Buku How Democracies Die yang sedang diperbincangkan karena unggahan Gubernur @aniesbaswedan sebenarnya cukup menarik.
Logos akan membahas 2 poin dalam buku ini: tanda-tanda otoritarianisme dan peran partai politik sebagai gatekeeper.
- a thread!
Buku ini dibuat oleh 2 orang political scientist dari Universitas Harvard bernama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Karya yang terbit tahun 2018 ini bercerita tentang bagaimana pemimpin terpilih dapat menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.
Terpilihnya Donald Trump 4 tahun lalu memicu banyak diskusi tentang nasib demokrasi Amerika. Apakah terpilihnya tokoh seperti Donald Trump — outsider yang tak berpengalaman dengan naluri otoriter — menunjukkan bahwa demokrasi di AS sedang mengalami kemunduran?
Apakah rakyat AS ditakdirkan menderita seperti nasib negara demokrasi abad ke-21 lainnya, seperti Hongaria, Venezuela, dan Turki, di mana demokrasi tidak lagi ada?
Dengan proses apa demokrasi terbunuh di negara itu dan negara lain, dan bagaimana kita mencegahnya?
Ini adalah pertanyaan2 yang ingin dijawab oleh How Democracies Die. Penulis mengeksplorasi proses sejarah di mana demokrasi menjadi punah di negara lain pada abad 20-21, sambil memeriksa kebangkitan kekuatan anti-demokrasi dalam politik Amerika selama periode waktu yang sama.
Dengan mengidentifikasi taktik khusus yang digunakan para otokrat dalam upaya untuk membongkar representative government dan menguraikan kondisi politik yang memunculkan gerakan otoriter, buku ini berfungsi sebagai peringatan bagi demokrasi yang terancam.
Untuk mencegah penguasa mengambil alih kekuasaan dan mulai membunuh demokrasi, penting untuk dapat mengidentifikasi mereka terlebih dahulu. Ada empat tanda peringatan dari penguasa.
1. Tanda pertama ialah ketika penguasa menolak aturan persaingan demokratis yang diterima secara umum, sering kali dengan menolak hasil pemilu demokratis jika tidak menguntungkan bagi mereka atau gerakan mereka.
Familiar nih.
2. Tanda kedua ialah menolak untuk menerima legitimasi lawan mereka, menuduh lawannya sebagai pengkhianat atau penjahat.
3. Tanda ketiga ialah mendukung atau mendorong kekerasan oleh pendukung politiknya terhadap lawan politiknya.
4. Tanda keempat ialah mengekspresikan kerelaan mereka untuk menindak kebebasan sipil dengan keras, terutama lawan politik mereka.
Setelah membahas tanda-tanda tersebut, buku ini juga menjelaskan peran partai politik sebagai gatekeeper atau gerbang penjaga demokrasi untuk menghadang para otoriter.
Ada empat strategi utama yang digunakan partai politik untuk bertindak sebagai gatekeeper ini.
1. Strategi pertama ialah menolak mencalonkan para ekstremis meskipun mereka entah bagaimana caranya sampai berhasil memenangkan nominasi partai.
2. Strategi kedua ialah menyingkirkan para ekstremis di dalam partai, bahkan jika hal itu memerlukan pengorbanan besar.
3. Strategi ketiga ialah menolak untuk membentuk aliansi atau berkoalisi dengan partai anti-demokrasi.
4. Strategi keempat ialah bekerja dengan traditional opponents untuk membentuk front persatuan bagi demokrasi.
Gatekeeping yang Berhasil: Kekalahan Norbert Hofer di Austria
Pada tahun 2016, koalisi partai kiri-kanan di Austria membantu mengalahkan Freedom Party (far-right) dan calon presidennya Norbert Hofer.
Para politisi konservatif melintasi garis batasan partai mereka untuk mendukung lawan dari Hofer, walaupun banyak ketidaksepakatan ideologis, mereka mengutamakan untuk menjaga cita-cita demokrasi.
Gatekeeping ini juga ada yang gagal, contohnya Hugo Chavez di Venezuela.
Chavez adalah outsider politik dan pengacau yang menjadi pahlawan bagi banyak orang Venezuela karena serangan retorikanya terhadap apa yang dia gambarkan sebagai pembentukan politik yang korup dan dekaden.
Pada tahun 1998, Chavez terpilih sebagai presiden dan mulai menghancurkan demokrasi dan kebebasan pers di Venezuela.
Masa kepimpinannya berakhir pada tahun 2013 karena ia meninggal dunia. Banyak sekali pro kontra dan gejolak selama pemerintahan Chavez ini.
Buku ini selanjutnya berisi alat-alat otoritarianisme, norma-norma politik, dan demokrasi. Tertarik untuk membacanya? Silakan membeli di toko buku terdekat! Kalau tidak salah, ada buku terjemahannya juga. Silakan dicari hehehe.
