My Authors
Read all threads
SUMPAH POCONG
.
.
.
@bacahorror | #bacahorror | #ceritahorror
Tahun 2005.

(Suara HP berbunyi)

"Halo? Assalamualaikum Pak?"

"Halo, waalaikumsalam Dung. Piye kabarmu Le? Kuliahmu piye?" (Halo, waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?)

"Alhamdulillah sedaya lancar Pak, kabar kula sehat. Bapak ibu sehat to?"
(Alhamdulillah semua lancar Pak, kabar saya sehat. Bapak ibu sehat kan?)

"Syukurlah Le, Bapak ibu sehat." (Syukurlah Nak, Bapak ibu sehat)
Kemudian seketika hening, tak ku dengar lagi suara Bapak dari telefon. Yang ku dengar hanyalah suara lelaki tengah menahan isak tangisnya.

Feelingku benar, sepertinya Bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telefon, suara dan nada bicara Bapak
tidak seperti biasanya.

"Pak? Panjenengan kengingnopo?" (Pak, Bapak kenapa?)

"Orapopo Le. Kowe gek ndang bali yo. Nek iso minggu ngarep. Bapak arep kondo karo kowe." (Gapapa Nak. Kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu)
"Njih Pak inshaallah kula wangsul minggu ngajeng." (Iya Pak inshaallah saya pulang minggu depan)

Tuut..tuut..tuut..
Sejenak aku berfikir bagaimana agar minggu depan bisa ku penuhi permintaan Bapak untuk pulang. Karena jujur saja, aku berkuliah sambil bekerja di kota metropolitan. Aku tidak ingin menambah beban Bapak yang hanya seorang sopir angkot di Jawa.
Aku mengambil kerja paruh waktu sebagai seorang waiters di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Gajinya lumayan, bisa aku kumpulkan untuk membayar uang semesteran dan biaya hidup sehari-hari.
Malam harinya, aku mencoba izin kepada pemilik kafe untuk mengambil cuti minggu depan. Syukurlah, atasanku itu sangat baik hati dan langsung mengizinkan.
Singkat cerita aku tiba di hari aku pulang. Aku menuju ke terminal bus dan naik ke bus jurusan kota P di Jawa Tengah.

Aku menempuh perjalanan 8 jam, sampailah aku di terminal kotaku, aku lanjutkan dengan naik ojek menuju rumah.
"Assalamualaikum." aku membuka pintu rumah. Rumah terasa sunyi dan sepi. Aku menuju kamar Bapak dan Ibu, karena tidak ku temui siapapun di rumah, namun di kamar pun mereka tidak ada.

Ku lihat jam sudah pukul 14.20 WIB. Aneh, biasanya Bapak sudah pulang, dan Ibu selalu dirumah
karena hanya seorang ibu rumah tangga.
Mungkin sedang pergi ke tetangga, pikirku.
Aku pun merebahkan tubuhku di kamarku. Sudah 2 tahun aku tidak pulang kampung. Rumah ini terasa masih sama, baunya, suasananya, kehangatannya, tak banyak berubah.
Sampai tak terasa aku memejamkan mataku dan terlelap dalam tidurku.

"Le..Le..tangi, wis maghrib ki lho" (Nak..Nak..bangun, udah maghrib ini lho) suara Ibu membangunkanku.

Benar saja, aku mendengar lantunan adzan maghrib.
Aku bergegas mandi kemudian shalat.
Kemudian Bapak menghampiri aku yang sedang asyik nonton tv sambil makan camilan.

"Le..bar iki kancani Bapak tahlilan yo, nang omahe Bu Sri," (Nak..setelah ini temani Bapak tahlilan ya, di rumahnya Bu Sri)

"La tahlilan eneng opo Pak?" (La tahlilan ada apa Pak?) tanyaku penasaran
"3 dino kepungkur anake, si Sulis kan seda, keno penyakit diabetes akut" (3 hari yang lalu anaknya, si Sulis meninggal, terkena penyakit diabetes akut)

Deg. Batinku.
Sulis adalah teman kecilku, kami bersama-sama sejak umur kami masih 2 tahunan sampai di bangku SMK.
Aku agak terkejut karena Bapak sama sekali tidak memberi kabar kepadaku kalau Sulis meninggal. Kata Bapak, Bapak memang sengaja tidak memberi tahu karena tidak ingin mengganggu pikiranku.
Akhirnya aku berangkat menuju rumah Bu Sri. Disana sudah banyak berkumpul bapak-bapak. Tak lama setelahnya, tahlilan pun dimulai.

Dimulai dengan membaca Al-Fatihah bersama-sama yang dipimpin oleh Pak Ustadz.
Setelahnya membaca yasin dan dilanjutkan dengan bacaan tahlil.
Orang-orang desa umumnya akan memejamkan mata sambil menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika membaca lafadz "Laaillahailallah..." yang diulang-ulang.
Saat itu aku yang tidak terbiasa, hanya sedikit menunduk dan memandang ke seluruh bapak-bapak disana. Semua terlihat khusyuk. Ada juga yang mengantuk.

Tiba-tiba telingaku berdenging sangat kencang sampai terasa nyeri. Sangking sakitnya aku sampai reflek menutup telingaku
dengan kedua tanganku.
Aku mendesis kesakitan, namun anehnya, Bapak yang ada di sampingku sama sekali tidak bergeming padahal aku mengaduh cukup keras.

Bapak tetap fokus membaca tahlil. Lalu samar-samar aku melihat ke arah kaca jendela karena kebetulan aku duduk
di depan kaca jendela yang mengarah langsung ke teras dan halaman depan.

Disana aku melihat bayang-bayang putih berwujud pocong, dan wajah itu, aku mengenalinya. Dia adalah almarhum Sulis temanku.
Wajahnya hitam, menatapku nanar. Ada gambaran kesedihan yang tak mampu dia sembunyikan.
Tak lama setelah itu, sosok Sulis menghilang.
Seketika itu pula denging di telingaku berhenti.
Tahlilan selesai. Seperti biasa keluarga Sulis membagi-bagikan nasi berkat. Aku dan Bapak pun bergegas pulang.
Rumahku tidak terlalu jauh hanya berjarak 4 rumah saja.
Sesampai di rumah, aku mulai membuka obrolan.
"Pak, sakjane Sulis ninggal kengingnopo to?" (Pak, sebenernya Sulis meninggal kenapa sih?) tanyaku sembari membuka toples cemilan di meja depan TV.

"Kan wis tak andani to Le, dekne keno diabetes akut lo.." (Kan sudah tak bilangin, dia kena diabetes akut lo..) jawab Bapak.
Karena malam semakin larut aku memilih tak melanjutkan pertanyaanku kepada Bapak.
Aku masuk ke kamarku dan berniat untuk tidur.

Namun, sudah setengah jam berlalu, aku belum juga bisa tidur. Bayang-bayang sosok Sulis selalu muncul di ingatanku.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.00.

Aku mematikan lampu bohlam yang ada di kamarku, namun masih terdapat sorot rembulan yang masuk melalui kaca jendela kamarku.

Jadi, kondisi cahaya di kamarku menjadi temaram.
Kebetulan ranjangku berada di samping jendela.
Posisi jendela ada di kakiku. Jadi aku tidur menghadap ke arah jendela dan lemari.

Tiba-tiba ada yang mengetuk kaca jendelaku.
Ilustrasinya begini, kondisi di kamarku.

Ranjang menempel di tembok dan di sebelah kanan ada jendela.
Perlahan aku mendekati jendela berusaha mengintip apa yang ada di luar.
Jujur sebenarnya sangat merinding, jelas aku mulai takut kala itu karena sejak di rumah Sulis tadi pun sudah diperlihatkan sosoknya.

Namun, aku memberanikan diri untuk sesegera mungkin melihat ke luar
jendela, dan tidak ada siapa-siapa, tidak ada apa-apa.

Aku pun terlelap tidur.

Keesokan harinya, ketika aku baru saja bangun, aku melihat ibu dan bapak berlari ke luar rumah, di luar rumah juga sudah ramai beberapa warga yang sedang kalang kabut.
"Buk..buk..ono opo buk?" (Buk..buk..ada apa buk?) tanyaku berusaha mencegat Ibu yang wajahnya memerah.

"Ayo le..ayo melu neng omahe Bu Sri" (Ayo nak..ayo ikut ke rumahnya Bu Sri) pinta Ibu tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Aku yang penasaran pun hanya mengikut saja.

Di rumah Bu Sri sudah ada seorang Mbah tua, aku tau beliau adalah sesepuh desa namun lebih mirip seperti dukun.

Ada sekitar 8 warga termasuk aku, bapak, dan ibu yang berkumpul disana.
Betapa terkejutnya aku, ketika ada seorang wanita muda yang sedang berbaring di ruang tengah, dan sedang dipakaikan kain kafan oleh Bu Sri dan dua Ibu-Ibu yang lain.

Ku lihat Bu Sri menangis sesenggukan.

Aku benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, alih-alih bertanya kepada orangtuaku, aku memilih diam dan melihat saja apa yang akan mereka lakukan.

Setelah wanita muda tadi selesai dikafani dia dibaringkan di tengah-tengah kami yang sudah duduk melingkar di ruang tengah.
Aku tidak tau siapa wanita tersebut. Namun, sepertinya bukan warga desaku.

"Sampun nggeh Bapak Ibu, saget dimulai nggeh? Bu Sri monggo di siapke nopo sing sampun kula suwun.." (Sudah ya Bapak Ibu, bisa dimulai ya? Bu Sri silahkan siapkan apa yang sudah saya minta..)
ucap Mbah tua.

Bu Sri pun masuk ke dalam dapur dan kembali keluar dengan membawa tampah besar berisikan bunga-bungaan, daun bidara, air dalam gelas kecil, telur ayam kampung, jipang, pisang, kemenyan, dan beberapa benda lain.
Tampah tersebut diletakkan di atas kepala wanita yang dikafan menyerupai pocong. Kemudian, wanita tersebut mulai memejamkan mata.

Aku dan warga lain hanya terdiam menyaksikan Mbah tua yang mulai merapal kalimat.

Aku tidak tau pasti apa yang dia katakan.
Karena tidak begitu jelas dan menggunakan kosa kata jawa kawi.

Namun, ada yang membuyarkan fokusku. Aku melihat bayangan sosok Sulis terbaring di samping wanita yang dikafani. Sosoknya sama berbentuk pocong.

Perutku terasa sangat mual melihat sosok tersebut.
Tiba-tiba HP ku bergetar di saku celana. Ku lihat ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Karena aku berfikir tidak penting jadi aku matikan saja, namun nomor tersebut terus-menerus menelfon. Aku mohon izin keluar sebentar untuk mengangkat telfon.
"Halo? Siapa ini?"

"Kidung...Kidung. Rupanya kamu sudah pulang kampung ya? Pasti kamu terkejut, wanita jalangmu sudah mati. Kamu lihat saja kedepannya akan lebih mengerikan." ucap seorang laki-laki di seberang.

"Halo..halo..siapa ini? Ojo macem-macem karo awakku!"
(Halo..halo..siapa ini? Jangan macam-macam sama saya!) bentakku.

Tuut..tuut..tuut.. namun sambungan telfon terputus begitu saja.
Aku bersikap setenang mungkin agar tidak membuat orangtuaku khawatir.

Aku pun kembali masuk ke ruang tengah rumah Bu Sri.
Namun saat aku kembali, warga dan orangtuaku termasuk Bu Sri tidak ada disana. Yang tersisa hanyalah Mbah tua dan wanita yang dikafani.

"Mlebu o nyang kamar nek ora kepengin kepelu-pelu.." (Masuklah ke kamar kalau nggak pengin kebawa-bawa..) ucap Mbah tua kepadaku.
Aku pun bergegas masuk ke kamar yang ternyata sedari tadi ada Bapak menunggu di pintu kamar sambil melambaikan tangan kepadaku.

Aku dan yang lain bersembunyi di kamar itu sambil sesekali mengintip ke ruang tengah. Karena kamar tempatku bersembunyi memang ada di ruang tengah.
Beberapa saat kemudian ada suara wanita berteriak kencang, lebih terdengar seperti nada marah. Samar-samar ku dengar Mbah tua ketakutan.

"Metuo balio minggato! Iki dudu papan panggonmu, iki dudu dunyamu! Salahmu dewe wes nyalai kersane Gusti, salahmu dewe wes wani nantang
sumpahmu. Saiki ora perlu maneh di oyak-oyak. Sumpahmu wes mati, sopo seng nandur yo bakal e panen! (Keluarlah pulanglah pergilah! Ini bukan tempatmu, ini bukan duniamu! Salahmu sendiri sudah menyalahi takdir Tuhan, salahmu sendiri sudah berani menantang sumpahmu.
Sekarang tidak perlu lagi di kejar-kejar. Sumpahmu sudah mati, siapa yang menanam pasti akan menuai!) bentak Mbah tua kepada entah siapa dia yang tengah berteriak.

Sejenak aku dan yang lain mengintip dari celah pintu sangking penasaran.
Ternyata wanita yang dikafankan tadi tengah melayang dengan suara yang meraung-raung penuh amarah.

Terlihat wanita itu seperti hendak menyerang Mbah tua, namun selalu terpental mundur ketika Mbah tua menyodorkan benda seperti tasbih namun aku yakin itu bukan tasbih,
ke depan wajah wanita itu.

Namun, wanita itu tak gentar. Justru sosoknya semakin membesar dan kian tambah besar. Sekarang tingginya sampai menyentuh langit-langit rumah. Mbah tua semakin ketakutan. Ruang tengah sudah hancur berantakan.
"Mbah!! Reneo nek wes ra kuat!" (Mbah kesinilah kalau sudah tidak kuat!) Bapak mencoba memanggil Mbah tua dari celah pintu kamar.

Mbah tua berlari ke arah kami, setelah Mbah tua masuk, Bapak segera mengunci pintu kamar.
Wanita tadi pun terdiam. Tidak lagi ki dengar suaranya.

Bapak perlahan membuka pintu kamar, dan mengintip dengan satu mata. Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Entah kemana wanita itu pergi.

Namun...

"Aaaargggg!!!" Teriak wanita itu mengejutkan kami semua.
Dengan wajahnya yang dia hadapkan langsung di depan wajah Bapak.
Wajahnya yang telah memerah dengan urat-urat yang menonjol, mata yang melotot dan darah yang terus keluar dari mulutnya.

Bapak sangat kaget dan membanting pintu keras-keras.
Dug..dug..dug..
Bunyi pintu seperti di pukul-pukul menggunakan kepala.

"Pie iki mbah?" (Gimana ini mbah?) tanya Pak Soni salah satu warga kepada Mbah tua.

"Wes, sabar sik. Sediluk maneh Narti bakal sadar, Sulis ora bakal iso ngrasuk neng awak e menungso sui. Tunggu wae."
(Sudah, sabar dulu. Sebentar lagi Narti akan sadar, Sulis tidak akan bisa merasuki tubuh manusia lama. Tunggu saja) jawab Mbah tua tenang.

Narti? Ternyata wanita yang dikafan bernama Narti. Siapa dia, batinku.

Benar saja. Beberapa saat kemudian terdengar suara dari luar kamar.
Brukkk.

Mbah tua membuka pintu dan Narti sudah tergeletak pingsan. Mbah tua memerintahkan untuk segera melepas kain kafan dari badan Narti.

Narti di baringkan di sofa, lalu di minumi air putih.

Mendadak hening. Tidak satupun yang berkata-kata.
"Sri. Bar iki, aku wis ora bisa bantu opo-opo maneh. Anakmu wis kelewat bates. Anakmu wis nyalai kersane Gusti. Akeh o dungo marang Gusti ben anakmu iso tenang neng alam goib." (Sri. Setelah ini, saya tidak bisa membantu apa-apa lagi. Anakmu sudah kelewat batas.
Anakmu sudah menyalahi takdir Tuhan. Perbanyaklah berdoa kepada Tuhan supaya anakmu bisa tenang di alam gaib) celetuk Mbah tua membuyarkan kesunyian di rumah Bu Sri.

Bu Sri hanya mengangguk pasrah, ada raut kesedihan di wajahnya.
Kami pun segera membubarkan diri. Mbah tua menggendong Narti yang belum terlalu sadar.

Sesampai di rumah aku membuka obrolan dengan Ibu yang hendak memasak.

"Buk, tulong ojo di tutup-tutupi maneh. Sakbenere opo sing kedadeyan karo Sulis? Kok iso ngene?"
(Buk, tolong jangan di tutup-tutupi lagi. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Sulis? Kok bisa gini?) tanyaku mendesak Ibu.

Awalnya Ibu masih menolak untuk bercerita. Namun aku terus memaksa. Akhirnya, Ibu menceritakan apa yang terjadi kepada Sulis.
Sudut pandang Ibu.

Sulis, Ibu tau betul bahwa dia adalah teman dekat anakku. Mereka sudah bersama-sama sejak mereka umur 2 tahun. Bahkan dulu ketika aku dan Bu Sri hamil anak kami, kami sempat punya rencana untuk nantinya ketika anak kami dewasa,
kami akan menjodohkan mereka.

Bukan tanpa alasan, Bu Sri pun karibku sejak bangku SMP, sampai akhirnya kami sama-sama menikah dan hidup bertetangga.

Sulis adalah gadis yang manis, matanya kecil, hidung mancung dengan lesung pipit yang menawan.
Dulu aku sangat berharap bahwa kelak Sulis akan menikah dengan anakku, Kidung.

Namun, sejak Kidung merantau ke Jakarta untuk kuliah, sepertinya hubungan mereka berdua menjadi renggang.
Kidung jarang pulang kampung. Sedangkan Sulis telah bekerja di sebuah koperasi
Rumah Sakit daerah.

Mereka sama-sama sibuk. Mungkin tidak pernah sempat saling melempar kabar.

Akhirnya pada akhir tahun 2004, aku dan Bu Sri sempat berunding kecil-kecilan. Kami berencana untuk mengkomunikasikan niat baik kami kepada Sulis dan Kidung.
Aku ingin setelah Kidung wisuda, segera melamar Sulis untuknya.

Namun, pada pertengahan Maret 2005, ada berita kurang baik geger di desa.

Kabarnya Sulis terpergoki berzina dengan seorang pemuda di gubug tengah sawah, tak jauh dari rumahnya.
Namun meski begitu, Sulis masih mengelak bahwa dirinya tidak berbuat asusila. Dia mengakui bahwa memang sedang berpacaran dengan seorang pemuda di gubug tengah sawah malam itu.

Namun, mereka hanya sebatas ngobrol santai dan menikmati semilir angin di sawah.
Berita cepat menyebar dari mulut ke mulut, maklum orang desa.

Aku sempat bertanya kepada Bu Sri, namun dia pun mengelak dan membela anaknya.
Sejak beredarnya berita tersebut, Sulis seperti dikucilkan di pergaulan desa.

Orang-orang membicarakannya.
Sulis menjadi jarang terlihat keluar rumah. Dia keluar hanya ketika berangkat dan pulang kerja.

Bu Sri pun memilih menarik diri dari lingkungan sekitar. Yang masih biasa srawung (kumpul-kumpul) hanyalah Pak Riswan suaminya.
Pak Riswan selalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dengan anaknya. Sampai suatu ketika, saat Pak Riswan ronda bersama ketiga warga lain, Pak Riswan dibuat marah besar karena celetukan dari salah satu teman rondanya, Pak Edi.
Pak Edi secara sadar mengatakan bahwa anaknya mirip seperti wanita jalang. Tidak punya sopan santun. Pak Edi juga memojokkan Pak Riswan agar Pak Riswan selalu menjaga anak gadisnya serta mengajarkan pentingnya harga diri.
Terjadi perdebatan panjang malam itu.

Warga sekitar rumahku, ramai dibuatnya. Karena Pak Riswan dan Pak Edi sempat baku hantam.

"Ojo wani-wani ngelek-ngelekke anakku! Anakku ora nglakokno hal sing ngono kui. Anakku mung keno fitnah karo cangkem-cangkem laknat kaya sampean-
sampean kabeh!!" (Jangan berani menjelek-jelekan anakku! Anakku tidak melakukan hal seperti itu. Anakku cuma kena fitnah dari mulut-mulut laknat kaya kalian-kalian semua!!) Pak Riswan mengamuk pada malam itu. Padahal banyak warga yang menonton perdebatan mereka.
Setelah dipisahkan oleh warga, Pak Riswan buru-buru pulang dan menanyakkan secara terang-terangan kepada anaknya.

"Sulis! Ngomongo neng Bapak, nek awakmu ora nglakokno hal sing nyebar neng warga kene!" (Sulis! Bilang sama Bapak, bahwa kamu tidak melakukan hal yang tersebar
di warga sini!) bentak Pak Riswan di kamar Sulis.

"Iyo Pak. Sulis ora nglakokno hal ngono kui. Sumpah Pak!" (Iya Pak. Sulis nggak melakukan hal seperti itu. Sumpah Pak!) jawab Sulis.

"Yowes! Sesuk kowe kudu nglakokno Sumpah Pocong ben warga neng kene percaya lan mandeg
ngece keluargane awakdewe! Awakdewe saiki kaya wis ra duwe harga diri!" (Yasudah! Besok kamu harus melakukan Sumpah Pocong supaya warga disini percaya dan berhenti merendahkan keluarga kita! Kita sekarang seperti sudah tidak punya harga diri!) putus Pak Riswan bulat.
Kabar tentang Sulis hendak melakukan Sumpah Pocong pun tersebar luas hampir ke seluruh pelosok desa.

Banyak warga yang kontra dengan hal tersebut, karena tidak main-main, Sumpah Pocong bukan sumpah biasa.

Jika berkhianat dari sumpahnya sendiri, bisa kena batunya bertubi-tubi.
Namun, keputusan Pak Riswan tidak bisa diganggu gugat. Dia marah besar karena ucapan Pak Edi yang begitu menyayat hati.

Hari yang ditentukan pun tiba.
Tepatnya hari kamis sore. Warga berbondong-bondong berkumpul di Masjid An-Nur, masih dekat dengan lingkungan rumahku.
Aku dan suamiku juga turut menyaksikan.
Sulis sudah terbaring di dalam masjid dengan berbalut kain kafan, didandani persis seperti pocong. Lalu disana ada Mbah Gandon (Mbah tua) sesepuh desa, yang sudah bersiap membimbing ritual Sumpah Pocong.
Ada pula Pak Ustadz yang ikut mendampingi.

Bu Sri sebenarnya ragu dan tak tega bila anaknya sampai harus melakukan Sumpah Pocong, namun bagaimana lagi, Pak Riswan yang tempramental tidak bisa dielak lagi kemauannya.
Sumpah Pocong dimulai dengan ceramah dari Mbah Gandon dan Pak Ustadz, yang menjelaskan maksud dari diadakannya Sumpah Pocong oleh Sulis, yaitu hendak meluruskan kabar yang beredar di masyarakat tentang dirinya.
Kemudian dilanjutkan dengan Pak Ustadz membacakan lantunan ayat suci Al-Quran dan meletakkan Al-Quran tersebut tepat di atas wajah Sulis yang terbaring.

Pak Ustadz pun meminta Sulis untuk mulai berkata fakta yang sesungguhnya.
Dengan lantang Sulis mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah berzina dan berbuat asusila di gubug tengah sawah. Sulis mengaku salah karena sudah berpacaran disana yang mengundang kecurigaan warga. Namun, dia sama sekali tidak melakukan hal yang melewati batas.
Sulis bersumpah jika dia berdusta dengan ucapannya, dia akan mati dalam keadaan mengenaskan, dan arwahnya nanti akan gentayangan mengganggu keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Setelah selesai mengucap sumpahnya, warga mulai berbisik-bisik satu dengan lainnya.
Mbah Gandon hanya terdiam tanpa sepatah katapun.

Pak Riswan dan Bu Sri juga hanya tertunduk lesu, sadar bahwa mereka pun sebenarnya tidak yakin yang diucapkan anaknya adalah sebuah kejujuran.
Sumpah Pocong sudah dilakukan, namun hasilnya nihil. Warga desa tetep menghibah Sulis, terlebih ada desas-desus baru katanya Sulis hamil.

Hal tersebut diketahui oleh tetangga samping rumah Sulis persis, yang tidak sengaja mendengar percakapan Sulis dan Bu Sri.
Katanya, Sulis memohon maaf sebesar-besarnya kepada Ibunya karena dia sebenarnya telah berzina dan saat itu telah mengandung.

Tetangganya itu bisa mendengar karena rumah mereka sangat berdekatan.

Kabar kembali merebak dan semakin memburuk.
Sulis sampai berhenti bekerja, Pak Riswan dan Bu Sri pun tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya.

Rumahnya selalu sepi, padahal warga tau mereka ada di dalam.
Tiga bulan kemudian, tengah malam, aku sangat terkejut mendengar pintu rumahku di gedor-gedor. Aku dan suamiku bergegas ke depan, ternyata itu adalah Bu Sri, keadaannya sudah menangis sejadi-jadinya dan memohon pertolongan.
Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.
Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil.

Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.

Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat.
Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak.
Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.

**

Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.
Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurna.

Bu Sri dan Pak Riswan sangat terpukul atas kematian Sulis.
Warga yang ramai melayat ke rumahnya justru memperlihatkan kebengisan mereka, bahkan tak segan saling berbisik satu sama lain dan berkata bahwa ini adalah bukti kedustaan sumpah Sulis.

"Mampuslah, wong wis kepergok ngono kok yo iseh ngelak, mah kewanen Sumpah Pocong, ngene ki
wes kena karmane." (Mampuslah, orang sudah kepergok gitu kok ya masih ngelak, malah berani-beraninya Sumpah Pocong, ginilah sudah kena karmanya) ucap salah seorang warga di sampingku.

Sulis segera dimakamkan.
Malam harinya, seperti biasa keluarga Sulis mengadakan tahlil 7 harian.

Tepat di hari keempat setelah kematian Sulis, Kidung pulang kampung.

Sudut pandang Ibu selesai.

**
Aku mencoba mencerna apa yang diceritakan Ibu, namun rasanya masih tidak percaya bahwa Sulis seperti itu.

Memang, aku sempat ada perasaan suka saat SMK, namun perasaan itu sudah pudar sejak aku merantau di Jakarta.
Aku masuk ke kamarku dan mengotak-atik HPku, aku melihat nomor tak dikenal yang tempo hari mendadak telfon.

Aku coba panggil nomor tersebut, namun ternyata sudah tidak aktif.

Aku sangat penasaran siapa sebenarnya laki-laki di telfon kemarin, kenapa sampai mengancam aku.
Sudut pandang Bu Sri.

Setelah kematian anakku, aku seperti kehilangan semangat untuk hidup, terlebih Sulis anak semata wayang, karena rahimku yang diangkat beberapa bulan setelah Sulis lahir.

Malam pertama setelah Sulis dimakamkan, aku benar-benar tidak bisa tidur.
Aku membayangkan sedang apa anakku disana, apakah sedang disiksa atau sedang bahagia. Suamiku terlihat sangat strees karena dia yang menyuruh Sulis untuk melakulan Sumpah Pocong.

Tak disangka Sulis berdusta dengan sumpahnya. Salah apa aku mengandung dia, rasanya aku tidak
pernah ngidam yang macam-macam.

Dari kecil selalu ku ajarkan etika dan sopan santun. Namun, kenapa Sulis menjadi seperti itu, tega membohongi kedua orangtua, dan berani-beraninya melakukan perbuatan tidak senonoh.

Terkadang, rasa amarah muncul dalam benakku,
karena ulah Sulis yang begitu bodoh sudah hampir menghancurkan keseluruhan hidupku dan suamiku. Tetapi, setelah itu aku kembali tersadar, bagaimanapun keadaan anakku, dia tetap anak yang dulu ku kandung, dia anak yang ku besarkan dengan cinta, dia anak tersayangku.
Namun, tiba-tiba suara pintu belakang diketuk membuyarkan lamunan dan pikiranku yang berkecamuk.

Aku bergegas ke dapur dan membuka pintu belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku menuju ruang tengah, hanya ada suamiku yang tengah tertidur lelap di sofa.
Terdengar kembali suara ketukan di pintu depan, saat aku hendak membuka, suara ketukan pindah ke pintu belakang. Begitu seterusnya, bolak-balik depan belakang.

Lalu aku coba tunggu di kaca jendela depan yang langsung menghadap ke teras dan halaman.
Aku mengintipnya dari celah gorden, ternyata itu adalah sosok pocong yang melayang-layang mengetuk-ngetukan kepalanya di pintu. Sambil tertawa cekikikan. Kemudian terbang memutari rumah dan mengetuk pintu belakang.

Kakiku terasa lemas dan kaku, aku ingin segera berlari dan
membangunkan suamiku, namun badanku benar-benar terpaku dan sulit digerakkan.

Sampai tiba-tiba sosok itu menyadari bahwa dirinya sedang diintip melalui gorden. Perlahan dia melayang mendekat ke arah kaca jendela dan berdiam diri di depan wajahku persis (hanya terpisah kaca).
Itu adalah Sulis anakku. Wajahnya dipenuhi borok dan belatung yang menjijikan.

"Ibu...aku pengen bali bu..." (Ibu aku pengen pulang bu) ucapnya lembut dan pasrah.

"Ibu aku ra nduwe konco neng kuburan, tulong bukakno lawang bu" (Ibu aku tidak punya teman di kuburan, tolong
bukain pintu bu) namun seketika wajahnya yang tadi teduh berubah menyeringai ke arahku, matanya merah melotot dan ada taring di giginya.

Aku hanya bisa gelagapan menyaksikan hal tersebut, ingin berteriak pun pita suaraku seakan habis, hanya bisa bersuara seperti orang mengigau.
Tak lama setelah itu aku pingsan. Ketika aku tersadar aku sudah terbaring di kasur, dan suamiku duduk di sampingku.

"Buk? Wis sadar? Koe ki ngopo kok semaput neng ruang tamu?" (Buk? Sudah sadar? Kamu tuh kenapa kok pingsan di ruang tamu?) tanya suamiku.
"Iki jam piro Pak? Aku sui po le semaput?" (Ini jam berapa Pak? Aku lama pingsannya?) jawabku sekaligus bertanya balik.

"Iki jam setengah 3, rak sui, mung sakjam. Heh ngopo kok semaput neng ruang tamu?" (Ini jam setengah 3, gak lama cuma satu jam. Heh kenapa kok pingsan
di ruang tamu?) suamiku kian penasaran.

Aku pun menceritakan detail kejadian yang tadi aku alami.

"Kayak e Sulis rak tenang Pak neng kono, awakdewe kudu piye yo? Opo perlu jalok tulung neng Mbah Gandon?" (Kayaknya Sulis gak tenang Pak disana, kita harus gimana ya?
Apa perlu minta bantuan Mbah Gandon?).

Akhirnya aku dan suami sepakat untuk meminta bantuan Mbah Gandon untuk sekedar menanyakan kepada Sulis apa yang dia mau, mengapa masih mengganggu orangtuanya sendiri.

**
"Wah. Anakmu ki kualat e Sri. Kewanen. Kudune nek ancen berbuat yo wani mengakui. Lha iki kok malah ngelak nganti Sumpah Pocong barang. Ket awal kan aku wis ngomong neng awakmu Wan, ojo kok korbanke anakmu dewe, mending kok rumati iku bayi sing neng wetenge Sulis."
(Wah. Anakmu tuh kualat Sri. Terlalu berani. Harusnya kalau memang berbuat ya berani mengakui. Lha ini kok malah ngelak sampai Sumpah Pocong segala. Dari awal kan aku sudah bilang ke kamu Wan, jangan kamu korbankan anakmu sendiri, mending kamu rawat itu bayi yang ada di perut
Sulis) ucap Mbah Gandon ketika aku dan suami menyambangi rumahnya.

Aku bertanya kepada beliau, aku harus berbuat seperti apa.

Mbah Gandon hanya menyarankan untuk melakukan sebuah ritual, untuk memasukkan roh Sulis ke dalam tubuh manusia, tujuannya untuk ditanyai apa kemauannya.
Setelah itu, Mbah Gandon menyuruhku untuk mengadakan ruwatan kecil-kecilan di rumahku. Untuk membersihkan rumah dan lingkungan sekitar dari hal-hal negatif.

Aku dan suami pun menyetujuinya.
Malam harinya, setelah aku bertemu Mbah Gandon. Lagi-lagi sosok Sulis masih terus mengganggu aku dan suamiku.

Tepatnya setelah acara tahlil 7 harian selesai, aku beberes piring dan gelas kotor, aku berniat untuk langsung mencucinya.
Sedangkan suamiku membereskan tikar di ruang tamu dan ruang tengah.

Aku mencuci piring di wastafel dapur. Di samping wastafel ada rak piring. Kemudian di samping rak piring ada kamar mandi.

Ketika aku sedang menyabun seluruh piring dan gelas kotor, tiba-tiba
piring dan gelas yang ada di rak piring berbunyi-bunyi seperti ada yang menggoyangkan raknya.

"klunting...klunting.." awalnya masih lirih.

Aku melihat ke depan, suamiku masih sibuk membereskan tikar.

"klunting....klunting..." bunyi piring dan gelas semakin keras.
Aku berhenti sejenak dari mencuci piring dan memperhatikan sesuatu di samping rak piring, tepatnya agak didepan pintu kamar mandi, ada sosok pocong yang sedang menggeliat-geliat disana, badannya menyenggol rak piring.

Namun, beberapa saat kemudian hilang.
Aku memilih mengabaikan hal tersebut dan melanjutkan pekerjaanku.

Lalu saat hendak tidur, suamiku bercerita, katanya tadi sewaktu sedang membereskan tikar di ruang tamu, samar-sama dia melihat sosok pocong di teras. Sosok tersebut hanya berdiam diri disana.
Pukul 01.20.

Tiba-tiba lampu kamar kami mati, saat kami sedang tertidur lelap. Namun masih ada sedikit pancaran cahaya dari luar melalui ventilasi jendela kamar.

Kebetulan ventilasi menghadap langsung ke arah lemari. Tak sengaja aku melihat ke arah atas lemari.
Aku melihat sosok Sulis ada disana. Posisi duduk di atas lemari dengan kakinya yang ungkang-ungkang (bahasa indonesianya apa ya?).

"Pak..pak.. delok kae lo Pak." (Pak..pak.. lihat itu Pak) ucapku gemetar sambil membangunkan suamiku.
Suamiku yang terkejut langsung melihat ke arah jariku menunjuk.

Suamiku segera mengambil senter yang ada di laci meja samping ranjang, dan menyorotkan ke atas lemari.

Namun, saat senter disorotkan, tidak ada apapun disana. Tetapi ketika senter dimatikan, sosok itu kembali
terlihat.

Suamiku yang emosi pun segera mendekati lemari, namun sosok itu perlahan menghilang dan berpindah ke pojokan kamar dekat pintu, suamiku mendekat kesana, dan lagi-lagi hilang dan berpindah berbaring di ranjang, tepatnya di sampingku yang sedang terduduk.
Aku teriak bukan kepalang. Suamiku pun hanya terpaku di dekat pintu kamar, hendak mendekat namun tak mampu. Cukup lama sosok Sulis ada di ranjang, aku hanya bisa menutup wajahku dengan kedua tangan tanpa berani menoleh ke arah sosok tersebut lagi.
"Pak..Bu.. Sulis pengin bali...tulongi Sulis Bu..Pak..Sulis emoh dadi pocong.. hihihihihihi..." (Pak..Bu.. Sulis pengen pulang...tolongin Sulis Bu..Pak..Sulis gamau jadi pocong hihihihihihi..) ucap sosok tersebut yang diakhiri dengan tertawa cekikikan.
Tak berselang lama sosok itu menghilang, namun di kasur bekas dia berbaring menyeruak bau busuk yang tak terkira.

Bahkan ada bercak-bercak tanah basah kecoklatan. Aku segera menggulung spreiku dan bergegas merendam dengan air sabun.
Niatku semakin bulat untuk menuruti saran Mbah Gandon. Pagi harinya aku melakukan ritual yang dibantu oleh Mbah Gandon, yaitu memasukkan arwah Sulis ke dalam tubuh manusia.

Mbah Gandon menggunakan putrinya, Narti, sebagai mediasi. Bukan sembarangan, Narti memang sudah terbiasa
dan sudah dilatih serta dibekali ilmu oleh Mbah Gandon agar bisa menjadi baham mediasi.

Aku agak terkejut sebenarnya karena tiba-tiba aku melihat Kidung yang turut menyaksikan ritual, namun kata suamiku, semalam dia juga ikut di acara tahlil, hanya saja aku tidak terlalu
memperhatikan, karena semalam ramai bapak-bapak dan aku pun sibuk di dapur.

Jadi pagi itu aku benar-benar baru tau bahwa Kidung sedang pulang kampung.
Aku teringat dulu Sulis sempat bercerita, bahwa dirinya ada perasaan kepada Kidung, namun sejak Kidung kuliah di Jakarta, sikapnya menjadi berbeda, seperti orang asing. Padahal, 3 tahun Sulis memendam rasa suka dan selalu menanti Kidung pulang.
Sampai akhirnya, mungkin Sulis sudah tak tahan lagi sehingga memutuskan membuka hati untuk laki-laki lain, yang aku pun tidak menyangka laki-laki itu menghancurkan hidup Sulis.

Sudut pandang Bu Sri selesai.

**
Kembali ke sudut pandang Kidung.

Beberapa hari setelah aku menyaksikan ritual di rumah Bu Sri. Aku melihat keluarga Bu Sri mengadakan ruwatan. Bu Sri mendirikan tarub kecil-kecilan, beliau juga membuat gunungan buah-buahan dan sayur mayur.
Gunungan tersebut di letakkan di teras rumahnya. Beliau mengundang warga desa untuk datang menyaksikan acara ruwatan. Warga desa yang secara sifat alaminya memiliki rasa sungkan yang besar pun berbondong-bondong menyambangi rumah Bu Sri, meskipun sebenarnya aib mengenai Sulis
masih menjadi perbincangan hangat.

Aku ikut dengan Bapak dan Ibu yang kebetulan mereka membantu proses ruwat, Ibu membantu di dapur, sedangkan Bapak membantu menyiapkan kebutuhan lain yang lebih mengandalkan fisik. Kalau orang desa bilang, Bu Sri sedang punya gawe,
maka kewajiban seorang tetangga harus saling membantu.

Aku memilih untuk menunggu sesuatu untuk dikerjakan ketika dimintai bantuan oleh siapapun yang ada disana, setidaknya aku stay di rumah Bu Sri agar bisa berguna bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
Bu Sri juga mengadakan pagelaran wayang kulit, namun yang skala kecil. Di desa, ruwat biasa dilakukan oleh orang-orang sukerta / berada dalam dosa, atau orang yang punya kesalahan (dosa) dan atau kesialan atau kemalangan.

Maka tujuan ruwat biasanya untuk pembersihan diri atau
penyucian diri.

Tak terasa kursi-kursi di dalam tarub sudah terisi penuh, ku dengar dalang sudah memulai ceritanya.

Beberapa kali aku bertemu pandang dengan Bu Sri, tatapannya aneh, seperti ada kebencian terhadapku. Namun aku memilih mengabaikan, toh tidak penting juga buatku.
Acara ruwatan selesai di sore harinya. Warga pun berebutan buah-buah dan sayur mayur yang ada di gunungan.

Setelah itu, Bu Sri dan Pak Riswan meminta perhatian para warga, mereka mengakui kesalahan mereka dan anak mereka, mereka memohon maaf sebesar-besarnya atas dosa
yang dilakukan oleh anaknya yang telah menimbulkan desas-desus tidak baik di kalangan warga, serta menjadi cap jelek bagi nama baik desa.

Warga mengangguk dan Mbah Gandon mewakili angkat bicara sebagai tokoh masyarakat sekaligus sesepuh desa.
"Mugo-mugo bar iki rak ono kedadeyan-kedadeyan sing ra ngenaki maneh yo Sri, Wan. Aku karo warga kabeh yo jaluk ngapuro nek okeh salah e karo koe sakeluarga, awakdewe kabeh namung menungso, ora luput seko salah lan khilaf, mugo Sulis tenang neng alam ghoib lan etuk ampunan
seko Gusti Alloh." (Semoga setelah ini gak ada kejadian-kejadian yang gak ngenakin lagi ya Sri, Wan. Aku dan warga lain juga minta maaf kalau banyak salah sama kamu sekeluarga, kita semua hanya manusia biasa, tidak terlepas dari salah dan khilaf, semoga Sulis tenang di alam ghoib
dan mendapat ampunan dari Gusti Alloh) ucap Mbah Gandon.

Kemudian satu per satu warga membubarkan diri, namun Mbah Gandon masih berada di ruang tamu, terlihat sedang berbincang-bincang dengan Bu Sri dan Pak Riswan.
Malamnya. Ketika aku hendak memejamkan mata, awalnya aku menghadap ke tembok (miring ke kanan), kemudian aku membalikkan badanku ke kiri, betapa terkejutnya aku ada sosok Sulis terbaring di sampingku, sedang menatapku nanar. Bau busuk bukan main, di wajahnya banyak borok dan
belatung. Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Aku terduduk namun sosok itu belum hilang.

"Kowe ono perlu opo ganggu aku Lis? Opo durung puas kowe wis ganggu wongtuomu dewe. Saiki seh ganggu aku. Aku wes ikhlas nek awakmu lungo. Tenango neng kono Lis, aku jalok ngapuro
nek okeh salahku neng awakmu. Sebalike aku yo wis maafke kabeh salahmu neng awakku." (Kamu ada perlu apa ganggu aku Lis? Apa belum puas kamu sudah ganggu orangtuamu sendiri. Sekarang masih ganggu aku. Aku sudah ikhlas kalau kamu pergi. Tenanglah disana Lis, aku minta maaf kalau
banyak salahku ke kamu. Sebaliknya aku pun sudah memaafkan semua salahmu) aku berusaha bicara sebijak mungkin sambil melihat lurus ke depan, aku sama sekali tidak berani menengok ke arah kiri. Beberapa detik kemudian sosok itu menghilang. Namun, dia berpindah berdiri
di belakangku, aku melihatnya dari pantulan cermin yang ada di lemari, karena posisi lemari sejajar lurus dengan arahku tidur.

Aku membaca ayat kursi dan surat-surat pendek yang ku hafal, namun saat aku membaca ayat kursi, sosok Sulis justru menirukan bahkan dengan
suara yang lebih lantang dan lebih fasih bacaannya, lalu dia tertawa setelah itu. Aku sudah tak tahan lagi, aku berlari keluar kamar dan menggedor pintu kamar orangtuaku.

Aku menceritakan kepada orangtuaku dengan gelagapan, akhirnya kami mengecek ke dalam kamarku,
sosok itu sudah pergi. Namun memang menyisakan bekas tanah basah, dan bau busuk.

Beruntung malam itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku di ganggu oleh Sulis.

Kata Ibu, sosok Sulis juga sudah tidak pernah mengganggu kedua orangtuanya.
Dua hari setelah kejadian itu aku kembali ke Jakarta.

Hampir setiap hari aku telfon dengan orangtuaku.

Berbulan-bulan kemudian, kabar tentang Sulis sudah tak terdengar lagi kata Bapak Ibu. Orangtua Sulis sudah hidup dengan lebih baik.

Aib seperti lama kelamaan hilang diterpa
angin. Warga kembali tenang, desa kembali aman dan nyaman.

Dan tentang siapa laki-laki yang menelfonku saat sedang ritual di rumah Sulis, entahlah aku tak tau dia siapa. Aku tidak terlalu memikirkan, toh sampai saat ini aku baik-baik saja.

***

Tamat.
Semoga bisa dipetik hikmah pelajaran.

Btw kalian capek gak kalau baca cerita saya yang panjang? Sebetulnya saya pingin nulis cerita yang pendek-pendek saja biar esensi horrornya tetep dapet. Tapi kok jiwa saya lebih kuat nulis yang agak panjang supaya detail ceritanya dapet.
Menurut kalian gimana?
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Sekala Niskala

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!