Entah bagaimana caranya, konflik Palestina dengan Israel sedikit banyak telah membuat stigma itu teralihkan.
Isu Jokowi sebagai pihak anti Islam, PKI, dan antek China tiba-tiba meredup. Ini terkait semua pihak sedang sepakat dan bersama berdiri di belakang Palestina.
Apakah dengan ini masa depan anti China di Indonesia akan membaik?
Sepertinya tidak. Isu TKA China akan tetap langgeng dan abadi selama persaingan AS dan China masih tetap terjadi.
Butuh pemahaman dan usaha yang kuat demi memahami sejarah konflik barat dan timur atau pada masa kini persaingan antara AS dan China.
Butuh kejujuran untuk memahami konflik kita di dalam negeri yang selalu dikait-kaitkan atas persaingan kedua negara tersebut.
Apakah bisa?
Membedakan candi Borobudur dengan situs nabi Sulaiman saja ga bisa, apalagi sejarah rumit dengan segala distorsinya.
Yang mereka paham, tak ada isu tak ada saweran dapat dinikmati.
.
.
.
Prett lah
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Umpan telah dimakan dan kita larut dalam tegang drama tarik menarik tersebut.
Judul berita terbaca sangat tendensius telah muncul dan emosi kita diborong tuntas : "PDIP Persilahkan Ganjar Angkat Kaki Bila Dipinang Partai Lain di Pilpres 2024".
Hanya butuh waktu 4 hari hingga spekulasi seperti pada judul berita tersebut muncul. Butuh 4 hari menggoreng isu itu hingga emosi tercabik dan masyarakat larut di sana.
Benarkah judul itu sama dengan isinya? Kita tidak tahu. Pertanyaan wartawan adalah bila Ganjar dipinang oleh partai lain dan Bambang Pacul dengan diplomatis menjawab siapa pun berhak.
Apa yang akan langsung terpikir bila kita mendengar Papua?
Cendrawasih, suku-suku eksotis di pedalaman, hutan-hutannya yang masih perawan, Raja Ampat, emas bahkan keinginan pisah dari NKRI?
Saya lebih senang berbicara tentang mereka sebagai saudara. Saudaraku yang tertinggal dalam banyak sisi hingga jarak tak terpikirkan. Terlalu jauh, bahkan bila bumi dan langit kita jadikan rujukan.
"Lebay?"
Pernah mendengar Korupun? Dijamin 99,99% anda yang sering mampir ke lapak saya tak pernah, apalagi mengenalnya.
Namun kalau saya tanya Bandara Nop Goliat Dekai, tentu akan ada sebagian dari anda akan ingat salah satu pernyataan Presiden Jokowi tentang BBM satu harga.
Kekhususan makna tongkat estafet atas pemerintahan Jokowi dalam cara pandang PDIP tentu berbeda dengan banyak partai peserta pemilu 2024 nanti.
Nawacita dan Revolusi mental mendapat titik tumpu dan bagaimana Indonesia pada 2024-2029 nanti harus tersambung erat dengan apa yang sudah Jokowi lakukan selama 10 tahun.
Ada sesuatu yang agak janggal pada peristiwa Semarang kemarin. Seorang Ganjar yang notabene adalah Gubernur Jawa Tengah sekaligus kader PDIP justru tak tampak hadir. Kabar kita terima, dia memang tak diundang.
Kita terhenyak dalam kaget ketika seorang Hidayat Nur Waahid yang nota bene adalah wakil ketua MPR dan bahkan pernah menjadi ketua MPR RI berujar "zionis Nusantara".
Zionis Nusantara sengaja dia lekatkan sebagai predikat bagi sebagian atau sekelompok masyarakat kita yang dalam konflik Hamas dan Israel baru-baru ini dia anggap berpihak pada Israel.
Padahal, sebagai wakil ketua MPR RI, seharusnya dia tak perlu larut dalam saling menyudutkan salah satu pihak apalagi menggeneralisir sebuah predikat.
Mencoba menalar apa yang ada di kepala seorang Hidayat atas frase yang dia pakai, ada beberapa hal perlu kita cermati.
Paradoks kita dalam bernegara tampak saat sebagian warga Poso minta pada pemerintah untuk dipersenjatai. Dalam frustasi karena hak mereka untuk mendapat perlindungan negara tak terpenuhi, mereka minta dilatih
agar dapat turut membasmi terorisme yang terjadi di halaman rumahnya. Atau paling tidak hanya untuk sekedar bela diri ketika negara tak mampu membelanya.
.
.
Seharusnya mereka adalah subyek hukum. Tak pantas negara abai. Apa yang terjadi bukan copet atau maling yang akan masuk dalam rumah mereka tapi gerombolan bersenjata di mana parang atau golok yang warga miliki bukan lawan seimbang.
ADA SESUATU YANG BERBEDA.... Tak asing telinga ini mendengar lantunan dalam gempita lebih dari 1000 orang bernyanyi bersama. Semua orang berdiri dalam khidmat & getar nada menyelusup jauh hingga lorong - lorong sempit di pasar tersebut
yang mengingatkan kita pada suatu saat dulu lagu itu demikian berarti bagi setiap insan Indonesia.
.
.
Lama sudah rasa seperti ini hilang tertelan jaman. Dia seperti tak lagi memiliki makna hingga tersimpan dalam jauh sudut memori tak terjangkau. Lenyap dan terlupakan.
Ada rasa gembira, sekaligus haru. Dalam makna, dalam setiap baris kalimat, di sana tersimpan sejarah panjang bangsa besar ini pernah berjuang. TANAH TUMPAH DARAHKU, TANAH AIRKU, DISANA AKU BERDIRI.
Dulu, bernyanyi seperti itu sering kita lakukan saat masih sekolah.