Bahas tentang doa tentunya ga lepas dari belief sistem. Nyambung ke spiritualitas dan atau agama yang tentunya ranahnya beda lagi.
Sulit bagi orang yang tidak memahami dengan cukup suatu belief system yang dimaksud untuk bisa nyambung dengan penganutnya.
Bahas soal spiritualitas dan agama lalu kaitannya dengan kebenarannya gimana menempatkannya relatif terhadap sains tentunya bakal panjang lebar.
Kalo kita cuman ambil intisarinya, bisa ada makna atau alur berpikir yang hilang.
Kuncinya sebagai manusia adalah saling respek.
Kalau ngomongin hal seperti ini sedangkan mazhab/sistem berpikirnya berbeda, dan tidak ada common ground-nya atau referensi yang sama tentu akan berujung debat kusir apabila didasari ego untuk membuktikan siapa yang salah atau benar.
Dan akan bisa produktif jika mindsetnya adl
Berusaha memahami satu sama lain.
Makanya saya sering bilang kalo ada ketidaksetujuan atau perbedaan pendapat, berusahalah mempraktikkan a beautiful mind karena kita makhluk sosial dan bukan soal benar/salah tapi ttg how we make others feel
Jadi ya kalau sudah tau ujung2nya gak akan bisa bersepakat. Lebih baik diskusi diarahkan benar2 jadi berusaha memahami cara berpikir yang lain.
Atau kalau nggak bener2 mau memahami pendapat yg berbeda ya gausah dibahas aja. Daripada buang2 energi. Capek entar.
Untuk penyederhanaan mari kita simulasikan jadi 2 Point of Views. Tentunya PoV ini pada praktiknya bisa beda2.
Bisa aja 1 org beragama sama punya mazhab/pemahaman beda ttg mekanik doa. Bisa jg antara PoV 2 penganut agama berbeda. Bs jg ada PoV dari yg tdk percaya agama.
Yaudah mari kita ilustrasikan 2 PoV dan lihat gmn bs nyambung.
PoV 1: menganut agama/sistem kepercayaan tertentu yang di dalamnya terdapat kepercayaan tentang khasiat doa.
Tentunya masing2 agama/kepercayaan punya kerangka tentang mekanik atau cara kerja dari doa itu sendiri.
Misalnya dalam agama Islam (karena ini yg saya tahu dan pelajari). Doa itu suatu alat untuk taqarrub atau mendekatkan diri pada Tuhan. Diperintahkan untuk berdoa kepada-Nya tanpa kenal waktu. Bahkan segala ritual ibadah lain termasuk solat puasa dll juga pada hakikatnya doa.
Islam mengenal ikhtiar dan tawakkal. Ikhtiar itu usaha untuk memenuhi rukun syarat duniawi sesuai dengan hukum alam/sunatullah. Karena Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mengubahnya sesuai cara alam bekerja
Kalo mau dapet rezeki ya harus kerja, gbisa doa2 doang
Tawakkal itu berserah, nyerahin hasil atau kontrolnya pada Tuhan yang dipercaya sebagai Maha mengatur segala urusan, termasuk kerandoman/kejadian acak di alam.. hal2 yang di luar kendali kita.
Banyak orang mengatakan ikhtiar dulu lalu tawakkal. Setelah upaya habis2an lalu doa.
Sudah beres ujiannya terus berdoa juga baik. Tentang mekanik apa yang akan dilakukan doa ini, efeknya di dunia apakah bikin nilai yang lain turun atau bug di sistem ada apa.. ya kita mungkin gak tau. Karena ya esensinya doa adalah untuk menyerahkan yg tidak bisa kita kontrol/tahu
Ya sebenernya ikhtiar dan tawakkal yg saya pahami harus berjalan beriringan sih. Doa dn usaha jalan terus
Usaha maksimal. Pasrah maksimal.
Efek realnya kalo menjalankan mantra ini adalah membantu kita untuk berada di puncak performa. Menempatkan diri pada tingkat stress optimal
Dulu pun saya bingung kenapa temen2 saya takut banget buka hasil ujian. Doa2 dan ritual dulu.
Tapi ya makin ke sini saya makin memahami bahwa itu adalah upaya untuk bersyukur. Untuk tetap optimis. Untuk tetap bahagia supaya siap mental hasilnya seperti apa dipasrahkan.
Diyakini bahwa jika berdoa nanti bisa dikabulkan sesuai yang diminta, ditunda, atau diganti dengan yg lebih baik entah di dunia/akhirat.
Ya pembahasan ini bisa panjang. Tapi mungkin saja begitulah yang dipercayai beberapa orang tentang konsep doa dan mekaniknya.
PoV 2: Bagi yang tidak mempercayai agama mungkin saja memandangnya sebagai suatu sistem kepercayaan yang tidak berdasarkan sains empirik dan realitas objektif yang bisa dimodelkan secara ilmiah.
Tentunya di sini jatuhnya mereka menganggap orang yg beragama memandang realitas
Bergantungvpada kepercayaan, bukan realitas objektif dlm kerangka sains. (Atau yang disebut Michael Shermer sebagai belief-dependent realism.. yang diekstensi dari model-dependent realism Stephen Hawking yang pernah saya bahas di sini )
Apa2 yang tidak/belum dapat dibuktikan secara empiris tertolak
Tp kalo mau diuji secara empiris ya harus jelas mekanik dan variabel2nya. Harus bisa diukur. Diteliti. Direplikasi. Menunjukkan korelasi antar variabel2nya. Hasil observasinya harus memenuhi kaidah statistik tertentu
Untuk bisa dikatakan bahwa "oh doa ini emang ngaruh. Doa setelah ujian bisa mempengaruhi hasil ujian dengan mekanisme Z dan korelasinya adalah X"
Lalu dari 2 PoV ini apakah bisa bertemu? Ya agak sulit karena variabel kontrolnya juga bisa jadi banyak banget. Tergantung hipotesis
Kalau belum kebayang coba tonton ini, sebuah sketsa tentang mendesain eksperimen untuk mengetahui cara mengupas pisang yang paling efisien/sangkil:
Ya kalo mau riset efek doa pasca ujian. Bs jadi hrs cari cara biar bisa punya skenario di mana orngnya sama
Kasusnya sama. Nilai ujian realnya sama dll. Lalu diteliti efeknya. Ya ujung2nya ribet.
Kalo mau argumen ilmiah yang berdasar mesti ada hasil observasi itu. Baru deh bisa nyambung argumentasinya. Ada common ground/reference-nya
(Kalo di debat kan 1st speaker akan define motion)
Ya intinya silahkan doa kalo yg meyakini bahwa doanya akan berefek. Jangan lupa penuhi rukun dan syarat
Kalo ga percaya doa ya gausah doa jg gpp. Kalau mau memahami cara berpikir yg lain coba pahami/tanyai dengan kindness. Karena bisa jadi kerangka berpikir/referensinya dah beda
Kalau kerangka dan alurnya dah beda. Mau kita jelasin berbusa juga gak masuk di sistem berpikir yang lain. Gak nyambung.
Ibarat bahasa, kata2nya mungkin sama tapi merujuk pada makna, sifat, dan fungsi yang beda. Jadi ya ga nyambung.
So saling menghormati pilihan2 aja.
Kurang lebihnya mohon maaf. Thread ini contoh saja dan banyak simplifikasi atau oversimplifikasinya.
Cuman ya ini opini saya tentang doa yang konon lagi trending.
Mohon maaf lahir batin dan selamat lebaran semuanya!
Tentang Belajar Otodidak vs Belajar di Institusi Pendidikan Formal
Ini suatu penyederhanaan ya. Tapi biasanya, institusionalisasi atau ngeformalin sesuatu itu ada untuk menjaga/melanggengkan standar/nilai2 tertentu. Termasuk untuk belajar dan pendidikan.
Pertanyaan 1.
Bedanya belajar otodidak vs di lembaga formal.
Pertama. Esensi.
Kalo otodidak tuh bergantung pada disiplin diri, kemampuan kita untuk jadi resourceful dalam mempelajari sesuatu.
Kemampuan kita untuk mendesain pembelajaran, cara kita ngelakuin deliberate practice.
Itu nggak mudah. Belajar tanpa guru/mentor itu butuh usaha ekstra untuk melakukan self-correction, untuk ngevaluasi apakah yang kita pelajari sudah benar atau belum.
Kalo ada gurunya kan bisa dikoreksi.
Untuk bidang tertentu ada yang sangat mungkin dilakukan sendiri.
Saya pun sampe sekarang kalo habis ngobrol sama orang
mau seseru apapun topiknya
nanti habis ngobrol bakal capek, pas kondisi mental lagi kurang fit, bahkan langsung butuh tidur.
Tapi ya sebagai pegiat startup itu hal yang gak terhindarkan.
Dulu mentor saya pernah bilang.
Ketika seseorang punya tujuan yang sangat penting, dia akan melakukan hal2 yang nggak dia banget.
Kekuatan tujuan bisa membuat kita keluar dari zona nyaman dan melakukan hal2 yang tidak sesuai dengan karakter kita.
Jadi akhirnya, saya pun
melatih otot sosial ini.
Awalnya canggung banget mau nginterview orang aja grogi. Apalagi kadang yang diinterview lebih tua, awal2 Pahamify berdiri pernah ada senior ITB yang beda angkatan 24 tahun bahkan.
Dateng ke acara2 investor atau event startup, saya ngerasa asing banget.