Pandemi COVID-19 mendorong epidemiologi ke garis terdepan disiplin segala ilmu di seluruh dunia dan membuat beberapa praktisi menjadi selebritas sementara (temporer).
Kutipan itu diambil dari artikel University of Southern California yang mewawancarai Dr. Deborah Morton.
Tetapi ternyata pada kenyataannya, masyarakat justru tidak memberi ruang dan tempat untuk epidemiolog. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga media - terutama media digital.
Kita lebih percaya artis antah berantah yang tak mengerti pandemi, untuk membicarakan pandemi.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari penyebaran semua hal yang berhubungan dengan dunia kesehatan, termasuk penyakit. Orang yang mempraktikkan ilmu ini disebut epidemiologis.
Pada praktiknya, epidemiologi adalah metode yang digunakan oleh epidemiologis untuk menentukan penyebab terjadinya penyakit tertentu di tengah masyakat. Epidemiologi juga dapat digunakan untuk melakukan kontrol terhadap masalah kesehatan tertentu.
Terdapat 2 tipe dasar yang dapat digolongkan dalam studi epidemiologi:
1. Retrospektif: epidemiologi yang dilakukan setelah adanya kasus kesehatan tertentu
2. Prospektif: epidemiologi yang dilakukan untuk memprediksi kejadian kesehatan di masa depan.
Dalam studi retrospektif, penyakit yang diteliti adalah penyakit yang penyebabnya belum diketahui atau penyakit yang tidak lazim terjadi di tengah masyarakat.
Sedangkan penelitan yang sering dilakukan dalam studi prospektif adalah efek obat atau komplikasi sebuah penyakit.
Selain mempelajari penyakit, epidemiolog juga mempelajari hal-hal ini:
1. Masalah lingkungan, misalnya pencemaran air akibat timbal dan logam berat lainnya.
2. Penyakit menular, misalnya penyakit yang disebabkan influenza, dan pneumonia.
3. Penyakit noninfeksi, misalnya kenaikan jumlah penderita kanker tipe tertentu di lingkungan masyarakat.
4. Kecelakaan, misalnya kenaikan jumlah kasus pembunuhan dalam suatu komunitas.
5. Bencana alam.
6. Terorisme, misalnya kasus World Trade Centre/penyebaran virus anthraks.
Menjadi epidemiolog tentunya tidak semudah artis memberikan konspirasi tak berdasar dan asumsi tak mencerahkan.
Epidemiolog menguasai statistik, clinical trails, meta-analysis, genetic & nutritional epidemiology, maternal & child health, communicable diseases, dan banyak lainnya
Sederetan universitas seperti Stanford, UC Berkeley, UCLA, Erasmus, Georgetown, Antwerp mempunyao program S1 sampai S3 epidemiologi. Bahkan di Indonesia sendiri, UI, Undip, dan Unair mempunyai program magister (S2) epidemiologi.
Lalu, mengapa kita memberikan ruang pada artis?
Mungkin hal yang baik apabila para influencer tersebut menjadi perpanjangan tangan para epidemiolog dalam menyebarkan informasi tentang COVID-19.
Tapi, yang terjadi ialah sebaliknya, mereka ramai-ramai "melemahkan" bahaya COVID-19 ini.
Kami terus melawan konspirasi tak bertanggung jawab dan sudah ada beberapa thread yang kami buat dari kajian ilmiah serta review buku Death of Expertise (Matinya Kepakaran).
Semua akan kami cantumkan dengan harapan kita lebih terbuka pada ilmu pengetahuan.
Mengapa orang lebih mempercayai konspirasi dibanding kajian ilmiah? Kami memberikan sudut pandang psikologi pada thread ini
Review buku Death of Expertise atau Matinya Kepakaran yang menjawab pertanyaan kenapa masyarakat dan pemerintah abai terhadap peringatan para pakar (terkait COVID-19)
"Kita suka mendengar pandangan-pandangan yang membuat kita merasa berdaya, dibandingkan dengan ide-ide yang membuat kita berpikir keras."
Mari kita belajar membuat kebiasaan untuk memikirkan ulang opini-opini bersama Adam Grant!
- a thread!
Kita seringkali memaksakan diri kita untuk berpegang teguh pada apa yang kita ketahui, karena untuk mempertanyakan diri kita sendiri, berarti juga mengharuskan kita untuk mengakui bahwa fakta sangat mungkin berubah.
Apa yang sebelumnya kita anggap benar, bisa menjadi salah.
Riset menunjukkan bahwa saat kita berpikir dan berbicara, kita sering tergelincir pada 3 jenis pola pikir ini:
Pernah ngga sih kalian nemuin netizen yang pede ngoceh fafifu wasweswos tapi argumennya nggak sesuai data? Apalagi, di masa pandemi ini, munculnya orang-orang yang inkompeten tapi berlagak ahli cukup meresahkan. Nah fenomena ini dikenal dengan "Dunning-Kruger Effect".
A Thread!
Dunning-Kruger Effect adalah suatu kondisi bias kognitif. Dalam kondisi ini, seseorang keliru menilai kemampuannya sendiri sehingga merasa dirinya lebih kompeten daripada orang lain.
Teori Dunning-Kruger Effect pertama kali dicetuskan oleh David Dunning dan Justin Kruger, dua orang profesor psikologi sosial dari Cornell University pada tahun 1999. Berkat temuan teorinya, Dunning dan Kruger dianugerahi penghargaan nobel pada tahun 2000.
Satu masalah yang masih menjadi masalah adalah miskonsepsi soal seks dan gender. Seks adalah persoalan biologis; Gender adalah persoalan sosio-kultural.
Mungkin kamu pernah mendengar kalimat "Hidup adalah penderitaan" tapi apakah benar demikian? Apakah Pesimis = Realistis?
Ayo kenalan dulu sama Arthur Schopenhauer, filsuf eksistensialisme Jerman abad-18 yang memperkenalkan konsep Pesimisme!
- a thread!
Sebelum baca lebih lanjut, ada quote pembuka nih dari Arthur Schopenhauer :
"Jika dunia penuh dengan kemewahan dan kemudahan, tanah yang dipenuhi susu dan madu, di mana setiap Jack mendapatkan Jill-nya dengan mudah dan tanpa kesulitan, manusia pasti akan mati karena bosan"
Digelari dengan “Hujjatul Islam”, al-Ghazali menjadi “Bukti Islam” atau pembela Islam pada masanya. Ia memiliki kepiawaian dalam berargumen dengan lisan yang indah dan fasih.
Kali ini, Logos membahas perjalanan hidup dan beberapa pemikiran al-Ghazali.
A Thread!
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali merupakan seorang ulama besar, mistikus, sufi, ahli hukum, filsuf dan pendidik. Ia mewariskan banyak ilmu yang berpengaruh pada budaya, sejarah agama, dan pendidikan di seluruh dunia.
Sama halnya dengan Konfusius dan Plato, al-Ghazali juga berkontribusi besar dalam bidang pendidikan. Ia telah menulis sebanyak sekian ratus buku, dimana 78 diantaranya masih ada hingga sekarang.