Terhadap perbedaan² pendapat para ulama, Imam Syatibi memberikan nasihat: "Perbedaan pendapat² ulama pada hakikatnya tiada lain kecuali sebagai jalan yang saty untuk mengantar kpd Allah Swt dan RasulNya Saw. Semua sepakat mencari apa yg dikehendaki Allah Swt dan RasulNya Saw...
...sehingga dengan demikian perbedaan jalan² itu tdk lagi berpengaruh. Ini seperti orang² yg beribadah kpd Allah Swt melalui ragam ibadah: ada yg mendekat dgn shalat, yg lain dgn puasa, lainnya lg dgn sedekah atau ibadah² lainnya. Semuanya mengarah kpd Allah Swt yg disembah....
...kendati mereka berbeda dlm ragam ibadahnya. Demikianlah para mujtahid, pada hakikatnya kalimat mereka satu, pendapat mereka pun satu, karena arah mereka semua adalah menemukan tujuan yg ditetapkan Allah Swt dan Rasul Saw."
Saya tambahkan:
Jika seseorang bertanya, pendapat manakah yg benar?
Pertanyaan demikian tk dikenal di antara para ulama sjk dulu kala, sbb jawabannya mutlak ini: "Allah Swt dan Rasul Saw saja yang mengetahuinya."
Sbb itulah para ulama terkemuka tk memutlakkan pendapatnya.
Imam Malik mengikuti nasihat gurunya, Syekh Hurmuz, agar terbiasa berkata "aku tidak tahu" yg dipelajarinya selama 13 tahun.
Imam Syafii kerap memuji ulama lain, seperti pujiannya pd Imam Malik.
Imam Syatibi menasihatkan: seorang faqih (ahli ahlinya ilmu) akan senantiasa berkata wallahu a'lam bish shawab di penghujung pembicaraannya.
Ini isyarat rohani yg jernih para 'allamah atas ketawadhu'an diri yg 'hanya manusia' di hdpn kemutlakan Maksud Allah Swt RasulNya Saw.
Dlm Ushul Fiqh, dikenal kaidah terkenal ini: la yunqadhul ijtihadu bil ijtihadi, sebuah ijtihad tidak boleh digugurkan oleh ijtihad lainnya.
Kaidah ini melambarkan respect pd kemajemukan ikhtiar para ulama dlm menangkap dan merumuskan makna/maksud dalil² Allah Swt Rasul Saw.
Sampai di sini, dpt dikatakan bhw siapa pun yg memutlakkan pendapatnya sendiri, dengan menumpas (apalagi menista) pendapat² ulama lain yg berbeda dgnnya, sesungguhnya ia tak punya hati ketawadhuan, dan ia bukanlah ahli ilmu yg agung (faqih).
Tentu kita mengerti bhw kritisisme ilmu amatlah penting. Sbb itulah ada bahtsul masail, majlis tarjih, halaqah, perkuliahan, dst. Semua itu kebaikan demi semakin menaikkan khazanah keilmuan kita, demi makin bisa menelisik ke jalan yg lebih meyakinkan dlm menakwil dalil² n hukum².
Tetapi, lagi², di atas segala dinamika ilmu itu, sewajibnya para pecinta ilmu paham bhw apa pun pendapatnya, semeyakinkan apa pun dasar ilmunya, itu selalu bersifat "relatif-benar" sesifat dgn kenisbian manusia.
Ia hanya sebuah pendapat, beda dgn dalil yg absolut.
Sbb kita paham betul itu, tiadalah kepantasan bg kita untuk mendaku pendapat diri sepadan dgn kebenaran absolut dalil². Sikap begitu bukanlah sikap ahli ilmu, ahli rohani, tp semata sikap kesombongan yg terbutakan hawa nafsunya hingga berbuat melampaui batas begitu.
Imam Syafii berkata: "Kebenaran dlm pandanganku bisa mengandung suatu kesalahan dlm pandangan orang lain; kebenaran dlm pandangan orang lain bisa mengandung suatu kesalahan dlm pandanganku."
Seseorang memuji Imam Ahmad bin Hanbal setinggi langit: "Sungguh tak ada pendapat yg tsiqah (kokoh) yg pernah kudengar selain dr pendapat-pendapatmu."
Beliau menjawab: "Jangan begitu. Pendapat²ku banyak mengandung kekurangan dan kelemahan."
Teladan para ulama mulia itu selaras dgn nasihat Kanjeng Nabi Saw kpd Sayyidina Ali bin Abi Thalib: "Orang alim punya tiga ciri: berbicara benar, menjauhi keharaman, dan rendah hati (tawadhu')."
Semoga manfaat.
Wallahu a'lam bish shawab.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dear, Hyung dan Hying Allahummaghfirli wa lakum....
Saya akan tunjukkan betapa sgt tak memadainya mengandalkan terjemahan al-Qur'an lalu menyimpulkan suatu hukum dan mensyiarkannya. Terjemhan ayat hanya patut dijadikan 'kendaraan pribadi' awalan, selanjtnya hrs didukung ilmu².
Contoh ayat yg sgt terang ini:
وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.
Pirtinyiiinnyi:
Pertama, ibadah itu apa dan meliputi apa saja?
Umumnya gini pemahaman kita: ibadalah adlah rukun Islam itu minus syahadat.
Shalat, puasa, zakat, haji.
Ini tak salah dong. Tp, tak cukup begitu saja.
Paham begini membawa konsekuensi bhw, msl:
إن الذين أمنوا وعملوا الصلحت أولئك هم خير البرية
Sesungguhnya orang² yg beriman dan beramal kebaikan² merekalah sebaik² makhlukNya.
Di antara kaidah fatwa hukum agama (tepatnya Ushul Fiqh) ialah "hukum asal sesuatu tergantung pd penyebabnya ('illat), jika sebabnya suatu saat berubah atau tiada, maka bentuk hukumnya bs berubah pula kemudian."
Banyak contoh bs diberikan. Msl, zakat pakai beras di sini tk sama dgn pake gandum, kurma, dll, di sana.
Msl lain, pakaian² ala kita skrang, taj sama lagi dgn pakaian² ala dulu di sana.
Dll. Dll.
Prof. Quraish Shihab memberikan contoh menarik. Yakni ttg kaharaman melukis, mematung, yg kerap kita perselisihkan.
Dasar hadis² pengharaman itu ada dr Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, Abu Hurairah, jg Sayyidah Aisyah Ra, dlm riwayat Bukhari Muslim. Hadis² sahih.
Kita diajarkan untuk bersyiar mencegah kemungkaran. Tp Allah Swt jg tlh menakdirkan dunia ini beragam, termasuk adanya kalangan yg mungkar². Ketika kita diperintahNya bersyiar cegah mungkar, sgt jelas bhw segala ikhtiar kita takkan kuasa mengubah takdirNya atas kemajemukan tadi.
Maka, sikap rohani yg tepat buat kita kiranya adalah semata menerima dan mengamalkan ajaranNya, perintahNya, tanpa perlu memasang target² ekspektasi bg keberhasilannya.
Yg kan berhasil, biar diputuskanNya; yg tidak, ya biar diaturNya saja.
Adanya praktik² kemungkaran sepanjang zaman masuk akal tuk kita pahami sebagai "keperluan pembuktian" bagi betapa agungnya kebaikan², kemaslahatan², yang diserukanNya.
Sebab krn berhadapan dgn yg mungkar, laku yg haq jadi makin bersinar cemerlang pesonanya buat hati kita.
Dik, kuduga kamu gk tahu banyak ya ttg Hermeneutika. Muasal Hermenutika emang seprofan itu, dr Schleimacher, Dilthey, hingga Heidegger, Gadamer, dan Paul Ricoeur.
But, fyi, tlh banyak cendekiawan muslim menghadirkan paradigma Hermeneutika Qur'ani. Msl Pak Faiz, dia tokoh besar
Plis jgn bilang saya liberal, lho. Pada banyak bidang tekstualitas al-Qur'an dan hadis, saya cenderung konservatis, tp saya tahu batas personal dan sosial.
Msl, saya wajibin anak istri jilbaban, beda ma @adeirra Tp saya paham kok scr paradigmatik n sosial pd adanya pendapat itu.
Kanjeng Nabi Saw adalah "kartu tol" bagi keselamatan, kesuksesan, kebahagiaan kita, dunia n akhirat.
Mari renungkan.
Beliau Saw adalah sebab teragung bagi segala ciptaan Allah Swt. Ya surga neraka, para malaikat, jin, alam raya ini, jelas pula kita semua, dr awal penciptaan hingga akhir kelak.
"Jika bukan karenamu (Kanjeng Muhammad Saw), tak Kuciptakan alam raya...." Hadis qudsi sgt terkenal.
Tatkala Nabi Adam As diturunkan ke bumi, bertobat panjang dgn doa "Rabbana zalamna anfusana....." di ujung doa beliau memungkasi:
اللهم إني أسألك بحق محمد
"Ya Allah, aku memohon (ampunanMu) dgn Muhammad yang hakiki."
Ayat 11 surat Muhammad ternyata mengandung keterangan yg mendalam.
"Dan orang² yg telah diberi pertunjuk (hidayah), maka Allah Swt akan menambahkan hidayah (ilmu, amal) baginya dan mengaruniakan ketakwaan (yg lebih dalam) baginya."
Ayat ini tdk sesederhana bunyinya yg mengesankan "siapa yg dpt hidayah, maka akan terus bertambah takwanya". Tidak. Di dalamnya, mengandung sunnatuLlah yg memberikan ruang keterlibatan kita dgn sangt besar. Tegese, hidayah itu beriring amal kita; makin ngamal makin ditambahi.
Clue pertamanya: amalkan ilmu, pengetahuan, yg tlh diketahui --pengetahuan atas keimanan, ketakwaan, kesalehan, dlm kadar apa pun, termsuk dlm karunia hidayahNya. Msl, tahu fadhilah shalawatan. Itu hidayahNya.