Entah bagaimana caranya, peristiwa Semarang telah menciptakan kutub antara Ganjar dan Puan. Lebih jauh, Ganjar dan PDIP sedang pula mereka coba benturkan. Narasi "PDIP buang Ganjar, PDIP akan berhadapan dengan rakyat" kini mudah kita temui.
Itu berawal dari Puan tak mengundang Ganjar pada pertemuan di Semarang. Bambang Pacul sebagai kader senior justru berkomentar terbalik dari rasa ingin membuat teduh suasana.
Namun, adakah Ganjar sudah berikrar ingin menjadi Presiden? Ataukah Puan sudah ditetapkan sebagai calon dari PDIP? Kita sibuk bertendensi. Kita berebut sesuatu yang tak pernah ada. GELOMBANG ITU HANYA MENCIPTAKAN BUIH TANPA MAKNA.
Puan tak berkualitas dan bisa tampil hanya karena faktor keturunan disandingkan dengan Ganjar yang tersurvey positif. Ganjar yang bagus namun tak berdarah ningrat akan dibuang demi trah. Keduanya sebagai narasi, sedang dibangun.
Memecah belah PDIP dari dalam sedang dibuat setelah usaha meruntuhkan dari luar menemui kegagalan.
"Emang pernah?"
Satu tahun yang lalu, ramai PDIP sebagai partai terhubung dengan PKI kita dengar.
Peristiwa itu terakumulasi pada peristiwa pembakaran bendera PDIP saat unjuk rasa RUU HIP di depan Gedung DPR/MPR RI, 24 Juni 2020.
Arogan mereka berteriak "PKI..!! PKI..!!" dalam aksi pembakaran bendera partai berlambang kepala banteng itu bukan tanpa perencanaan.
Mereka secara sistematis telah membuat perencanaan dan RUU HIP adalah batu lompatan.
"Siapakah mereka sehingga begitu nekad melakukan kegilaan itu?"
Sebenarnya, mereka hanya buih. Kecil dan tak berarti. Menjadi besar karena mereka berbaju agama dan bersuara rasis.
Mblandang, sedikit agak mewakili tapi masih terlalu lunak. Nekat, mungkin terlalu cepat menunjuk pada kebiasaan melekat kelompok itu.
Bodoh, mungkin lebih tepat. Ya...,kombinasi mblandang dan nekat tanpa melihat seberapa kuat pijakannya, telah membuat kelompok ini terlihat menjadi bodoh.
"Piyék" (anak ayam baru kemarin sore menetas) ngelabrak banteng, tepok jidat pun masih terlalu halus untuk menggambarkan kebodohan akut itu.
Sejarah berbicara bahwa tahun 1996 PDI Megawati (cikal bakal PDIP) sudah berani tolak pinggang dengan sebelah tangan menunjuk muka penguasa Orde Baru yang sangat represif. Yang lain, justru berebut mencari muka.
Saat itu, FPI (dan underbow-nya), jangankan lahir, indukannya pun belum terpikir untuk diselingkuhi. Orde baru belum tertarik bikin preman berdaster. Masih terlalu kuat. Orde Baru masih jadi penguasa tunggal bagi segalanya.
27 Juli ‘96 adalah puncaknya. Sebelumnya, orasi kebangsaan, hiburan langka pada jaman Soeharto berkuasa, dapat kita nikmati hampir setiap hari di Diponegoro no 58 itu.
Tempat itu selalu ramai. Ruang orasi politik seolah mendapat tempat pada panggung itu. Sebelumnya, dijamin pasti akan disambut dengan pentungan dan bunyi tembakan ketika hal seperti itu terjadi.
Jadi ingat peristiwa Priok. Masjid sebelah rumah di Kelapa Gading BCS. Saat itu, sekitar tahun 80-an, beberapa hari terakhir dari speaker masjid itu terdengar khotbah langka. Khotbah beraroma sindiran pada sang penguasa.
Dan benar, tak lama kemudian barisan tentara terlihat menyisiri sawah yang saat itu masih tersisa beberapa petak di sana. Tentara segera mengepung masjid kecil tersebut dan kemudian mengamankannya.
Keesokannya, heboh Priok terjadi. Suara tembakan, entah siapa dan kenapa mereka harus ditembak, tak penting lagi. Menteri penerangan yang akan membuat pernyataan.
Demikian pula peristiwa Juli ‘96, orang-orang berbadan tegap (karena hanya seperti ini berita koran waktu itu) mengepung, menyerang dan kemudian menghancurkan panggung plus bangunan di Diponegoro 58.
Untuk membuat efek dramatis, entah bagaimana ceritanya, beberapa tempat yang tak terlalu jauh dari peristiwa gropyokan Diponegoro 58 itu, tiba-tiba terbakar. Jakarta membara dalam panas api kebakaran.
Keesokan paginya, berita bahwa para perusuh yang membakar adalah mereka yang kemarin berada di Diponegoro 58. Tak ada klarifikasi dibutuhkan karena mereka yang bertugas untuk memberi klarifikasi sudah digebukin dan bengkak-bengkak dan entah dikurung dimana.
Budiman Sudjatmiko dan PRD nya didapuk menjadi kambing hitam. Budiman dan anak-anak muda pemberani itu dianggap sebagai dalang dibalik orasi sekaligus munculnya api pada banyak gedung dan kendaraan di Jakarta Pusat saat itu.
Itulah gambaran Jakarta saat itu. Itu gambaran ketika Orde Baru terusik, marah dan selalu berakhir dengan cara yang sama. Selalu ada bakar- bakar menyertai.
PDI tak gegabah. Dibawah Megawati, arah justru berbalik.
Ketenangannya sebagai seorang perempuan trah Soekarno menuai berkah. PDIP lahir menjadi penerus sah PDI dan kini menjadi partai terbesar negeri ini.
PDIP sebagai aset berharga negara ini kini sedang dirongrong gurem. PDIP, satu-satunya partai politik pada era reformasi sebagai partai perjuangan, partai yang berjuang dengan mengorbankan darah
dan nyawa para anggotanya dalam pendiriannya ditantang dalam benderang, benderanya dibakar dan PKI disematkan padanya.
.
.
PDIP memang lahir karena perjuangan, bukan dibentuk karena hasrat seseorang yang ingin mencalonkan menjadi Presiden.
Perjuangan itu lahir dan bergelora sebagai jawaban atas tekanan orde baru terhadap pengerdilan demokrasi saat itu.
PDIP membuka pintu reformasi ‘98. Panjang perjalanan sejarah partai yang satu ini sungguh berbeda dibanding dengan banyak partai yang lain.
Halangan, tantangan, bahkan penghancuran dengan kekerasan tersisteminasi pun dialami. Dan kemudian ada "piyik" mau main-main dengannya?
Memancing marah dengan mem PKI kan dan membakar benderanya?
Kaum bigot itu jelas bukan lawan tanding seimbang dan PDIP tak sebodoh itu untuk secara fisik melayaninya meski dengan mudah, markas plus manusia bodoh penghuninya akan rata dengan tanah bila militan partai itu turun membalasnya.
Bukan itu jalan ditempuh. PDIP tak mungkin merendahkan martabatnya dengan mengotori tangannya sendiri menyentuh barang haram dalam rupa keberingasan seperti apa yang telah mereka mulai.
Saat itu, cukup dengan kedipan mata sang Ketum. Pada saatnya, pasti mereka akan terkencing kencing dalam takut.
Dan benar, kelompok itu secara perlahan tersudut pada jurang ketidakpastian.
Tak perlu waktu panjang, tak berjarak hingga 1 tahun, salah satu organisasi terbesarnya tumbang dan para pemimpinnya meréngék dalam nada memilukan.
Pun dengan peristiwa saat ini. Mereka yang bermimpi ingin membuat kacau PDIP dengan isu Ganjar vs Puan tak akan mendapat apa-apa selain perih. Partai ini adalah partai di mana para tangguh berkumpul.
Bendera kebesaran milik mereka dibakar, tak berhasil memancing amuk. Konsolidasi ke dalam dan percaya pada para pimpinannya justru telah membuat para pembencinya tumbang satu persatu.
Adakah hal yang sama atas isu dibuat hari ini akan mampu merongrong kebesaran partai itu? Sepertinya partai ini justru akan menjadi semakin besar.
Sama ketika pada akhirnya Jokowi dipilih menjadi capres 2014 karena syarat dan ketentuan berlaku terpenuhi pada dirinya dan kemudian bu Mega tak menunjuk dirinya sendiri maju sebagai capres, pada Ganjar pun Puan Maharani sebagai anak bu Mega tak akan pernah menjadi halangan.
Ini tak terkait trah Soekarno. Ini tentang siapa paling layak dan PDIP punya aturan baku yang tak mungkin dapat diintervensi siapapun.
Yang penting, syarat dan ketentuan berlaku yang pernah Jokowi lalui, adakah itu telah dan akan sanggup dilalui Ganjar?
Pun pada Ganjar, bukankah hingga hari ini Ganjar tak pernah bilang bahwa dirinya siap dicalonkan?
Di sisi lain, pilpres 2024 masih sangat jauh, masih 3 tahun lagi. Belajar dari pengalaman Jokowi, pencalonan beliau pun baru diumumkan pada 14 Maret 2014.
Artinya, pengumuman tersebut baru dilakukan oleh PDIP pada tahun pemilihan.
.
.
Surat perintah harian itu dibacakan oleh Ketua Bappilu PDI Perjuangan, Puan Maharani, di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Jumat (14/03) siang.
