(Suara HP berbunyi)
"Halo? Assalamualaikum Pak?"
"Halo, waalaikumsalam Dung. Piye kabarmu Le? Kuliahmu piye?" (Halo, waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?)
"Alhamdulillah sedaya lancar Pak, kabar kula sehat. Bapak ibu sehat to?"
"Syukurlah Le, Bapak ibu sehat." (Syukurlah Nak, Bapak ibu sehat)
Feelingku benar, sepertinya Bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telefon, suara dan nada bicara Bapak
"Pak? Panjenengan kengingnopo?" (Pak, Bapak kenapa?)
"Orapopo Le. Kowe gek ndang bali yo. Nek iso minggu ngarep. Bapak arep kondo karo kowe." (Gapapa Nak. Kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu)
Tuut..tuut..tuut..
Aku menempuh perjalanan 8 jam, sampailah aku di terminal kotaku, aku lanjutkan dengan naik ojek menuju rumah.
Ku lihat jam sudah pukul 14.20 WIB. Aneh, biasanya Bapak sudah pulang, dan Ibu selalu dirumah
Mungkin sedang pergi ke tetangga, pikirku.
Aku pun merebahkan tubuhku di kamarku. Sudah 2 tahun aku tidak pulang kampung. Rumah ini terasa masih sama, baunya, suasananya, kehangatannya, tak banyak berubah.
"Le..Le..tangi, wis maghrib ki lho" (Nak..Nak..bangun, udah maghrib ini lho) suara Ibu membangunkanku.
Benar saja, aku mendengar lantunan adzan maghrib.
Aku bergegas mandi kemudian shalat.
"Le..bar iki kancani Bapak tahlilan yo, nang omahe Bu Sri," (Nak..setelah ini temani Bapak tahlilan ya, di rumahnya Bu Sri)
"La tahlilan eneng opo Pak?" (La tahlilan ada apa Pak?) tanyaku penasaran
Deg. Batinku.
Sulis adalah teman kecilku, kami bersama-sama sejak umur kami masih 2 tahunan sampai di bangku SMK.
Dimulai dengan membaca Al-Fatihah bersama-sama yang dipimpin oleh Pak Ustadz.
Orang-orang desa umumnya akan memejamkan mata sambil menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika membaca lafadz "Laaillahailallah..." yang diulang-ulang.
Tiba-tiba telingaku berdenging sangat kencang sampai terasa nyeri. Sangking sakitnya aku sampai reflek menutup telingaku
Aku mendesis kesakitan, namun anehnya, Bapak yang ada di sampingku sama sekali tidak bergeming padahal aku mengaduh cukup keras.
Bapak tetap fokus membaca tahlil. Lalu samar-samar aku melihat ke arah kaca jendela karena kebetulan aku duduk
Disana aku melihat bayang-bayang putih berwujud pocong, dan wajah itu, aku mengenalinya. Dia adalah almarhum Sulis temanku.
Tak lama setelah itu, sosok Sulis menghilang.
Seketika itu pula denging di telingaku berhenti.
Rumahku tidak terlalu jauh hanya berjarak 4 rumah saja.
Sesampai di rumah, aku mulai membuka obrolan.
"Kan wis tak andani to Le, dekne keno diabetes akut lo.." (Kan sudah tak bilangin, dia kena diabetes akut lo..) jawab Bapak.
Aku masuk ke kamarku dan berniat untuk tidur.
Namun, sudah setengah jam berlalu, aku belum juga bisa tidur. Bayang-bayang sosok Sulis selalu muncul di ingatanku.
Aku mematikan lampu bohlam yang ada di kamarku, namun masih terdapat sorot rembulan yang masuk melalui kaca jendela kamarku.
Jadi, kondisi cahaya di kamarku menjadi temaram.
Posisi jendela ada di kakiku. Jadi aku tidur menghadap ke arah jendela dan lemari.
