#bacahorror #bacahoror #NUN
.
Siang itu di hari minggu, aku sedang berkutat dengan wajan, untuk menggoreng ubi dari hasil panen di samping rumah.
keadaan nya aku diri di rumah sendirian, Bapak ku sedang trip kapal, begitulah bagaimana aku berada di rumah seorang diri.
Kebetulan, di depan rumah aku memiliki seorang tetangga, namanya Bapak Lucas (nama samaran) memiliki satu orang istri yang sangat baik hati, juga memiliki tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki yang paling bungsu.
Di samping rumah yang di tinggali Bapak ku, terdapat sebuah bukit dimana di balik bukit itu terdapat sebuah prostitusi besar.
Aku tau cerita itu dari Bapak, dimana sempat waktu itu ada banjir karna hujan besar, dan rumah di pakai mengungsi perempuan-perempuan yang kerja di sana.
Seleseai menggoreng ubi, aku menyisihkan sebagian untuk di bagi ke tetangga depan rumah. Kebetulan sekali, waktu itu keluarga Pak Lucas sedang berkumpul di atas dipan kayu yang sengaja di taruh di depan rumah.
Beliau ini sangat ramah, saat aku datang Pak Lucas buru-buru menyuruh istrinya untuk membuatkan segelas kopi. Sebenarnya sungkan, namun karna sudah di buatkan aku menerimanya dengan senang.
Jujur saja aku bukan orang yang pemalu, sampai dengan sampai aku mencoba menggunakan logat timurku yang sangat payah hanya supaya tidak ada sekat.
Namun, sepertinya beliau sangat menghargai itu dengan anggapan aku sudah berusaha keras. Katanya anak flores saja kalau sekolah di jawa pulang-pulang lupa logat. Aku menimpalinya dengan tawa ringan. (jangan lupakan logat, kawan)
Cerita mulai mengalir saat aku menanyakan tentang kehidupan beliau, aku sedikit takjub saat beliau bilang kalau sebenarnya beliau ini bukan warga asli flores, beliau ini aslinya berdarah Timor Leste.
Merantau ke flores karna jatuh cinta dengan seorang perempuan asli flores, ahirnya mereka menikah dan menetap di flores.
Cerita mengalir begitu saja, dan berubah menjadi sangat menyeramkan saat beliau bercerita tentang pekerjaan nya.
Beliau ini seorang nelayan, beberapa kali menjadi pemburu kepiting, udang, hingga ahirnya fokus menjaring ikan setelah berhasil membeli sebuah jala (jaring)
“Bapak biasanya, berangkat jam berapa?” tanyaku sembari menyeruput kopit yang sedikit lebih pahir dari kopi jawa.
“Malam, kadang juga tengah malam” kata Pak Lucas sembari menggigit ubi yang masih mengepul.
“Tidak takut kah?” tanyaku lagi, mulai fokus dalam cerita.
“Tidak, malah pernah dulu ketemu hantu” jawab Pak Lukas.
“Wahh, tida takut kah?” tanyaku lagi mulai penasaran.
“Tidak, kasian saja” jawab nya.
“Kasian? Kenapa?” tanyaku
“Minta di antar pulang” jawab Pak Lukas.
Dan dari sinilah sebuah cerita menyeramkan itu terjadi.
Lucas, memeriksa jala nya sebelum berangkat mencari ikan. Dari dapur istrinya tengah mengaduk kopi agar saat menjala ikan suaminya tetap terjaga.
Suara dentingan sendok beradu dengan suara burung yang kian berisik. Membuat malam yang gelap pekat, terasai ramai.
Setelah memeriksa jala, Lucas ke dapur. Mengambil kopi yang sudah tersedia di atas meja. Sembari Lukas menyesap kopi, istrinya memasukan 3 buah ubi ke dalam tungku untuk bekal suaminya.
“Sisakan ikan untuk lauk, juga setelah menjual ikan, sisakan sedikit untuk membeli susu” ucap Ina, istri Lucas.
“Iya” ucap Lukas beranjak dari duduk nya, menghampiri tungku untuk mengambil 3 buah ubi yang sudah matang.
Di bungkusnya ubi itu dalam lembar kertas koran lalu di masukkan ke dalam tas.
Tak lupa, di cium nya anak bungsu yang sudah tertidur lelap di atas palungan kayu yang sengaja di gantung agar si bungsu tidak menangis.
“Bapak berangkat dulu” bisik lukas pada bayi nya agar tak terbangun.
“Hati-hati” ucap Ina tak kalah pelan, nyaris berbisik.
Di pikul nya jala, lalu dengan berjalan cepat, Lukas bergegas ke belakang rumah melewati jalan setapak kecil.
Di lewati nya hutan di belakang rumah, dengan pohon-pohon besar menjulang tinggi tanpa daun.
Saat di terpa cahaya bulan, ranting-ranting pohon terlihat seperti tangan-tangan hitam yang seakan merangkak ingin menyentuh tanah.
jarak yang di tempuh Lucas rumayan jauh. Perlu menghabiskan dua batang rokok untuk sampai di bibir sungai.
Sungai ini adalah pertemuan antara air laut dan air tawar, saking luasnya, sungai ini lebih terlihat seperti danau ketimbang sungai.
Dengan pulau-pulau kecil yang di tumbuhi pohon magrof di beberapa bagian nya. Membuat jalan sampan bercabang-cabang.
Lucas, melepaskan tali sampan yang terikat di sebuah pohon, suasana bibir sungai sangat sepi. “Ahh, sepertinya yang lain sudah berangkat” melihat tak ada sampan yang di parkir di bibir sungai.
Satu-satunya sampan hanyalah sampan miliknya.
