Sebuah thread dr sy pribadi. Semoga pembaca suka
Cerita masih berfokus pada desa terbengkalai yg berusaha dihidupkan kembali oleh saudara tiri Pak Raman
Desa Cikahuripan yang telah lama mati, di salah satu sudut wilayahnya berupa rumah-rumah penduduk yang terbengkalai.
Saat itu kondisi di desa dalam keadaan gelap. Bukan karena hari telah malam, melainkan karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat kuat, yang mencengkeram desa
hingga tidak berkutik.
Di dalam salah satu rumah, Pak Raman berbaring dengan menyilangkan tangan kanannya di atas keningnya. Kedua matanya tampak terpejam.
Entah sudah berapa lama ia tertidur di dalam rumah yang telah ditinggalkan pemiliknya itu.
Sayup-sayup terdengar suara
decitan kayu ataupun material rumah yang saling bergesekkan karena tertiup angin. Kondisi rumah itu maupun rumah-rumah lainnya tidak jauh berbeda, yaitu mengalami kerusakkan karena dimakan waktu.
Saat itulah, ketika angin berhembus lebih kencang, sebatang kayu kecil dari langit-
langit jatuh menimpa tangan Pak Raman yang ia tumpangkan di keningnya tersebut. Ia pun terbangun karena kejatuhan kayu kecil itu.
Selanjutnya ia celingukkan. Ia pun keheranan saat mendapati ia sendirian di rumah tersebut.
"Irman ke mana, ya? Apa dia sedang berburu?" gumamnya
seraya mengalihkan pandangan pada lubang angin di atas sebuah jendela rumah itu.
"Sudah malam?" Pak Raman melihat ke arah jam tangannya yang merupakan jam digital dengan format 24 jam. "Aneh, baru pukul 13.22. Kok sudah seperti malam hari saja?"
Ia pun beranjak ke arah ruang
tengah dengan maksud hendak ke pintu depan. Namun, ia menghentikan langkah saat mendengar suara nafas berat yang terdengar jelas dari salah satu kamar di sebelah kirinya.
Ia merasa penasaran dengan suara nafas tersebut. Menurutnya tidak mungkin itu suara deru nafas Pak Irman.
Pak Raman merasakan hawa dingin berhembus ke tengkuknya. Ia merasa badannya bergidik saat semakin dekat dengan pintu kamar di sebelah kiri itu.
Saat itu remang-remang cahaya senter kecilnya menyorot ke arah pintu yang tertutup agak renggang itu. Saat selangkah lagi Pak Raman
mencapai pintu, mendadak terdengar suara benda berat yang jatuh di belakangnya.
Spontan, Pak Raman membalikkan badan dan melihat sesosok makhluk seperti manusia namun merayap serta tubuhnya diselimuti lumpur. Makhluk itu tampak menyeringai ke arah Pak Raman.
"Hrrrrhrrrrhhrr"
Makhluk itu mendesis sambil menjulurkan lidahnya yang robek terbelah dua.
"Hhhhrrrrhrrrr... Raaaammmmaaaan.... Aing datang rek maragatkeun nyawa maneh!" (Raman, aku datang untuk mencabut nyawamu!)
Makhluk tersebut ternyata dapat berbicara. Dengan suaranya yang serak berat,
makhluk itu sangat mengintimidasi Pak Raman.
Sedangkan Pak Raman, seolah dapat mengenali sosok makhluk tersebut, tidak terlihat ketakutan sama sekali. Ia bahkan berani maju ke hadapan makhluk tersebut.
"Kau telah membunuh Indira dan Rana, dasar perempuan jahanam!"
Pak Raman berkata dengan nada tegas sambil menyorotkan senternya ke arah makhluk tersebut.
"Hrrrr.... Kkkaaau mmaasssih menggenaliku, Rrrammman! Aakkkkuu daattangg untuk mmmengammbil nnyyyawwwamu!" Makhluk tersebut menjulurkan tangannya yang panjang dan berwarna hitam berlumpur
"Iblis itu sakti juga, ya. Dia bisa membangkitkanmu, Arsini. Tapi aku pastikan kau maupun dia tidak akan bisa menyentuhku. Aku satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan penyembahnya yang berani melawannya bahkan membunuh budaknya dengan tanganku sendiri," tukas Pak Raman.
Sosok makhluk yang adalah Arsini itu mengaum kemudian melompat dengan cepat ke arah Pak Raman.
