DIA BUKAN ALIEN
.
.
.
Runut berceritanya, cara membangun nalarnya, tak tampak terlalu rumit untuk kita pahami bahkan ketika kita awam iptek. Apa yang ingin disampaikannya adalah sebuah keniscayaan tertuju. Kita semua sedang melangkah ke arah sana.
Kemarin adalah sejarah. Hari ini adalah apa yang sedang kita alami. Esok, lusa atau 10 tahun kedepan adlh masa depan di mana tak ada satu kekuatan pun mampu menghalangi dia hadir. Itu pasti terjadi. Siap tidak siap, alam tak memberi pilihan. Hanya satu arah jalan tersedia, MAJU.
Dunia manusia bergerak dengan ujung tombaknya adalah iptek. Semua dibuat dan disusun demi manusia semakin mendapatkan kemudahan hidup. Paling tidak, itulah kredo untuk apa iptek terus dibuat berkembang.
Apa yang terjadi pada 10 tahun yang lalu, hari ini tampak usang dan lapuk. Teknologi atas capaian kecerdasan kolektif manusia telah mampu membuat lompatan sangat besar dan banyak dari kita tak mampu ikut dalam lompatan tersebut.
Teknologi terus melompat dan tak bertanya apakah kita siap. Dia hanya terus bergerak karena itulah realitas yang dia punya. Selalu dan selalu mencari cara baru meski yang lama belum terlalu tua untuk kita tinggalkan.
Tak ada kesempatan bagi kemelekatan pada capaian kita di masa lalu. Bahkan, ketika kita tertidur, keesokan harinya telah ada hal baru lahir.
.
.
Itulah dunia kita. Itulah arus besar yang tak punya empati pada mereka yang malas dan tak mau berubah.
Siapa pun tak siap, hanya akan menjadi debu dan tak ada catatan bagi debu semacam itu.
.
.
"Bagaimana caranya agar kita tak menjadi seperti debu terlupakan itu?"
Menjadi bagian darinya. Lebih bagus lagi, menjadi motor penggeraknya. Turut serta dalam karya dan cipta. Di sana bukan kita terbawa arus, kitalah arus tersebut.
Dalam video pembukanya Budiman memberi tips mudah, menarilah dalam riang atas iringan yang ada.
Mereka yang larut dalam iringan dan kemudian menjawab dengan menari, adalah mereka yang dapat merasakan apa itu makna bahagia, HARMONIS. Satu keselarasan dalam nada dan gerak.
.
.
"If I can't dance to it, it's not my revolution" Emma Goldman
Bila saya tak turut menari, itu bukan revolusiku. Hanya dengan gembira dan kemudian larut menjadi bagian darinya, itu menjadikan revolusi tersebut milik kita. Itu passion...
Revolusi 4.0 dimana science, filsafat dan pemikiran-pemikiran sosial menjadi bagian dari dirinya, adalah keniscayaan yang seharusnya kita hadapi dengan senang. Siapa tak turut gembira dan menari, tinggalkan saja.
Kita tak wajib menunggu mereka yang malas apalagi yang senang berjalan mundur ke jaman jahiliah.
.
.
Tonton saja video itu, gamblang wacana berikut implementasi logis tertata dalam diskusi ramah.
Budiman tak tampil seperti pemimpi apalagi utopis. Jauh julukan Alien pantas kita sematkan padanya. Dia ternyata membumi dengan caranya sendiri.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
RENSTAR ALUTSISTA1.760 TRILIUN
.
.
H o a x...?
.
.
.
*Utas Panjang
.
.
"Bisa dapat apa aja sih duit 1.760 triliun itu bila kita belikan alutsista?"
Masih ingatkah sejarah ketika negara kita tiba-tiba menjadi kekuatan terbesar di Asia Pasific pada tahun 1962?
Gara-gara Belanda tidak commit atas hasil Konferensi Meja Bundar 1949, Presiden Soekarno marah.
.
.
Atas dukungan Uni Soviet, alutsista kita langsung membengkak dalam ukuran fantastis.
Alat perang terbaru dengan daya gentar sangat menakutkan tersebut secara langsung dan seketika membuat Belanda tak lagi berminat melanjutkan konfrontasi dengan kita. BELANDA MUNDUR.
.
.
KENAPA KITA MUDAH SEKALI PERCAYA HOAX, tersangka utama adalah literasi kita. Di sisi lain, kita senang dengan apa yang ingin kita percaya bukan berusaha mencari kebenaran.
Dengan tak senang membaca, kita miskin data sebagai referensi. Kita tak tau dimana kita berdiri. Dengan tak memahami logika, etika dan estetika, kita akan buntu. Dan dengan tak memiliki imaginasi, kita terlebih hanya sebuah program.
Percaya BOLEH - ga percaya juga BOLEH, menurut World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 dan di bawah kita ada Botswana. Tau ga ada negara bernama Botswana?
Pasar capres 2024 tiba-tiba bergeliat. Lebih ramai dia dibahas dibanding rasa khawatir kita pada pandemi global dan redup ekonomi dunia.
Peristiwa Semarang memberi ide pada pendukung Ganjar untuk menaikan promosi berbasis dzolim PDIP pada kandidat capres tersurvey tinggi.
Tak ada kader PDIP memiliki keterpilihan survey setinggi Ganjar namun karena Puan yang diinisiasi mengganjalnya adalah anak sang Ketum, telah memberi jalan pada narasi tersebut.
.
.
Percaya atau tidak, ternyata anak-anak berlatar belakang IPA justru adalah mereka yang mudah disusupi paham radikal. Paling tidak ini adalah apa yang pernah menjadi temuan BNPT pada tahun 2018 silam.
Hal tersebut mereka temukan pada banyak universitas negeri maupun swasta. Mereka tersebar pada fakultas eksakta dan kedokteran.
"Anak eksakta, karena dia cara berpikirnya logic dan pragmatis, sehingga dia hanya melihat black and white. Ini akan terjadi pemahaman itu. Kalau memahami agama adalah black and white, ya kayak gitu.
BADAI PASTI BERLALU
.
.
.
.
Hari Lahir Pancasila
.
.
.
Seperti memberi permen agar anak tak lagi ingat apa yang telah membuatnya marah atau menangis karena satu dan lain hal dilakukan oleh Soeharto sejak awal dia memerintah negeri ini.
Penguasa Orde Baru memberi sebuah hadiah berupa peringatan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila sebagai ganti hari lahir Pancasila pada 1 juni.
Hal tersebut terjadi pada tahun 1970 di mana pemerintah Orde Baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
PECAT GURU MN
.
.
.
Apa pendapat anda terhadap narasi yang berbunyi seperti berikut :
"Sertifikat izin masuk dari pemerintah Palestina tahun 1935 untuk Siimon Perez sebagai cleaning service. Puluhan tahun kemudian ia menjadi PM Israhell dan mendzolimi serta membantai bangsa
Palestina..!! mirip dg cina masuk ke Indonesia unskill Labor bertahun² tinggal di Indonesia tahu² jadi presiden,”
.
.