Dibandingkan dengan ilmu eksakta, ilmu sosio-humaniora masih kalah populer, termasuk ilmu antropologi dan ilmu sosiologi. Fun fact-nya adalah antropologi dan sosiologi masih diibaratkan “satu ibu beda bapak” , lho! Yuk kita bahas!
A Thread
Berbicara tentang sejarahnya, hubungan sosiologi dan antropologi muncul dari kedua permulaan yang berbeda. Sosiologi merupakan cabang dari ilmu filsafat (filsafat sosial) yang dikembangkan khusus untuk mendalami asas masyarakat sampai kebudayaannya sendiri.
Walaupun kelihatannya berbeda, namun ada hubungan yang bisa dikatakan sealiran. Kita cek dulu ~
1. Objek kajiannya.
Kalau sosiologi lebih membahas tentang daerah perkotaan, antropologi malah kebalikannya. Kalau pakai kacamata kita, ini malah menimbulkan timbal balik.
Kalau sosiologi mengembangkan penelitiannya dengan "melihat ke dalam" masyarakatnya, sedangkan antropologi dengan "melihat ke luar" masyarakatnya. In factnya, belajar antropologi berguna untuk penjajahan kolonialisasi. Waduh!
Eits, kedua subjek tersebut digunakan saat melihat perkembangan masyarakat Eropa dulu. Saat itu, sosiologi ingin melihat dari kompleksivitas masyarakatnya, berbeda dengan antropologi yang berawal mempelajari kebudayaan liyan masyarakat luar eropa.
Next!
2. Metode ilmiahnya.
Apabila antropologi menggunakan metode observasi-partisipatif dengan objek kajiannya manusia, maka sosiologi menggunakan metode paradigma positivistic (hubungan kausalitas).
Metode ilmiah antropologi digunakan dengan observasi yang dimaksudkan untuk memahami sesuatu lalu ditafsirkan dan diinterprestasi. Risetnya pun dilakukan dalam masyarakat yang spesifik-partikular sehingga bisa menemukan adanya persamaan dan perbedaan (tidak bisa digeneralisasi).
Di sisi lain, metode paradigma positivistic dalam sosiologi telah berkembang dan positivism menjadi paradigma yang tidak dapat dipisahkan dari empirisme.
Ditambah lagi sosiologi juga mengunakan penerapan ilmu pasti untuk statistical calculation dalam menganalisis fenomena dan kehidupan sosial yang ada di masyarakat, beserta relasinya.
Sederhananya, fokus sosiologi berdasarkan pada bentuk dan pola dalam masyarakat secara menyeluruh, tidak pada satu kejadian saja. Berbeda dengan antropologi yang meneliti kebudayaan-kebudayaan masyarakat dalam menghadapi diversitas.
Pada masa sekarang ini, antropologi dan sosiologi saling bersinggungan dalam objek kajian, metode, sampai pokok ilmiahnya. Kedua ilmu tersebut sama-sama menggunakan pendekatan metode interdisipliner yang saling membutuhkan adanya berbagai perspektif dalam pemecahan masalah.
Sejak dari awal, antropologi dan sosiologi memiliki objek kajian tersendiri. Metode kualitatif dan kuantitatif juga digunakan dalam kedua ilmu tersebut karena dua metode saling mengisi didalamnya.
Sampai sekarang pun, antropologi dan sosiologi saling berkolaborasi dalam mengkaji, problem-solving, dan memahami berbagai isu sosial-kebudayaan dalam masyarakat. Bisa dikatakan sih kalau mereka saling mengisi dalam persamaan dan perbedaan, seperti kamu dan dia. Hahaha…
Penulis : Mario Bhakti Wiratama, S.Ant & Yoseph Aldorino M.W
Konten : Haryana Hadiyanti (@anaje__ )
“Batas bahasaku adalah batas pikiranku.” Demikianlah pernyataan Wittgenstein tentang relasi antara pikiran, bahasa, dan dunia.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam filsafat analitik dan pengaruhnya pada linguistik pragmatik.
A thread.
Pada dasarnya, palingan bahasa merupakan penanda dari lahirnya filsafat analitik. Filsafat analitik merupakan sebuah respon atas Idealisme yang mendominasi filsafat barat. Menurut filsuf analitik, karya-karya filsafat idealis dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang “gelap”.
Dalam thread sebelumnya perihal palingan bahasa dalam filsafat kontinental, kita telah memahami bahwa palingan bahasa bukanlah upaya memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia.
[LIVE UPDATE] Saat ini tengah berlangsung webinar Logos berkolaborasi dengan @magdaleneid dengan tema Media dan Gender. Yuk, ikuti live streamingnya melalui tautan berikut!
Media dan kultur pop merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Wacana atau nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media dapat membentuk masyarakat.
Berdasarkan survey UNESCO, representasi perempuan di media hanya menyentuh angka 10%. Kemudian, hanya 4% publikasi di media yang melawan stereotipe gender. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa 20% ekspert yang diwawancarai oleh media adalah laki-laki.
“Mungkinkah kita berpikir tanpa bahasa?”. Pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang menandai suatu palingan bahasa dalam filsafat abad 20.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam tradisi filsafat kontinental.
A thread.
Palingan bahasa merupakan gelombang pemikiran yang bermula dari Revolusi Kopernikan Immanuel Kant. Dalam revolusi tersebut, Kant merumuskan ulang syarat-syarat pengetahuan. Kant tidak memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia atau palingan epistemologis.
Setelah palingan epistemologis Kant, upaya memikirkan cara memikirkan dunia dilanjutkan dengan palingan bahasa atau Linguistic Turn. Palingan bahasa berangkat dari pemikiran bahwa manusia memikirkan dunia dengan bahasa.
Terdapat sebuah buku yang dibuat 2.500 tahun lalu tetapi berpengaruh sangat besar terhadap pemikiran militer Barat dan Timur, taktik bisnis, serta strategi hukum hingga saat ini.
Mari mengupas buku legendaris The Art of War dan Sun Tzu!
- a thread!
Penulis buku legendaris ini, Sun Tzu, merupakan seorang ahli strategi dan filsuf militer asal China. Karya beliau yang sangat terkenal (The Art of War) berisi manual yang digadang-gadang sangat efektif tentang peperangan dan taktik militer.
Dalam teks kuno ini, argumen terpenting yang Sun Tzu utarakan ialah kaitan dan hubungan erat antara efisiensi dan kemenangan. Ia menegaskan bahwa menjaga sumber daya dengan menggunakan tipu daya & mata-mata sangat penting untuk memenangkan perang - aksi militer bukan segalanya!
"Kebijaksanaan yang sejati itu datang kepada kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya yang kita pahami tentang hidup, diri sendiri, dan dunia di sekitar kita." - Socrates
Seri #LogosEtika Ep. 3: Metode Dialektis - Bagaimana Socrates Membentuk Etika
- a thread!
Periode di mana Socrates tinggal di Athena dikenal sebagai Golden Age (Zaman Keemasan), sebagian karena kontribusi Socrates untuk meningkatkan pengetahuan, akal, dan pemahaman manusia.
Socrates dididik oleh seorang filsuf bernama Anaxagoras.
Socrates diajarkan 2 hal besar dari gurunya: filsafat dan kosmologi (studi tentang hakikat realitas, bentuk awal filsafat).
Sebagai cara untuk belajar, Socrates selalu mengajukan pertanyaan di tempat-tempat umum kepada penduduk Athena.
“Kalau kita orang Jawa, tetaplah menjadi Jawa sekalipun memeluk Islam.”
Pernahkah kalian mendengar kalimat semacam itu? Kali ini, Logos membahas nativisme dan hibriditas dalam kajian pascakolonial.
- a thread!
Kalimat di atas merupakan ungkapan yang berisi seruan agar setiap orang tidak melupakan asal-usulnya. Ungkapan semacam itu bisa dikatakan sebagai gejala nativisme.
Nativisme adalah istilah dalam psikologi yang mengindikasikan keinginan subjek untuk kembali pada asal-usulnya (native). Para pemikir serta pejuang pascakolonial menggunakan nativisme sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme.