Maka kenapa, saat pencari makan dari konflik memainkan jurus untuk menyentuh emosi masyarakat daerah lain, kutolak keras.
Sesama masyarakat biasa saja bisa bunuh-bunuhan. Takkan terusut, krn setiap ada yg mati, maka salah satu pihak yg bertarung sj yg jadi tertuduh.
Kasihan, jika akibat ulah pencari makan dr konflik, masyarakat tdk bersalah saling bunuh2an. Itu biadab.
Pikiran purba membunuh atau mati sering membayangi. Tidak banyak opsi. Maka knp, cerita bunuh²an pun tak lagi sekadar cerita parapihak yg berperang.
Itu salah satu pemandangan sadis di sana. Dipamerkan di depan masyarakat, agar tdk tidak ada yg macam2.
Siapa pelakunya? Bukan saat yg tepat utkku bicara terlalu jauh.
Tidak cuma dirasakan oleh masyarakat Aceh, tapi juga oleh non-Aceh.
Padahal, beliau sama sekali tdk terlibat dgn konflik, kecuali sibuk mengajar dan memimpin kampus. Peluru menghentikan beliau.
Anda mau bercerita ttg intelektualitas? Tidak ada tempatnya ketika sebuah konflik pecah!
Di depan mata aku melihat anak-anak kehilangan ayah ibunya.
Atau, ibu yg terkoyak-koyak kehormatannya oleh manusia2 buas yg selalu ada dlm suasana perang.
Kalian yg belum pernah hidup di tengah situasi itu, jgn ikuti jiwa bedebah yg tidak peduli darah tumpah atau segalanya punah: harga diri sampai nyawa.
Silakan bermedia sosial. Jangan kaujadikan banyak orang harus menjalani kenyataan hidup sebenar-benar sial.
Perang adalah kesialan yang pernah kualami sendiri.
Tapi, teman2ku yg mengalami pengalaman jauh lbh parah, hingga detik ini belum tahu bgm supaya dendam benar2 musnah.
Bukan semakin kekanak-kanakan, bahwa jika terjadi perang lantas akan terlihat bak jagoan.