“Mungkinkah kita berpikir tanpa bahasa?”. Pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang menandai suatu palingan bahasa dalam filsafat abad 20.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam tradisi filsafat kontinental.
A thread.
Palingan bahasa merupakan gelombang pemikiran yang bermula dari Revolusi Kopernikan Immanuel Kant. Dalam revolusi tersebut, Kant merumuskan ulang syarat-syarat pengetahuan. Kant tidak memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia atau palingan epistemologis.
Setelah palingan epistemologis Kant, upaya memikirkan cara memikirkan dunia dilanjutkan dengan palingan bahasa atau Linguistic Turn. Palingan bahasa berangkat dari pemikiran bahwa manusia memikirkan dunia dengan bahasa.
Dalam tradisi kontinental, pemikir yang sangat terkenal adalah Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda. Setiap tuturan mengacu pada konsep tertentu.
Saussure menyebut tuturan sebagai penanda (signifier) dan konsep acuan sebagai petanda (signified). Misalnya, kata kucing, yang terdiri dari “k-u-c-i-n-g”, menandai suatu konsep hewan berkaki empat, karnivora, dan berbulu. Jadi, makna terbentuk melalui proses penandaan.
Selain proses penandaan, makna juga terbentuk melalui perbedaan antar tanda. Misalnya, bentuk kata “k-u-c-i-n-g” berbeda dengan kata “k-a-m-b-i-n-g”. Bagi Saussure, jika bentuk dari dua buah kata berbeda, maka makna yang dikandung dua kata tersebut juga berbeda satu sama lain.
Saussure menyatakan bahwa makna akan semakin jelas terbentuk bila terdapat kata yang perbedaannya kontras. Misalnya, panas dan dingin, laki-laki dan perempuan, raja dan rakyat, dll. Pemikiran tersebut merupakan apa yang kita kenal sebagai “oposisi biner”.
Pemikiran Saussure, bahwa suatu kata (penanda) menandai suatu konsep realitas, dikritik oleh Jacques Derrida. Menurut Derrida, suatu penanda tidak menandai suatu konsep realitas.
Maksudnya gimana?
Misalnya, ketika kita menghadapi kata “kucing”. Kemudian, kita bertanya “apa itu kucing?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita memerlukan sebuah definisi.
Lalu, bukankah kalimat definisi juga merupakan kata (dan dengan demikian tanda)?
Maka dari itu, bagi Derrida, tanda tidak menandai suatu realitas, melainkan menandai tanda yang lain. Dengan demikian, bahasa merupakan proses penandaan tanpa ujung; tanda hanya berupaya menggapai realitas tanpa pernah mencapainya secara penuh.
“Batas bahasaku adalah batas pikiranku.” Demikianlah pernyataan Wittgenstein tentang relasi antara pikiran, bahasa, dan dunia.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam filsafat analitik dan pengaruhnya pada linguistik pragmatik.
A thread.
Pada dasarnya, palingan bahasa merupakan penanda dari lahirnya filsafat analitik. Filsafat analitik merupakan sebuah respon atas Idealisme yang mendominasi filsafat barat. Menurut filsuf analitik, karya-karya filsafat idealis dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang “gelap”.
Dalam thread sebelumnya perihal palingan bahasa dalam filsafat kontinental, kita telah memahami bahwa palingan bahasa bukanlah upaya memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia.
[LIVE UPDATE] Saat ini tengah berlangsung webinar Logos berkolaborasi dengan @magdaleneid dengan tema Media dan Gender. Yuk, ikuti live streamingnya melalui tautan berikut!
Media dan kultur pop merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Wacana atau nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media dapat membentuk masyarakat.
Berdasarkan survey UNESCO, representasi perempuan di media hanya menyentuh angka 10%. Kemudian, hanya 4% publikasi di media yang melawan stereotipe gender. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa 20% ekspert yang diwawancarai oleh media adalah laki-laki.
Dibandingkan dengan ilmu eksakta, ilmu sosio-humaniora masih kalah populer, termasuk ilmu antropologi dan ilmu sosiologi. Fun fact-nya adalah antropologi dan sosiologi masih diibaratkan “satu ibu beda bapak” , lho! Yuk kita bahas!
A Thread
Berbicara tentang sejarahnya, hubungan sosiologi dan antropologi muncul dari kedua permulaan yang berbeda. Sosiologi merupakan cabang dari ilmu filsafat (filsafat sosial) yang dikembangkan khusus untuk mendalami asas masyarakat sampai kebudayaannya sendiri.
Walaupun kelihatannya berbeda, namun ada hubungan yang bisa dikatakan sealiran. Kita cek dulu ~
1. Objek kajiannya.
Kalau sosiologi lebih membahas tentang daerah perkotaan, antropologi malah kebalikannya. Kalau pakai kacamata kita, ini malah menimbulkan timbal balik.
Terdapat sebuah buku yang dibuat 2.500 tahun lalu tetapi berpengaruh sangat besar terhadap pemikiran militer Barat dan Timur, taktik bisnis, serta strategi hukum hingga saat ini.
Mari mengupas buku legendaris The Art of War dan Sun Tzu!
- a thread!
Penulis buku legendaris ini, Sun Tzu, merupakan seorang ahli strategi dan filsuf militer asal China. Karya beliau yang sangat terkenal (The Art of War) berisi manual yang digadang-gadang sangat efektif tentang peperangan dan taktik militer.
Dalam teks kuno ini, argumen terpenting yang Sun Tzu utarakan ialah kaitan dan hubungan erat antara efisiensi dan kemenangan. Ia menegaskan bahwa menjaga sumber daya dengan menggunakan tipu daya & mata-mata sangat penting untuk memenangkan perang - aksi militer bukan segalanya!
"Kebijaksanaan yang sejati itu datang kepada kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya yang kita pahami tentang hidup, diri sendiri, dan dunia di sekitar kita." - Socrates
Seri #LogosEtika Ep. 3: Metode Dialektis - Bagaimana Socrates Membentuk Etika
- a thread!
Periode di mana Socrates tinggal di Athena dikenal sebagai Golden Age (Zaman Keemasan), sebagian karena kontribusi Socrates untuk meningkatkan pengetahuan, akal, dan pemahaman manusia.
Socrates dididik oleh seorang filsuf bernama Anaxagoras.
Socrates diajarkan 2 hal besar dari gurunya: filsafat dan kosmologi (studi tentang hakikat realitas, bentuk awal filsafat).
Sebagai cara untuk belajar, Socrates selalu mengajukan pertanyaan di tempat-tempat umum kepada penduduk Athena.
“Kalau kita orang Jawa, tetaplah menjadi Jawa sekalipun memeluk Islam.”
Pernahkah kalian mendengar kalimat semacam itu? Kali ini, Logos membahas nativisme dan hibriditas dalam kajian pascakolonial.
- a thread!
Kalimat di atas merupakan ungkapan yang berisi seruan agar setiap orang tidak melupakan asal-usulnya. Ungkapan semacam itu bisa dikatakan sebagai gejala nativisme.
Nativisme adalah istilah dalam psikologi yang mengindikasikan keinginan subjek untuk kembali pada asal-usulnya (native). Para pemikir serta pejuang pascakolonial menggunakan nativisme sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme.