“Batas bahasaku adalah batas pikiranku.” Demikianlah pernyataan Wittgenstein tentang relasi antara pikiran, bahasa, dan dunia.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam filsafat analitik dan pengaruhnya pada linguistik pragmatik.
A thread.
Pada dasarnya, palingan bahasa merupakan penanda dari lahirnya filsafat analitik. Filsafat analitik merupakan sebuah respon atas Idealisme yang mendominasi filsafat barat. Menurut filsuf analitik, karya-karya filsafat idealis dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang “gelap”.
Dalam thread sebelumnya perihal palingan bahasa dalam filsafat kontinental, kita telah memahami bahwa palingan bahasa bukanlah upaya memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia.
Menurut G.E. Moore, seorang filsuf analitik, filsafat bertugas melakukan penguraian terhadap teks hingga pada satuan terkecil. Tindak penguraian itu disebut sebagai analisis. Bahasa, sebagai perantara antara pikiran dan dunia, perlu diurai hingga pada bentuk proposisi logis.
Pemikiran Moore dilanjutkan oleh Bertrand Russell. Menurut Russell, bahasa biasa belum cukup jelas dalam mewakili logika. Karena, sekalipun dua buah kalimat memiliki struktur tata bahasa yang sama, struktur logis yang mendasari dua pernyataan tersebut bisa saja berbeda.
Maka dari itu, Russell menciptakan bahasa yang dapat dengan tepat mewakili logika, yaitu bahasa logis. Bahasa logis memakai simbol matematis dan terdiri atas satuan bahasa terkecil, yaitu “atom logis”. Bagi Russell, setiap tuturan pasti berdasar pada proposisi atomis tersebut.
Atom-atom logis tersebut bisa didapatkan dengan melakukan analisis logis terhadap tuturan serta melakukan sintesis logis atau verifikasi hasil analisis dengan dunia empiris. Kesepadanan antara bahasa dengan dunia disebut dengan isomorfisme.
Konsep isomorfisme Russell dilanjutkan dengan Teori Gambar dari Ludwig Wittgenstein. Bagi Wittgenstein, dunia empiris terdiri atas fakta-fakta atomis (bukan sekadar benda). Fakta merupakan....
...suatu keberadaan peristiwa (suatu aktivitas benda dalam suatu konsep ruang dan waktu). Menurut Wittgenstein, verifikasi atas tuturan dilakukan dengan membandingkan atom logis dengan fakta atomis.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa filsafat analitik jauh dari kajian metafisika. Bahkan, sebuah kelompok intelektual bernama Lingkaran Wina mengembangkan sebuah ide bernama “positivisme logis”.
Positivisme Logis adalah ide bahwa kebermaknaan sebuah tuturan hanya terjadi bila ia terverifikasi atau sesuai dengan dunia empiris. Dengan demikian, Lingkaran Wina menolak metafisika.
Akan tetapi, ide positivisme logis Lingkaran Wina tersebut memiliki persoalan.
Jika pernyataan metafisis dianggap tidak bermakna, bukankah prinsip verifikasi bahasa dengan dunia empiris juga metafisis?
Persoalan tersebut membuat Wittgenstein mulai mempertanyakan ulang ide-ide dalam filsafat analitik.
Persoalan tersebut melahirkan ide baru dari Wittgenstein bahwa batu pijakan dalam prinsip verifikasi tidak mungkin diperoleh, bahkan tidak perlu diperoleh. Bagi Wittgenstein, suatu tuturan tidak harus diselidiki maknanya, melainkan penggunaannya.
Ide baru Wittgenstein menyatakan bahwa suatu tuturan dapat bermakna pada konteksnya masing-masing. Maka dari itu, pernyataan metafisis dapat diterima sebagai pernyataan bermakna. Ide baru Wittgenstein itu disebut sebagai “permainan bahasa”.
Perkembangan selanjutnya ada pada pemikiran G. Ryle. Bagi Ryle, kekacauan bahasa dalam teks filsafat terjadi karena kesalahan kategori. Kesalahan semacam ini terjadi bila pengungkapan fakta-fakta pada dalam suatu kategori dilakukan dengan ciri-ciri logis kategori lain.
Kemudian, J. Austin mengembangkan ide terkait linguistik pragmatik. Austin mengenalkan kategori tuturan performatif dan konstatif. Tuturan performatif adalah tuturan yang ditujukan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, tuturan konstatif ditujukan untuk mengungkapkan sesuatu.
Buku How Democracies Die yang sedang diperbincangkan karena unggahan Gubernur @aniesbaswedan sebenarnya cukup menarik.
Logos akan membahas 2 poin dalam buku ini: tanda-tanda otoritarianisme dan peran partai politik sebagai gatekeeper.
- a thread!
Buku ini dibuat oleh 2 orang political scientist dari Universitas Harvard bernama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Karya yang terbit tahun 2018 ini bercerita tentang bagaimana pemimpin terpilih dapat menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.
Terpilihnya Donald Trump 4 tahun lalu memicu banyak diskusi tentang nasib demokrasi Amerika. Apakah terpilihnya tokoh seperti Donald Trump — outsider yang tak berpengalaman dengan naluri otoriter — menunjukkan bahwa demokrasi di AS sedang mengalami kemunduran?
[LIVE UPDATE] Saat ini tengah berlangsung webinar Logos berkolaborasi dengan @magdaleneid dengan tema Media dan Gender. Yuk, ikuti live streamingnya melalui tautan berikut!
Media dan kultur pop merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Wacana atau nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media dapat membentuk masyarakat.
Berdasarkan survey UNESCO, representasi perempuan di media hanya menyentuh angka 10%. Kemudian, hanya 4% publikasi di media yang melawan stereotipe gender. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa 20% ekspert yang diwawancarai oleh media adalah laki-laki.
Dibandingkan dengan ilmu eksakta, ilmu sosio-humaniora masih kalah populer, termasuk ilmu antropologi dan ilmu sosiologi. Fun fact-nya adalah antropologi dan sosiologi masih diibaratkan “satu ibu beda bapak” , lho! Yuk kita bahas!
A Thread
Berbicara tentang sejarahnya, hubungan sosiologi dan antropologi muncul dari kedua permulaan yang berbeda. Sosiologi merupakan cabang dari ilmu filsafat (filsafat sosial) yang dikembangkan khusus untuk mendalami asas masyarakat sampai kebudayaannya sendiri.
Walaupun kelihatannya berbeda, namun ada hubungan yang bisa dikatakan sealiran. Kita cek dulu ~
1. Objek kajiannya.
Kalau sosiologi lebih membahas tentang daerah perkotaan, antropologi malah kebalikannya. Kalau pakai kacamata kita, ini malah menimbulkan timbal balik.
“Mungkinkah kita berpikir tanpa bahasa?”. Pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang menandai suatu palingan bahasa dalam filsafat abad 20.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam tradisi filsafat kontinental.
A thread.
Palingan bahasa merupakan gelombang pemikiran yang bermula dari Revolusi Kopernikan Immanuel Kant. Dalam revolusi tersebut, Kant merumuskan ulang syarat-syarat pengetahuan. Kant tidak memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia atau palingan epistemologis.
Setelah palingan epistemologis Kant, upaya memikirkan cara memikirkan dunia dilanjutkan dengan palingan bahasa atau Linguistic Turn. Palingan bahasa berangkat dari pemikiran bahwa manusia memikirkan dunia dengan bahasa.
Terdapat sebuah buku yang dibuat 2.500 tahun lalu tetapi berpengaruh sangat besar terhadap pemikiran militer Barat dan Timur, taktik bisnis, serta strategi hukum hingga saat ini.
Mari mengupas buku legendaris The Art of War dan Sun Tzu!
- a thread!
Penulis buku legendaris ini, Sun Tzu, merupakan seorang ahli strategi dan filsuf militer asal China. Karya beliau yang sangat terkenal (The Art of War) berisi manual yang digadang-gadang sangat efektif tentang peperangan dan taktik militer.
Dalam teks kuno ini, argumen terpenting yang Sun Tzu utarakan ialah kaitan dan hubungan erat antara efisiensi dan kemenangan. Ia menegaskan bahwa menjaga sumber daya dengan menggunakan tipu daya & mata-mata sangat penting untuk memenangkan perang - aksi militer bukan segalanya!
"Kebijaksanaan yang sejati itu datang kepada kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya yang kita pahami tentang hidup, diri sendiri, dan dunia di sekitar kita." - Socrates
Seri #LogosEtika Ep. 3: Metode Dialektis - Bagaimana Socrates Membentuk Etika
- a thread!
Periode di mana Socrates tinggal di Athena dikenal sebagai Golden Age (Zaman Keemasan), sebagian karena kontribusi Socrates untuk meningkatkan pengetahuan, akal, dan pemahaman manusia.
Socrates dididik oleh seorang filsuf bernama Anaxagoras.
Socrates diajarkan 2 hal besar dari gurunya: filsafat dan kosmologi (studi tentang hakikat realitas, bentuk awal filsafat).
Sebagai cara untuk belajar, Socrates selalu mengajukan pertanyaan di tempat-tempat umum kepada penduduk Athena.