Mengapa seseorang mudah mempercayai HOAX dan enggan mengakui meskipun sudah terbukti salah?
Refleksi atas fenomena HOAX yang fantastik hari ini dengan cara berpikir ilmiah, mengatasi disonansi kognitif, dan waspada logical fallacy.
Hipotesis -> Pembuktian -> Kesimpulan
Nothing new. Kita semua yang pernah sekolah formal pasti tahu.
Hoax pada dasarnya adalah informasi, dan semua informasi yang belum terbukti harus diklasifikasi sebagai hipotesis.
Contoh : ada informasi bahwa Bu Ratna dikeroyok orang tak dikenal.
A. Bu Ratna dikeroyok orang tak dikenal
B. Apabila benar, ada hubungan pengeroyokan dengan Pemerintah
Nah, untuk pembuktian, kita perlu membuat pertanyaan ilmiah.
A. Benarkah Bu Ratna dikeroyok?
B. Apabila benar, benarkah pengeroyokan Bu Ratna berhubungan dengan Pemerintah?
Karena point B gugur kalau A terfalsifikasi, maka kita fokus ke menjawab pertanyaan ilmiah point A.
Saatnya pengumpulan data. Berdasarkan keterangan, Bu Ratna dipukuli di Bandara Bandung malam hari, lalu dirawat di RS sekitar Cimahi.
Apa yang bisa diverifikasi dari informasi ini?
- Apakah ada saksi saat pengeroyokan -> tidak ada saksi
- Apakah benar ia ada di Bandara Bandung? -> tidak ada nama dalam tiket dan gps hp berada di Jakarta
- Apakah benar ke RS? -> tidak ada nama dalam RS sekitar Cimahi dan Bandung
Mereka yang mengkonsumsi HOAX tidak melakukan tahap verifikasi dan pembuktian data, tetapi mengandalkan sumber informasi yang tak valid, yang tersebar secara liar.
- foto menunjukkan background sama dengan RS kecantikan di Menteng, Jakarta
- berdasarkan data rekening, ada transfer ke RS tersebut
- CCTV dan buku tamu memverifikasi juga
Proses verifikasi dan falsifikasi yang solid akan sulit dibantah. Dan akhirnya pun kebohongan diakui oleh yang bersangkutan?
Lalu kenapa masih ada yang mengelak?
Ini berbeda dengan rasa malu. Kita semua, dalam level tertentu, bisa mengalami disonansi kognitif.
Ibu anda mendadak bilang kalau anda ternyata anak angkat
Dalam kondisi lebih ekstrem :
Masyarakat Eropa era Galileo yang enggan mengakui bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta
Berbeda-beda. Tahu apa yang terjadi oleh Galileo saat menyatakan teori heliosentris? Dia dipenjara oleh otoriras gereja dan dipaksa mengakui Bumi sebagai pusat alam semesta.
Disonansi kognitif bisa direspon dengan :
- denial, tetap ngotot
- menyerang sang penyampai fakta
- mengakui, dan menyesuaikan
"Confirmation Bias"
Kita hanya membaca hal yang mendukung kepercayaan kita. Itu kenapa pembuat HOAX harus bergerombol dan rajin share supaya manjur :)
Kalau baca point nomor 4 yang tadi, orang belum membuktikan point A, apalagi point B, namun langsung menuduh Pemerintah terlibat
Bu Ratna klaim dikeroyok, tapi beban pembuktian malah jadi ada di polisi, bukan dari si pembuat klaim. Itu pun saat mau diverifikasi dituduh suudzon :)
Saat harus mengakui bahwa Bu Ratna berbohong (karena terlanjur bela), bahas hal lain yang tidak langsung berhubungan dan perlu pembuktian terpisah "halah tapi Novel Baswedan malah belum diusut"
Tidak bisa membedakan objek yang diverifikasi dan difalsifikasi dengan subjek penguji, sehingga bias hal objektif ke hal subjektif. Cebong mana ngerty~~
Bu Ratna berbohong. Banyak orang yang mengompori tanpa verifikasi. Saat tersudut, mendadak bijak. Loh SCIENCE itu dingin dan objektif, kita hanya uji pertanyaan penelitian "apakah Bu Ratna berbohong" dan jawabannya iya. That's all.
Scientific method yg membuat smartphone & socmed, media yg dimanfaatkan penyebar hoax, tercipta.
Mari setia dengan cara berpikir ilmiah :)