Setelah tali sampan terlepas, di masukkan nya tas dan juga jala di atas sampan. Di dorong nya sampan itu pelan, setelah mengambang Lucas menaiki sampan itu lalu mengayuh nya pelan.
Suasana begitu sunyi, tak ada suara burung seperti biasanya. Namun, menurut Lucas malah bagus, karna tak akan membuat ikan takut.
Saat sudah sampai di tengah-tengah sungai, Lucas menebarkan jala. Di tunggu nya jala itu dengan sabar sembari kembali membuka bungkusan koran yang dirinya bawa.
Di cubit nya ubi itu, sebagian dia masukkan ke mulut dan sebagian lagi dirinya lempar ke air. Agar ikan menghampiri jala.
Sekitar setengah jam, di angkatnya jala yang rumayan terasa berat.
Benar saja ikan yang dia dapatkan rumayan banyak. Di lepaskan nya satu persatu ikan dari jala dengan senyum menggembang.
Dengan wajah cerah, Lucas kembali mengayuh sampan. Di fikiran nya semakin jauh pasti akan semakin banyak ikan.
Saat sedang mengayuh sampan, tiba-tiba sampan terantuk sesuatu. Membuan sampan terhenti.
Coba di mundurkan nya sampan untuk melihat apa yang membuat sampan berhenti.
karna sampan milik Lucas bukanlah sampan mesin, sehingga tidak mungkin berhenti jika tidak terantuk batu ataupun pohon.
Setelah di mundurkan, sebuah rambut terlihat. Lucas menelan ludah nya untuk membasahi kerongkongan nya yang kering.
Jujur saja tak ada fikiran jika itu hantu atau semacam nya, yang terbayang di fikiran Lukas adalah kapal nya terantuk mayat yang mengambang di sungai. Dan sialnya dirinyalah yang menemukanya.
Dengan takut Lucas, mengesampingkan nurani nya.
Daripada memilih berurusan dengan polisi, dirinya lebih memilih mengabaikan rambut itu, dengan terus menjalankan sampan nya.
Namun kini arah nya bukan lagi ke tengah laut, dirinya lebih memilih putar balik, menutup mulut rapat-rapat tentang apa yang dia temukan lalu pulang saja.
Namun baru saja menjalankan sampan nya, sesuatu seperti jatuh tepat di belakang Lucas, hingga membuat sampan oleng, hilang kendali.
Degub jantung Lukas tak beraturan, saat di rasakan nya sampan menjadi sangat berat.
Seperti ada yang duduk menumpang di bagian belakang sampan.
Lukas tak mau menghadap belakang. Dirinya tetap memilih terus memandang ke depan. Walau dirinya tau benar, ada sesuatu di balik punggung nya.
Suasana hening, tak ada satupun sampan yang melintas. Dengan keringat dingin yang bercucuran, Lucas terus mengayuh sampan nya yang terasa berat.
Saat bibir sungai sudah mulai terlihat, sesuatu yang hangat mengalir diantara kaki Lucas. Rasanya kental, lengket, warnanya merah pekat kehitam-hitaman.
Dari situ Lucas paham jika di belakangnya bukanlah manusia.
Namun Lukas masih bersikeras tak mau menghadap ke belakang. Walau rasa penasaranya sangat tingi. Ketakutan mengalahkan rasa penasaranya.
Sampai di bibir sungai, Lucas menghentikan sampan nya.
Dirinya menelan kembali ludah nya, dadanya kembali berdegup kencang, mengetahui jika jaringnya berada di belakang bersama ikan hasil buruan nya.
Tak di hiraukan kata-kata itu, Lucas turun dari sampan.
Dengan berat hati dirinya berbalik badan. Tatapan nya jatuh pada jala di tengah-tengah kaki yang pucat pasi, dengan rok merah sebatas tulang kering.
Di ambil nya jala itu dengan nafas yang memburu, setelah nya mengambil tas berisi ikan lalu mengambil tali sampan untuk di ikat kembali ke batang pohon.
Lucas melakukan semuanya dengan tangan yang bergetar.
Setelah memastikan tali sudah terikat, Lukas berjalan setengah berlari melewati hutan. Di bawah sinar bulan, langkah kakinya beradu dengan suara langkah lain. Bayangan yang jatuh ke tanah bukan hanya bayangan milik nya.
Sosok itu masih mengikutinya.
Sampai, saat setengah perjalanan sosok itu terbang lalu berhenti tepat di depan Lucas. Di tengah jalan setapak, diantara pohon-pohon sosok itu terlihat sangat nyata.
Kaki nya mengambang, bajunya berwarna merah darah, wajahnya tertunduk dengan rambut menutupi wajahnya.
Menunjuk ke arah bibir sungai sembari berkata
“Antar Nun pulang” katanya tak lagi menggunakan intonasi parau. Kini, suaranya menggeram. Sembari menampakkan sebagian wajahnya yang rusak.
Pak Lucas menutup cerita dengan memasukkan potongan ubi terahir di dalam mulut nya.
Cerita itu sangat berkesan ketika ternyata yang pernah di tumpangi bukan hanya dirinya. Kata beliau asal usul hantu itupun sangat menarik.
Ada yang bilang jika hantu itu tadinya perempuan yang bekerja di prostitusi di belakang bukit yang di bunuh lalu di buang ke sungai. Ada juga yang bilang itu adalah hantu korban pembunuhan, ada juga yang bilang kalu hantu itu adalah perempuan yang bunuh diri.
"yg pasti sangat di sayangkan. sebagai seseorang harusnya terus berbuat baik agar semesta memberi imbal balik yang baik juga.
Sebenci apapun itu jangan melukai apalagi membunuh. mungkin karma tidak langsung datang. tapi siapa yang tau karma apa sebagai ganti dari perlakuan kita" ucap beliau sebagai pemanis dari ahir cerita.