Begitu Mulianya Wanita, Tidak Berpuasa Karena (Udzur) Halangan Sudah termasuk Ibadah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Puasa merupakan salah satu amaliah yang di syariatkan baik puasa wajib ataupun sunnah bagi umat muslim yang sudah baliq.
Namun, bagi perempuan yang sedang haid, Islam mengaturnya tak bisa berpuasa.
Mengapa Allah melarang perempuan haid untuk berpuasa.
Ibnu Hajar mengatakan : “Larangan shalat bagi perempuan haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam shalat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci.
Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ta’abudi (hal yang bersifat ibadah semata) sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda dengan shalat".
Jadi, larangan berpuasa bagi perempuan haid ini sifatnya ta’abudi (ibadah semata) yang wallahu a’lam akan hikmah di balik larangan tersebut.
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan ini merupakan bentuk rahmah Allah kepada para perempuan.
Mengapa dianggap rahmat? Ini karena perempuan dalam keadaan lemah ketika haid dan melakukan puasa ketika itu tentu akan menambah kelemahan dan akhirnya akan membahayakan jiwanya.
Orang yg tidak mampu beramal karena udzur, sementara ada keinginan / niat besar darinya untuk beramal
maka dia tetap mendapatkan pahala.
Mereka tidak beramal bukan karena malas. Mereka tidak beramal karena udzur.
Ketika Rasulullah dan para sahabat berangkat jihad, ada beberapa orang yg udzur, sehingga tidak ikut berangkat. Beliau mengatakan,
إن بالمدينة أقواما ما سرْتم مسيرا ولا قطعتم واديا إلا كانوا معكم
Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang, setiap kali kalian menempuh perjalanan atau melintasi lembah, mereka selalu bersama kalian.
Para sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, meskipun mereka diam saja di Madinah?”
Jawab Nabi :
وهم بالمدينة ، حبسهم العذر
Meskipun mereka di Madinah. Mereka tidak ikut jihad karena udzur.
(Hr Bukhari)
Dalam hadis lain, dari Abu Musa al Asy’ari ra :
اذا مرض العبد أو سافر , كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا
Apabila seorang hamba mengalami sakit atau safar (sehingga tidak bisa beramal) maka tetap dicatat untuknya sebagaimana amal rutinnya ketika dia tidak safar dan dalam kondisi sehat.
(Hr Ahmad, Bukhari)
Hadis ini berlaku untuk amalan yg dirutinkan seorang mukmin, kemudian dia tidak mampu melaksanakannya karena udzur (halangan) .
Para ulama menyamakan status wanita haid dan nifas sebagaimana orang sakit, dimana mereka tetap mendapat pahala shalat ketika haid.
Karena mereka memiliki penghalang yang diterima oleh syariat. dan ini tentu dengan syarat, disertai keinginan yang jujur dan tekad kuat untuk beramal, andai dia tidak memiliki udzur.
Jadi Rukhsoh bagi wanita yg halangan itu bagian dari ibadah, karena mejauhi larangan الله atas ibadah puasa yg menghalanginya untuk ditunaikan sebagai ibadah.
(Fathul Bari)
والله اعلم
Semoga bermanfaat🙏🏿🌹
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Apa benar orang yang telah meninggal amalnya bermanfaat hanya 3 perkara?
Ngaji ba’da tarawih ☕️🌹
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kita sering mendengar para muballigh (penceramah) yg mengatakan bahwa ada amal yg bermanfaat bagi seseorang setelah kematiannya, tiga perkara:
"Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang mendoakannya".
Hal tersebut berdasarkan hadits :
"Jika manusia mati maka terputuslah amalnya, kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang mendoakannya’
(Hr Bukhari, Muslim)
Padahal, hadits tersebut hanyalah sekedar "menyebut jumlah", tidak bermaksud membatasi hanya pada tiga amal tsb. Dalam hadits-hadits lain, kita akan temukan bahwa selain tiga amal tersebut, masih banyak amal lain yg tetap mengalir kepada orang yg sudah mati setelah kematiannya.
Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya 3 rakaat. Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama, namun begitu boleh dilaksanakan sendiri.
Ada beberapa pendapat tentang raka'at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa yaitu boleh dikerjakan dengan 8, 20 atau 36 raka'at.
Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka'at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar.
Apakah benar dengan berpedoman kepada imsak seseorang bisa masuk neraka! Apakah memang seperti itu hakikat ajaran agama kita atau pemahaman mereka saja yang bermasalah?!
Suatu ketika Sayyidina Umar ra melihat orang yang sholat dan di depannya ada kuburan lalu beliau mengatakan : "awas kuburan, awas kuburan", maksudnya jauhilah menyengaja menghadap kuburan.
Beliau tidak mengatakan engkau telah melakukan hal yang haram, dapat dipahami hal tersebut menjadi "makruh". Kemudian kemakruhan ini akan hilang jika kuburannya tertutup.
Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah bahwa Rasulullah bersabda :
قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا
Boleh pakai boleh juga tidak, yang tidak boleh itu yang menyalahkan yang pakai kata sayyidina.
“Yang tidak pakai sayyidina berdalil dengan menjalankan hadis Nabi. Sementara yang pakai sayyidina berdalil dengan adab”.
Memang benar Nabi mengajarkan bacaan tasyahud kepada Sahabat tanpa kata sayyidina, karena "Ketawadhu annya” dan tidak suka berbangga diri.
Ini dilihat dari sisi Nabi loh ya.
Kalau dilihat dari sisi kita sebagai "umatnya" maka wajib bagi kita bersopan santun dan menghormati beliau saat menyebut namanya sebagaimana firman Allah Qs An Nur 63: