Ada buzzer yg buru-buru nurunin foto produk di feed Instagramnya krn dianggap ngotorin. Lha.. endorse produk kok setengah hati cuma demi invoice cair? 🤣
Selama gue di-hire, kontrak dengan brand biasanya disebut jangka waktu penayangan dan rata-rata 3 bulan. Produk sohor dari Korea malah minta 6 bulan setelah posting. Apakah habis itu gue turunin? Nggak lah. Buat portfolio gue. Ngerjainnya juga pol-polan, mosok terus diumpetin?
Pada saat gue di-hire, gue tahu feed gue akan diisi brand. Dan dari awal gue bilang, apa pun yg tayang di feed socmed gue adalah harus sesuai feel & gaya konten gue. Jadi dianggap bagian dari karya.
Sebagian dari konten brand yang masih gue pajang di feed Instagram gue, walau sudah lewat dari jangka waktu kontrak. Masih gue pajang krn ya itu bagian dari portfolio gue, yg gue kerjakan sepenuh hati instagram.com/explore/tags/p…
Agency juga jangan ngasal langsung sosorin produk hanya karena angka follower gede. Iklan pastinya bakal tersebar tapi ngga ada yg nyangkut, ngga ada yg ngeh, ngga masuk ke memory & hati follower si buzzer. Buang-buang duit.
Pernah dapet brand dambaan: Apple. Kontrak 2 bulan. Sampe sekarang masih gue pasang di Vine gue, walau kliennya udah ngga punya akun Vine :D vine.co/v/i3zKObTgut1
Ada yang menawarkan kerja sama produk rokok atau minuman keras. Gue tolak. Bukan soal karena gue idealis, tapi emang gue udah rancang lingkup personal branding gue: family friendly, kid safe, creativity. Apa yg gue bikin, mesti layak dikonsumsi/dinikmati anak-anak.
Menyusun personal branding ini yang diabaikan so-called influencer-influencer ini. Ngga paham produknya, terus posting di akun mereka, begitu engage dng followernya keteteran. Yang ada malah debat dng yang ngerti produknya.
Personal branding ini juga yg bikin gue bisa filter mana produk yg bisa gue terima dan yg bisa gue tolak. Kalau gue ngga familiar, gue harus ada effort lagi utk mengenali produknya, sampai gue tahu mau bikin apa sesuai gaya & feel konten gue.
Jadi begitu gue posting, produk yang tayang adalah bagian dari personal experience. Ada opini & eksplorasi gue di situ. Sehingga follower akan lebih menerima & engage.
Dan gue ngga mau caption copy paste dari klien/agency. Sebisa mungkin tanpa hashtag titipan.
Dan gue ngga mau caption copy paste dari klien/agency. Sebisa mungkin tanpa hashtag titipan.
Toh sekarang agency bisa pantau berdasarkan keyword tanpa hashtag. Tapi ngga tau hashtag AD atau SPONSORED di Indonesia, kalau di US ini wajib terutama Instagram. Ketahuan bikin konten komersil tanpa AD bisa dihapus oleh mereka.
Dan tanpa personal branding, seorang pemilik akun dengan follower banyak itu sejatinya bukan seorang influencer, tapi sebuah papan billboard yg terpasang di samping jalan raya.
Jadi untuk agency udah mesti antisipasi, mau sewa influencer atau papan reklame di social media?
Tanpa personal branding, gue ngga akan bisa digandeng brand Korea ini news.samsung.com/global/top-vin…
Tanpa personal branding, gue ngga akan digandeng Twitter untuk beriklan di #CannesLions tahun 2015
Sebagai influencer, personal branding itu bukan melulu tentang invoice cair, tapi juga tentang potensi diri yang memberi peluang, jaringan kerja/koneksi, pengalaman, portfolio. Jauh artinya dari sekadar angka yang masuk di rekening kita.