"Mendukung bapak Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan," demikian Puan Maharani menyampaikannya di depan wartawan.
PDIP adalah partai besar. Partai perjuangan, di mana pada dirinya melekat makna dewasa atas banyaknya ujian yang pernah dilaluinya.
Mendorong dan memaksakan Ganjar sambil menghujat PDIP hari ini, sama artinya dengan menjerumuskan Gubernur Jawa Tengah ini pada posisi serba salah terhadap partai yang telah membesarkannya.
.
.
.
"Bisa apa si Abdee? Ini benar-benar sudah keterlaluan. Mau jadi apa negara ini bila semua relawannya dikasih jabatan?"
Bagi masyarakat biasa yang tak banyak tahu bagaimana demokrasi kita bekerja, komplain itu memang terdengar menyakitkan. Namun tidak bagi mereka yang biasa terjun pada dunia politik. Itu sesuatu yang sangat biasa bahkan keniscayaan.
Berapa banyak jabatan komisaris diberikan pada relawan Prabowo ketika yang bersangkutan akhirnya memilih menjadi Menhan?
Berapa banyak pengikut Erick Thohir duduk pada posisi itu karena yang bersangkutan berhasil duduk menjadi menteri BUMN?
Apa yang akan kita pikirkan bila pada tahun 2025 nanti produk mobil listrik hingga rantai pasoknya ternyata benar telah mapan di Morowali?
Mau tak mau ada rasa bangga. Entah itu hanya sedikit dan terselip jauh dalam benak kita, namun rasa itu pasti ada.
Bagaimana bila target produksi mobil listrik itu direncanakan dapat mendekati angka 20% total produksi dunia?
Waaah..,mentereng kita..!!
Apa yang akan kita pikirkan bila pada tahun 2025 nanti akan ada lebih dari 100.000 orang dapat bekerja di Morowali?
Jelas..,ini adalah berita menggembirakan bagi masyarakat. Ini berita yang akan membuat kita percaya diri bahwa cita-cita menjadi bangsa yang besar bukan sekedar gimmick.
Sejatinya, Novel cs itu cuma "omdo". Semua hal dia maknai sebagai peluru tapi ga pernah beneran bisa ditembakkan.
📷Anak Kolong
Entah itu beneran peluru atau cuma peluru-peluru an yang ga pernah bisa meledak atau justru dia ga punya pistolnya, semua tersamar dalam riuh mulut penuh obral ancaman.
Setelah dia dan kelompoknya tidak lolos TWK, bukan cuma sekali dia mencoba melawan. Dia sibuk mengumpulkan dalil tapi tak bergerak memggunakan dalil itu.
Loyalitasnya pada Presiden membuka jalan terang pada karir militernya. Mayjen Dudung Abdurachman secara resmi mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jendral dan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat tersemat pada jabatannya.
Apa yang dulu dianggap orang banyak sebagai tindakan melebihi tupoksinya, ternyata dibaca berbeda oleh Presiden. Perintah Presiden yang tak tampak benderang, dibaca sesuai ingin sang panglima tertinggi.
Jendral Dudung sukses menerjemahkan apa keinginan Presiden dan dengan berani mengambil resiko besar.
Efpei tak berkutik di hadapan tentara dimulai dari perintahnya. Baliho liar kegilaan efpei yang tak tersentuh oleh aparat gamang, dirobohkan dalam singkat.
Umpan telah dimakan dan kita larut dalam tegang drama tarik menarik tersebut.
Judul berita terbaca sangat tendensius telah muncul dan emosi kita diborong tuntas : "PDIP Persilahkan Ganjar Angkat Kaki Bila Dipinang Partai Lain di Pilpres 2024".
Hanya butuh waktu 4 hari hingga spekulasi seperti pada judul berita tersebut muncul. Butuh 4 hari menggoreng isu itu hingga emosi tercabik dan masyarakat larut di sana.
Benarkah judul itu sama dengan isinya? Kita tidak tahu. Pertanyaan wartawan adalah bila Ganjar dipinang oleh partai lain dan Bambang Pacul dengan diplomatis menjawab siapa pun berhak.
Entah bagaimana caranya, konflik Palestina dengan Israel sedikit banyak telah membuat stigma itu teralihkan.
Isu Jokowi sebagai pihak anti Islam, PKI, dan antek China tiba-tiba meredup. Ini terkait semua pihak sedang sepakat dan bersama berdiri di belakang Palestina.
Apakah dengan ini masa depan anti China di Indonesia akan membaik?
Sepertinya tidak. Isu TKA China akan tetap langgeng dan abadi selama persaingan AS dan China masih tetap terjadi.
Butuh pemahaman dan usaha yang kuat demi memahami sejarah konflik barat dan timur atau pada masa kini persaingan antara AS dan China.