“Jadi, gitu katanya. Mau nggak mau, harus elo yang maju.”
ㅤAtha menggeleng pelan. Dalam hati merutuk. Diisapnya lintingan tembakau di sela jari, lantas diembuskannya perlahan.
“Gue nggak tertarik sama organisasi.” — Athafariz, 2018.
ㅤ
Detik itu juga. Nama Athafariz melejit di kalangan senior. Sebagai mahasiswa baru di tahun 2018, dia jelas-jelas tidak tahu apa-apa.
ㅤ
Secara gamblang mendeklarkan bahwa dia juga tidak ingin berkecimpung di dunia organisasi.
ㅤ
“Lo gila, ya? Masuk ITB aja udah susah. Lo mau nyusahin gue buat lulus lagi?” Pertanyaan itu terlontar tiap kali mahasiswa baru lainnya berusaha untuk meyakinkan sang adam.
ㅤ
“Tapi, Tha—“
ㅤ
“Gini, deh. Buka forum nanti malem, jam 7. Gue bakal bahas ini semua.”
Digelarlah forum tersebut. Lengkap dengan perwakilan senior dari tiap-tiap angkatan. Masa-masa kaderisasi memang amat krusial. Hingga para alumni pun turut andil; mengabaikan pekerjaannya, merelakan waktu istirahatnya terbuang sia-sia.
ㅤ
Miris. Atha rasa. Sebagai seorang yang hengkang dari Fisika IPB dengan alasan serupa: organisasi, dia tidak ingin jabatan-jabatan sial itu ikut menggandrung hingga kini.
“Udah kumpul semua?” tanyanya. Lagi, dengan sebatang rokok di tangan.
ㅤ
“Senior belum dateng, Tha.” ucap salah satu teman terdekatnya. Pemuda itu berdecak.
ㅤ
“Udah ada perwakilan senior tiap angkatan?” tanyanya lagi.
ㅤ
“Tinggal angkatan ‘13 yang belum ada.” Dia kembali berdecak.
ㅤ
“Selalu, ya. Angkatan itu dimana-mana bermasalah.” Atha bergumam. Tanpa tahu maksudnya, sebab teman terdekatnya itu adalah mahasiswa baru yang dianggap sebagai bayi baru lahir, Atha serta-merta menginjak kuat-kuat rokoknya yang telah teronggok di atas bentala.
ㅤ
“Mulai aja.”
“Tapi—“
“Lo mau nunggu ampe subuh? Lo ga punya tugas kuliah apa? Lo nggak liat ini seangkatan maba pada ngumpul semua? Ada ceweknya, lagi.” Final. Pertanyaan sarkasme dari Athafariz akhirnya membungkam Dodi.
ㅤ
Diskusi. Itu baru katanya. Bagi Atha, dia tidak ingin menerima kritik dan saran sebab dia bukan customer service.
Dibanding itu, dalam serebrumnya telah terpeta skenario. Bahwa ia hanya akan memberi pernyataan.
ㅤ
“Assalamualaikum, Abang, Teteh, dan teman-teman sekalian. Bagi yang belum kenal, perkenalkan, saya Athafariz Evano Muzakki. Panggil aja Atha,” ucapnya memulai forum.
ㅤ
Saat ini, anggota forum berisi seluruh angkatan 2018, lima orang perwakilan angkatan 2012, tiga belas orang perwakilan angkatan 2014, delapan orang perwakilan angkatan 2015, dua puluh lima orang perwakilan angkatan 2016, dan dua puluh dia orang perwakilan angkatan 2017.
Dengan posisi melingkar, di dalam sebuah ruangan berukuran empat kali enpat meter persegi yang biasa disebut PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa), mereka mulai mendengar dengan seksama.
ㅤ
“Sebelumnya, buat kalian yang belum tau. Gue ini pindah dari Fisika IPB—
– 2017. Gue lahir tahun 1998. Jadi, bisa dikatakan gue setahun lebih lambat buat masuk ke sini. Yang notabene kampus elit, susah buat dimasukin.” Dia memulai konversasi satu arah.
ㅤ
“Alasan gue pindah itu ada dua. Pertama, Fisika IPB nggak menantang buat gue. —
ㅤ
Tetapi, dia sudah tidak lagi peduli.
ㅤ
“Dulu, gue selalu dikejar-kejar senior. Sampe gue nggak ngekos lagi. Gue pulang-pergi Jakarta - Bogor, naik angkutan umum. Bayangin gimana capeknya.”
ㅤ
“Gue disebut-sebut sebagai organisator. Gue disuruh jadi ketua angkatan, gue tolak. Buntutnya, gue disuruh masuk himpunan, jadi wakil kepala departemen.” Atha berusaha kembali mengingat masa-masa kelam itu.
ㅤ
“Dasar senior, nggak bisa banget ngeliat dirinya gagal di depan seniornya yang lebih atas lagi, mereka nekat datengin gue tiap hari. Ngebawa gue ke PKM, ngajak ngobrol, dateng ke kosan tiap hari bawa kopi sama rokok.
Kalian tau, gue ngomong apa waktu itu?”
ㅤ
“Gue ngomong, ‘Bangsat. Nggak ada nyerah-nyerahnya ya, lo.’ Besoknya, gue nggak kuliah lagi.”
ㅤ
“Akhirnya, gue ikut SBM lagi. Ngambil Teknik Sipil ITB. Itu ada di pilihan pertama gue.” Atha menjeda sejenak.
ㅤ
Ia memindai sekeliling. Memerhatikan senior-seniornya yang mayoritas bergender serupa dengannya itu secara seksama. Ekspresinya masih sama: datar. Sehingga Atha melanjutkan.
ㅤ
“Sekarang, kalian jangan paksa gue buat jadi ketua angkatan, ketua himpunan, atau apapun—
ㅤ
Kendati demikian, sang adam dihadapkan pada para organisator yang kerap kali mencuci otak junior-juniornya.
ㅤ
Tidak lazim, bagi seorang mahasiswa baru untuk membuat sebuah forum. Menceritakan keluh kesahnya, membungkam senior untuk tak lagi memaksanya bergabung dengan himpunan.
ㅤ
“Gini doang?” tanya salah satu senior. Atha menelengkan kepalanya.
ㅤ
“Lo tau kata ‘bangsat’, nggak?” tanyanya lagi.
ㅤ
Atha mengerutkan kening hingga kedua alisnya bertautan.
ㅤ
“Gue ninggalin laporan-laporan gue, tugas besar gue, cuma buat dengerin curhatan nggak penting lo?”
ㅤ
Seluruh peserta forum lantas terbahak. Meninggalkan Atha yang terpojok di sudut ruangan. Dia memejamkan mata sejenak, berusaha meredam amarah.
ㅤ
“Lo kurang ngobrol, Tha. Kita ini I-T-B. Bukan I-P-B. Nggak bisa lo generalisir.” Salah satu senior bergender wanita angkat bicara.
ㅤ
Atha terdiam. Menunggu yang lain ikut menimpali.
ㅤ
“Lagian, yang maksa lo siapa, sih?”
ㅤ
Atha merenung. Berusaha mengingat-ingat siapa pula yang berusaha membuatnya menjadi ketua angkatan?
ㅤ
Dia mengerling pada Dodi, yang merunduk di barisan belakang. Sang adam merupakan kandidat kuat calon ketua angkatan 2018.
ㅤ
Pemuda itu menghela napas tak kentara. Sifat apatisnya menyeruak hingga ke permukaan. Sang teruna benar-benar tak lagi peduli dengan semua omong kosong ini.
ㅤ
“Gimana, Dod? Lo nggak siap?” tanya Atha. Baritone-nya menggema hingga ke ujung ruangan. Dagunya ikut menjungkit beberapa derajat.
ㅤ
Kembali pemuda itu memindai sekeliling. Beberapa senior tampak mengalihkan pandang pada sang empunya nama, sementara beberapa lainnya tak tertarik untuk sekadar menoleh.
ㅤ
“Woy, Bangsat! Lo pikir lo udah jagoan, ya, di sini?!” Pintu tahu-tahu digebrak. Menampilkan sosok pemuda tinggi semampai, dengan berat badan yang tampaknya kurang dari tujuh puluh kilogram.
ㅤ
Surai legamnya dibiarkan menjuntai hingga ke netranya. Namun, Atha masih dapat melihat kantung mata berurna kelabu yang menggantung malu-malu di baliknya.
“Lo goblok apa tolol, sih?! Lo bangsa ikan, hah?!”
ㅤ
Atha berdiri. Membiarkan lapisan ubin di bawahnya menopang seluruh bobot tubuhnya.
“Lo siapa?” tanya Atha. Sejujurnya, ditilik dari tindak-tanduk manusia yang masih kerasan berada di pintu itu, dia pastilah salah satu dari angkatan 2013.
ㅤ
“LO YANG SIAPA, BANGSAT!” Sang adam sekonyong-konyong membanting salah satu kursi kosong di dekatnya. Sepersekian sekon berikutnya, dia sudah berada di hadapan Atha.
ㅤ
Dengan tinggi yang sejajar, kedua-duanya saling mengintimidasi.
ㅤ
“Lo tuh, CUMA ANAK BARU DI SINI! MANA SOPAN SANTUN LO?!” Kedua netra senior di hadapannya menjegil. Benar-benar menunjukkan amarah. Sementara Atha menjungkitkan kedua ujung belah bilabialnya, membentuk segaris senyum tipis.
ㅤ
“Emang. Saya emang cuma anak baru. Tapi, di mana letak sopan santun yang Anda bicarakan itu, wahai Senior?” Atha balik bertanya. “Jangan beraninya bicara sopan-santun, ketika Anda sendiri datang terlambat.”
ㅤ
Sebelum satu tinjuan mendarat tepat di wajahnya, senior tersebut telah digeret paksa ke belakang.
ㅤ
Kericuhan mulai terjadi. Para senior angkatan 2013 yang berada di luar ruangan, akhirnya melesak masuk dan memperkeruh suasana.
ㅤ
Sementara, angkatan 2018 sendiri ikut berusaha melerai dan membuat barisan di hadapan Atha.
“Bang, Teh, sorry sebelumnya. Gue emang yang minta Atha buat maju jadi ketua angkatan.” Dodi mulai berbicara. Seketika kericuhan itu mereda.
ㅤ
“Sorry. Gue nggak bisa, Bang, Teh. Gue nggak bisa jadi ketua angkatan,” lanjutnya lagi.
Atha masih mengatupkan kedua belah labiumnya. Sebagai persona yang mangkir dari alur kaderisasi, jelas Atha merasa dirugikan.
ㅤ
“Kalian tau, kesalahan kalian?” tanya Atha lagi.
“Tha, udah. Please,” ujar salah seorang gadis yang juga seangkatan dengannya.
“Orang-orang merasa nggak siap dengan semua jabatan yang kalian tawarkan, karena semua jabatan itu cuma kedok.”
ㅤ
Atha bergeming. Rahangnya mengeras. Dia berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, semua ini harus diluruskan. Bukan begini pola kaderisasi seharusnya.
ㅤ
“Lo tau, 4 Pilar Teknik?” tanya senior tadi. Belakangan, terdengar bisikan bahwa namanya adalah ‘Pecun’.
ㅤ
“Gue emang nggak ikut alurnya, Bang. Gue daftar doang, lo pasti tau itu. Tapi, buat kalian yang bilang gue kurang ngobrol, ternyata kalian lebih apatis daripada gue.”
ㅤ
“Lo nggak usah tanya 4 Pilar Teknik sama gue, karena lo pasti mau menekankan di bagian ‘Senioritas’, ‘kan? Basi.”
ㅤ
“Semua jabatan bangsat itu; Ketua angkatan, ketua himpunan, ketua departemen, semuanya cuma dijadiin tumbal! Lo pikir lo kader potensial? Lo salah. Itu cuma karena nggak ada lagi kader yang mau. Nggak ada lagi kader yang memenuhi kualifikasinya.”
ㅤ
“Dan gue nggak mau dijadiin tumbal. Apalagi sama senior kayak elo! Yang nggak mau ngeliat sekitar! Yang cuma bisa nyalah-nyalahin orang yang nggak tau apa-apa!”
ㅤ
“Denger, ya, Bangsat. Kalo orang nggak tau, ya dikasih tau! Bukannya lo bantai di forum!”
ㅤ
Setelahnya, Athafariz hengkang. Tak peduli pada panggilan teman-teman seangkatannya. Tidak peduli pada tatapan bengis para senior.
Dari situlah, angkatan 2018 diberi nama ‘Angkatan Perang’.