Di suatu pagi menjelang siang. Di jalanan desa itu terlihat beberapa orang warga sedang berjalan terburu-buru menuju ke arah selatan. Terkadang para warga tersebut menemui warga lain yang ditemuinya kemudian membicarakan sesuatu yang tampaknya penting sekali.
"Ayo kita labrak!"
Begitu kata-kata yang terdengar dari warga yang menemui warga lain yang ditemuinya.
Siapa sebenarnya yang akan mereka labrak? Jumlah mereka semakin banyak saja, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu bahkan para lansia. Mereka bersama menuju ke arah selatan.
Rombongan warga tersebut
baru berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah bertingkat dua bercat putih lengkap dengan tembok tinggi.
Rumah tersebut sangat terlihat kontras jika dibandingkan rumah-rumah warga lainnya yang hanya berupa rumah panggung maupun rumah setengah badan.
"Pak Raman, Bu Arsini!
Keluar kalian dan tinggalkan desa ini! Dasar penyembah setan!" teriak salah seorang warga yang berada di posisi paling depan.
"Betul! Kalian telah membuat desa ini dihujani malapetaka! Itu karena kalian menjadi kaya dengan cara menyembah setan! Harta kalian telah membuat banyak
nyawa warga desa ini melayang. Para setan membunuh banyak warga karena kalian!" teriak yang lainnya dengan lantang.
"Usir, usir, usir!" sahut yang lain dengan lantang sambil mengacung-acungkan tangan yang menggenggam senjata maupun sekedar pentungan kayu.
Sementara di dalam rumah, para penghuni terlihat sangat panik. Mereka tidak berani untuk menghadapi para warga yang sedang kalap tersebut.
"Pah, temui mereka, dong! Tenangin mereka! Bilang saja kita tidak bersalah, pah," ujar ibu di rumah tersebut yaitu Bu Arsini.
Pak Raman menggeleng, "Mereka marah bukan tanpa alasan, mah. Mamah sudah keterlaluan karena berani melakukan persekutuan dengan setan. Sekarang lihat kan akibatnya!" katanya dengan tajam.
"Lho, kok malah jadi nyalahin mamah, sih! Ini semua juga gara-gara papah yang tidak mampu
memberikan rumah mewah dan mobil untuk mamah dan anak-anak! Kalau papah bisa memberikan semua apa yang mamah mau, tentu mamah tidak akan meminta tolong pada Wawagor!" sentak Bu Arsini tidak kalah sengit.
Pak Raman mengusap wajah. Ia merasa frustrasi.
"Mamah mikirnya harta
melulu, harta melulu. Sebelum ini juga kita kan sudah hidup berkecukupan. Mamah saja yang tidak tahu bersyukur," balasnya sambil menengok ke arah pintu menuju tangga turun (Pak Raman dan Bu Arsini ribut di lantai dua) yang sengaja ia kunci.
Bu Arsini semakin naik darah setelah
mendengar Pak Raman membalas kata-katanya dengan nada seolah sedang memojokkannya.
"Bersyukur? Apa itu! Bersyukur apa tidak mau berusaha! Papah ini memang bisanya menceramahi macam orang suci saja. Anak istri ingin rumah mewah, mobil mewah, tidak terpenuhi. Itu namanya
suami tidak becus, suami tidak bertanggung jawab!" balas Bu Arsini semakin memanas.
Pak Raman menepuk jidat. Ia memang tidak pernah menang jika beradu omongan dengan istrinya tersebut. Apalagi ia sadar diri jika rumah mewah serta mobil-mobil yang terparkir di halaman adalah
hasil jerih payah istrinya (hasil mengabdi kepada setan).
"Pak Raman, keluarlah! Atau kami akan mengobrak-abrik rumahmu!" Terdengar lagi teriakan warga dari luar rumah diiringi suara riuh warga lainnya.
"Pak Raman, cepat keluar. Ini saya Samsudin. Jangan khawatir."
Terdengar suara seseorang yang intonasinya lebih santai, pertanda datang dengan damai.
"Pak Raman tdk perlu takut. Saya akan memediasi antara warga dgn bapak dan keluarga. Tidak akan ada tindak kekerasan. Saya pastikan itu, pak," lanjut laki-laki yg mengenakan seragam PNS itu.
"Pak Kades?" gumam Pak Raman saat mengetahui siapa orang tersebut.
Sementara Bu Arsini segera meminta suaminya segera turun menemui Pak Samsudin, kepala desa tersebut.
"Cepat temuin Pak Kades, pah. Dia pasti akan menolong kita dan mengusir para warga," kata Bu Arsini.
Tanpa menyahut, Pak Raman keluar dari ruangan itu. Tentunya ia terlebih dahulu membuka kunci pintu sebelum keluar.
Saat menuju tangga, anak-anak berhamburan ke arahnya. Dua gadis berusia 15 dan 10 tahun mencegat bapaknya sembari berkata-kata dengan panik.
"Papah, mereka
sedang apa di luar? Kenapa berteriak-teriak memanggil bapak dan ibu. Indira dengar mereka juga mengusir kita dari desa," tanya Indira, putri tertua Pak Raman dan Bu Arsini.