Tiba-tiba ada yang mengetuk kaca jendelaku.
Jujur sebenarnya sangat merinding, jelas aku mulai takut kala itu karena sejak di rumah Sulis tadi pun sudah diperlihatkan sosoknya.
Namun, aku memberanikan diri untuk sesegera mungkin melihat ke luar
Aku pun terlelap tidur.
Keesokan harinya, ketika aku baru saja bangun, aku melihat ibu dan bapak berlari ke luar rumah, di luar rumah juga sudah ramai beberapa warga yang sedang kalang kabut.
"Ayo le..ayo melu neng omahe Bu Sri" (Ayo nak..ayo ikut ke rumahnya Bu Sri) pinta Ibu tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Di rumah Bu Sri sudah ada seorang Mbah tua, aku tau beliau adalah sesepuh desa namun lebih mirip seperti dukun.
Ada sekitar 8 warga termasuk aku, bapak, dan ibu yang berkumpul disana.
Ku lihat Bu Sri menangis sesenggukan.
Aku benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah wanita muda tadi selesai dikafani dia dibaringkan di tengah-tengah kami yang sudah duduk melingkar di ruang tengah.
"Sampun nggeh Bapak Ibu, saget dimulai nggeh? Bu Sri monggo di siapke nopo sing sampun kula suwun.." (Sudah ya Bapak Ibu, bisa dimulai ya? Bu Sri silahkan siapkan apa yang sudah saya minta..)
Bu Sri pun masuk ke dalam dapur dan kembali keluar dengan membawa tampah besar berisikan bunga-bungaan, daun bidara, air dalam gelas kecil, telur ayam kampung, jipang, pisang, kemenyan, dan beberapa benda lain.
Aku dan warga lain hanya terdiam menyaksikan Mbah tua yang mulai merapal kalimat.
Aku tidak tau pasti apa yang dia katakan.
Namun, ada yang membuyarkan fokusku. Aku melihat bayangan sosok Sulis terbaring di samping wanita yang dikafani. Sosoknya sama berbentuk pocong.
Perutku terasa sangat mual melihat sosok tersebut.
"Kidung...Kidung. Rupanya kamu sudah pulang kampung ya? Pasti kamu terkejut, wanita jalangmu sudah mati. Kamu lihat saja kedepannya akan lebih mengerikan." ucap seorang laki-laki di seberang.
"Halo..halo..siapa ini? Ojo macem-macem karo awakku!"
Tuut..tuut..tuut.. namun sambungan telfon terputus begitu saja.
Aku bersikap setenang mungkin agar tidak membuat orangtuaku khawatir.
Aku pun kembali masuk ke ruang tengah rumah Bu Sri.
"Mlebu o nyang kamar nek ora kepengin kepelu-pelu.." (Masuklah ke kamar kalau nggak pengin kebawa-bawa..) ucap Mbah tua kepadaku.
Aku dan yang lain bersembunyi di kamar itu sambil sesekali mengintip ke ruang tengah. Karena kamar tempatku bersembunyi memang ada di ruang tengah.
"Metuo balio minggato! Iki dudu papan panggonmu, iki dudu dunyamu! Salahmu dewe wes nyalai kersane Gusti, salahmu dewe wes wani nantang
Sejenak aku dan yang lain mengintip dari celah pintu sangking penasaran.
Terlihat wanita itu seperti hendak menyerang Mbah tua, namun selalu terpental mundur ketika Mbah tua menyodorkan benda seperti tasbih namun aku yakin itu bukan tasbih,
Namun, wanita itu tak gentar. Justru sosoknya semakin membesar dan kian tambah besar. Sekarang tingginya sampai menyentuh langit-langit rumah. Mbah tua semakin ketakutan. Ruang tengah sudah hancur berantakan.
Mbah tua berlari ke arah kami, setelah Mbah tua masuk, Bapak segera mengunci pintu kamar.
Bapak perlahan membuka pintu kamar, dan mengintip dengan satu mata. Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Entah kemana wanita itu pergi.
Namun...
"Aaaargggg!!!" Teriak wanita itu mengejutkan kami semua.
Wajahnya yang telah memerah dengan urat-urat yang menonjol, mata yang melotot dan darah yang terus keluar dari mulutnya.
Bapak sangat kaget dan membanting pintu keras-keras.
Bunyi pintu seperti di pukul-pukul menggunakan kepala.
"Pie iki mbah?" (Gimana ini mbah?) tanya Pak Soni salah satu warga kepada Mbah tua.
"Wes, sabar sik. Sediluk maneh Narti bakal sadar, Sulis ora bakal iso ngrasuk neng awak e menungso sui. Tunggu wae."
Narti? Ternyata wanita yang dikafan bernama Narti. Siapa dia, batinku.
Benar saja. Beberapa saat kemudian terdengar suara dari luar kamar.
Mbah tua membuka pintu dan Narti sudah tergeletak pingsan. Mbah tua memerintahkan untuk segera melepas kain kafan dari badan Narti.
Narti di baringkan di sofa, lalu di minumi air putih.
Mendadak hening. Tidak satupun yang berkata-kata.
Bu Sri hanya mengangguk pasrah, ada raut kesedihan di wajahnya.
Sesampai di rumah aku membuka obrolan dengan Ibu yang hendak memasak.
"Buk, tulong ojo di tutup-tutupi maneh. Sakbenere opo sing kedadeyan karo Sulis? Kok iso ngene?"
Awalnya Ibu masih menolak untuk bercerita. Namun aku terus memaksa. Akhirnya, Ibu menceritakan apa yang terjadi kepada Sulis.
Sulis, Ibu tau betul bahwa dia adalah teman dekat anakku. Mereka sudah bersama-sama sejak mereka umur 2 tahun. Bahkan dulu ketika aku dan Bu Sri hamil anak kami, kami sempat punya rencana untuk nantinya ketika anak kami dewasa,
Bukan tanpa alasan, Bu Sri pun karibku sejak bangku SMP, sampai akhirnya kami sama-sama menikah dan hidup bertetangga.
Sulis adalah gadis yang manis, matanya kecil, hidung mancung dengan lesung pipit yang menawan.
Namun, sejak Kidung merantau ke Jakarta untuk kuliah, sepertinya hubungan mereka berdua menjadi renggang.
Kidung jarang pulang kampung. Sedangkan Sulis telah bekerja di sebuah koperasi
Mereka sama-sama sibuk. Mungkin tidak pernah sempat saling melempar kabar.
Akhirnya pada akhir tahun 2004, aku dan Bu Sri sempat berunding kecil-kecilan. Kami berencana untuk mengkomunikasikan niat baik kami kepada Sulis dan Kidung.
Namun, pada pertengahan Maret 2005, ada berita kurang baik geger di desa.
Kabarnya Sulis terpergoki berzina dengan seorang pemuda di gubug tengah sawah, tak jauh dari rumahnya.
Namun, mereka hanya sebatas ngobrol santai dan menikmati semilir angin di sawah.
Aku sempat bertanya kepada Bu Sri, namun dia pun mengelak dan membela anaknya.
Sejak beredarnya berita tersebut, Sulis seperti dikucilkan di pergaulan desa.
Orang-orang membicarakannya.
Bu Sri pun memilih menarik diri dari lingkungan sekitar. Yang masih biasa srawung (kumpul-kumpul) hanyalah Pak Riswan suaminya.
Warga sekitar rumahku, ramai dibuatnya. Karena Pak Riswan dan Pak Edi sempat baku hantam.
"Ojo wani-wani ngelek-ngelekke anakku! Anakku ora nglakokno hal sing ngono kui. Anakku mung keno fitnah karo cangkem-cangkem laknat kaya sampean-
"Sulis! Ngomongo neng Bapak, nek awakmu ora nglakokno hal sing nyebar neng warga kene!" (Sulis! Bilang sama Bapak, bahwa kamu tidak melakukan hal yang tersebar
"Iyo Pak. Sulis ora nglakokno hal ngono kui. Sumpah Pak!" (Iya Pak. Sulis nggak melakukan hal seperti itu. Sumpah Pak!) jawab Sulis.
"Yowes! Sesuk kowe kudu nglakokno Sumpah Pocong ben warga neng kene percaya lan mandeg
Banyak warga yang kontra dengan hal tersebut, karena tidak main-main, Sumpah Pocong bukan sumpah biasa.
Jika berkhianat dari sumpahnya sendiri, bisa kena batunya bertubi-tubi.
Hari yang ditentukan pun tiba.
Tepatnya hari kamis sore. Warga berbondong-bondong berkumpul di Masjid An-Nur, masih dekat dengan lingkungan rumahku.
Sulis sudah terbaring di dalam masjid dengan berbalut kain kafan, didandani persis seperti pocong. Lalu disana ada Mbah Gandon (Mbah tua) sesepuh desa, yang sudah bersiap membimbing ritual Sumpah Pocong.
Bu Sri sebenarnya ragu dan tak tega bila anaknya sampai harus melakukan Sumpah Pocong, namun bagaimana lagi, Pak Riswan yang tempramental tidak bisa dielak lagi kemauannya.
Pak Ustadz pun meminta Sulis untuk mulai berkata fakta yang sesungguhnya.
Setelah selesai mengucap sumpahnya, warga mulai berbisik-bisik satu dengan lainnya.
Pak Riswan dan Bu Sri juga hanya tertunduk lesu, sadar bahwa mereka pun sebenarnya tidak yakin yang diucapkan anaknya adalah sebuah kejujuran.
Hal tersebut diketahui oleh tetangga samping rumah Sulis persis, yang tidak sengaja mendengar percakapan Sulis dan Bu Sri.
Tetangganya itu bisa mendengar karena rumah mereka sangat berdekatan.
Kabar kembali merebak dan semakin memburuk.
Rumahnya selalu sepi, padahal warga tau mereka ada di dalam.
Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.
Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat.
Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak.
**
Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.
Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurna.
Bu Sri dan Pak Riswan sangat terpukul atas kematian Sulis.
"Mampuslah, wong wis kepergok ngono kok yo iseh ngelak, mah kewanen Sumpah Pocong, ngene ki
Sulis segera dimakamkan.
Tepat di hari keempat setelah kematian Sulis, Kidung pulang kampung.
Sudut pandang Ibu selesai.
**
Memang, aku sempat ada perasaan suka saat SMK, namun perasaan itu sudah pudar sejak aku merantau di Jakarta.
Aku coba panggil nomor tersebut, namun ternyata sudah tidak aktif.
Aku sangat penasaran siapa sebenarnya laki-laki di telfon kemarin, kenapa sampai mengancam aku.
Setelah kematian anakku, aku seperti kehilangan semangat untuk hidup, terlebih Sulis anak semata wayang, karena rahimku yang diangkat beberapa bulan setelah Sulis lahir.
Malam pertama setelah Sulis dimakamkan, aku benar-benar tidak bisa tidur.
Tak disangka Sulis berdusta dengan sumpahnya. Salah apa aku mengandung dia, rasanya aku tidak
Dari kecil selalu ku ajarkan etika dan sopan santun. Namun, kenapa Sulis menjadi seperti itu, tega membohongi kedua orangtua, dan berani-beraninya melakukan perbuatan tidak senonoh.
Terkadang, rasa amarah muncul dalam benakku,
Aku bergegas ke dapur dan membuka pintu belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku menuju ruang tengah, hanya ada suamiku yang tengah tertidur lelap di sofa.
Lalu aku coba tunggu di kaca jendela depan yang langsung menghadap ke teras dan halaman.
Kakiku terasa lemas dan kaku, aku ingin segera berlari dan
Sampai tiba-tiba sosok itu menyadari bahwa dirinya sedang diintip melalui gorden. Perlahan dia melayang mendekat ke arah kaca jendela dan berdiam diri di depan wajahku persis (hanya terpisah kaca).
"Ibu...aku pengen bali bu..." (Ibu aku pengen pulang bu) ucapnya lembut dan pasrah.
"Ibu aku ra nduwe konco neng kuburan, tulong bukakno lawang bu" (Ibu aku tidak punya teman di kuburan, tolong
Aku hanya bisa gelagapan menyaksikan hal tersebut, ingin berteriak pun pita suaraku seakan habis, hanya bisa bersuara seperti orang mengigau.
"Buk? Wis sadar? Koe ki ngopo kok semaput neng ruang tamu?" (Buk? Sudah sadar? Kamu tuh kenapa kok pingsan di ruang tamu?) tanya suamiku.
"Iki jam setengah 3, rak sui, mung sakjam. Heh ngopo kok semaput neng ruang tamu?" (Ini jam setengah 3, gak lama cuma satu jam. Heh kenapa kok pingsan
Aku pun menceritakan detail kejadian yang tadi aku alami.
"Kayak e Sulis rak tenang Pak neng kono, awakdewe kudu piye yo? Opo perlu jalok tulung neng Mbah Gandon?" (Kayaknya Sulis gak tenang Pak disana, kita harus gimana ya?
Akhirnya aku dan suami sepakat untuk meminta bantuan Mbah Gandon untuk sekedar menanyakan kepada Sulis apa yang dia mau, mengapa masih mengganggu orangtuanya sendiri.
**
Aku bertanya kepada beliau, aku harus berbuat seperti apa.
Mbah Gandon hanya menyarankan untuk melakukan sebuah ritual, untuk memasukkan roh Sulis ke dalam tubuh manusia, tujuannya untuk ditanyai apa kemauannya.
Aku dan suami pun menyetujuinya.
Tepatnya setelah acara tahlil 7 harian selesai, aku beberes piring dan gelas kotor, aku berniat untuk langsung mencucinya.
Aku mencuci piring di wastafel dapur. Di samping wastafel ada rak piring. Kemudian di samping rak piring ada kamar mandi.
Ketika aku sedang menyabun seluruh piring dan gelas kotor, tiba-tiba
"klunting...klunting.." awalnya masih lirih.
Aku melihat ke depan, suamiku masih sibuk membereskan tikar.
"klunting....klunting..." bunyi piring dan gelas semakin keras.
Namun, beberapa saat kemudian hilang.
Lalu saat hendak tidur, suamiku bercerita, katanya tadi sewaktu sedang membereskan tikar di ruang tamu, samar-sama dia melihat sosok pocong di teras. Sosok tersebut hanya berdiam diri disana.
Tiba-tiba lampu kamar kami mati, saat kami sedang tertidur lelap. Namun masih ada sedikit pancaran cahaya dari luar melalui ventilasi jendela kamar.
Kebetulan ventilasi menghadap langsung ke arah lemari. Tak sengaja aku melihat ke arah atas lemari.
"Pak..pak.. delok kae lo Pak." (Pak..pak.. lihat itu Pak) ucapku gemetar sambil membangunkan suamiku.
Suamiku segera mengambil senter yang ada di laci meja samping ranjang, dan menyorotkan ke atas lemari.
Namun, saat senter disorotkan, tidak ada apapun disana. Tetapi ketika senter dimatikan, sosok itu kembali
Suamiku yang emosi pun segera mendekati lemari, namun sosok itu perlahan menghilang dan berpindah ke pojokan kamar dekat pintu, suamiku mendekat kesana, dan lagi-lagi hilang dan berpindah berbaring di ranjang, tepatnya di sampingku yang sedang terduduk.
Bahkan ada bercak-bercak tanah basah kecoklatan. Aku segera menggulung spreiku dan bergegas merendam dengan air sabun.
Mbah Gandon menggunakan putrinya, Narti, sebagai mediasi. Bukan sembarangan, Narti memang sudah terbiasa
Aku agak terkejut sebenarnya karena tiba-tiba aku melihat Kidung yang turut menyaksikan ritual, namun kata suamiku, semalam dia juga ikut di acara tahlil, hanya saja aku tidak terlalu
Jadi pagi itu aku benar-benar baru tau bahwa Kidung sedang pulang kampung.
Sudut pandang Bu Sri selesai.
**
Beberapa hari setelah aku menyaksikan ritual di rumah Bu Sri. Aku melihat keluarga Bu Sri mengadakan ruwatan. Bu Sri mendirikan tarub kecil-kecilan, beliau juga membuat gunungan buah-buahan dan sayur mayur.
Aku ikut dengan Bapak dan Ibu yang kebetulan mereka membantu proses ruwat, Ibu membantu di dapur, sedangkan Bapak membantu menyiapkan kebutuhan lain yang lebih mengandalkan fisik. Kalau orang desa bilang, Bu Sri sedang punya gawe,
Aku memilih untuk menunggu sesuatu untuk dikerjakan ketika dimintai bantuan oleh siapapun yang ada disana, setidaknya aku stay di rumah Bu Sri agar bisa berguna bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
Maka tujuan ruwat biasanya untuk pembersihan diri atau
Tak terasa kursi-kursi di dalam tarub sudah terisi penuh, ku dengar dalang sudah memulai ceritanya.
Beberapa kali aku bertemu pandang dengan Bu Sri, tatapannya aneh, seperti ada kebencian terhadapku. Namun aku memilih mengabaikan, toh tidak penting juga buatku.
Setelah itu, Bu Sri dan Pak Riswan meminta perhatian para warga, mereka mengakui kesalahan mereka dan anak mereka, mereka memohon maaf sebesar-besarnya atas dosa
Warga mengangguk dan Mbah Gandon mewakili angkat bicara sebagai tokoh masyarakat sekaligus sesepuh desa.
Kemudian satu per satu warga membubarkan diri, namun Mbah Gandon masih berada di ruang tamu, terlihat sedang berbincang-bincang dengan Bu Sri dan Pak Riswan.
"Kowe ono perlu opo ganggu aku Lis? Opo durung puas kowe wis ganggu wongtuomu dewe. Saiki seh ganggu aku. Aku wes ikhlas nek awakmu lungo. Tenango neng kono Lis, aku jalok ngapuro
Aku membaca ayat kursi dan surat-surat pendek yang ku hafal, namun saat aku membaca ayat kursi, sosok Sulis justru menirukan bahkan dengan
Aku menceritakan kepada orangtuaku dengan gelagapan, akhirnya kami mengecek ke dalam kamarku,
Beruntung malam itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku di ganggu oleh Sulis.
Kata Ibu, sosok Sulis juga sudah tidak pernah mengganggu kedua orangtuanya.
Hampir setiap hari aku telfon dengan orangtuaku.
Berbulan-bulan kemudian, kabar tentang Sulis sudah tak terdengar lagi kata Bapak Ibu. Orangtua Sulis sudah hidup dengan lebih baik.
Aib seperti lama kelamaan hilang diterpa
Dan tentang siapa laki-laki yang menelfonku saat sedang ritual di rumah Sulis, entahlah aku tak tau dia siapa. Aku tidak terlalu memikirkan, toh sampai saat ini aku baik-baik saja.
***
Tamat.
Btw kalian capek gak kalau baca cerita saya yang panjang? Sebetulnya saya pingin nulis cerita yang pendek-pendek saja biar esensi horrornya tetep dapet. Tapi kok jiwa saya lebih kuat nulis yang agak panjang supaya detail ceritanya dapet.