Kita tak pandai bersaing. Pun tak senang berkompetisi dan maka sering tak memaknai persaingan sebagai cara bagi meraih puncak prestasi.
📷Boy_Wonder
Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia, (bisa dibilang) badminton sebagai prestasi dalam dunia olahraga adalah satu-satunya penyebab ada nama Indonesia disebut pada ajang atau event internasional. Yang lain..🙄
Pun dalam bidang yg lain, SDM kita ternyata memang tak terlalu bagus.
Pernah dengar negara bernama Kamboja? Tak terpaut jauh sebagai jarak letak negara itu dgn kita dan banyak diantara kita berprasangka bahwa negara tersebut jauh tertinggal dibanding negara kita.
📷Nada Deyaa
Tak perlu membandingkan dengan Singapura dan Korea Selatan yang masuk 10 besar dan masing-masing berdiri pada peringkat 8 dan 10, faktanya, Kamboja negara kecil dengan jumlah penduduk yang hanya 5% dari populasi negara kita tersebut setingkat lebih tinggi
dalam hal inovasi rakyatnya dibanding kita. Itu peringkat yang diberikan oleh Global Innovation Index (GII).
.
.
Perlu diingat, Kamboja baru merdeka tahun 1953 atau 8 tahun lebih muda dari usia negara kita.
📷Via DevianArt
Berdasarkan rilis GII pada 2020, Indonesia berada pada urutan ke-85 dari 131 negara di dunia.
Sementara ketika kompetisi sebagai ukuran seberapa inovatif rakyatnya dimasukkan pada kelompok negara berpenghasilan menengah ke bawah,
Indonesia masih hanya menempati urutan ke-9 dari 29 negara. Itu bukan prestasi patut kita banggakan.
.
.
Ketika kenapa menjadi tanya yang harus berjawab, seharusnya bukan karena rakyat kita bodoh muncul sebagai jawab, ada yang salah dengan pendidikan kita.
📷WebIndiaSolution
Bukan melulu harus kurikulum sekolah sebagai kambing hitam, tapi banyak faktor.
Itu juga tampak pada senang kita berdebat agama dibanding kemanusiaan. Kita senang berebut pintar dan dianggap hebat karena keagamaan kita.
Ga percaya? Lihat dan cari mereka yang hobi saling berjawab komen pada ruang media sosial terkait debat ayat dan debat tafsir di mana seringkali dapat berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu hanya demi membahas siapa lebih benar.
📷TheGuardian
Padahal seringkali itu hanya tanggapan atas satu postingan atau cuitan orang lain saja.
Militan kita sebagai umat tampak luar biasa ketika membahas materi tersebut. Militan kita sebagai manusia lupa bahwa kemanusiaan mendapat porsi tertinggi pada agama.
Seperti berebut siapa lebih dahulu antara telor atau ayam dan itu tak pernah selesai namun kita senang. Berulang, dan terus berulang tanpa kenal kata selesai.
📷BoredPanda
Kita secara otomatis selalu merasa punya ruang demikian lebar pada debat seperti itu namun kita tak tertarik dan memberi celah pada debat iptek atau budaya dan kemasyarakatan.
Debat agama menjadi seperti hidangan paling membuat kita merasa selalu lapar dan inovasi sebagai buah atas kodrat akal yang melekat pada manusia kita lupakan.
📷nytimes
Sangat mungkin, kitalah bangsa juara dalam inovasi tafsir kitab. Inovatif kita sebagai masyarakat dalam tafsir menafsir kitab telah jauh melampaui bangsa dimana kitab tersebut lahir.
Itu seperti AS yang jauh lebih maju dalam angkasa luar dibanding Jerman sebagai pemilik teknologi roket pada awalnya. Sayang, itu tak pernah menjadi materi yang diperlombakan sebagai tolok kemajuan sebuah bangsa.
📷TheInspirationGrid
"Inovasi terkait erat dengan budaya masyarakat yang senang melakukan penelitian. Adakah negara telah berandil besar dalam memberi kemudahan atas hal tersebut?"
Swiss sebagai negara peringkat 1 pada indeks GII, justru merangkul sektor swasta menjadi kunci pengembangan riset dan inovasi. Dalam hal mengubah investasi dan inovasi, Swiss dapat dijadikan tolok ukur.
Pekerjaan padat pengetahuan dan pengeluaran litbang yang tinggi, dibiayai oleh sektor swasta.
Demikian pula dengan Singapura dan Korsel di mana proporsi pendanaan sektor swastanya mencapai sekitar 80 persen.
"Bagaimana di Indonesia?"
Hadirnya Bukit Algoritma yang digawangi oleh Budiman Sudjatmiko, sepertinya terkait dengan apa yang dilakukan swasta pada banyak negara yang dianggap berhasil.
Hingga saat ini swasta di Indonesia masih hanya memberi kontribusi sekitar 20% dan sisa besarnya ada pada pemerintah 80%. Tampak besar dalam prosentase atas apa yang dilakukan oleh negara namun jumlah itu sangat kecil ketika dirupiahkan.
Pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan 0,25% dari PDB sangat jauh dibanding dgn China (peringkat 14 GII) yang mengalokasikan 4 persen dari PDBnya.
Di sisi lain, salah satu masalah dalam riset dan inovasi di Indonesia adalah hasil penelitian yang tumpang tindih.
📷viaWattpad
Artinya, dana yang cuma sedikit, efektifitasnya pun ternyata dianggap tergangu.
.
.
Untuk menangani hal inI, dibentuklah lembaga Badan Riset Industri Nasional (BRIN). Empat lembaga penelitian yang ada di Indonesia disatukan yakni LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan.
Hal itu dimaksud untuk mencegah terjadinya duplikasi riset sehingga mendorong efisiensi dan efektivitas sumber daya dalam melakukan kegiatan pendidikan, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi.
"Memang sebesar apa sih kontribusi bukit algoritma ditargetkan?"
Kabar terakhir, pembangunan fisik pada kawasan itu akan dilakukan setelah lebaran ini. Bahkan pada bulan Juni yang akan datang tawaran pada mereka yang ahli dalam beberapa bidang khusus telah pula diajak.
"Kumpulin temanmu yang jago komputer dan atau Biologi, jago marketing, komunikasi serta jago design, nanti akan ada undangan terbuka mulai Juni." demikian cuitan Budiman di tuiter.
Tak kurang 5 kali webinar terkait proyek swasta bernilai awal 18 triliun rupiah tersebut di mana ide dasarnya adalah menciptakan komunitas berbasis iptek juga tetap dilakukan sejak akhir April lalu.
Bukan seberapa banyak pada Bukit Algoritma tersebut dlm waktu 1-2 tahun kedepan mampu mendaftarkan hak paten, membudayakan kompetisi berbasis inovasi atas hasil riset adlh langkah awal. Dan itu baru dapat terjadi bila komunitas berbasis iptek diterima masyarakat.
📷BoredPanda
Lama sudah kita rindu debat di media sosial adalah tentang kemanusiaan. Kita juga rindu debat logis yang tak selalu tentang surga dan neraka.
Nikel menjadi baterai di mana suatu saat hanya perlu waktu charge 10 menit dan jarak tempuh didapat sudah 1000 km,
seharusnya target pencapaian seperti itulah yang menjadi tema debat kita. Seharusnya itu pula yang akan menjadi output Bukit Algoritma 2-3 tahun kedepan sebagai hasil risetnya dan kita larut dalam debat sehat demi mendorongnya.
.
.
📷BoredPanda
Selain Singapura dan Korsel yang telah duduk 10 besar, GII 2020 menunjukkan selama beberapa tahun terakhir India, China, Filipina, dan Vietnam adalah ekonomi dengan kemajuan paling signifikan dalam peringkat inovasi GII dari waktu ke waktu.
Keempatnya sekarang berada pada kelompok 50 besar. Ekonomi dgn kinerja terbaik di GII hampir secara eksklusif masih berasal dari kelompok berpenghasilan tinggi, dengan China (ke-14) menjadi satu-satunya ekonomi berpenghasilan menengah di 30 besar GII. Malaysia (ke-33) mengikuti.
Bila pada 2014 saja Filipina masih pada level 100 dan kini masuk 50 besar, tak mungkinkah pada 2024 nanti kita juga telah masuk pada posisi itu? Bila UU perlindungan ulama saja masih menjadi luar biasa urgent, bila tak lolos tes wawasan kebangsaan
saja masih menjadi debat boleh tidak yang bersangkutan diterima menjadi ASN, bila babi ngepet saja masih kita percaya, bila debat kita masih melulu soal boleh dan tidak boleh versi agama, mmm... lupakan saja.🤷♀️🤷♀️
.
.
.
