Tp sblm jauh, saya ajak kalian baca n pahami Ali Imran 7 itu dl, ya.
Ayat itu membagi ahli ilmu dlm dua golongan:
1. Gol yg hatinya berpenyakit, dgn ciri cenderung kpd kesamaran dan membuat/menganut takwil² seluasnya hingga shingga rawan fitnah (kerancuan, perselisihan, permusuhan, dst).
2. Gol yg mentes iman dan ilmunya, mereka bersikap...
....secara rohani iman mutlak kpd kebnaran dan ororitas semua KalamuLlah (muhkamat-mutasyabihat) dan plus mhn pertolongan Allah Swt selalu agar selalu di jalan hidayahNya.
Golongan ini adlah ulul albab.
Kita semua paham bhw ayat² al-Qur'an membutuhkan tafsir dan takwil agar bisa menjadi sajian "siap santap" bagi umat Islam, yg cendekia jg apalagi awam. Tafsir itu keniscayaan sejarah hingga akhir zaman. Dgn tafsir, hukum Islam jd shalih likulli zaman wa makan.
Tipi pirtinyiinnyi adlah tafsir yg bagaimana agar kita tk menjadi golongan pertama yg disebut al-Qur'an sbg "cenderung pd kesamaran² makna ayat dgn membuat/ikut takwil² yg melecut fitnah²?" --yg disifati dgn "hati yg bepenyakit".
Nah....
1. Hendaklh meneguhkan iman di hati, raaa takut pada Allah Swt, dan sellu memohon petunjuk²Nya agar senantiasa ditetapkan di Jalan yang Shirathal Mustaqim --melalui sabil tafsir.
2. Lalu meyakini dgn haq bhw semua ayat al-Qur'an adlah KalamuLlah yg suci dan mutlak benar.
Sikap rohani ini akan merawat hati-pikiran kita dr merasa lebih tahu makna n maksud semua ayat, termasuk mutasyabihat td, jalan takwil kita akan berspirit hati² dgn awas sellu pd kerawanan fitnah² takwilnya kelak.
Juga akan menjaga lelaku ilmu kita dr ungkapan² yg ceroboh, vulgar, kontroversial.
Penting kita pahami terlbih dhulu bhw:
1. Mustahil ada ayatNya yg tdk mengandung makna/maksud/pesan yg mutlak benar. Mustahil ada ayat yg nirmakna atau kesia2an belaka.
2. Sb itu di dalam mutasyabihat pun pasti ada hukumNya, kemuhkamatan. Entah pd satu ayat tunggal atau secara tematik atomik (maudhi'i) atau mujmal (maudhu'i); baik berdasar atsar (tafsir bil ma'tsur) atau rasionalitas (tafsir bil 'aqli); baik yg bermetode tahlili, ijmali,
....muqaranah hingga yg terkini maqashidiyah. Dst.
Tegasnya: di dalam mutasyabihat ada kemuhkamatan. Sehingga pd konteks kandungan ayat², semua ayat adlah muhkamat.
Redaksi, bahasa, balaghahnya bisa saja mutasyabih, tp llu ditafsir hingga didapat pesan moral qath'i-nya.
Contoh:
Ayat "Tangan Allah di atas tangan² mereka". Ini beredaksi mutasyabih. Pesan qath'inya bhw kekuasaan Allah Swt di atas kekuasaan² manusia manapun. Maknanya pasti (muhkamat), kan.
Imam Malik ditanya ttg takwil "Allah Swt bertahta di 'Arsy", beliau menjawab: "Itu hal benar mutlak, wajib diimani. Menakwilnya adlah bid'ah yg sesat."
Kita paham itu pesan moral yg qath'i, walau redaksinya mutasyabih yg secara juknis membuka ruang luas bg takwil² yg dinamis agar bs diejawantahkan.
An-Nisa' 30-31. Kita paham pesan moralnya brp kewajiban menjaga mata, menjaga pongge, dan sebaliknya, kates² kae: itu semua qath'i, muhkamat. Bukankah mustahil Allah Swt memfirmakan kesia-siaan?
Nah, soal juknisnya ada ruang takwil yg dibolehkan. Batasnya adalah jgn sampai....
...takwil² itu menegasi kemuhkamatannya dgn dalih itu ayat mutasyabihat; dan jangan memicu fitnah akibat takwil² yg berlebihan; serta legawa pd derajat takwil yg lebih tinggi, yakni yg hati² sbg ejawantah ketundukan padaNya dgn lbh dalam dan jauh serta detail.
Sungguh sulit dinalar pandangan² yg dgn mengatasnamakan ayat² mutasyabihat lalu menjadikan ayat² itu bagai (maaf) "bancaan", disokong-sokongkan dgn logika²nya. Sikap ini rawan terseret menunggangi ayat² mutasyabihat tuk mentashih hawa nafsunya, kepentingan² duniawinya, dst.
Kendali utamanya ada pd penataan rohani masing² kita tuk selalu duduk tunduk di hdapan kebenaran mutlak ayat²Nya. Mengimani dan membenarkan dgn mutlak semua ayatnya adlah kewajiban keimanan.
