Pagi! Lama tidak mencurahkan “perhatian” kepada media-media kita. Kali ini, saya mau “mencolek” @kompascom.
Perkara mengoreksi itu bukan sekadar “coret-coret” tulisan. Tiap koreksian harus ada alasan yang jelas. Karena itu, menjadi editor memang bukan pekerjaan sembarangan.
1. Saya selalu menyebut judul semacam ini judul “kepedean”. Maksudnya, si penulis (atau si editor) merasa terlalu percaya diri (dan yakin betul) bahwa semua pembaca mereka tahu siapa yang dimaksud.
Apakah semua pembaca Kompas.com pasti tahu siapa itu Fiki Naki dan Dayana? Belum tentu. Apakah pembaca Kompas.com hanya orang-orang yang mengikuti kisah Fiki Naki dan Dayana? Tentu tidak.
Teman-teman saya di Instagram/Twitter yang membaca konten ini pun belum tentu tahu siapa kedua orang ini. Namun, media, dalam hal ini redaksi, sering kali malas, tidak mau ambil pusing.
Mereka sering kali membuat judul berita dengan anggapan “yang membaca berita itu pasti orang-orang yang merasa tertarik”. Itu pemahaman yang tidak sepenuhnya tepat.
Betul, ada target khalayak tertentu pada tiap pemberitaan atau bahkan rubrik, tetapi judul yang dimuat harus bersifat seumum mungkin, tanpa ada kesan bahwa semua orang tahu apa yang terjadi dan mengikuti peristiwa atau suatu kasus dari awal. Ini yang salah.
Lantas bagaimana? Saya bisa sarankan, salah satunya, dengan judul berikut:
Sekarang, coba kita bandingkan dengan judul asli Kompas.com:
Duduk Perkara Perseteruan Dayana dengan Fiki Naki
Mana yang lebih jelas?
Ketika saya membuat judul “Berseteru dengan Gadis Kazakhstan, YouTuber Poliglot Fiki Naki Buat Klarifkasi”, pembaca, pertama-tama, tidak perlu tahu latar belakang peristiwa tersebut. Semua pembaca diperlakukan sama.
Siapa gadis Kazakhstan yang dimaksud? Bagi penggemar Fiki Naki tentu sudah bisa menebak: Dayana. Namun, judul ini tetap bisa menyasar orang-orang yang tidak kenal siapa yang dimaksud. Karena itulah, mereka akan mengeklik berita tersebut.
Memang, salah satu unsur yang menentukan tinggi rendahnya nilai berita adalah DRAMA. Ya, dalam berita ini ada unsur drama, jadi nilai beritanya memang tinggi.
Kedua, siapa itu Fiki Naki? Bagi penggemar Fiki Naki, pertanyaan tersebut tentu tak perlu dijawab.
Namun, orang-orang yang belum pernah mendengar namanya, sekalipun yang bersangkutan punya lebih dari satu juta pengikut di Instagram dan lebih dari tiga juta pelanggan di YouTube, akan punya informasi lebih dengan menambahkan “YouTuber poliglot” pada judul.
Ketiga, isi berita ini sebetulnya lebih menjelaskan kembali apa yang telah dipublikasikan Fiki melalui kanal YouTube-nya. Jadi, ini sebetulnya memang klarifikasi. Artikel ini berfokus pada klarifikasi Fiki dan manajernya terkait perseteruan antara dirinya dengan Dayana.
Jadi, sebetulnya, kalau “mau benar”, membuat judul memang tidak semudah itu. Membuat judul itu tidak bisa hanya dilihat dari sisi si penulis, tetapi juga harus dilihat dari sisi pembaca karena tulisan itu dibuat untuk pembaca, bukan si penulis.
2. Kata “dari” bisa dihapus saja karena tak ada gunanya. Apa bedanya “seorang perempuan Kazakhstan” dan “seorang perempuan dari Kazakhstan”. Ya, jelas ada.
Perempuan dari Kazakhstan sebetulnya BELUM TENTU warga Kazakhstan (walaupun kemungkinan besar kita hampir pasti menyamakan konsep ini). Namun, dalam hal ini, penulis tahu bahwa Dayana memang tinggal di Kazakhstan sehingga dia MEMANG perempuan Kazakhstan.
Karena itu, menambahkan kata “dari” tentu tak ada gunanya.
3. Paragraf ini rumit. Padahal, paragraf ini bisa dibagi ke dalam beberapa kalimat.
Dayana sempat meluapkan kemarahannya melalui Instagram Story, dan berlanjut dengan klarifikasi Fiki Naki, yang kemudian manajer Dayana ikut angkat bicara.
Versi yang saya perbaiki:
Coba perhatikan, kita perlu “jembatan” antara paragraf pertama dan paragraf kedua. Paragraf pertama menjelaskan bahwa hubungan romantis antara Fiki dan Dayana kelihatannya tinggal kenangan.
Namun, kita tidak bisa tiba-tiba mengawali paragraf pertama dengan informasi “Dayana sempat meluapkan kemarahannya melalui Instagram Story”.
Apa konteksnya? Kapan itu terjadi? Setidaknya, pembaca membutuhkan konteks waktu di sini.
4. Penulis dan editor sekelas Kompas.com bahkan tidak bisa menuliskan imbuhan di- dengan kata asing. Memalukan.
Seharusnya: di-unfollow (kata unfollow harus ditulis miring).
5. Ini masalahnya karena kita sering kali latah dengan bahasa asing. Apa bedanya “endorse” dan “endorsement”? Mana yang lebih tepat dalam konteks ini? “Endorse” atau “endorsement”? Kata kerja atau benda?
Ya, dalam hal ini tentu yang harus dipakai adalah “endorsement”, bukan “endorse”. Inilah kenapa tidak semudah itu “mencomot” bahasa asing lalu menuliskannya “dengan bebas” dalam tulisan berbahasa Indonesia. Semuanya (tetap) harus logis.
6. Sama, “endorsement”, bukan “endorse”.
7. Ada dua dosa besar di sini. Pertama, baik editor maupun penulisnya sama-sama bodoh. Tidak ada kata “dimana”. Seharusnya: “di mana”. Ini perkara hal sepele!
Namun, urusan kita tidak selesai sampai situ. Penggunaan “di mana” sering kali salah kaprah. Kita sering kali menggunakan “di mana” sebagai kata hubung dalam kalimat. Padahal, ini tidak tepat.
Rasanya seperti kembali pada masa lalu, di mana aku masih sembilan tahun.
Nah ...
Penggunaan kata “di mana” dalam kalimat tersebut TIDAK tepat.
Seharusnya bagaimana?
Rasanya seperti kembali pada masa lalu, KETIKA aku masih sembilan tahun.
Penggunaan “di mana” dalam bahasa Indonesia HANYA berfungsi sebagai kata untuk MENANYAKAN tempat atau lokasi. Selesai.
8. Mengheningkan cipta, mulai. Turut berdukacita atas anjloknya kompetensi jurnalis dan editor Kompas.com yang entah bagaimana bisa menulis “di rancang”.
9. Untuk keterangan waktu, gunakan “pada”, bukan “di”.
10. Kenapa harus pakai “sebagai informasi”? Bukankah yang dituliskan dalam artikel di tadi semuanya adalah informasi? Adakah yang BUKAN informasi?
Ganti dengan “meski begitu”.
11. Bagian ini mengonfirmasi sepenuhnya bahwa baik penulis maupun editor Kompas.com memang bodoh. Maaf kalau agak kasar, tetapi ini hal mendasar dan kita tidak boleh memakluminya. Masa jurnalis dan editor sekelas Kompas.com menulis “di setting”? Fatal!
Pertama, “di” di situ adalah imbuhan, BUKAN preposisi. Karena diikuti kata asing, imbuhan “di” dan “setting” tidak bisa ditulis serangkai begitu saja. Harus ada tanda hubung (-) di antara keduanya. Jangan lupa, kata “setting” harus ditulis miring karena itu merupakan kata asing.
12. Setelah simbol Rp (ini simbol, BUKAN singkatan) tidak boleh ada spasi.
13. Kata “brand” harus ditulis miring.
14. Kata “enggak” harus ditulis miring karena ragam bahasa percakapan (informal).
15. Kata “enggak” harus ditulis miring karena ragam bahasa percakapan (informal).
16. Sama dengan masalah nomor 10. Ya, ini bagian dari kutipan langsung, tetapi TIDAK berarti bisa ditulis seenak jidat saja. Penulisan kutipan langsung tetap harus memperhatikan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bagian ini seharusnya ditulis: setting-an (jangan lupa, kata “setting” harus ditulis miring”).
17. Dari mana logika bahwa dengan informasi yang diberikan pada paragraf sebelumya BISA DIKETAHUI informasi tentang percakapan antara kedua manajer pada paragraf ini? Maksud saya, itu sama sekali tidak ada hubungannya. Tidak logis. Hapus saja!
18. Ingat, jika dan variasinya (kalau dan apabila) adalah konjungsi yang berfungsi menandakan syarat. Karna koreksian nomor 16 harus dihapus, otomatis bagian ini pun dihapus saja.
19. “Antara”, bukan “antar-”. Kalaupun ditulis “antar-“, baik si penulis maupun si editor sama-sama salah menuliskan kata tersebut karena dalam hal ini “antar-“ adalah bentuk terikat. Namun, yang paling tepat dalam konteks ini adalah “antara”.
20. Frasa ini juga sering digunakan dan ini kasus yang sama dengan penulisan judul dalam artikel ini. Ini juga model frasa “kepedean”. Memangnya semua pembaca SUDAH PASTI tahu?
Memangnya semua orang mengikuti akun Instagram manajernya Dayana? Hindari kata-kata “sok tahu” semacam ini. Hapus saja!
21. Frasa “manajer Naki” berfungsi sebagai keterangan aposisi. Karena itu, frasa tersebut harus diapit koma.
22. Sama seperti nomor 17, jika dan variasinya (kalau dan apabila) adalah konjungsi yang berfungsi menandakan syarat. Jangan tulis “kalau” jika yang dimaksud adalah “bahwa”. Bahwa adalah kata penghubung yang berfungsi menyatakan penjelasan.
Kata “kalau” dalam kalimat “There, manajer Naki, menjelaskan KALAU Dayana …,” ini tidak tepat. Seharusnya “bahwa”.
Pagi! Banyak yang tanya tentang cara menemukan makna kata berimbuhan yang semakna. Makna afiks dalam bahasa Indonesia sangat banyak dan, sejujurnya, mustahil menghafalkan semuanya. Saya pernah membahas lengkap tentang afiks di sini.
Pagi! Mungkin di antara kalian, angkatan 2019, 2020, atau 2021 ada yang mau kuliah di Rusia? Atau mungkin kalian yang sudah lulus S-1 mau melanjutkan S-2 di Rusia? Berikut saya jelaskan panduan dan dokumen apa saja yang dibutuhkan.
Setiap tahun, pemerintah Rusia membuka pendaftaran program kuliah berbeasiswa untuk para mahasiswa asing. Program beasiswa dibuka untuk jenjang pendidikan S-1 hingga S-3.
Sebagai gambaran, jumlah kuota yang diberikan untuk pelajar Indonesia selama beberapa tahun terakhir sebanyak 161 orang. Jumlah ini sudah mencakup jenjang pendidikan S-1, S-2, dan S-3. Meski begitu, pendaftaran kali ini cukup singkat.
Jalan-jalan, tepatnya jalan-jalan ke SMA-SMA se-Jabodebek (enggak termasuk Tangerang karena dulu lumayan enggak terjamah, Google Maps baru mulai dikembangkan).
Biasanya, dulu kami bawa tim publikasi, tetapi kadang saya harus presentasi sendirian di aula sekolah di hadapan ratusan siswa kelas XII, dan itu kesan yang enggak pernah terlupakan.
Selama kuliah itu, saya mengunjungi banyak sekolah, ada yang besar, kecil, terpencil, berada di pusat kemacetan, di gang sempit, macam-macam.
Itu pasti saya kasih hadiah karena dia ulang tahun, dan itu bukan cuma satu orang, tapi semua yang ulang tahun selama semester itu.
Cuma emang pasti bikin overthink, LOL.
Jadi, saya tipe dosen yang kayak Sinterklas (mungkin?), suka bagi-bagi hadiah, tapi hadiahnya buku kok, buku apa pun, bisa jadi berhubungan dengan humas atau buku-buku bagus yang pernah saya baca. Niatnya emang supaya anak-anak mau banyak baca buku.