Perbedaan pendapat dlm hukum Islam itu hal yg biasa, lazim, alamiah, bahkan telah terjadi sjk Kanjeng Nabi Saw msh ada. Makin ke sini ya wajar saja makin luas lingkun dan bentuk perbedaannya. Yg penting, tdk diniatkan/maksudkan "mainmain" agama saja.
Segala usaha menjadikannya seragam itu sia², bahkan dpt disebut menentang ketetapanNya Swt. Toh dunia ini memang tlh ditakdirNya majemuk. Usaha demikian hnya rawan bikin masalah, ketegangan, permusuhan (hal² yg madharat, tentu hrs dihindari).
Jadi, jika kamu ikut suatu pendapat hukum, yakin mutlak tsiqahnya, silakan; tetapi detik yg sama jembarkan hatimu kpd pendapat² hukum lain yg diikuti liyan. Menerima adanya, haknya, kemungkinan benarnya, persis keyakinanmu sendiri.
Sikap² keras, kaku, mau ada sendiri aja bgitu, ambisius semua orang kudu sama dengannya, bukanlah tradisi dan akhlak para ulama. Tentu bukan pula Kanjeng Nabi Saw dan para sahabatnya. Sbb ulama penerus beliau Saw.
Secara teoritis, ada tiga penyebab/sumber karagaman pendapat itu.
1. Makna dan tangkapan ulama yg beragam atas kosakata dalil² itu sendiri (ayat, hadis). Ini tak terhindarkan. Wes lumrah, alamiah, manusiawi.
Msl.
Arti kata quru' dlm al-Baqarah 228.
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, hingga Abu Hanifah mengartikannya haid.
Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, hingga Imam Malik dan Imam Syafii mengartikannya suci.
Apa iya generasi pongge kini wani nyalahin salah satunya? Ceplesi, dik
Umar bin Khattab usul pd khalifah Abu Bakar agar 'gaji pejabat' yg masuk Islam pra Fathu Mekkah lbh tinggi sbg apresiasi dibanding yg pasca. Khalifah tak menerima dgn memandang semua punya dedikasi yg luar biasa.
Umar bin Khattab manut. Tp kelak saat jd khalifah, diwujudkannya.
Saat Kanjeng Nabi Saw menyruh pasukannya berangkat ke Quraidhah dipeseni "jangan shalat Ashar sblm di Quraidhah".
Ternyata wktu Ashar mau habis, blm nympe. Sebagian sahabat milih shalat Ashar di jalan agar tk telat, walau tak sesuai dawuh Kanjeng Nabi Saw.
Sebagian lain milih patuh mutlak. Tiba di Quraidhah telah Isya. Lalu dilaporkan kpd Kanjeng Nabi Saw. Beliau Saw taqrir menerima semuanya tnp menyalahkan salah satunya, lho.
Generasi pongge ngeneki kok tuman nyalahke liyane mergo ra podho, lho. Ceplesi neh, dik.
Kata radha'ah (susuan, bukan susu) menimbulkan dampak makna yg beragam.
Msl, apakah radha'ah dimaksud adalah nyusu langsung ke pentil mbokwedok ataukah tidak?
Jika iya, mk radha'ah via dot, msl, bukan pentil-live jd boleh saja.
Jika tidak, ya tidak boleh.
Ulama beda pendapat
2. Penerimaan riwayat² dan otoritasnya. Boleh jadi suatu hadis tdk mu'tabar (kondang), tp mutawatir (sahih), dan sebagainya. Boleh jadi hadis ini disahihkan sebagian, didhaifkan selainnya, dst.
Hadis sahih yg diterima para ulama itu tdk hanya sahih Bukhari Muslim.
Juga bukan hanya Riyadhus Sahlihin. Ada Kutubus Sittah (6 imam) hingga Kutubut Tis'ah (9 imam).
Generasi pongge kok kewanen hanya mensahihkan Bukhari aja, lalu imam-imam ahlus sunnah itu didhaifkan gtu aja. Ceplesi cengele lho, dik.
Ini lho tak fotoin Kutubus Sittah. Di dalamnya ada hadis ttg "Qulhu ae, Lik...."
Generasi pongge lagi apal hadis telung iji wae, kewanen mutlak-mutlakke. Ceplesi lho, Dik.
(wes ping piro meh tak ceplesi cengelmu e?😁)
Msl.
Imam Malik bilang baca basmalah dlm shalat tdk boleh. Abu Hanifah membacanya dgn sirr. Imam Syafii membacanya dgn terang dlm shalat Jahr.
Abu Hanifah tdk baca qunut. Imam Ahmad dan Imam Malik tdk qunut kecuali nazilah. Imam Syafii qunut. Semua punya dasar hukumnya.
Imam Malik leh qunut bukan setelah rukuk, tp sebelumnya. Jd setelah baca surat.
Kabeh boleh, to. Yg gak boleh yg gak qunut mergo gak Subuhan. Atau, gak qunut kerena qadha'an khwatir ketehuan orang lain.
Wes do apal rung niat Subuh qadha'an permanen? 😁
Jumlah jamaah shalat Jumat menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad min 40 orang. Kata Imam Malik boleh kurang tp tdk terlalu sedikit. Msl 15. Kata Abu Hanifah boleh min 3 makmum 1 imam. Kata Imam Thabari bleh 1 imam 1 makmum.
Kataku, yg gk boleh ORA JUMATAN. Apalagi cerewet ma liyan.
3. Perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh.
Msl, apakah qiyas hanya boleh pd maghum muwafaqah dan tdk boleh berdasar mafhum mukhalafah? Ataukah boleh mengggunakan keduanya?
Ulama beda pendapat.
Keragaman metode dan kaidah yg dipakai para ulama ini jelas logis menisbatkan keragaman pendapatnya kemudian.
Jelas Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menjadikan al-Qur'an dan sunnah Nabi Saw sbg sumber hukum utamanya. Tanpa syak.
Ttp secara metode, Abu Hanifah yvmg sgt rasional menggunakan qiyas, istihsan, istishab; Imam Malik sgt menekankan pd tradisi sahabat Madinah; Imam Syafii pd sunnah; Imam Ahmad pd salafus shalih.
Lagi, tdk berarti mereka tak cinta mutlak al-Qur'an dan sunnah Nabi Saw.
Sampai di sini, teranglah bhw sikap² hendak menyeragamkan pendapat hukum Islam hanyalah kurang kerjaan. Bisa karena kurangnya ilmu, kurangnya kasih sayang, hingga aleman.
Aku ngantuk e.
Wallahu a'lam bish shawab.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Semalam kumenemukan keterangan perihal al-wala' wa al-bara' dr Ibnu Qayyim al-Jauziyah yg amat melegakan hati.
Tidaklah seperti yg jamak dipahami bhw itu adlah bersahabat dgn kaum kita dan memusuhi kaum liyan yg berbeda. Yg begitu, tdk utuh.
Tidak begitu, Hyung dan Hying.
Beliau memgatakan: wajib bagi manusia untuk menyembah (beribadah, liya'budun) kpd Allah Swt. Di antra ibadah yg paling disukaiNya adalah al-muwalat (bersiteguh, bersahabat, intim) dgn kebaikan² (syariat) dan al-mu'adat (berlepas diri, menjauhi, membenci) kpd mungkar madharat.
Al-muwalat dan al-mu'adat ini yg kini dikenal sng al-wala' wa al-bara'.
Yg beliau maksudkan itu brrsumber pd dalil liya'budun, amar ma'ruf nahi munkar, dan khalifatuLlah fil ardhi.
Tegese, kewajiban hidup menyembahNya, dgn segapa peribadatan kepadaNya n meninggalkan sebaliknya.
Kekuatan tulisan² maz @iqbalkita ada pada story telling + sudut pandangnya.
Sumber story telling-nya adlh keluargane, tonggo², teman², akun² sosmed, lalu dieksploitasi demi kebutuham cerita. Daya berceritanya ya B aja, maklum bukan cerpenis walau pernah ikut workshop cerpen.
Karena tk punya basic sastra yg memadai, cita rasa bahasanya jg B aja. Puitikanya garang di japrian.
Soal sudut pandang, perspektif, ini hal paling kuatnya. Ia kerap melahirkan sudut² pandang yg unik, sehingga menjadi "berbeda". Tp ini bukan krn jelajah bacaannya, kok. Semata...
Kecerdikannya dlm mengeksploitasi (lagi) jejak² pergaulannya (artinya sumber dr teman²nya), tentu juga khazanah jamaah mostly japriannya.
Intinya: "Kae ki cah bejo," kata mas @Haisa_HS dan mengobyektivikasi kanca²ne.
Dear, Hyung dan Hying Allahummaghfirli wa lakum....
Saya akan tunjukkan betapa sgt tak memadainya mengandalkan terjemahan al-Qur'an lalu menyimpulkan suatu hukum dan mensyiarkannya. Terjemhan ayat hanya patut dijadikan 'kendaraan pribadi' awalan, selanjtnya hrs didukung ilmu².
Contoh ayat yg sgt terang ini:
وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.
Pirtinyiiinnyi:
Pertama, ibadah itu apa dan meliputi apa saja?
Umumnya gini pemahaman kita: ibadalah adlah rukun Islam itu minus syahadat.
Shalat, puasa, zakat, haji.
Ini tak salah dong. Tp, tak cukup begitu saja.
Paham begini membawa konsekuensi bhw, msl:
إن الذين أمنوا وعملوا الصلحت أولئك هم خير البرية
Sesungguhnya orang² yg beriman dan beramal kebaikan² merekalah sebaik² makhlukNya.
Di antara kaidah fatwa hukum agama (tepatnya Ushul Fiqh) ialah "hukum asal sesuatu tergantung pd penyebabnya ('illat), jika sebabnya suatu saat berubah atau tiada, maka bentuk hukumnya bs berubah pula kemudian."
Banyak contoh bs diberikan. Msl, zakat pakai beras di sini tk sama dgn pake gandum, kurma, dll, di sana.
Msl lain, pakaian² ala kita skrang, taj sama lagi dgn pakaian² ala dulu di sana.
Dll. Dll.
Prof. Quraish Shihab memberikan contoh menarik. Yakni ttg kaharaman melukis, mematung, yg kerap kita perselisihkan.
Dasar hadis² pengharaman itu ada dr Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, Abu Hurairah, jg Sayyidah Aisyah Ra, dlm riwayat Bukhari Muslim. Hadis² sahih.