Ihwal lalu kita menakwil, ittiba', ya silakan saja. Akal dikaruniakanNya ya tuk itu juga
Moga kita semua diperjalankanNya bisa melihat yg haq sbagai haq dan mengamalkannya dan yg batil sbg batil dan meninggalkannya.
Semoga yg blm nikah sgera dijalankan menikah.
Wallahu a'lam bish shawab.
ShallaLlah 'alaih wa alih wa ashhabih wa ummatih ajma'in.
Tonton di Netflix film baru "New Braveheart"
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kekuatan tulisan² maz @iqbalkita ada pada story telling + sudut pandangnya.
Sumber story telling-nya adlh keluargane, tonggo², teman², akun² sosmed, lalu dieksploitasi demi kebutuham cerita. Daya berceritanya ya B aja, maklum bukan cerpenis walau pernah ikut workshop cerpen.
Karena tk punya basic sastra yg memadai, cita rasa bahasanya jg B aja. Puitikanya garang di japrian.
Soal sudut pandang, perspektif, ini hal paling kuatnya. Ia kerap melahirkan sudut² pandang yg unik, sehingga menjadi "berbeda". Tp ini bukan krn jelajah bacaannya, kok. Semata...
Kecerdikannya dlm mengeksploitasi (lagi) jejak² pergaulannya (artinya sumber dr teman²nya), tentu juga khazanah jamaah mostly japriannya.
Intinya: "Kae ki cah bejo," kata mas @Haisa_HS dan mengobyektivikasi kanca²ne.
Dear, Hyung dan Hying Allahummaghfirli wa lakum....
Saya akan tunjukkan betapa sgt tak memadainya mengandalkan terjemahan al-Qur'an lalu menyimpulkan suatu hukum dan mensyiarkannya. Terjemhan ayat hanya patut dijadikan 'kendaraan pribadi' awalan, selanjtnya hrs didukung ilmu².
Contoh ayat yg sgt terang ini:
وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.
Pirtinyiiinnyi:
Pertama, ibadah itu apa dan meliputi apa saja?
Umumnya gini pemahaman kita: ibadalah adlah rukun Islam itu minus syahadat.
Shalat, puasa, zakat, haji.
Ini tak salah dong. Tp, tak cukup begitu saja.
Paham begini membawa konsekuensi bhw, msl:
إن الذين أمنوا وعملوا الصلحت أولئك هم خير البرية
Sesungguhnya orang² yg beriman dan beramal kebaikan² merekalah sebaik² makhlukNya.
Di antara kaidah fatwa hukum agama (tepatnya Ushul Fiqh) ialah "hukum asal sesuatu tergantung pd penyebabnya ('illat), jika sebabnya suatu saat berubah atau tiada, maka bentuk hukumnya bs berubah pula kemudian."
Banyak contoh bs diberikan. Msl, zakat pakai beras di sini tk sama dgn pake gandum, kurma, dll, di sana.
Msl lain, pakaian² ala kita skrang, taj sama lagi dgn pakaian² ala dulu di sana.
Dll. Dll.
Prof. Quraish Shihab memberikan contoh menarik. Yakni ttg kaharaman melukis, mematung, yg kerap kita perselisihkan.
Dasar hadis² pengharaman itu ada dr Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, Abu Hurairah, jg Sayyidah Aisyah Ra, dlm riwayat Bukhari Muslim. Hadis² sahih.
Terhadap perbedaan² pendapat para ulama, Imam Syatibi memberikan nasihat: "Perbedaan pendapat² ulama pada hakikatnya tiada lain kecuali sebagai jalan yang saty untuk mengantar kpd Allah Swt dan RasulNya Saw. Semua sepakat mencari apa yg dikehendaki Allah Swt dan RasulNya Saw...
...sehingga dengan demikian perbedaan jalan² itu tdk lagi berpengaruh. Ini seperti orang² yg beribadah kpd Allah Swt melalui ragam ibadah: ada yg mendekat dgn shalat, yg lain dgn puasa, lainnya lg dgn sedekah atau ibadah² lainnya. Semuanya mengarah kpd Allah Swt yg disembah....
...kendati mereka berbeda dlm ragam ibadahnya. Demikianlah para mujtahid, pada hakikatnya kalimat mereka satu, pendapat mereka pun satu, karena arah mereka semua adalah menemukan tujuan yg ditetapkan Allah Swt dan Rasul Saw."
Kita diajarkan untuk bersyiar mencegah kemungkaran. Tp Allah Swt jg tlh menakdirkan dunia ini beragam, termasuk adanya kalangan yg mungkar². Ketika kita diperintahNya bersyiar cegah mungkar, sgt jelas bhw segala ikhtiar kita takkan kuasa mengubah takdirNya atas kemajemukan tadi.
Maka, sikap rohani yg tepat buat kita kiranya adalah semata menerima dan mengamalkan ajaranNya, perintahNya, tanpa perlu memasang target² ekspektasi bg keberhasilannya.
Yg kan berhasil, biar diputuskanNya; yg tidak, ya biar diaturNya saja.
Adanya praktik² kemungkaran sepanjang zaman masuk akal tuk kita pahami sebagai "keperluan pembuktian" bagi betapa agungnya kebaikan², kemaslahatan², yang diserukanNya.
Sebab krn berhadapan dgn yg mungkar, laku yg haq jadi makin bersinar cemerlang pesonanya buat hati kita.