"Papah, Rana takut kalau kita benar-benar diusir sama mereka. Kenapa mereka jahat sekali, pah?" Putri
kedua Pak Raman pun turur bicara.
Pak Raman tampak gelagapan saat diberondong pertanyaan oleh dua putrinya. Ia bingung harus menjawab apa.
"Umm, eh?" Pak Raman mendengar tangisan putri ketiganya di kamar di lantai bawah. "Kakak sama adik tolong tenangin dulu dedenya, ya.
Ibu kalian sebentar lagi turun, kok. Nanti papah jelasin apa yang sebenarnya terjadi," lanjutnya seraya melanjutkan langkah menuju tangga turun.
Indira dan Rana hanya bisa manyun karena ayahnya tidak menjawab pertanyaan mereka. Keduanya pun ikut turun.
Sementara Pak Raman
pergi ke luar, Indira dan Rana menuju kamar di mana adik mereka berdua yang masih berusia di bawah setahun berada.
"Dede Mira diam, ya. Kakak akan seduhkan susu dulu, ya," ujar Indira kemudian berlalu meninggalkan Rana yang sedang berusaha menenangkan adiknya yaitu Mira.
Tak lama Bu Arsini muncul dengan mimik wajah yang sangat tidak bersahabat. Tampaknya ia sedang frustrasi.
Terbukti saat mendengar tangisan anaknya yang masih bayi, amarahnya lantas meledak.
"Bisa diam tidak, sih! Bayi kok ikut-ikutan bikin saya marah! Mau mamah banting, hah!"
sentaknya kepada Mira yang jelas-jelas belum mengerti kata-kata.
"Mamah, jangan bentak dede Mira begitu, dong! Dede Mira masih bayi. Tidak pantas dibentak-bentak!" Rana yang merasa apa yang dilakukan ibunya salah lantas protes.
"Diam kamu! Anak ingusan tahu apa soal bayi!"
bentak Bu Arsini kembali membuat Rana merengkut ketakutan.
Indira tampak muncul membawakan botol dot yang sedianya akan ia berikan kepada Mira. Namun, Bu Arsini malah menghadangnya.
"Biarkan dia mati! Mamah pusing mendengar tangisannya. Nangis terus, nangis terus, mati saja
sekalian!" serapahnya dengan kasar.
Indira hanya berdiri mematung. Ia tidak berani membantah perkataan ibunya. Namun hatinya merasa berat untuk membiarkan Mira kelaparan karena dibiarkan telantar oleh orang yang seharusnya menyayanginya.
Tangisan Mira semakin keras saja.
Bu Arsini yang sedang kalap melayangkan tamparannya ke arah putrinya yang masih bayi itu.
"Hentikan itu, mah! Apa-apaan ini? Mau membunuh anak kita? Benar-benar keterlaluan!" Pak Raman muncul kemudian menangkap tangan Bu Arsini.
"Mulai sekarang kita tinggalkan rumah ini!
Hanya kita berempat. Mira akan papah titipkan ke Pak Kades. Ini mendadak papah lakukan setelah melihat mamah hendak memukulnya. Ingat, tak ada protes, ayo kita pergi!" lanjutnya seraya menyeret Bu Arsini.
"Papah, mamah, kalian mau ke mana?" Indira dan Rana serentak menyusul
kedua orangtuanya sembari memanggil-manggil.
Hari itu juga, setelah Pak Raman menemui Pak Samsudin, disepakatilah bahwa Pak Raman dan keluarganya harus meninggalkan desa. Namun, opsi menitipkan Mira kepada Pak Kades merupakan opsi dadakan akibat Bu Arsini tertangkap basah hendak
menganiaya putrinya tersebut.
Dengan demikian, pergilah Pak Raman bersama Bu Arsini, Indira, dan Rana dengan menaiki sebuah van berwarna biru, meninggalkan desa dan juga putri bungsunya.
Tujuan Pak Raman tidak lain tidak bukan adalah suatu wilayah yang jauh dari orang banyak.
Sementara Pak Samsudin bersama warga, memasuki area rumah Pak Raman untuk mencari keberadaan Mira. Suara tangis bayi tersebut terdengar menyayat hati. Siapa yang tak pilu mendengarnya.
Di dalam rumah itu, Pak Samsudin bersama sebagian warga memeriksa rumah tersebut kemudian
terpaku saat mendengar suara kretak-kretak dari dinding rumah tersebut.
"Kenapa dindingnya bunyi begini ya, pak?" ujar salah seorang warga seraya celingukan.
Tak lama kemudian mereka menyaksikan salah satu bidang dinding merekah dengan cepat menyerpihkan pasir bercampur semen
dan cat.
"Oh, tidak. Rumah ini akan segera runtuh. Kita harus segera menemukan bayi itu," ucap Pak Samsudin seraya berlari ke arah sumber suara tangisan Mira.
Setelah menemukan Mira di salah satu kamar di lantai bawah, Pak Samsudin bersama para warga segera keluar dari rumah
Pak Raman.
Suara kretak-kretak tembok rumah Pak Raman semakin keras terdengar bahkan semakin ramai menandakan seluruh tembok akan segera runtuh.