“Batas bahasaku adalah batas pikiranku.” Demikianlah pernyataan Wittgenstein tentang relasi antara pikiran, bahasa, dan dunia.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam filsafat analitik dan pengaruhnya pada linguistik pragmatik.
A thread.
Pada dasarnya, palingan bahasa merupakan penanda dari lahirnya filsafat analitik. Filsafat analitik merupakan sebuah respon atas Idealisme yang mendominasi filsafat barat. Menurut filsuf analitik, karya-karya filsafat idealis dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang “gelap”.
Dalam thread sebelumnya perihal palingan bahasa dalam filsafat kontinental, kita telah memahami bahwa palingan bahasa bukanlah upaya memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia.
[LIVE UPDATE] Saat ini tengah berlangsung webinar Logos berkolaborasi dengan @magdaleneid dengan tema Media dan Gender. Yuk, ikuti live streamingnya melalui tautan berikut!
Media dan kultur pop merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Wacana atau nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media dapat membentuk masyarakat.
Berdasarkan survey UNESCO, representasi perempuan di media hanya menyentuh angka 10%. Kemudian, hanya 4% publikasi di media yang melawan stereotipe gender. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa 20% ekspert yang diwawancarai oleh media adalah laki-laki.
Dibandingkan dengan ilmu eksakta, ilmu sosio-humaniora masih kalah populer, termasuk ilmu antropologi dan ilmu sosiologi. Fun fact-nya adalah antropologi dan sosiologi masih diibaratkan “satu ibu beda bapak” , lho! Yuk kita bahas!
A Thread
Berbicara tentang sejarahnya, hubungan sosiologi dan antropologi muncul dari kedua permulaan yang berbeda. Sosiologi merupakan cabang dari ilmu filsafat (filsafat sosial) yang dikembangkan khusus untuk mendalami asas masyarakat sampai kebudayaannya sendiri.
Walaupun kelihatannya berbeda, namun ada hubungan yang bisa dikatakan sealiran. Kita cek dulu ~
1. Objek kajiannya.
Kalau sosiologi lebih membahas tentang daerah perkotaan, antropologi malah kebalikannya. Kalau pakai kacamata kita, ini malah menimbulkan timbal balik.
“Mungkinkah kita berpikir tanpa bahasa?”. Pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang menandai suatu palingan bahasa dalam filsafat abad 20.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam tradisi filsafat kontinental.
A thread.
Palingan bahasa merupakan gelombang pemikiran yang bermula dari Revolusi Kopernikan Immanuel Kant. Dalam revolusi tersebut, Kant merumuskan ulang syarat-syarat pengetahuan. Kant tidak memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia atau palingan epistemologis.
Setelah palingan epistemologis Kant, upaya memikirkan cara memikirkan dunia dilanjutkan dengan palingan bahasa atau Linguistic Turn. Palingan bahasa berangkat dari pemikiran bahwa manusia memikirkan dunia dengan bahasa.
Terdapat sebuah buku yang dibuat 2.500 tahun lalu tetapi berpengaruh sangat besar terhadap pemikiran militer Barat dan Timur, taktik bisnis, serta strategi hukum hingga saat ini.
Mari mengupas buku legendaris The Art of War dan Sun Tzu!
- a thread!
Penulis buku legendaris ini, Sun Tzu, merupakan seorang ahli strategi dan filsuf militer asal China. Karya beliau yang sangat terkenal (The Art of War) berisi manual yang digadang-gadang sangat efektif tentang peperangan dan taktik militer.
Dalam teks kuno ini, argumen terpenting yang Sun Tzu utarakan ialah kaitan dan hubungan erat antara efisiensi dan kemenangan. Ia menegaskan bahwa menjaga sumber daya dengan menggunakan tipu daya & mata-mata sangat penting untuk memenangkan perang - aksi militer bukan segalanya!
"Kebijaksanaan yang sejati itu datang kepada kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya yang kita pahami tentang hidup, diri sendiri, dan dunia di sekitar kita." - Socrates
Seri #LogosEtika Ep. 3: Metode Dialektis - Bagaimana Socrates Membentuk Etika
- a thread!
Periode di mana Socrates tinggal di Athena dikenal sebagai Golden Age (Zaman Keemasan), sebagian karena kontribusi Socrates untuk meningkatkan pengetahuan, akal, dan pemahaman manusia.
Socrates dididik oleh seorang filsuf bernama Anaxagoras.
Socrates diajarkan 2 hal besar dari gurunya: filsafat dan kosmologi (studi tentang hakikat realitas, bentuk awal filsafat).
Sebagai cara untuk belajar, Socrates selalu mengajukan pertanyaan di tempat-tempat umum kepada penduduk Athena.