Tapi bagaimana kita tahu? Bukankah secara empiris belum pernah sungguhan coba hilangkan matahari?
Dugaan ini dianggap scientific karena : 1. Teori Einsten terbukti di fenomena lain; maka 2. Bisa digunakan memprediksi
Kenapa untuk penjelasan ini kita berani “ekstrapolasi” prediksi pakai teori Einstein, bukan Newton?
Karena prediksi Newton terbukti patah pada kondisi ektrim.
Loh tapi bukankah teori Einstein juga patah di kondisi yang lebih ekstrim lagi, singularitas Black Hole misalnya?
Ya, itu benar.
Kita bisa posisikan teori Einstein sebagai berikut : 1. Ia bisa jelaskan dan prediksi lebih akurat dari Newton, dan 2. Karena ia patah di kondisi ektrim seperti singularitas, kemungkinan ada teori yang lebih fundamental lagi.
Tapi ada satu pertanyaan besar.
Saat hanya punya penjelasan Newton, kita anggap itu “kebenaran”. Setelah tau penjelasan Einstein, worldview berubah: penjelasan Newton lebih ke “pendekatan”.
Lalu bagaimana kita tau penjelasan Einstein “kebenaran”, bukan “pendekatan”, saat nanti ada penjelasan lebih fundamental?
Bahasa kerennya :
Apakah General Relativity itu ada secara ontologis (sungguhan ada fabric spacetime), atau epistemologis (gatau lah beneran ada apa enggak, yang penting bisa menjelasakan & memprediksi fenomena)?
Dimana posisi science?
Dilema posisi “ontologis” vs “epistemologis” ini sungguhan terjadi dalam menjelasakan wave funtion di quantum mechanics.
Apakah wave function “sungguhan ada”, atau lebih ke “interpretasi atas hasil observasi”?
Prediksinya akurat, tapi interpretasinya terbelah sampai sekarang.
Phycisist juga punya bias hipotesis : 1. Kenapa kita harus percaya bahwa ada “theory of everyting”? 2. Kenapa kita harus percaya “theory of everything” itu harus simple & elegant?
Sebagai hipotesis tentu sah & punya basis ilmiah. Tapi jelas ada tendensi & pre existing belief.
Bias tendensi hipotesis ini akan menyebabkan bias eksperimen apa yang perlu dilakukan untuk mendukung pre existing belief, serta cara interpretasi data
Newton & Kepler itu religius loh, justru mereka “percaya” hukum alam teratur & bisa diformulasi karena latar kepercayaannya itu
IMO, posisi scientist yang anggap kesimpulan scientific sebagai kebenaran “ontologis” dan “epistemologis” berpengaruh ke worldview nya.
Dawkins dan “Preacher of Science” sejenis kelihatannya lebih ke “ontologis”. Pada posisi ini, science jadi terlihat & terdengar pongah.
Di posisi “epistemologis”, science akan terkesan lebih pragmatis dan peragu.
Entah contohnya ini benar atau tidak (CMIIW), tapi Neils Bohr dan Copenhagen Interpretation nya mungkin ada di posisi ini.
Just shut up and calculate. We don’t know how, but it works.
Sampai disini, saya akan sampaikan bias saya. Ini posisi filosofis pribadi.
Saya lebih suka memposisikan kesimpulan scientific secara “epistemologis”, karena lebih mungkin untuk setia dengan fallibilism (saya tau ini hampir pasti benar, tapi selalu ada kemungkinan salah).
Science berprogres karena berhasil hancurkan otoritas kebenaran.
Tak ada seorang pun punya otoritas kebenaran, not even mereka yg justru merasa jadi “Preacher of Science”, yg biasanya ada di posisi “ontologis”.
Tergoda kebenaran mutlak “scientific”, mudah jatuh ke dogma baru.
Scientific method mungkin takkan pernah membawa kita ke “kebenaran mutlak” (itupun kalau ada), tapi kemampuan penjelasan & prediksinya akan terus menerus membaik.
Secara pragmatis, bukankah itu yang kita perlukan sebagai peradaban? Better knowledge, more advance engineering.
Kita bisa jadi berbeda, dan tidak apa-apa (lebih tepatnya tak terpungkiri) selama masih dipersatukan keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan akurasi prediksi.
Jadi apa posisi filosofismu atas science? 😉
Baru sadar kayaknya lumayan banyak typo.
Misalnya “Neils Bohr” 👉🏻 harusnya “Niels Bohr”
Mohon bisa dimaklumi ya, lagian kalau dipikir-pikir iseng juga malam minggu malah nge tweet begian 😌
Sepertinya ada beberapa tanggapan yang salah paham saya sedang turunkan value science.
Padahal niatnya sebaliknya: ada subjektivitas di science tak relevan untuk bantah “superioritasnya”. Science, dengan limitasinya, IMO tetap metode terbaik untuk “mendekati” kebenaran objektif.
Berhubung lagi nge trend menghubungkan bencana alam dengan dosa manusia, apa ada ya riset serius untuk buktikan korelasinya?
Klaim ini sebenarnya falsifiable dan bisa dibuktikan secara empiris loh. Datanya juga rasanya cukup tersedia.
Misalnya :
Analisis hubungan antara persebaran penduduk berdarkan “agama mayoritas” dan “moral masyarakat” (apapun definisinya) di suatu wilayah dengan frekuensi dan keparahan :
a) tsunami
b) gempa bumi
c) tornado
d) gunung meletus
e) etc
Nanti bisa dilihat, misalnya untuk daerah yang lebih sering gempa, mana korelasi yang terbukti kuat. Apakah :
1. Kedekatan dengan gunung aktif 2. Kedekatan dengan patahan (major / minor) 3. Kepercayaan mayoritas masyarakatnya 4. Angka kriminalitas penduduknya 5. Etc
Newton itu religius dalam konteks konvensional, sementara Einstein tidak (setidaknya di masa tuanya).
Tapi preferensi religiusitas (apabila itu dipadankan sebagai KEBAIKAN) antara keduanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai KEBENARAN ILMIAH atas teori yg mereka ajukan.
Ini yang penting dipahami :
Harun Yahya SALAH bukan karena dia ketahuan sebagai seseorang yang TIDAK BAIK akibat terjerat masalah hukum yang konyol,
tetapi karena sejak awal tulisan dan videonya itu PSEUDOSCIENCE, tak ada KEBENARAN ILMIAH di dalamnya.
1. Droplet kecil : ada di sirkulasi udara tertutup
2. Droplet besar : bersin / batuk, tidak jaga jarak, tidak pakai masker
3. Sentuhan langsung / tak langsung : pegang benda sembarang, tidak cuci tangan
Atas 3 poin tersebut, maka saya BODOH SEKALI kalau tak ingin tertular tapi melakukan hal berikut :
1. Ada di ruang tertutup dengan orang banyak dalam waktu lama (kantor, public transport, sekolah, apapun)
2. Tidak pakai masker (termasuk buka masker saat kumpul makan-makan)
3. Tidak rajin cuci tangan, apalagi habis sembarang pegang barang (uang misalnya) ngelap hidung, ngupil, ngucek mata, dan perbuatan ceroboh lain yang beri akses VIP untuk virus masuk ke tubuh
4. Kumpul-kumpul, tidak pakai masker, tidak jaga jarak, dan paket kebodohan lainnya
Bagaimana cara untuk selalu konsisten berpikir kritis dan mencegah terjatuh ke logical fallacy?
1. Hitchen’s Razor
”What can be asserted without evidence can be dismissed without evidence”
Kalau ada yg klaim di rumahnya ada makhluk bersayap yg tak bisa dibuktikan eksistensinya dengan cara apapun, klaimnya bisa dibantah tanpa bukti.
Beban pembuktian ada di pembuat klaim.
2. Occam’s Razor
”Simpler explanations are more likely to be correct; avoid unnecessary or improbable assumptions”
Kalau ada orang habis mabuk mengklaim dirinya diculik alien, penjelasan “sederhana” bahwa ia berhalusinasi saat mabuk lebih mungkin benar daripada benar ada alien.
Film dokumenter Sexy Killers memantik diskusi menarik tentang PLTU Batubara.
Terlepas dari persoalan kepentingan politik praktis, bagaimana sebenarnya pembangunan PLTU Batubara dipandang dari ilmu perencanaan pembangkit listrik?
Disclaimer : 1. Walau saya berusaha sederhanakan sedemikian rupa, sampai titik tertentu penjelasan teknokratis akan tetap butuh konsentrasi untuk bisa dipahami 2. Penjelasan ini tidak menyinggung politik praktis, tapi lebih untuk insight policy di sektor ketenagalistrikan
1. Film Sexy Killers mendokumentasikan dampak buruk PLTU Batubara ke sosial dan lingkungan. Sama seperti sektor-sektor lain, tanpa standar dan kontrol yang memadai, tentu hal ini benar.