"Apa yang terjadi dengan rumah ini? Kenapa bisa begini?" ucap seorang warga yang merasa kaget melihat kejadian tersebut.
Kretak-kretak tembok rumah Pak Raman kemudian disusul dengan runtuhnya salah satu bidang tembok yang selanjutnya tembok lain menyusul.
Tiang penyangga yang terhubung dengan fondasi juga turut runtuh menyisakan tulang-tulang besi yang melengkung bahkan patah.
Hanya dalam
hitungan menit, rumah mewah bertingkat itu hancur tinggal reruntuhan, rata dengan tanah.
Semua orang yang menyaksikan kejadian itu merasa sangat kaget. Mereka berulang-ulang mengucap istigfar.
"Rumah dari hasil bersekutu dengan iblis nasib akhirnya ternyata begini. Hancur
dalam sekejap," ucap warga lainnya.
"Sebaiknya bapak-bapak dan ibu-ibu kembali ke rumah masing-masing. Kejadian ini penting untuk kita jadikan pelajaran. Mari kita pulang," ujar Pak Samsudin lantang.
Sementara bayi Mira tengah digendong seorang wanita setengah baya yang
merupakan salah seorang warga yang turut serta melabrak keluarga Pak Raman.
Setelah Pak Samsudin selesai mengimbau warga, seluruh warga yang ada di sana pun pulang meninggalkan reruntuhan rumah Pak Raman sembari membawa banyak sekali pertanyaan di benak.
Sementara itu, Pak Raman mengemudikan van-nya melewati jalur berkelok-kelok dan menanjak di tengah hutan lebat. Semakin jauh melaju, van yang dikemudikannya pun mencapai suatu perkebunan sawit.
Perkebunan sawit tersebut tampaknya berbatasan langsung dengan hutan belantara serta
tidak terlihat adanya pemukiman di sekitar perkebunan tersebut.
Memasuki perkebunan sawit, Pak Raman membelokkan mobilnya ke arah kanan tepat ke jalur yang hanya dapat dilalui satu mobil.
Awalnya jalur tersebut beraspal mulus. Namun, semakin ke dalam, jalur tersebut semakin
rusak.
Hal itu membuat gusar bu Arsini dan kedua puterinya.
"Kita sebenarnya mau ke mana sih, pah? Kok papah menyetirnya lewatin jalan jelek begini, sih?" Bu Arsini bertanya dengan gusar.
"Ke rumah baru, mah. Sesampainya di sana papah akan menceritakan semuanya kepada mamah
juga kakak dan adik," tukas Pak Raman tanpa mengalihkan perhatian dari jalur yang akan dilewatinya.
"Rumah baru? Di tengah perkebunan sawit?" Bu Arsini penasaran.
"Nanti mamah akan tahu setelah sampai di sana. Kita baru setengah jalan. Mungkin maghrib kita baru sampai," tukas
Pak Raman membuat Bu Arsini, Indira, dan Rana terkesiap.
"Berarti jauh banget dong, pah. Bagaimana kalau bensinnya tidak cukup?" Indira berkata dengan nada khawatir.
"Tenang saja. Kakak tidak perlu khawatir. Kita tidak akan kehabisan bensin sampai tiba di sana," tukas
Pak Raman yakin.
"Pah, Rana jadi kepikiran Mira. Kasihan dia kita tinggalkan sendirian di rumah," kata Rana membuat Pak Raman mengurut dada. Perasaannya seperti diaduk-aduk.
Ia merasa menyesal karena memutuskan untuk meninggalkan Mira di desa dan menitipkannya pada orang lain
Meski demikian ia yakin bahwa itu harus dilakukannya demi keselamatan puteri bungsunya tersebut. Entah karena apa ia berfirasat jika mengungsi ke rumah di area terpencil yang saat ini sedang ditujunya akan menjadi akhir dari keluarganya.
Namun ia memilih tidak mempercayai
firasat itu. Baginya yang terpenting adalah menjauhkan istrinya dari keramaian agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Meskipun nyawanya bahkan kedua puterinya menjadi taruhannya.
"Awas, pah!" teriak Indira dan Rana membuat lamunan Pak Raman buyar.
Ia tersentak kaget lantas
menginjak pedal rem. Ia melotot ke arah depan mobil di mana terdapat sebuah cekungan berdiameter 3 meter berisi kubangan berlumpur. Hal yang membuat Pak Raman melotot adalah dengan adanya seonggok tulang-belulang manusia dalam kondisi terikat di sebatang pohon mati di pinggir
cekungan itu.
"Astaga, papah salah jalan. Seharusnya kita tidak kemari. Papah akan memutar balik. Seharusnya tadi belok ke kanan," kata Pak Raman setengah bergumam seraya memundurkan mobilnya untuk memutar balik.
Selanjutnya mobil pun meninggalkan cekungan berisi lumpur itu.
"Memangnya tadi itu tempat apaan sih, pah? Kok ada kerangka seperti yang ada di ruang lab sekolah Rana?" tanya Rana merasa penasaran.
Pak Raman menghela nafas. "Itu hanya bekas anak-anak bermain, adik. Kerangka itu juga memang asalnya dari lab sekolahan yang dibawa ke sana,"
tukasnya berbohong.
"Buat apa anak-anak membawa kerangka itu ke sana, pah? Seperti tidak ada mainan lain saja," kata Rana kembali bertanya.
"Rana, kamu sebaiknya diam, ya! Jangan banyak bicara! Kamu harusnya tahu kita sedang berada di mana!" sentak Bu Arsini membuat Rana
merungkut ketakutan.
"Tidak perlu kasar begitu sama Rana, mah. Rana masih muda, ingin banyak tahu," timpal Pak Raman membela puteri keduanya itu.
"Banyak ingin tahu boleh tapi harus tahu tempat, dong!" Bu Arsini mengelak.
"Kau memang bukan pengayom yang baik buat anak-
anak," ucap Pak Raman sembari fokus menyetir.
Benar apa yang telah dikatakan Pak Raman. Saat maghrib tiba, mereka pun tiba di depan sebuah rumah tua yang cukup besar.
Rumah tersebut bergaya Eropa lengkap dengan ornamen-ornamen khasnya. Rumah itu bercat kuning pucat dan telah
pudar serta beberapa bagian telah berlumut.
Rumah ini tidak seutuhnya dikelilingi pepohonan sawit. Ada beberapa batang pohon yang tidak terlalu tinggi di sekitar rumah tersebut.
Jalan yang hanya memuat satu mobil di depan rumah sangat rusak. Jika dilihat-lihat, awalnya jalan
tersebut dulunya hanya dibatu saja kemudian rusak seiring waktu berjalan ditambah dulunya sering dilewati kendaraan pengangkut sawit.
Pak Raman dan keluarganya pun keluar dari mobil kemudian mengamati rumah tersebut dengan perasaan gelisah bahkan takut. Itu karena aura rumah
tersebut terlihat sangat tidak bersahabat.
"Kita akan tinggal di sini?" tanya Bu Arsini dengan gusar.
"Sejauh ini, rumah inilah yang cocok untuk kita tempati. Setidaknya kita bisa menjauhkan diri dari keramaian. Supaya tidak ada lagi korban berikutnya yang jatuh." Pak Raman
melangkah mendekati pintu depan rumah yang hanya berupa satu daun pintu dengan handle yang telah berkarat.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah anak kunci. Selanjutnya ia membuka pintu tersebut dengan anak kunci itu.
"Pah, Indira jadi merasa ngeri begini. Rumah ini sangat
menakutkan, pah," kata Indira sambil menatap ngeri ke arah rumah yang akan ditempati keluarganya itu.
"Jangan protes, Indira. Kita harus tinggal di sini daripada diusir orang-orang keparat itu!" hardik Bu Arsini. "Segera setelah kuisi rumah ini, aku akan menghabisi mereka semua
yang telah membuat keluargaku terusir, termasuk kades keparat itu!" ucapnya perlahan hingga tidak terdengar oleh yang lain.
Pak Raman tampak memasuki rumah kemudian memeriksa seisinya. Ia melihat ke arah lampu gantung di atas ruang tamu.
"Pasti ada semacam genset di rumah
ini. Aku harus menyalakannya agar rumah ini tidak gelap gulita," gumamnya seraya menyorotkan senternya ke seluruh penjuru ruangan.
Sementara Bu Arsini, Indira, dan Rana tampak mengikuti Pak Raman. Mereka bertiga kemudian duduk di sofa yang telah berdebu karena sudah lama tidak
digunakan. Apalagi sofa tersebut telah berada di dalam rumah itu dalam waktu yang cukup lama.
Indira yang tidak menyusul ibu dan adiknya duduk, tampak berdiri sambil memperhatikan sekeliling sambil menyorotkan lampu senter ke setiap penjuru ruangan.
Whuuuussss
Rambut Indira
mendadak berkibar seolah sedang tertiup angin. Padahal pintu rumah telah ditutup serta tidak ada angin yang berhembus saat itu.
Suasana sunyi pun begitu kerasa karenanya.
Indira terkejut kemudian dengan cepat menghampiri ibu dan adiknya.
"Bu, rumah ini sangat aneh. Tadi
seperti ada yang sedang meniupi telinga Indira." Indira menatap ibunya dengan raut wajah panik.
"Kamu jangan mengada-ngada, dasar penakut! Tidak ada yang aneh dengan rumah ini," sergah Bu Arsini sewot.
"Bu, Rana takut. Kenapa perasaan Rana seperti ada sesuatu yang
memperhatikan kita." Kali ini Rana yang merasa ketakutan.
Gadis itu merasakan seperti ada seseorang di belakangnya, bersiap hendak menyentuh bahunya dengan dua tangan yang berjari keriting serta menghitam legam.
"Aaaaaaaaaaahhhhhh!"
Beberapa lama kemudian, Bu Arsini memarahi
Rana karena jeritannya.
"Penakut banget sih jadi orang! Memangnya kau pikir kau tidak akan mati! Apa sih yang kau takutkan!" serapah Bu Arsini.
Pak Raman yang mendengar keributan tidak melanjutkan langkahnya menuju pintu belakang yang mengarah langsung ke halaman belakang.
Ia berbalik menuju ruang tamu di mana Bu Arsini dan anak-anak berada.
"Ada apa sih? Kenapa ribut-ribut?" seru Pak Raman dengan gusar.
Saat Pak Raman menjauhi pintu tersebut, tampak suatu siluet makhluk berrambut gondrong menjuntai hingga ke kaki, melotot ke arah depan.
Setelah mengatasi keributan di ruang tamu, Pak Raman pun mengantar istri dan kedua puterinya ke kamar masing-masing.
Pak Raman memilih untuk mengisi kamar-kamar di lantai dua ketimbang lantai bawah. Alasannya, lantai bawah lebih terasa mencekamnya daripada lantai atas.
Hingga tengah malam tiba, di saat semua orang sudah terlelap di kamar masing-masing. Pintu kamar di mana Bu Arsini bertempat, tampak terbuka dengan pengisinya sudah tidak ada di sana.
Rupanya Bu Arsini tengah berjalan menuju suatu pintu yang terletak di dalam lorong tidak jauh
dari pintu belakang.
"Mumpung mereka sudah tidur, aku akan menghubungi Wawagor. Aku tidak akan bisa tidur sebelum kupastikan para warga biadab dan kepala desanya mati mengenaskan!" rutuknya seraya membuka pintu tersebut dengan sebuah anak kunci yang entah ia dapatkan dari mana.
Bu Arsini memasuki ruangan yang berada di balik pintu tersebut. Selanjutnya ia melangkah hingga kemudian ia terperanjat karena hampir terjatuh.
Rupanya bidang lantai di belakang pintu adalah anak tangga yang menuju ke bawah di mana terdapat sebuah ruangan rahasia bawah tanah.
Bu Arsini lantas merogoh sakunya di mana senter kecil ia simpan. Ia kemudian mengambil senter itu dan menyalakannya.
Ia selanjutnya menyoroti tangga yang mengarah turun tersebut. Tangga itu rupanya melingkar hingga ke ruang bawah tanah.
Ia kemudian menuruni tangga tersebut
perlahan hingga ia pun mencapai lantai ruangan bawah tanah tersebut.
Di sana, Bu Arsini melihat semacam kolam berbentuk bundar dengan sebatang tiang gantungan (tiang yg digunakan untuk menghukum gantung) di salah satu tepiannya. Ketika diperhatikan, rupanya kolam tersebut bukan
berisi air melainkan lumpur yang amat pekat.
Bu Arsini kemudian duduk bersila tidak jauh dari tepian kolam lumpur tersebut. Selanjutnya ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil berukir dari balik bajunya.
Dibukanya kotak tersebut. Kemudian dikeluarkannya bungkusan kecil dari
kain serta beberapa lembaran kulit hewan yang diawetkan dan dikeringkan serta diberi tulisan-tulisan tinta emas dan memiliki semacam simbol yang sangat dikenal di dunia okultis.
Bu Arsini membuka bungkusan kecil yang ternyata berisi gumpalan seperti daun kering. Ia kemudian
mencomot sedikit gumpalan daun kering itu dan menaruhnya di atas mangkuk kecil di hadapannya.
Selanjutnya ia membakar gumpalan kecil daun kering tersebut dan menghisap asapnya hingga ia terlihat teler seperti sedang mabuk.
Dalam keadaan teler, ia mengambil lembaran kulit
hewan, kemudian membentangkannya sembari berucap perlahan.
"Wawagor, datanglah! Aku membutuhkan bantuanmu. Aku ingin kau balaskan sakit hatiku pada orang-orang yang telah mengusir keluargaku. Bunuh mereka semua dan jangan ada yang tersisa!" Begitulah kata-kata yang diucapkannya.
Setelah berkata demikian, Bu Arsini membanting lembaran-lembaran kulit hewan kemudian memungutnya.
Keadaan terasa mencekam. Gelapnya ruangan bawah tanah tidak mampu menyembunyikan kehadiran suatu sosok negatif yang disebut Wawagor.
Wawagor berwujud seperti manusia namun
berukuran raksasa serta memiliki sepasang tanduk seperti tanduk domba di kepalanya yang ditumbuhi rambut gelap yang panjang berrumbai-rumbai.
Makhluk tersebut menatap buas ke arah Bu Arsini kemudian berucap.
"Aku akan mengabulkan permohonanmu tapi dengan syarat nyawa seluruh
anggota keluargamu menjadi milikku. Kau tidak bisa menolak karena kau sudah terlanjur memohon."
Bu Arsini terkesiap mendengar kata-kata Wawagor. Namun karena tekadnya sudah bulat, maka ia menyanggupi syarat yang diminta Wawagor.
"Ambil saja nyawa mereka semua. Saya tidak butuh
mereka. Saya hanya butuh kekayaan dan kejayaan. Hahahaha..." Bu Arsini sudah lepas kendali. Tampaknya ia sudah tidak mau lagi memikirkan nasib keluarganya.
Padahal ia ingin membalas dendam demi keluarganya. Namun ke sininya ia malah akan mengorbankan seluruh anggota keluarganya
demi membalas sakit hati kepada warga desa yang mengusir ia dan keluarganya.
Wawagor kemudian menghilang setelah Bu Arsini menyanggupi permintaannya.
Hingga malam ketiga kemudian di rumah besar tersebut, suatu peristiwa horor terjadi.
Di tengah malam itu, Indira terbangun
dari tidurnya karena merasa ingin buang air kecil. Namun karena takut pergi sendiri, ia pun membangunkan Rana.
"Rana, bangun. Antar aku ke kamar mandi, dong. Aku sudah kebelet pengen pipis," ucap Indira sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rana yang sedang tidur telungkup pulas.
Rana tidak bergeming. Ia malah merapatkan pelukannya ke bantal guling yang dipeluknya.
"Rana, bangun! Antar aku ke kamar mandi. Bangun, Rana! Bangun!" Indira memaksa adiknya tersebut bangun dengan semakin keras mengguncangkan tubuh adiknya itu.
Rana sedikit membuka matanya.
Ia menoleh dengan malas ke arah Indira.
"Kenapa sih harus diantar segala? Benar kata mamah, kakak memang penakut," ucap Rana dengan nada malas seraya kembali membenamkan wajahnya ke bantal.
"Ahhhh, dasar adik tidak berguna! Awas saja kalau nanti kamu minta diantar ke kamar
mandi, aku tidak akan mengantarmu!" maki Indira seraya beranjak dengan jengkel.
Ia pun akhirnya pergi sendiri ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong yang melewati kamar kedua orang tuanya.
Indira berjalan perlahan di balik keremangan lampu pijar bertenaga surya.
Saat ia lewat di depan pintu kamar ibunya, mendadak ia merasa seperti ada sesuatu yang sedang melintas dengan cepat di belakangnya.
Indira segera menoleh ke belakang namun tidak terlihat apapun. Ditambah lagi satu lampu pijar berkapasitas kecil tidak cukup untuk menerangi
lorong tersebut sehingga apapun yang berada agak jauh dari Indira tidak akan terlihat.
Indira buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Namun, suara sesuatu yang melintas di belakangnya kembali terdengar.
Indira pun tidak berusaha mencari tahu suara apa itu. Ia meneruskan
langkah ke kamar mandi.
Saat di dalam kamar mandi, jantung Indira berdegup kencang terutama saat ia sedang berjongkok di atas WC. Ia merasakan sesuatu sedang merayap di belakangnya.
Sesuatu yang besar seukuran manusia dewasa dalam posisi kepala di bawah merayap dari langit-
langit kemudian dinding hingga mencapai posisi di mana Indira berada.
Geppp....
Sebelah tangan makhluk tersebut menyambar ketiak Indira kemudian mengangkatnya dan menyeretnya ke atas langit-langit.
"Aaaaaaaaaaahhhhhh.......!"
Suara jeritan Indira membahana memecah sunyi.
Pak Raman yang tengah tertidur pulas lantas terbangun kemudian berlari keluar kamar.
"Indira!" teriaknya sembari berlari menuju kamar mandi.
Pak Raman tergopoh-gopoh mendatangi kamar mandi. Saat tiba di sana ia celingukan mencari keberadaan Indira.
Saat itu gelap karena
lampu di kamar mandi dalam kondisi mati.
Lama Pak Raman celingukan sembari memanggil-manggil Indira.
"Indira! Kamu di mana, nak?" Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun tidak juga menemukan puteri sulungnya itu.
"Indira?" ucapnya saat melihat siluet seseorang
sedang berdiri di atas tembok pembatas toilet dengan kamar mandi.
Saat ia mendekati siluet tersebut, mendadak sosok itu jatuh berdebum kemudian telungkup di lantai.
"Indira?"
"Indiraaaaaaa........!"
Pak Raman berteriak histeris saat melihat kondisi puteri sulungnya yang
telah tidak memiliki rupa lagi karena habis oleh luka-luka berat yang berdarah-darah di sekujur tubuhnya.
Tentu saja puteri sulungnya tersebut telah tidak bernyawa lagi.
Pak Raman hanya bisa menangis meratap di hadapan jasad puterinya itu.
Ia juga berkali-kali memanggil
istrinya dan puteri keduanya. Namun tidak ada jawaban.
Pak Raman lantas panik bukan kepalang saat kembali mendengar jeritan yang kali ini dari
puteri keduanya.
"Rana!" tanpa menghiraukan jasad Indira, Pak Raman berlari ke arah kamar di mana suara jeritan Rana terdengar.
Saat sampai di sana, Pak Raman tidak menemukan puteri keduanya itu. Ia justru menemukan jendela kamar dalam keadaan terbuka.
Angin malam pun terasa
berhembus kencang melalui jendela yang terbuka itu.
Pak Raman mengambil senter yang tergeletak di atas meja kecil dekat tempat tidur. Ia kemudian menyalakannya dan menyorotkannya ke luar jendela.
Tidak tampak apapun. Hanya pepohonan yang terlihat serta gundukan tanah di bawah
sana.
Selanjutnya ia meninggalkan kamar tersebut untuk ke kamar yang ia dan istrinya tempati.
"Mamah, kamu di mana, sih? Kamu tidak dengar teriakan papah?" Pak Raman memasuki kamar dan mendapatj istrinya tidak berada di sana.
