Ikigai merupakan sebuah istilah dari negara Jepang untuk menjelaskan kesenangan & makna kehidupan.
Apa yang gua suka? Apa yang bisa gua lakuin dengan baik? Apakah kemampuan gua layak dapat bayaran? Apa yang dibutuhkan dunia dari gua?
Mari kita membahas Ikigai!
- a thread!
Etos kerja di Jepang mungkin dapat dibilang unik, mereka sangat terbiasa dengan kondisi sushi-zume, sebuah kondisi di mana para pekerja kantoran berdesak-desakan pada pagi hari di kereta komuter. Kemudian, bekerja setengah mati dan pulang ke rumah tengah malam.
Bagaimana warga Jepang dapat bertahan dalam situasi ini? Salah satu rahasianya ialah apa yang disebut-sebut sebagai Ikigai.
Asal mula kata ikigai muncul di periode Heian (794 ke 1185). Gai datang dari kata kai ("tempurung kerang" dalam bahasa Jepang) yang dianggap sangat bernilai, dan dari situ ikigai diartikan sebagai kata yang berarti nilai kehidupan.
Dalam buku berjudul "Ikigai-ni-tsuite" yang diterbitkan tahun 1966 oleh Mieko Kamiya, menjelaskan bahwa ikigai mirip dengan "kebahagiaan" namun memiliki perbedaan yang halus dalam nuansanya. Ikigai ialah hal yang membuat kita melihat maju ke masa depan meski saat ini menderita.
Untuk meraih ikigai ini, kita perlu mempertanyakan 4 buah pertanyaan ke dalam diri kita masing-masing:
- Apa yang gua suka?
- Apa yang bisa gua lakuin dengan baik?
- Apakah kemampuan gua layak dapat bayaran?
- Apa yang dibutuhkan dunia dari gua?
Dari keempat pertanyaan itu, terbentuk 4 buah irisan, yakni mission, vocation, profession dan passion. Apa saja maksudnya?
1. Mission merupakan fase ketika kita melakukan hal yang kita sukai dan juga hal ini dibutuhkan oleh dunia.
2. Vocation merupakan fase ketika kita melakukan apa yang dibutuhkan oleh dunia dan kita patut mendapatkan bayaran.
3. Profession merupakan fase ketika kita melakukan apa yang kita dapat lakukan dengan baik dan kita dibayar untuknya.
4. Passion merupakan fase ketika kita melakukan apa yang kita dapat lakukan dengan baik dan kita mencintainya.
Menurut kalian, apa yang harus kita lakukan dalam mencapai keempat hal tersebut, kemudian pada akhirnya memiliki ikigai?
Honjok merupakan seni hidup sendiri/menikmati fenomena kesendirian ala anak muda Korea. Bukan hanya sekadar me-time, Honjok ini juga biasa berlanjut sampai hidup melajang seumur hidup.
Mari kita mengenal lebih jauh tentang Honjok!
- a thread!
Ketika mendengar "anak muda Korea", kita biasa langsung terpikir dunia entertainment, BTS, drama Startup, IU, atau mungkin dunia akademisnya yang sangat maju.
Tetapi sisi lain kehidupan anak muda Korea menunjukkan hal yang berbeda, jauh dari hingar bingar manusia, kesendirian.
Honjok merupakan sebuah keadaan di mana seseorang melakukan segala sesuatu sendiri. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan generasi muda Korea yang mandiri dan lebih suka melakukan segalanya sendirian.
Buku How Democracies Die yang sedang diperbincangkan karena unggahan Gubernur @aniesbaswedan sebenarnya cukup menarik.
Logos akan membahas 2 poin dalam buku ini: tanda-tanda otoritarianisme dan peran partai politik sebagai gatekeeper.
- a thread!
Buku ini dibuat oleh 2 orang political scientist dari Universitas Harvard bernama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Karya yang terbit tahun 2018 ini bercerita tentang bagaimana pemimpin terpilih dapat menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.
Terpilihnya Donald Trump 4 tahun lalu memicu banyak diskusi tentang nasib demokrasi Amerika. Apakah terpilihnya tokoh seperti Donald Trump — outsider yang tak berpengalaman dengan naluri otoriter — menunjukkan bahwa demokrasi di AS sedang mengalami kemunduran?
“Batas bahasaku adalah batas pikiranku.” Demikianlah pernyataan Wittgenstein tentang relasi antara pikiran, bahasa, dan dunia.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam filsafat analitik dan pengaruhnya pada linguistik pragmatik.
A thread.
Pada dasarnya, palingan bahasa merupakan penanda dari lahirnya filsafat analitik. Filsafat analitik merupakan sebuah respon atas Idealisme yang mendominasi filsafat barat. Menurut filsuf analitik, karya-karya filsafat idealis dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang “gelap”.
Dalam thread sebelumnya perihal palingan bahasa dalam filsafat kontinental, kita telah memahami bahwa palingan bahasa bukanlah upaya memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia.
[LIVE UPDATE] Saat ini tengah berlangsung webinar Logos berkolaborasi dengan @magdaleneid dengan tema Media dan Gender. Yuk, ikuti live streamingnya melalui tautan berikut!
Media dan kultur pop merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Wacana atau nilai-nilai yang direpresentasikan oleh media dapat membentuk masyarakat.
Berdasarkan survey UNESCO, representasi perempuan di media hanya menyentuh angka 10%. Kemudian, hanya 4% publikasi di media yang melawan stereotipe gender. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa 20% ekspert yang diwawancarai oleh media adalah laki-laki.
Dibandingkan dengan ilmu eksakta, ilmu sosio-humaniora masih kalah populer, termasuk ilmu antropologi dan ilmu sosiologi. Fun fact-nya adalah antropologi dan sosiologi masih diibaratkan “satu ibu beda bapak” , lho! Yuk kita bahas!
A Thread
Berbicara tentang sejarahnya, hubungan sosiologi dan antropologi muncul dari kedua permulaan yang berbeda. Sosiologi merupakan cabang dari ilmu filsafat (filsafat sosial) yang dikembangkan khusus untuk mendalami asas masyarakat sampai kebudayaannya sendiri.
Walaupun kelihatannya berbeda, namun ada hubungan yang bisa dikatakan sealiran. Kita cek dulu ~
1. Objek kajiannya.
Kalau sosiologi lebih membahas tentang daerah perkotaan, antropologi malah kebalikannya. Kalau pakai kacamata kita, ini malah menimbulkan timbal balik.
“Mungkinkah kita berpikir tanpa bahasa?”. Pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang menandai suatu palingan bahasa dalam filsafat abad 20.
Kali ini, Logos membahas palingan bahasa dalam tradisi filsafat kontinental.
A thread.
Palingan bahasa merupakan gelombang pemikiran yang bermula dari Revolusi Kopernikan Immanuel Kant. Dalam revolusi tersebut, Kant merumuskan ulang syarat-syarat pengetahuan. Kant tidak memikirkan dunia, melainkan memikirkan cara memikirkan dunia atau palingan epistemologis.
Setelah palingan epistemologis Kant, upaya memikirkan cara memikirkan dunia dilanjutkan dengan palingan bahasa atau Linguistic Turn. Palingan bahasa berangkat dari pemikiran bahwa manusia memikirkan dunia dengan bahasa.