Di sanalah, para penebar hoaks dan ide radikalisme sangat leluasa melakukan pekerjaannya.
Sementara di media sosial, cuma sesama pengguna sj yang bisa saling kontrol.
Ia hampir tak terpikir apa saja konsekuensi dari ketikan singkatnya di media sosial.
Apalagi, tingkah istrinya tsb lebih terlihat sbg pengkhianatan ketika suami justru msh berstatus sbg abdi negara.
Jika dlm situasi perang, pengkhianatan begini bs saja berujung tembak di tempat--terlepas hukum bs jadi tidak membenarkan ini.
Sebab terlalu besar risiko jika istri abdi negara saja bs terpapar hate speech yg justru tertuju kpd pejabat negara.
Apa yang dibutuhkan adalah edukasi, agar kegiatan bermedia sosial tetap bebas namun lbh positif.
Sebab kebebasan berpendapat pun ada pagar-pagar yg tidak bisa dilangkahi.
Sebab fitnah, hasutan, dan sejenisnya, tdk bisa dipandang sbg bagian kebebasan berpendapat.
Jika terlalu deras tanpa terkendali, bisa mematikan.
Mereka bs melakukan apa saja yg dianggap perlu, terlebih dlm kondisi² genting.