Percaya atau tidak, ternyata anak-anak berlatar belakang IPA justru adalah mereka yang mudah disusupi paham radikal. Paling tidak ini adalah apa yang pernah menjadi temuan BNPT pada tahun 2018 silam.
Hal tersebut mereka temukan pada banyak universitas negeri maupun swasta. Mereka tersebar pada fakultas eksakta dan kedokteran.
"Anak eksakta, karena dia cara berpikirnya logic dan pragmatis, sehingga dia hanya melihat black and white. Ini akan terjadi pemahaman itu. Kalau memahami agama adalah black and white, ya kayak gitu.
Jadi yang diandalkan adalah logikanya," demikian Menristekdikti Mohamad Nasir memberi tanggapan atas fenomena tersebut.
.
.
Benarkah?
Jawaban itu sangat tak memuaskan. Asumsi yang dipakai sebagai pendekatan bagi penilaian itu tak tampak.
Itu seperti melompat bebas tanpa batasan spesifik.
.
.
Kenapa bukan pada materi pendidikan kita selama ini tak dia toleh?
Pada rezim Orde Baru, Pancasila sebagai salah satu mata pelajaran mendapat posisi sangat penting. Sedemikian pentingnya, pelajaran itu diajarkan sejak TK hingga kuliah.
Bahkan bukti telah lulus penataran P4 (istilah saat itu) dengan macam-macam grade-nya sangat dibutuhkan sebagai syarat bagi siapa pun ingin masuk menjadi pegawai.
Melukiskan bagaimana Pancasila demikian penting bagi Orde Baru, itu seperti heboh kita beragama saat ini. Pemujaan berlebihan kita pada cara beragama masyarakat kita saat ini dapat disandingkan dalam ukuran sejajar dengan pemujaan pada rezim saat itu
dan Pancasila tidak lebih hanya sebagai alat. Pancasila ditafsirkan sesuka mereka.
.
.
Para penatar berijazah saat itu sangat mirip dengan para pengajar agama saat ini. Para penatar melalui Pancasila mengajak kita tunduk pada pemerintah bukan hormat pada negara.
Bukankah hal mirip juga terjadi pada para pengajar agama kekinian di mana mereka meminta kita MEMUJA AGAMA TAPI DI SISI LAIN JUSTRU TIDAK MENGAJARKAN BAGAIMANA MENGABDI PADA tuhan?
FAKTANYA, BUKANKAH INDONESIA ADALAH NEGARA YANG BERKETUHANAN?
Entah bagaimana caranya, kebencian kita pada rezim saat itu telah menjadikan benci kita pada Pancasila. Saat Orde Baru tumbang pada 1998, Pancasila turut kita buang bersamaan dengan kita menurunkan Soeharto. Sejak saat itu, tak ada lagi rasa bangga kita pada Pancasila.
Dan maka, ketika hal itu berlangsung lebih dari 15 tahun, paham radikal pun dengan mudah mengisi celah kosong yang lama telah Pancasila tinggalkan. Seperti bangunan yang terlepas dari pondasinya, kita rentan terhadap guncangan.
"Bukankah sejak 1 Juni 2016 Pancasila telah kembali pulang? Sudah 5 tahun kan? Mana hasilnya?"
Panjang jalan penuh kelok itu telah membuat kita tersesat. Pungutlah kembali remah-remah yang tercecer pada sepanjang jalan itu bila ternyata mampu menuntun kita pada arah yang benar.
Tak ada hal sia-sia demi kebaikan meski pahit dan melelahkan.
Sejak 1 Juni 2016 Pancasila kembali kita jadikan pondasi bagi cara kita berbangsa dan bernegara. Kita sematkan kembali apa yang lama telah kita lepas.
Hanya dengan Pancasila negara ini akan kembali kokoh. Hanya dengan Bhinneka Tunggal Ika bangsa ini akan menjadi rumah ideal bagi cita-cita 270 juta rakyatnya.
Dengan Pancasila terpatri sempurna di dada kita, paham radikal apa pun tak mungkin akan membuat negara ini goyah.