Pak Raman mengerang frustrasi kemudian beranjak.
"Arsini, di mana kamu? Jangan bilang kau mengorbankan anak kita demi tujuan busukmu!" Pak Raman berteriak-teriak sembari menuruni anak tangga.
"Kau lihat Indira sekarang sudah tiada. Rana juga menghilang. Aku pastikan itu gara-gara kau!"
Sesampainya di lantai bawah, Pak Raman
keluar rumah melalui pintu belakang di mana pintu tersebut sejajar dengan jendela kamar Rana dan Indira.
"Ranaaaaaa.... Kamu di mana, nak?" panggilnya sambil menyorotkan senternya ke segala arah.
Selanjutnya ia menyoroti tanah di hadapannya. Tampak sepasang jejak kaki aneh di
atasnya. Jejak tersebut mengarah semakin jauh ke timur.
Itu terlihat ketika Pak Raman menelusuri jejak tersebut. Ia menelusurinya karena berharap puterinya tersebut masih hidup sehingga dapat ia selamatkan.
Semakin jauh melangkah, Pak Raman tercengang saat ia mencapai tempat
yang sebelumnya pernah ia datangi, yaitu cekungan berisi lumpur dengan kerangka manusia yang terikat di pohon mati.
'Kaak, kaak, kaak'
Terdengar suara burung gagak yang membuat bulu kuduk merinding.
"Jejak kaki aneh itu berakhir di sini," gumamnya saat melihat jejak kaki
berakhir di area sebelum cekungan itu seolah-olah si pemilik jejak kaki memasuki cekungan berisi lumpur tersebut.
Pak Raman kemudian mengitari cekungan tersebut. Tidak ada jejak lain di sekitar tempat mengerikan itu.
Mendadak ia dikejutkan dengan suara langkah seseorang di
belakangnya. Saat menoleh, rupanya Bu Arsini yang datang sembari menenteng sebilah golok.
"Arsini! Apa maksudnya ini?" Pak Raman terbelalak melihat kemunculan istrinya dengan aura negatif itu.
"Awalnya aku berniat mereka semua demi keluarga kita. Tapi sekarang aku akan
membunuh semuanya termasuk darah dagingku sendiri demi diriku saja. Anak-anak kita semua telah mati. Sekarang giliranmu, Raman!" Bu Arsini berkata tanpa tedeng aling-aling sembari mengayun-ayunkan goloknya.
"Kau sudah gila, Arsini! Kau korbankan semua orang bahkan keluargamu
demi tujuan sesatmu! Sekarang aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika kau mati. Apakah iblis itu akan mengincarku? Jika iya, maka itu tidak masalah, yang penting dia tidak lagi mengincar orang-orang yang tidak bersalah." Pak Raman menatap nyalang ke arah Bu Arsini sambil mundur
perlahan, sementara di belakangnya cekungan berlumpur tengah menganga bersiap menyambutnya.
"Oh, ya? Jadi kau ingin membunuhku sebelum aku membunuhmu! Hahaha, mimpi kamu! Kamu tidak akan selamat malam ini. Kamu akan segera menyusul dua puteri menyedihkanmu itu ke alam baka!"
"Mereka puterimu juga! Sekarang aku tahu kenapa dulu aku sangat tidak ingin menikah denganmu. Kalau saja aku tahu ibuku adalah seorang pengabdi setan, maka aku lebih memilih untuk tidak mematuhinya!" kata Pak Raman sambil menatap waspada ke arah Bu Arsini.
"Apalagi seandainya
aku tahu bahwa kau setali mata uang dengannya. Tidak akan ku menikah denganmu."
Bu Arsini melotot mendengar kata-kata Pak Raman.
"Jadi kau menyesal menikah denganku? Itu pasti gara-gara perempuan bernama Dita. Ibumu pernah bilang kalau perempuan itu bisa merebutmu dariku. Tapi
itu tidak masalah sekarang karena kau akan mati!" katanya sambil berjalan mendekat ke arah Pak Raman.
"Yakin?" Pak Raman semakin mundur ke arah cekungan berlumpur itu.
"Mati kau!" Bu Arsini berlari kencang sambil menebaskan goloknya ke arah Pak Raman.
Pak Raman menghindar
kemudian bergulir ke belakang. Tanpa membuang kesempatan ia menendang punggung Bu Arsini yang sedang kehilangan keseimbangan menggunakan tapak kakinya.
Akibatnya Bu Arsini terdorong hingga 'nyungsep' ke dalam lumpur di dalam cekungan. Selanjutnya yang terjadi, Bu Arsini
tenggelam ke dalam lumpur dalam kondisi kaki di atas. Tampaklah kedua kakinya yang meronta-ronta sebelum akhirnya tenggelam ke dalam lumpur.
Pak Raman hanya bisa menyaksikan dengan pilu akhir kisah dari istrinya tersebut. Ia merasa sedih namun baginya itu yang harus terjadi.
Pak Raman bersimpuh di hadapan cekungan yang menjadi kuburan mengerikan bagi istrinya.
Di satu sisi ia merasa bersalah karena telah menghabisi nyawa istrinya sendiri. Di sisi lain ia juga merasa penasaran apakah bencana yang melanda desa kampung halamannya berakhir setelah
istrinya mati.
Setelah beberapa lama terpekur di depan cekungan berlumpur itu, Pak Raman pun beranjak pergi.
Saat itu sang fajar telah menyingsing. Suara kicau burung mulai terdengar ramai bersahutan.
Pak Raman kembali ke rumah besar dan mendapati jasad Indira telah hilang.
Ia pun tidak mau ambil pusing. Ia segera mengambil kunci mobil kemudian mengendarai mobilnya meninggalkan rumah yang belum lama ia tempati itu.
Ia mengemudikan mobil semakin jauh ke utara hingga kehabisan bahan bakar. Mobilnya pun mati di jalan kecil yang terletak di kaki bukit
Saat keluar dari mobil, Pak Raman melihat ke kejauhan dan terlihatlah olehnya sebuah tugu peringatan yang baginya tidak asing.
"Desa Cikahuripan? Jadi jalan kecil ini tembus ke sana?" gumamnya.
~~SEKIAN~~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Malam itu di tengah suatu hutan yg lebat, seorang laki-laki setengah baya tengah duduk menghadap ke arah suatu api unggun yg beberapa saat yg lalu ia nyalakan.
Laki-laki itu adalah Pak Tasrin, seorang musafir yg hendak pergi ke kampung di mana putrinya tinggal.
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Ia telah melakukan perjalanan yg sangat jauh dari kampung halamannya. Ia telah melewati beberapa tempat baik itu yg berpenduduk maupun berupa wilayah kosong seperti hutan yg saat ini tengah disinggahinya.
Ia kemalaman di tengah hutan tersebut, dan merasa tidak mungkin untuk
Pada pagi itu di suatu kota kecil. Di salah satu sudut jalan tampak seorang laki-laki yg adalah Arhan sedang mengendarai sepeda motornya jenis bebek manual. Ia sepertinya hendak menuju suatu tempat yg merupakan di mana para kenalannya sedang berkumpul.
Sesampainya di tempat yg
dituju, ia menghentikan sepeda motornya kemudian melihat ke arah dua orang satpam yg sedang berjaga di posnya. Mereka tampak melihat ke arah Arhan kemudian salah seorang di antaranya berseru.
"Arhan, tumben kemari? Sepertinya ada proyek baru, nih," ujar salah seorang satpam
Samar-samar yg terlihat oleh bocah lelaki itu adalah sosok perempuan yg selama ini membesarkannya, diseret keluar dari dalam rumah. Orang-orang itu membawa perempuan tersebut entah ke mana.
"Jadi ibumu dibawa orang-orang itu dalam keadaan masih memakai kebaya hijau?" tanya
Pak RT yg beberapa jam setelah kejadian, datang menemui bocah lelaki yg kini tengah terbaring lemah di dalam rumah itu.
Bocah lelaki itu hanya mengangguk lemah seraya terisak.
"Siapa sebenarnya mereka? Untuk apa mereka menculik Bu Lastri?" gumam Pak RT.
Cerita ini pernah dibuat ketika pertama kali saya aktif membuat thread di twitter. Saya membuat cerita yg sama bukan karena cerita yg lama sukses melainkan karena saya merasa cerita tersebut kurang sreg dan juga terlalu absurd.
Makanya saya mencoba membuat reboot dari cerita tersebut. Penasaran dengan ceritanya? Ayo kita simak saja.
Sebuah cerita tentang para penduduk kota yg tersesat di sebuah dusun angker di pedalaman hutan. Selain tersesat, mereka juga harus berhadapan dg pendduk lokal yg tidak ramah...
Dalam keremangan saat itu, Pak Tohar diseret oleh beberapa orang pengepung dalam kondisi dari wajah hingga ujung kaki dipenuhi tetesan darah. Laki-laki itu terlihat tidak berdaya saat orang-orang semi telanjang tersebut membawanya melewati gerbang dari tumpukkan batu yg mengarah
masuk ke perkampungan itu.
Teman-temannya tidak kalah menderitanya dari dia. Mulai dari Arkim hingga Dani, dalam kondisi yg serupa dengannya. Apalagi Cayut yg kini dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Laki-laki itu dalam kondisi koma setelah terluka oleh sebatang anak panah yg
Sebuah cerita tentang suatu dusun yg tertutup dari dunia luar. Dusun yg angkernya tidak hanya terkait hal-hal mistik saja melainkan juga terkait warganya yg tidak ramah pendatang...
Cerita yg saya tulis ini kemungkinan memiliki judul yg sepertinya sudah terlalu umum. Tapi saya pastikan isi cerita bukan hasil dari menyontek karya orang lain. Bahkan cerita ini asli hasil pemikiran saya sendiri berdasarkan pada pengamatan pada sekelompok masyarakat yg memang
tertutup dari dunia luar. Bahkan masyarakat ini selalu berusaha mati-matian agar tidak ada orang asing yg memasuki wilayahnya. Mereka tidak segan membunuh orang-orang asing yg berani memasuki wilayah di mana mereka bertempat tinggal serta bermata-pencaharian.