra dalam evakuasi.
Namun demikian, bagian tersulit ialah mengidentifikasi jasad. Sebab tidak ada bedanya yang satu dengan yang lain.
Jasad para korban tewas selanjutnya dikumpulkan di Cipto meski tidak semua. Dengan semestinya banyak orang datang hendak memastikan keluarga atau kerabatnya.
Sepertinya cuma itu cara yang paling efektif untuk mengidentifikasi korban. Keluarga tentu lebih mengenal bentuk muka, barangkali korban mengenakan cincin atau punya tanda tubuh yang masih dikenali. Memang apa lagi, DNA?
Karena sangat terbatas, maka terjadilah hal-hal yang tidak terbayangkan. Ibu teman saya cerita, dia melihat dua lelaki bertikai memperebutkan mayat.
Dua-duanya mengklaim gigi mayat itu benar sekali cocok dengan keluarganya yang hilang. Yang satu yakin karena giginya tonggos dan besar, yang dua juga beralasan begitu.
Bukan itu saja, tingginya pun sama, begitu pula ukuran kepalanya. Keduanya berdebat tanpa lelah demi jasad yang tidak pasti.
Rupanya pertikaian mereka bukan kali itu terjadi. Oleh karena tidak ada yang mau mengalah, maka diputuskan jasad yang dipertikaikan itu dimasukkan ke dalam daftar penguburan massal di Pondok Ranggon.
Itu menjadi akhir kisah Central Plaza, mall terbesar di Jakarta Timur. Padahal pusat perbelanjaan itu baru berumur singkat, dibuka mulai 1993 atau 1994. Setelahnya mall tersebut mengalami rebranding dengan gonta-ganti nama sekian kali, namun tidak pernah lagi berjaya.
Malah belakangan ia lebih populer karena kisah-kisah mistis. Dari acaranya Caroline Zachrie sampai yang diangkat ke layar lebar. Namun semua itu sama sekali tidak menyeramkan dibanding kejadian yang sebenarnya.
Meski begitu, sebagai tambahan, saya pernah menulis riddle seperti ini:
"Nonton Bioskop"
Gedung bioskop itu dulu pernah habis terbakar. Dua puluh orang tewas terpanggang. Namun sekarang ia kembali berdiri. Bertepatan dengan itu segera tayang sebuah film yang menceritakan tragedi tersebut.
Malam hari, sepulang dari kantor aku singgah di bioskop. Muda-mudi terlihat berkerumun. Ternyata film yang kumaksud sudah mulai tayang.
Merasa tertarik, segera kupesan tiket. Untung saja masih dapat. Adakah yang lebih menarik daripada menonton film horor langsung di lokasi kejadiannya?
Dan filmnya sungguh menyeramkan serta diceritakan dengan sangat apik. Saking seramnya, belasan penonton harus dievakuasi karena dirasuki roh halus. Aku berani menjamin, setelah malam ini film itu makin meledak.
Benar saja, keesokan pagi rekan-rekanku di kantor ramai membicarakan film itu. Bella, wanita yang terang-terangan sering menggodaku, dengan bangga mengajak menonton.
"Aku punya dua. Nanti malam kita nonton di bioskop itu. Kali ini kamu tak bisa menolak," katanya sambil meletakkan selembar tiket di mejaku.
"Sayangnya aku sudah."
"Bodo amat!" Bella menjitak kepalaku lalu pergi. Ia tak peduli. Dasar penggoda.
Sebenarnya Bella menarik juga. Aku tersenyum-senyum sambil melihat tiket.
"Premiere."
***
Semoga kejadian semacam ini tidak akan terulang lagi, dan arwah para korban mendapat rahmat dan tempat terbaik di sisi-Nya.
Amara tak sanggup membayangkan situasi yang lebih kacau ketimbang malam itu. Terlihat hampir semua penghuni kos berjejalan di lantai dua untuk melihat keadaan Shizuka, dan setelah mereka tahu, mereka justru cemas dan histeris.
Bagaimana tidak, yang dialami Shizuka memang sangat tidak masuk akal sekaligus mengerikan. Tubuh gadis itu benar-benar kaku, terlipat ke belakang, tidak tampak pula gerak-gerik yang menandakan bahwa dirinya masih bernyawa.
Salah satu kantor tempat gue pernah bekerja bisa dibilang creepy. Jinnya usil bukan main. Sesekali keusilannya lucu, tapi enggak jarang juga bikin karyawan enggak betah. Kalau gue betah, karena cari kerjaan susah.
Kantornya di Jakarta, bekas rumah, jadi bangunannya pun masih rumah. Lumayan luas. Maksimalnya pernah diisi 60-an karyawan.
Gue baru sampai rumah. Jam 11 malam lewat. Lumayan capek hari ini. Dari pagi berangkat ke kampus, 10 persen kuliah, selebihnya lupa ngapain aja. Tapi gue ingat gue baru nonton event blues beberapa jam sebelumnya.
Karena masih anget, gue putar lagi playlist blues di kamar. Eddie Harris. Eh, dia kan lebih jazzy? Masa bodo amat. Jazz atau soul biangnya sama.
Dikepung rasa takut yang tidak tertahankan, mendadak Kenduri melihat sinar lampu yang begitu kilau. Ia memejamkan pandangnya sejenak lalu perlahan-lahan membuka matanya.
Teranglah sekarang dan ia bisa melihat seperti apa tempat yang dimasukinya. Lorong sempit itu menjorok jauh ke dalam. Kenduri menduga pula kalau lorong itu jika ditelusuri akan membawanya ke satu lorong lain, bahkan mungkin berlorong-lorong.
Amara tidak mendapati dirinya berkata-kata selama perjalanan. Kepalanya sudah terlalu berat menanggung perkara hebat yang belum ia pahami.
Santet, guna-guna, werejit, atau apalah namanya, sebelumnya hanya menjadi istilah yang sepintas lalu. Amara datang ke kota itu untuk belajar sekaligus menghindari pertikaian mama dan papanya, bukan demi mengurusi masalah gaib dan semacamnya.