"Hrrrr.... Modar sia!" (Mati kau)
Pak Raman dengan cepat melompat menghindar kemudian menendang pintu keluar hingga terbuka. Ia pun keluar dari dalam rumah, dan di saat itu ia
melihat suatu benda bersinar tergeletak di atas tanah di halaman rumah terbengkalai itu.
Semakin dekat ke arah benda bersinar tersebut, Pak Raman dapat menyaksikan bahwa benda tersebut adalah sebilah kujang kecil.
Efek dari kujang tersebut rupanya membuat hantu Arsini tidak
dapat mendekat ke arah Pak Raman.
Pak Raman tanpa pikir panjang, mengambil kujang yang menyala tersebut kemudian mengamatinya dengan keheranan sekaligus takjub.
"Kenapa bisa ada kujang ini di sini? Siapa sebenarnya pemilik rumah ini?" gumam Pak Raman.
Sementara hantu Arsini yang berkali-kali gagal mendekati Pak Raman hanya bisa mengerang sambil menggapai-gapaikan tangannya yang ringkih dan panjang.
"Hrrrrr..... Rammmaaannn, awas kau! Jika aku tidak bisa menghabisimu, maka akan kuhabisi orang terdekatmu tanpa ampun!"
geram hantu Arsini dengan suara serak.
"Memangnya keluargaku yang mana lagi yang akan kau lenyapkan? Keluargaku sudah hampir habis. Hanya Mira yang tersisa, dan dia akan aman jika tidak bersamaku. Kau maupun iblis itu tidak akan pernah bisa menyentuhnya. Dia adalah Dewi
Bencana untukmu, ibu yang buruk," ucap Pak Raman sambil mengacungkan kujang yang ia temukan itu ke arah hantu Arsini.
"Hrrrr, lihat saja siapa yang akan segera aku lenyapkan. Dengan kedua tanganmu, aku akan melenyapkannya! Hrrrrrr....."
Hantu Arsini berkata penuh ancaman
kemudian berlari merangkak dengan cepat ke arah kegelapan dan menghilang.
Pak Raman tampak tertegun melihat demit istrinya yang tiba-tiba pergi sambil mengeluarkan ancaman yang dirasanya aneh.
"Dia mau melenyapkan siapa? Keluargaku yang tersisa hanya Mira seorang. Tapi Arsini
tidak akan pernah bisa menyentuhnya selama Eyang Sarta masih bersamanya. Eyang sudah berjanji untuk selalu melindungi putri bungsuku. Hal yang sangat kusayangkan kenapa eyang hanya melindungi Mira? Kenapa tidak dengan Indira dan Rana?" gumamnya sambil menatap ke arah kujang yang
masih di genggamannya.
Mendadak ia teringat dengan Pak Irman yang meninggalkannya ketika ia sedang tertidur. Ia pun menyadari bahwa keluarganya yang masih tersisa bukan hanya Mira, melainkan Pak Irman yang secara kebetulan berada di wilayah yang sama dengannya.
"Oh, tidak!
Setan itu mengincar Irman? Tapi apa maksudnya dengan 'kedua tanganmu'? Ini membuatku bingung. Apa setan itu akan merasukiku agar aku membunuh Irman? Aku tidak akan kerasukkan. Eyang Sarta sudah menjamin itu," gumamnya seraya berlalu kembali ke dalam rumah.
Pak Raman mengambil tas punggungnya yang sebelumnya ia tinggalkan di dalam rumah itu. Selanjutnya ia bergegas meninggalkan rumah tersebut dengan niat mencari Pak Irman.
"Maan, Irmaaan... Di mana, kamu?" Pak Raman memanggil-manggil adik tirinya itu sambil menyoroti area di sana.
Setiap menyusuri jalan di area pemukiman, Pak Raman sering sekali melihat penampakkan, di antaranya bahkan sempat mengganggunya.
Semakin jauh melangkah, Pak Raman pun tiba di suatu area yang agak jauh dari pemukiman. Di sana ia melihat sebuah rumah besar yang berdiri di antara
rimbunnya pepohonan serta lebatnya semak belukar.
Rumah itu terlihat dipenuhi tanaman merambat serta beberapa bagiannya telah rusak parah. Atapnya yang tinggi sebagian tampak berlubang besar.
"Rumah mendiang kakek buyut abah Marbun. Ayah pernah bercerita soal rumah ini. Di
rumah ini pulalah kutemukan ibu dalam kondisi mati suri pasca kejadian malam itu. Dita, ya? Dia yang memaksa kemari untuk mengkonfrontir ibu," gumam Pak Raman sambil menyoroti rumah tersebut.
Tak lama, Pak Raman seperti melihat cahaya lain di dalam rumah tersebut. Ia pun segera
mematikan lampu senternya.
Benar saja, tampaklah cahaya di dalam rumah yang sepertinya berasal dari lampu senter yang digunakan seseorang di dalam sana, yang entah apa yang sedang ia lakukan di dalam rumah yang hampir runtuh itu.
"Irman? Sedang apa dia di sini?"
gumam Pak Raman seraya berjalan ke arah rumah besar yang sebagiannya telah rusak itu.
Beberapa saat kemudian setelah Pak Raman mencapai tempat di mana Pak Irman berada. Adik tirinya tersebut rupanya sedang memandangi sebuah lukisan di dalam salah satu kamar yang berada di
lantai dua rumah itu.
Di tangan kirinya tergenggam sebuah kotak kayu kecil berukir yang entah apa isinya. Sementara tangan kanannya memegang lembaran kecil kulit hewan bertuliskan tulisan yang sangat asing.
Sebuah lentera berbahan bakar solar menggantung di dinding di sebelah
kanannya.
Pak Raman berdiri tepat di belakang adik tirinya tersebut. Ia menatap bingung sekaligus merasa khawatir ke arah adiknya itu. Ia merasakan hal yang ganjil dengan adiknya itu.
"Indah, bukan? Lukisan ini pasti diciptakan seorang seniman sejati yang memiliki daya cipta
seni super tinggi," ucap Pak Irman tanpa menoleh ke belakangnya. "Tuhan masih baik kepada kita. Ia mengirimkan sarana bagiku untuk menghidupkan kembali desa ini. Sebentar lagi kita akan menyaksikan desa ini kembali seperti dulu di saat mendiang ayah kita memimpin desa ini."
Pak Raman hanya mengangkat bahu sambil bergidik saat melihat lukisan yang sedang dilihati Pak Irman.
Lukisan besar tersebut menampilkan seorang wanita berusia 70 tahun berkebaya merah dengan kain batik warna coklat. Entah siapa wanita tersebut, yang jelas Pak Raman tidak
mengenalnya.
"Kak Raman, dirimu tentunya merasa senang jika desa ini kembali seperti dulu. Pastinya dirimu ingin menjadi warga pertama desa yang akan segera bangkit kembali ini. Ah, aku tidak sabar untuk melakukan ritual ini. Pasti Eyang Wawagor mengabulkan keinginanku,"
ucap Pak Irman membuat Pak Raman terlonjak kaget.
Pak Raman tampak melotot, merasa tidak percaya dengan apa yang baru dikatakan adiknya tersebut.
"Irman, apa kau serius mengatakan itu? Kau sadar telah mengatakan itu?" Pak Raman menatap dgn tatapan khawatir ke arah Pak Irman.
Pak Irman terkekeh. Tanpa menukas perkataan kakaknya, ia membentangkan lembaran-lembaran kulit hewan tersebut seraya komat-kamit.
Saat itu, di dalam rumah terbengkalai tersebut seperti sedang diguncang-guncangkan suatu kekuatan besar dari luar.
"Irman, kau sudah gila, ya!
Hentikan itu atau kau akan menjadi budak iblis. Jangan coba-coba kau panggil Wawagor. Itu adalah iblis yang telah memperbudak ibuku dan juga istriku. Kau harus tahu aku kehilangan dua puteriku karena persekutuan istriku dengan iblis itu. Hentikan, Irman. Jangan teruskan!" teriak
Pak Raman.
"Tidak akan! Ini satu-satunya kesempatanku untuk mengembalikan desa ini seperti dulu lagi. Eyang Wawagor akan membangkitkan desa ini dan memajukannya menjadi kota yang sangat maju di muka bumi ini. Jika kau tidak suka dengan caraku, enyahlah dari sini!" hardik Pak
Irman sambil berbalik ke arah Pak Raman.
"Irman, kau sudah dibutakan iblis itu! Kau sudah terhasut olehnya!" Pak Raman menggeleng. "Oh, ya, pasti kau didatangi makhluk jelmaan arwah istriku dan dia membisikimu agar kau mau bersekutu dengan Wawagor. Sadarlah, Irman. Arsini
telah menghasutmu agar kau mau memanggil Wawagor. Sudah cukup Indira dan Rana yang menjadi korban dari pihak keluargaku. Jangan ada lagi korban."
Seraya berkata demikian, Pak Raman berusaha merebut lembaran-lembaran kulit hewan yang dipegang Pak Irman. Namun, adiknya itu menepis
tangannya seraya melangkah mundur.
"Jangan coba-coba mengganggu ritualku, kak Raman! Jika kau masih saja menggangguku, aku tidak segan-segan melumpuhkanmu!" kata Pak Irman dengan nada tinggi.
"Atau sebaliknya," ucap Pak Raman seraya terus maju untuk merebut barang ritual yang
berada di genggaman adiknya itu.
Pak Irman tidak bergeming. Ia terus menghindarkan lembaran-lembaran kulit hewan itu seraya berkata meracau seperti orang yang sedang kehilangan akal sehat.
"Kau mencegahku membangun kembali desa ini? Kau tidak mendukungku menjadi kepala desa?
Kau keparat! Jangan coba kau rebut benda-benda ini atau aku akan membunuhmu!" gertak Pak Irman seraya memasukkan lembaran-lembaran kulit itu ke dalam kotak yang ia genggam di tangan kirinya.
Selanjutnya ia mencabut sebilah pisau bergerigi dari pinggangnya kemudian menghadap
ke arah Pak Raman.
"Aku hanya perlu melenyapkanmu supaya Eyang Wawagor datang membantuku membangun kembali desa ini! Kau pasti merasa iri karena tidak mendapatkan kesempatan menjadi kepala desa di desa ini. Karena itulah kau mencegahku melakukan ritual penting ini!" kata Pak
Irman dengan nada agak serak. Tampak sorot kedua matanya yang penuh kebencian mengarah ke arah kakaknya itu.
Pak Raman menggeleng, "Aku tidak menginginkan apapun termasuk menjadi kepala desa di desa mati ini. Aku hanya ingin keluargaku selamat, terbebas dari hasutan iblis.
Aku tidak mau lagi ada anggota keluargaku yang mati karena termakan rayuan Wawagor. Irman, lebih baik kau buang benda-benda laknat itu! Jangan sampai kau didatangi iblis itu. Jika ia sudah datang, maka kau tidak akan bisa selamat dari cengkeramannya."
Pak Irman tidak bergeming.
Ia malah menyerang kakaknya itu dengan pisau yang ia hunus itu. Sedangkan Pak Raman yang telah menduga akan terjadi hal demikian, segera mundur seraya menyambar sebatang tongkat kayu yang bersandar di dinding.
"Aku tidak ingin ada yang terluka apalagi terbunuh. Sudah cukup
Rana dan Indira yang mengalaminya. Jangan ada lagi!" kata Pak Raman seraya maju sembari menyongsong serangan adiknya dengan tongkat itu.
Prakkkkk
Pak Irman menebas tongkat kayu tersebut namun tidak mempan mengingat senjata yang ia gunakan tidak sekuat pedang atau golok.
Sembari terus berbicara, Pak Raman melanjutkan usahanya merebut lembaran-lembaran kulit hewan yang kini telah di dalam kotak, yang kotaknya dipertahankan mati-matian oleh Pak Irman.
"Kau tidak akan berhasil melakukan apa yang kau mau selama aku masih bernafas. Ini urusannya
dengan nyawa orang banyak. Kalau sampai kau bersekutu dengan Wawagor, maka dipastikan akan banyak orang yang mati hanya dalam waktu semalam."
"Semua usaha butuh pengorbanan! Tidak peduli mau sampai berapa ribu orang akan mati, yang penting desa ini kembali bangkit!" Pak Irman
yang sudah terkena bujuk rayu demit Arsini tidak bergeming. Ia tidak mau mendengarkan kata-kata kakaknya itu.
Pak Raman benar-benar merasa bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menyadarkan adiknya itu.
Yang ia lakukan hanya terus berusaha merebut kotak kayu di
tangan Pak Irman.
(Sebagai catatan, Pak Raman tidak tahu bahwa kotak tersebut sebenarnya milik istrinya sewaktu masih hidup. Entah bagaimana caranya kotak itu kini berada di tangan adiknya)
Di salah satu kesempatan, Pak Raman berhasil memojokkan Pak Irman. Di saat itulah ia
memiliki kesempatan untuk merebut kotak kayu tersebut.
Dengan gerak cepat, ia merebut kotak tersebut dan berhasil. Namun sialnya, Pak Irman yg terpojok berhasil mendaratkan tusukannya ke lambung kakak tirinya tersebut.
"Ahhhh...!" Pak Raman berteriak kesakitan kemudian mundur.
Pak Raman jatuh terpelanting dengan kotak yang ia rebut terlempar dengan isinya yang berhamburan keluar.
"Keparat! Kau menjatuhkannya!" Dengan bengis, Pak Irman mendaratkan tendangannya ke dada Pak Raman yang tidak sempat menghindar.
Dukkkkkk,
"Arkkkk!" Pak Raman terkulai
kehilangan kesadaran dengan dada kiri bawahnya terluka dengan darah meleleh.
"Mengganggu saja! Akan kulanjutkan ritualnya. Siapa tahu Eyang Wawagor akan mendengarkanku," ucap Pak Irman kemudian memunguti benda-benda ritualnya yang tercecer.
Setelah selesai mengumpulkan benda-benda sarana ritualnya tersebut, Pak Irman memulai kembali ritual pemanggilannya. Ia memang berniat memanggil Wawagor agar tujuannya menghidupkan Desa Cikahuripan dapat terwujud.
"Datanglah, wahai Wawagor. Bantu saya menemukan perempuan itu.
Dia satu-satunya yang sangat kuinginkan. Wajah cantiknya tidak akan membuatku tenang sampai aku bisa menemukannya. Oh, Dita." Ucapan Pak Irman sangat kontras dengan rencana awalnya memanggil Wawagor.
Pak Raman yang mulai tersadar, mengerutkan kening saat mendengar kata-kata
adiknya itu.
"Dita? Irman mengetahui Dita? Lalu tujuan dia yang sebenarnya apa, sih? Membangun desa ini atau menemukan Dita?" ucapnya dalam hati.
Sementara Pak Irman yang belum menyadari kakaknya telah siuman, meneruskan pemanggilannya hingga hawa panas terasa menjalar di
dalam rumah tersebut.
"Oh, Wawagor. Pertemukan aku dengan Dita. Aku menginginkannya!" teriak Pak Irman seraya membanting lembaran-lembaran kulit hewan.
Tak lama kemudian muncul kabut tebal di hadapannya. Kabut tersebut lambat laun membentuk sesosok makhluk tinggi besar dengan
sepasang tanduk mirip tanduk domba di kepalanya. Itu adalah wujud Wawagor yang sebelumnya juga pernah diceritakan di cerita berjudul "Rumah Besar di Tengah Perkebunan Sawit".
Namun, sebelum Pak Irman menuntaskan mantranya, mendadak dari belakangnya Pak Raman menusuknya dengan
sebilah kujang kecil.
"Lebih baik aku kehilangan saudaraku daripada nanti banyak orang tidak bersalah meregang nyawa. Sudah cukup sampai di sini kau, dasar iblis!" teriak Pak Raman dengan suara serak.
"Kak Raman? Kkkau!" Pak Irman yang kaget dengan serangan tersebut lantas
jatuh ke lantai dalam kondisi tidak bernyawa.
"Grrrrrr.... Huaaaaaa...." Sosok Wawagor mengaum kemudian meronta dalam wujud kabutnya kemudian menghilang.
"Irmaaannn! Tidak!" Pak Raman duduk bersimpuh di hadapan jasad adiknya dengan kujang yang masih menancap.
"Ternyata ini yang terjadi. Arsini telah membunuh adikku melalui kedua tanganku ini. Irman rupanya termakan tipu dayanya. Aku harap suatu saat nanti ada seseorang yang akan membenamkan iblis betina itu ke dalam lumpur panas!" rutuk Pak Raman seraya terhuyung bangkit dari posisi
bersimpuhnya.
Tidak diceritakan apa yang selanjutnya ia lakukan terhadap jasad adiknya tersebut, Pak Raman lebih memilih mengakhiri ceritanya.
"Itulah yang terjadi kenapa saya sampai terluka seperti ini. Saya menyesal tapi itulah yang harus terjadi. Semoga saja di kemudian
tidak ada lagi orang yang tidak bersalah menjadi korban keserakahan mendiang istriku," ucap Pak Raman saat duduk bersama Januar dan Sarah di dalam salah satu rumah yang kondisinya masih baik.
Januar dan Sarah hanya menyimak kata-kata Pak Raman. Mereka terdiam hingga kemudian
mereka mendengar suara jeritan dari kejauhan.
"Suara jeritan siapa itu?" ucap Januar.
"Apa itu Sardi?" tukas Sarah.
"Kita akan ke sana dan kita akan segera tahu," ucap Pak Raman seraya bangkit kemudian mengambil kujangnya.
Dalam gelapnya area di sekitar area pemakaman yang dikelilingi rumpun-rumpun bambu, sepasang manusia berbeda jenis kelamin tersebut melakukan perbuatan terlarang. Mereka seharusnya tidak melakukannya mengingat mereka bukan pasangan suami istri dan juga lokasinya yang mana mereka
tidak seharusnya melakukannya di sana.
Entah karena sudah terpengaruh bisikan setan, pasangan sejoli tersebut tidak ragu lagi berbuat mesum di wilayah terlarang tersebut. Mereka terus melakukannya hingga kemudian mereka mengalami hal yang aneh, yaitu di mana mereka berdua
menjadi dempet dan tidak bisa melepaskan diri.
Mereka pun panik bukan kepalang. Mereka hanya bisa berteriak-teriak dengan panik sambil meronta berusaha melepaskan diri masing-masing, namun tidak bisa.
Kepanikan mereka tidak berhenti sampai di situ. Sesosok negatif menampakkan
diri, menertawakan pasangan mesum yang dilanda apes tersebut.
Selesai menertawakan pasangan tersebut, makhluk tersebut melompat menerkam keduanya hingga jeritan keduanya pun membahana ke seluruh penjuru area pemakaman di desa mati tersebut.
Setelah kejadian itu, tak lama terlihat beberapa cahaya senter berseliweran membelah gelapnya desa.
"Jodiiii...." Itu adalah Januar yang memanggil-manggil nama orang yang sedang dicarinya.
"Riniii... Apa kalian di sana?" seru Sarah yang berjalan di belakang Pak Raman.
"Sardiii.. Apa itu kau?" Januar berteriak.
"Ini kan wilayah pekuburan? Tapi jeritan itu berasal dari sini," ucap Pak Raman saat mencapai salah satu rumpun bambu yg berada di area pemakaman.
"Hrrrrrr...." Mendadak terdengar suara seperti dengkuran seekor hewan berukuran besar.
Pak Raman bersama Januar dan Sarah pun menghentikan langkah. Mereka celingukan mencoba memastikan dari mana suara dengkuran itu berasal.
"Apa setan itu ada di sini?" kata Pak Raman setengah bergumam.
"Setan itu?" Januar mengerutkan kening, heran dgn ucapan Pak Raman barusan.
"Arsini. Itu yang saya maksud. Dengkurannya persis sama," tukas Pak Raman seraya mengambil kujang dari pinggangnya.
Pak Raman kemudian menyorotkan senternya ke arah salah satu rumpun bambu setelah melewati rumpun bambu pertama dan kedua. Ia pun terhenyak saat menyaksikan adegan
horor di bawah rumpun bambu ketiga itu.
Januar dan Sarah tidak kalah kaget dan merindingnya saat melihat hal itu. Mereka hampir saja berteriak karena saking takutnya jika saja Pak Raman tidak mencegahnya.
Sesosok makhluk seperti manusia bertubuh ceking panjang kurus serta
berbalut lumpur yang meleleh di sekujur tubuhnya, sedang menyobek-nyobek dua sosok manusia yang sedang tergeletak dempet di atas tanah.
Darah tampak menggenang di atas tanah, juga beberapa tulang berserakkan di sana. Jelasnya, kedua tubuh manusia itu sudah tidak utuh lagi.
Pak Raman menghunus kujangnya kemudian maju perlahan ke arah sosok demit Arsini yang sedang melahap sepasang yang malang itu.
Demit Arsini menghentikan kegiatannya kemudian melihat dengan garang ke arah Pak Raman.
Sementara Sarah dan Januar hanya bisa tercekat, terpaku di
tempat. Mereka merasa sangat ketakutan saat menyaksikan sosok mengerikan itu.
"Khhrau...bhhraninnya mengganggukkku....!" Demit Arsini berkata dengan suara parau seperti tenggorokannya dipenuhi cairan.
Tanpa menyahut, Pak Arman mengacungkan kujangnya ke arah demit Arsini.
"Rrrroaaarrr....!" Demit Arsini mundur beberapa langkah saat Pak Raman maju ke arahnya sambil mengacungkan kujang.
"Kau telah membuatku kehilangan anak-anakku dan juga adikku! Malam ini kau harus tamat!" ujar Pak Raman tanpa keraguan terus maju hingga mencapai dua sosok jasad
yang sudah tidak dapat dikenali lagi.
Pak Raman sejenak melirik ke samping kemudian memberi isyarat kepada Januar dan Sarah. Di saat itu pula dengan mendadak, demit Arsini melompat menyerang ke arah Pak Raman.
Januar dan Sarah yang sudah mengerti dengan isyarat Pak Raman,
segera menyiramkan air dari botol minum yang mereka bawa tepat ke arah dua jasad yang sudah rusak itu.
Mendadak sosok demit Arsini berhenti terpaku dalam kondisi melayang di udara tepat beberapa senti dari posisi Pak Raman.
Tanpa membuang waktu, Pak Raman menusukkan kujangnya
ke wajah demit berlumpur itu.
"Mulai sekarang kau tetaplah di dalam lumpur. Tidak ada lagi keluar-keluar dari sana!" ucap Pak Raman.
Sesaat setelah bilah kujang menembus wajah demit Arsini, mendadak hari menjadi terang. Wujud demit Arsini pun terbakar setelah terkena sinar
matahari.
Demit Arsini pun meraung-raung kemudian melebur menjadi debu yang beterbangan ke udara.
Pak Raman pun berlutut di atas tanah setelah berhasil mengalahkan demit mendiang istrinya tersebut.
Sementara Januar dan Sarah menyaksikan dua jasad orang yang selama ini
mereka cari juga melebur menjadi debu. Mereka menghilang bersama sosok demit Arsini.
"Pencarian kalian rupanya berakhir di sini. Aku minta maaf karena tidak bisa menyelamatkan teman-teman kalian. Seandainya saja kita lebih cepat sampai di tempat ini," ucap Pak Raman merasa
menyesal.
Januar menghela nafas, "Semua sudah terjadi, pak. Tidak ada yang perlu disesali. Lagipula kami sudah merasa jenuh juga dengan mereka berdua. Mereka tidak bisa diatur tapi kami tetap mengawasi mereka. Sekalinya dibiarkan, mereka pun berakhir di sini."
"Lalu bagaimana dengan Sardi? Kita melupakannya," ujar Sarah membuat Januar mengusap wajahnya.
"Semoga saja dia segera ditemukan. Apalagi sekarang kan sudah siang," tukas Januar.
"Tidak perlu repot-repot. Sardi sekarang di sini bersamaku," ujar seseorang yang muncul mendadak
membuat semua orang terlonjak kaget.
Tampaklah Rahayu yang baru saja berucap, muncul bersama Sardi.
"Terimakasih, Pak Raman. Anda telah melenyapkan salah satu biang kekacauan di desa ini. Selamat, pak," ucap Rahayu.
"Kau, kan?" Pak Raman menatap ke arah Rahayu dengan
bingung.
Rahayu tersenyum, "Desa Cikahuripan membutuhkan Kepala Desa, Pak Raman. Saya pikir anda layak untuk itu. Di tangan anda pulalah, desa ini dapat dikembalikan seperti dulu lagi. Selanjutnya kita membutuhkan para penjaga desa, mengingat desa ini berada di titik rawan,"
tukas Rahayu.
Pak Raman menggeleng, "Seharusnya Irman yang berada di posisi itu, tapi dia sekarang sudah.... " ucapnya tidak dilanjutkan.
"Semua sudah terjadi, pak. Mas Irman harus berakhir seperti itu. Terkadang pahlawan tidak selamanya pahlawan. Pahlawan hanyalah manusia
biasa yang bisa saja terjerumus dalam jurang yang gelap," tukas Rahayu. "Nah, Pak Raman harus memulai tugas itu. Kita tidak boleh kalah dari mereka. Mereka sudah punya tempatnya, maka kita pun harus. Ayo, Pak Raman, Kades baru Cikahuripan yang baru!"
Rahayu mengepalkan tangan
seraya mengacungkannya ke udara.
"Iya, Pak Raman. Kami mendukungmu!" ucap Januar tiba-tiba.
"Saya juga mendukung, pak!" timpal Sardi.
Sarah yang sedari tadi memperhatikan turut berbicara, "Jangan lupa saya nanti yang jadi penerus ya, pak. Hehe."
Pak Raman hanya bisa
celingukan dengan bingung. Ia merasa bingung harus berbicara apa lagi menanggapi usulan Rahayu.
-------SEKIAN-------
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Malam itu di tengah suatu hutan yg lebat, seorang laki-laki setengah baya tengah duduk menghadap ke arah suatu api unggun yg beberapa saat yg lalu ia nyalakan.
Laki-laki itu adalah Pak Tasrin, seorang musafir yg hendak pergi ke kampung di mana putrinya tinggal.
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Ia telah melakukan perjalanan yg sangat jauh dari kampung halamannya. Ia telah melewati beberapa tempat baik itu yg berpenduduk maupun berupa wilayah kosong seperti hutan yg saat ini tengah disinggahinya.
Ia kemalaman di tengah hutan tersebut, dan merasa tidak mungkin untuk
Pada pagi itu di suatu kota kecil. Di salah satu sudut jalan tampak seorang laki-laki yg adalah Arhan sedang mengendarai sepeda motornya jenis bebek manual. Ia sepertinya hendak menuju suatu tempat yg merupakan di mana para kenalannya sedang berkumpul.
Sesampainya di tempat yg
dituju, ia menghentikan sepeda motornya kemudian melihat ke arah dua orang satpam yg sedang berjaga di posnya. Mereka tampak melihat ke arah Arhan kemudian salah seorang di antaranya berseru.
"Arhan, tumben kemari? Sepertinya ada proyek baru, nih," ujar salah seorang satpam
Samar-samar yg terlihat oleh bocah lelaki itu adalah sosok perempuan yg selama ini membesarkannya, diseret keluar dari dalam rumah. Orang-orang itu membawa perempuan tersebut entah ke mana.
"Jadi ibumu dibawa orang-orang itu dalam keadaan masih memakai kebaya hijau?" tanya
Pak RT yg beberapa jam setelah kejadian, datang menemui bocah lelaki yg kini tengah terbaring lemah di dalam rumah itu.
Bocah lelaki itu hanya mengangguk lemah seraya terisak.
"Siapa sebenarnya mereka? Untuk apa mereka menculik Bu Lastri?" gumam Pak RT.
Cerita ini pernah dibuat ketika pertama kali saya aktif membuat thread di twitter. Saya membuat cerita yg sama bukan karena cerita yg lama sukses melainkan karena saya merasa cerita tersebut kurang sreg dan juga terlalu absurd.
Makanya saya mencoba membuat reboot dari cerita tersebut. Penasaran dengan ceritanya? Ayo kita simak saja.
Sebuah cerita tentang para penduduk kota yg tersesat di sebuah dusun angker di pedalaman hutan. Selain tersesat, mereka juga harus berhadapan dg pendduk lokal yg tidak ramah...
Dalam keremangan saat itu, Pak Tohar diseret oleh beberapa orang pengepung dalam kondisi dari wajah hingga ujung kaki dipenuhi tetesan darah. Laki-laki itu terlihat tidak berdaya saat orang-orang semi telanjang tersebut membawanya melewati gerbang dari tumpukkan batu yg mengarah
masuk ke perkampungan itu.
Teman-temannya tidak kalah menderitanya dari dia. Mulai dari Arkim hingga Dani, dalam kondisi yg serupa dengannya. Apalagi Cayut yg kini dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Laki-laki itu dalam kondisi koma setelah terluka oleh sebatang anak panah yg
Sebuah cerita tentang suatu dusun yg tertutup dari dunia luar. Dusun yg angkernya tidak hanya terkait hal-hal mistik saja melainkan juga terkait warganya yg tidak ramah pendatang...
Cerita yg saya tulis ini kemungkinan memiliki judul yg sepertinya sudah terlalu umum. Tapi saya pastikan isi cerita bukan hasil dari menyontek karya orang lain. Bahkan cerita ini asli hasil pemikiran saya sendiri berdasarkan pada pengamatan pada sekelompok masyarakat yg memang
tertutup dari dunia luar. Bahkan masyarakat ini selalu berusaha mati-matian agar tidak ada orang asing yg memasuki wilayahnya. Mereka tidak segan membunuh orang-orang asing yg berani memasuki wilayah di mana mereka bertempat tinggal serta bermata-pencaharian.