📷GraphicArtNews
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bukan demo besar seperti peristiwa pada tahun 2019 ketika perubahan UU KPK akan disahkan kita lihat hari ini, para cerdik pandai dengan nama besarnya tampil dengan opini masing-masing.
Ada pola perlawanan yang tampak berubah dari melibatkan massa, kini beralih pada individu atau petinggi organisasi. Dan ini berdampak cukup meyakinkan. Paling tidak, itu terlihat pada sikap dua petinggi yakni Ketua KPK dan Menteri PAN RB.
Ramai protes terdengar bersahutan. Mulai dari MUI, Pukat UGM, ICW, Koalisi Masyarakat Sipil, Reffly Harun, Bambang Wijiyanto, Ferbri Diansyah, Nursyahbani Katjasungkana dan masih banyak lagi yang tak mungkin disebut satu persatu.
Bukan sekali atau dua kali, bu Menkeu mengungkapkan kekhawatirannya tentang Indonesia yang berpotensi terjebak dalam "middle income trap" atau negara yang terjebak pada penghasilan menengah terus menerus.
Itu bukan monopoli atau tidak hanya terjadi pada negara kita saja tapi merupakan tantangan bagi setiap negara berkembang.
Dengan mudah kita akan menyebut Jepang, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan banyak negara di Eropa barat adalah negara-negara yang masuk kategori negara maju, negara dengan tingkat penghasilannya yang tinggi.
KARENA SEBAB | perut yang teramat lapar tak harus membuat kita kalap memakannya ketika itu terhidang di depan kita. Ada tata krama kita pernah diajarkan bahkan ketika makan jangan sampai menimbulkan bunyi baik berasal dari piring mau pun saat mengunyah.
Semua itu tentang adab. Tentang kita sebagai insan berbudaya tak harus "njembréng" (menunjukkan secara vulgar) keadaan kita. "Saru" (tak pantas) kita kenal dalam budaya kita.
Pun ketika memberi komentar, kita diajar untuk tak membicarakan keburukan orang lain di tempat terbuka. Unggah ungguh sebagai tata krama berbicara tentang siapa kita.
MEREKA (YANG) TAK PUNYA WAWASAN KEBANGSAAN
.
.
.
.
KPK
.
.
.
"Kenapa hal terkait FPI harus muncul dalam pertanyaan tes wawasan kebangsaan itu? Apa ini bukan jebakan sengaja dengan target memecat mereka yang kredibel? Ini politis!!"
Masa baru tahu ini terkait politik? Bukankah pemerintahan ini terbentuk karena proses politik? Namanya juga wawasan kebangsaan, sudah pasti itu terkait dengan sikap dan arah politik negara dong?
Ini sesuatu yang sangat lumrah. Ini juga tidak sama sekali melanggar aturan yang ada. Ini konsekuensi logis atas perubahan UU No 19 tahun 2019 tentang KPK. Dan ini adalah perintah undang undang. Pemerintah justru melanggar bila tak menjalankan amanat UU tersebut.
Terlalu lama seorang NB duduk di kursi itu dan konon pengaruhnya bahkan lebih hebat dari para ketua yang dipilih oleh Presiden. Banyak sudah dari kita yang skeptis orang itu dapat ditendang dari posisi tersebut.
Terlalu kuat orang yang ada di belakangnya dan bahkan tangan Presiden pun diperkirakan tak punya jangkauan sampai di sana.
"KPK dilema Presiden Jokowi?"
Dulu, Presiden ke 4 Megawati Soekarno Putri harus mendirikan KPK karena anggapan bahwa Polisi dan Jaksa tak bersih. Penuh berlumuran debu dan lumpur hampir pada seluruh bagian tubuhnya akibat lama berkubang dalam kotor permainan Orde Baru.
BUZZER ANTI PEMERINTAH | itu luar biasa kreatif plus edan-edanan kalau bikin fitnah. Segala bunyi-bunyian dengan target yang penting memberi suara miring mereka lakukan. Tak penting itu benar atau salah. Targetnya cuma berisik.
Peristiwa belanja baju lebaran yang terjadi di Tanah Abang dianggap mengabaikan protokol kesehatan. Siapa patut dikritik, paling masuk akal adalah Gubernurnya. Dia pemilik ruang hukum sekaligus ruang publik tersebut.
Seharusnya peristiwa ini tak mesti dibuat belok pada ranah macam-macam. Ini soal kebijakan daerah terkait prokes. Bukan selalu harus lari pada ranah politik.