.
.
.
Pasar capres 2024 tiba-tiba bergeliat. Lebih ramai dia dibahas dibanding rasa khawatir kita pada pandemi global dan redup ekonomi dunia.
Peristiwa Semarang memberi ide pada pendukung Ganjar untuk menaikan promosi berbasis dzolim PDIP pada kandidat capres tersurvey tinggi.
Tak ada kader PDIP memiliki keterpilihan survey setinggi Ganjar namun karena Puan yang diinisiasi mengganjalnya adalah anak sang Ketum, telah memberi jalan pada narasi tersebut.
.
.
BADAI PASTI BERLALU
.
.
.
.
Hari Lahir Pancasila
.
.
.
Seperti memberi permen agar anak tak lagi ingat apa yang telah membuatnya marah atau menangis karena satu dan lain hal dilakukan oleh Soeharto sejak awal dia memerintah negeri ini.
Penguasa Orde Baru memberi sebuah hadiah berupa peringatan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila sebagai ganti hari lahir Pancasila pada 1 juni.
Hal tersebut terjadi pada tahun 1970 di mana pemerintah Orde Baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
PECAT GURU MN
.
.
.
Apa pendapat anda terhadap narasi yang berbunyi seperti berikut :
"Sertifikat izin masuk dari pemerintah Palestina tahun 1935 untuk Siimon Perez sebagai cleaning service. Puluhan tahun kemudian ia menjadi PM Israhell dan mendzolimi serta membantai bangsa
Palestina..!! mirip dg cina masuk ke Indonesia unskill Labor bertahun² tinggal di Indonesia tahu² jadi presiden,”
.
.
"Bisa apa si Abdee? Ini benar-benar sudah keterlaluan. Mau jadi apa negara ini bila semua relawannya dikasih jabatan?"
Bagi masyarakat biasa yang tak banyak tahu bagaimana demokrasi kita bekerja, komplain itu memang terdengar menyakitkan. Namun tidak bagi mereka yang biasa terjun pada dunia politik. Itu sesuatu yang sangat biasa bahkan keniscayaan.
Berapa banyak jabatan komisaris diberikan pada relawan Prabowo ketika yang bersangkutan akhirnya memilih menjadi Menhan?
Berapa banyak pengikut Erick Thohir duduk pada posisi itu karena yang bersangkutan berhasil duduk menjadi menteri BUMN?
Apa yang akan kita pikirkan bila pada tahun 2025 nanti produk mobil listrik hingga rantai pasoknya ternyata benar telah mapan di Morowali?
Mau tak mau ada rasa bangga. Entah itu hanya sedikit dan terselip jauh dalam benak kita, namun rasa itu pasti ada.
Bagaimana bila target produksi mobil listrik itu direncanakan dapat mendekati angka 20% total produksi dunia?
Waaah..,mentereng kita..!!
Apa yang akan kita pikirkan bila pada tahun 2025 nanti akan ada lebih dari 100.000 orang dapat bekerja di Morowali?
Jelas..,ini adalah berita menggembirakan bagi masyarakat. Ini berita yang akan membuat kita percaya diri bahwa cita-cita menjadi bangsa yang besar bukan sekedar gimmick.
Entah bagaimana caranya, peristiwa Semarang telah menciptakan kutub antara Ganjar dan Puan. Lebih jauh, Ganjar dan PDIP sedang pula mereka coba benturkan. Narasi "PDIP buang Ganjar, PDIP akan berhadapan dengan rakyat" kini mudah kita temui.
Itu berawal dari Puan tak mengundang Ganjar pada pertemuan di Semarang. Bambang Pacul sebagai kader senior justru berkomentar terbalik dari rasa ingin membuat teduh suasana.
Namun, adakah Ganjar sudah berikrar ingin menjadi Presiden? Ataukah Puan sudah ditetapkan sebagai calon dari PDIP? Kita sibuk bertendensi. Kita berebut sesuatu yang tak pernah ada. GELOMBANG ITU HANYA MENCIPTAKAN BUIH TANPA MAKNA.