Dari abad ke abad, Gereja Katolik (GK) setia mengajarkan bahwa ikatan perkawinan hanya berakhir dengan kematian. Dalam ajaran GK perkawinan bersifat unitas (monogami), indissolubilitas (tak terceraikan), dan antara yg dibaptis, bersifat sakramental.
1. Perkawinan bukan semata-mata urusan manusia, budaya, sosial. Perkawinan tidak hanya dipahami sebagai KONTRAK, yg dapat diakhiri manusia. Perkawinan adalah PERJANJIAN (foedus, covenant), seperti perjanjian Allah kpd manusia, Kristus kepada Gereja. Allah mahasetia kpd manusia.
2. Perkawinan itu begitu suci dan luhur. Perkawinan tidak hanya atas kehendak seorang pria dan seorang perempuan. Tetapi, terutama Tuhan Allah sendiri yang menghendaki dan mengadakan perkawinan (bdk. Kej 1: 26-28; Mark 10: 6-9).
3. Perkawinan merupakan kenyataan Ilahi dan gerejawi (komunal). Dalam perkawinan, tidak hanya didasarkan pada ‘cinta manusiawi’ suami-istri, tetapi mesti didasarkan pula pada ‘cinta Ilahi’ Kristus kepada GerejaNya.
4. Hal itu ditegaskan di dalam Lumen Gentium (LG): “[…] para suami-istri Kristiani dengan Sakramen Perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja dan ikut serta menghayati misteri itu” (LG 11).
5. Gereja menegaskan arti perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus) antara seorang pria dengan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh hidup (Kan. 1055 §1; GS 48; KGK 1601).
6. Arti lain dari foedus adalah consensus atau kesepakatan. Menariknya, dalam kanon 1057 §1 dinyatakan bahwa ‘kesepakatan seorang pria dengan seorang perempuan yang membuat perkawinan’ (matrimonium facit partium consensus).
7. Dengan kata lain, perkawinan terbentuk atau lahir sejak kesepakatan saling diberikan dan diterima oleh mempelai pria dan perempuan.
8. Oleh karena itu, kesepakatan perkawinan mesti saling diberikan dan diterima secara benar (verus) – kesepakatan yang dinyatakan dalam kata-kata atau tanda-tanda sesuai dengan yang ada dalam hati (bdk. kan. 1101§1), .....
9.....penuh (plenus) – bukan berdasarkan kepura-puraan atau simulatio (bdk. kan. 1101 §2) dan bebas (liber), yakni tanpa paksaan dan ketakutan (bdk. kan. 1103).
10. Kendati ‘perjanjian’ atau ‘kesepakatan’ yang membuat perkawinan, namun bukan berarti faktor-faktor lain tidak penting.
11.Hal itu ditegaskan oleh ahli hukum kanonik Ladislas Örsy dalam bukunya Marriage in Canon Law (1988): “kesepakatan adalah mutlak diperlukan, namun tidak berarti faktor-faktor lain tidak penting" (L. Örsy: 60).
12. "Oleh karena perkawinan adalah sakramen, maka Roh Tuhan adalah agen utama dalam “membuat” perkawinan” (L. Örsy: 60).
13. Dalam sakramen perkawinan, perjanjian memiliki dasar biblis, yakni menyatakan hubungan kesetiaan dan cinta antara Yahweh dan umat Israel (Yeh. 16: 3-14; Yes. 54: 6-10; Yes 62: 4-12; Yer. 2: 2; Hos 1-3; Mal. 2: 13-17), antara Yesus dengan GerejaNya (Ef. 5: 22-33).
14.Berlandaskan pada cara pandang biblis itu, maka perjanjian nikah memiliki sifat tidak dapat ditarik kembali (irrevocabile) dan kekal (perpetuo) atau hanya kematian yang memisahkan pasutri itu sendiri (bdk. Kan. 1057 §2; A. Rava: 94).
Persekutuan Pasutri
15. Salah satu rujukan kanon 1055 §1 adalah Gaudium et Spes (GS).
16. Menurut GS, perkawinan adalah “Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat di tarik kembali” (GS 48).
17. Melalui GS 48 Gereja memanggil pasutri utk membangun persekutuan hidup dengan kasih mesra. Agar terlaksana ‘kasih mesra pasutri” ini, maka keduanya diundang untuk memelihara dan memupuk janji perkawinan mereka dengan setia, cinta yang murni dan kasih yang tak terbagi (GS 49).
18. Perilaku yang dapat merusak ‘kasih mesra’ adalah sikap egois dan tindakan menguasai yang lain.
19. Hal itu dikatakan Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (AL): “Dalam kehidupan keluarga, tidak dapat berlaku logika saling menguasai dan saling berlomba untuk melihat siapa yang paling pintar atau yang paling berkuasa, karena logika semacam itu meniadakan kasih” (AL 98).
20. Oleh karena itu, Paus Fransiskus meminta semua pasutri Kristiani untuk memelihara ikatan perkawinan mereka dengan madah kasih (1Kor 13: 4-7), antara lain:
21. sabar, murah hati, tidak memegahkan diri/sombong, tidak mencari keuntungan diri sendiri, dan tidak suka menyimpan kesalahan orang (bdk. AL 90).
22. Mereka yang mampu melaksanakan madah kasih ini adalah mereka yang siap sedia mengampuni dengan penuh kerendahan hati dan penyangkalan diri.
23. Bahkan Paus Fransiskus menyadarkan pasutri: “persekutuan hidup keluarga hanya dapat lestari dan makin sempurna berkat semangat berkorban yang besar. ....
24.....Memang dibutuhkan sikap terbuka dan bermurah hati pada semua dan masing-masing anggota, untuk memberi pengertian, bertenggang rasa, saling mengampuni dan saling berdamai” (AL 106).
25. Dalam buku New Commentary on the Code of Canon Law, ahli hukum Gereja, John P. Beal, menjelaskan bahwa komitmen pasutri untuk saling memberikan diri dan menerima satu sama lain dapat terlaksana dengan baik jika .......
26. .....keduanya memiliki kapasitas dan kehendak untuk membangun hubungan interpersonal sejati, yang ditandai dengan kesetiaan dan ketabahan dalam menghadapi segala kondisi kehidupan: di saat baik dan buruk (J.P. Beal: 2000, 1252).
27. Jika membaca paparan Brian G. O’Loughlin dalam disertasi doktoralnya berjudul “Marriage, a Covenant and Consortium Totius Vitae” (1985), ternyata istilah corsortium memiliki makna yang amat dalam terkait kehidupan perkawinan sakramental.
28. Istilah consortium berasal dari bahasa Latin, yang memiliki akar kata dari bahasa Yunani, yaitu: Sygklérósis. Kata consortium memiliki makna, yakni: companionship (teman seperjalanan),....
29. ..partnership (persekutuan) dan fellowship atau persahabatan (Brian Brian G. O’Loughlin: 1-2). Dalam bahasa Latin, istilah companionship terdiri dari dua kata: cum berarti bersama dan panis berarti roti.
30. Dengan kata lain, companionship berarti teman berbagi roti (sumber kehidupan). “Roti” tidak semata-mata makanan jasmani, tetapi juga makanan rohani (Sabda).
31. Hal ini pula yang ditekankan Yesus sendiri: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4: 4).
32. Dalam perkawinan, pasangan adalah teman seperjalanan dalam membangun relasi manusiawi (antarpribadi) sekaligus teman seperjalanan menuju kepada Tuhan Allah. Melakukan perjalanan, tidak selalu mudah.
33. Kita bisa mengalami kehausan, kelaparan dan kelelahan. Maka, kita butuh istirahat, air dan makanan kehidupan. Dalam perjalanan pula, kita bisa bertemu banyak orang: di antara mereka ada yang memberi inspirasi kehidupan, tetapi ada pula yang “mengganggu” kehidupan.
34. Terjadinya “perselingkuhan” bisa jadi karena kurang menyadari godaan perjumpaan dengan orang lain yang justru menjadi hambatan perjalanan pasutri dalam mempertahankan persekutuan seluruh hidup dalam ikatan perkawinan.
35. Dalam melakukan perjalanan, ada kalanya pasutri menyimpang dari jalan yang seharusnya. Dalam perjalanan itulah suami-istri dipanggil untuk saling membantu, mendukung, menjaga/melindungi, menguatkan sehingga tetap kembali dalam perjalanan yang seharusnya.
36.Kebersamaan suami-istri saling membantu dalam perjalanan memmbuat perjalanan perkawinan yang dilalui menjadi menyenangkan dan penuh harapan, yang akhirnya secara bersama-sama pula sampai pada tujuan (bdk. Y. Driyanto: 27-28).
37.Jika kata companionship dibagi dua, maka akan menjadi: companion (teman, pendamping) dan ship (kapal, perahu, bahtera). Tentu saja, bukan arti kata hurufiahnya yang terpenting, melainkan makna di balik kata yang mestinya dihidupi oleh pasutri.
38.Makna kata itu: bahwa pasangan mrp teman satu kapal di tengah laut kehidupan. Pasutri yg sungguh menyadari bhw mereka bersatu dlm kapal yg sama, yakni dlm “keluarga”, akan bersama-sama pula berjuang mengarungi lautan kehidupan, baik saat laut tenang maupun saat badai mengamuk.
39. Pasutri mesti berkomitmen bersama-sama mendayung perahu “perkawinan/keluarga” agar sampai pada tujuan yang dikehendaki bersama dan sesuai kehendak Tuhan Allah.
40. Kita berharap bahwa pasutri Kristiani telah, sedang dan akan melaksanakannya dengan setia. Kaum muda-mudi yang akan melangsungkan perkawinan kiranya sungguh-sungguh mempertimbangkan dan mempersiapkan diri memilih jalan panggilan menikah.
41. Sejak janji perkawinan dinyatakan dengan sah, maka keduanya mesti membangun persukutuan seluruh hidup, hanya kematian yang memisahkan!
In Cruce Salus, dalam Salib ada Keselamatan!
Bandung, 4 Januari 2021
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bacaan I pada Misa besok, 2 Januari 2020 diambil dari 1Yoh 2:22-28.
1 Yoh 2:22: Siapakah pendusta itu? Bukankah dia yang menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu dia yang menyangkal baik Bapa maupun Anak.
1Yoh 2:23: Sebab barangsiapa menyangkal Anak, ia juga tidak memiliki Bapa. Barangsiapa mengakui Anak, ia juga memiliki Bapa.
1 Yoh 2:24a: Dan kamu, apa yang telah kamu dengar dari mulanya, itu harus tetap tinggal di dalam kamu.
1 Yoh 2: 24b: Jika apa yang telah kamu dengar dari mulanya itu tetap tinggal di dalam kamu, maka kamu akan tetap tinggal di dalam Anak dan di dalam Bapa.
1Yoh 2:25: Dan inilah janji yang telah dijanjikan-Nya sendiri kepada kita, yaitu hidup yang kekal.
👍 Selamat tahun baru juga untuk Mba @PFTee yg setia membagikan kutipan Kitab Suci, Sis Jum @Gyoucancallme yg humoris😅 mirip-mirip Romo @romobusyet dan Romo @albertus_scj yg memperkaya kita dgn ide-ide filosofis.
👍 Selamat tahun baru juga untuk Suster @YohanaEvita@luvicaosa@SrBethanyFSP yang setia mempromosikan panggilan menjadi Suster yang bahagia dan ramah🙏. Selamat tahun baru untuk Ibu @WidyoLita yg berbagi tips parenting, Mba Anjar @berajasenja yg hangat menyapa🙏
Tiga tahun berturut-turut saya ditanyakan tentang fenomena yang sama. Pastor, kok ada-ada saja Saudara-Saudari kita yang mempermasalahkan ucapan selamat Natal. Ada juga yang tidak senang jika ada yang merayakan Natal. Apa tanggapan Pastor? Ikuti UTAS berikut:
1.Kepada para penanya, saya minta permisi agar terlebih dahulu bercerita yang lain saja. Ya, tentang Kitab Suci. Tentang Injil. Tentang Kabar Gembira! Umumnya, mereka mempersilakan saya. Mula-mula ajak mereka membaca Injil Matius 1: 18-25 & 2: 1-16, kemudian Injil Lukas 2: 1-12.
2.Dalam perikop-perikop ini saya fokus pada kelahiran Yesus dan sikap Raja Herodes. Khusus renungan perikop Injil Matius, saya tertarik dengan tafsiran teolog H. Leo Boles dalam bukunya: “A Commentary on the Gospel According to Mattew” (1936).
Apa TUJUAN perkawinan menurut ajaran Katolik? Berdasarkan kanon 1055, ada 3 (tiga) tujuan perkawinan Katolik, yaitu: kebaikan suami-istri, kelahiran anak dan pendidikan anak. Mari kita ulas satu per satu dalam UTAS berikut.
1. Gereja memandang sangat penting bagi orang Katolik memahami dan menghidupi ketiga tujuan perkawinan ini.
2 Maka, ketika org Katolik melangsungkan perkawinan beda agama (Katolik dengan non-baptis) atau beda Gereja (Katolik dengan Protestan), kesediaan mau mengenal & memahami tujuan perkawinan mrp salah satu syarat yg hrs dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan (Kan. 1125, no.3).
"Keluarga, Tempat Pengampunan", demikian Paus Fransiskus berulang-ulang menyemangati keluarga-keluarga di seluruh dunia. Penggalan kalimat itu merupakan terjemahan dari "FAMIGLIA, LUOGO DI PERDONO". Apa kata Paus Fransiskus mengenai keluarga dan pengampunan? Ikuti UTAS berikut.
1.Tak ada keluarga sempurna. Kita tak punya orang tua yang sempurna. Kitapun tidaklah sempurna. Anda tak menikahi pribadi yang sempurna. Kita tak punya anak-anak yang sempurna. Kita mengeluh tentang orang lain.
2. Kita pernah dikecewakan dan mengecewakan orang lain. Oleh karena itu, tak ada perkawinan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa melakukan pengampunan.
Apa ciri-ciri hakiki esensial perkawinan dalam ajaran Gereja Katolik? Jawabannya: UNITAS dan INDISSOLUBILITAS. Bagaimana memahami dan menghidupinya?
Ikuti UTAS berikut....
1. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 1056, Gereja mengajarkan dua ciri hakiki esensial perkawinan: unitas dan indissolubilitas. Disebut “ciri hakiki esensial” oleh karena hal itu sangat mendasar/pokok, tidak boleh tidak ada.
2. Maka, Gereja melalui kanon 1101 §2 menegaskan bahwa bila salah satu atau kedua (calon) suami-istri dengan kemauan dan tindakan positif mengecualikan (meniadakan, menolak) salah satu ciri hakiki esensial perkawinan, ia (mereka) melangsungkan perkawinan dengan tidak sah.