Cerita ini adalah kisah nyata kiriman dari salah satu orang yang mengirimkan via FB. Saya menyamarkan namanya atas permintaan pemilik cerita. Sebab, dia adalah sahabat anak almarhumah, sekaligus anak dari warga yang ikut memasukkan jenazah almarhumah ke liang lahat.
Nama tokoh di cerita ini juga ikut disamarkan. Hal ini bertujuan untuk menghormati keluarga Almarhumah dan juga anaknya yang saat ini masih.
Cerita ini diceritakan dengan sudut pandang sang penulis. Saya hanya mengedit naskah tanpa merubah sama sekali isi cerita. Hanya menempatkan plot twist sesuai pada porsinya. Tujuannya agar pembaca ikut terlibat di dalam alur cerita ini.
Cerita ini berlatar di salah satu daerah yang ada di Jawa Tengah. Peristiwa ini terjadi di rentang tahun 2000-an.
Namaku Arif. Aku tinggal di salah satu desa di kaki gunung yang ada di Jawa Tengah. Desa tempat tinggalku terbilang sangat asri, tentram dan nyaman. Damai, bukanlah kata yang mampu merepresentasikan seperti apa desaku waktu itu.
Sore hari itu Diki menghampiriku ke rumah. Ia mengajak aku untuk ikut bermain bola di lapangan bersama teman-teman lainnya.
Sebetulnya saat itu aku sedang lelah. Terlebih, aku baru pulang mengikuti ekskul Pramuka di SMP-ku. Tapi apa daya, karena Diki adalah sahabatku, aku mengiyakan ajakannya. Khawatir ia ngambek.
Tiba di lapangan, kami langsung bermain bola tanpa alas kaki, alias nyeker. Tiang gawang pun kami buat ala kadarnya dengan potongan batang pohon. Seperti biasa, tak ada peraturan layaknya sepakbola profesional pada umumnya. Yang ada hanya aturan out ball saja.
Saat sedang asyik bermain, ada sebuah teriakan memanggil nama temanku.
"Diki... Diki... Makmu arep nglahirke (ibumu mau melahirkan)," kata Lik Pardi, paman Diki.
Diki yang mendengar kabar itu kemudian berpamitan untuk pulang. Aku ikut pulang untuk menemani Diki. Sementara yang lainnya melanjutkan bermain bolanya.
Diki nampak sedikit panik. Ia mempercepat laju kakinya menyegerakan diri agar bisa sampai rumah.
Tiba di rumah, terlihat sudah banyak ibu-ibu tetangga yang sudah berkumpul di rumah Diki, termasuk ibuku.
Terdengar suara teriakkan Mbak Marti- begitu aku memanggil ibunya Diki, yang tengah mengejan dari dalam sentong (kamar).
Tak lama berselang, suara tangisan bayi terdengar dari luar rumah.
"Alhamdulillah, lanang meneh (laki-laki lagi)," kata Mbah Painem, seorang dukun beranak di desaku.
"Alhamdulillah," ibu-ibu tetangga ikut mengucap syukur.
Diki yang sedari tadi di luar bersamaku, kemudian masuk ke dalam setelah ibuku memanggilnya. Maksudnya, Diki diminta untuk mengadzani adik yang baru dilahirkan ibunya. Kebetulan, bapaknya Diki masih menarik ojek, dan tengah disusul oleh Lik Pardi.
Mbah Painem tiba-tiba meminta tolong agar Mbak Marti segera dibawa rumah sakit. Rupanya Mbak Marti mengalami pendarahan. Ibuku bergegas keluar dari rumah Diki kemudian memintaku untuk menemui bapak agar segera membawa mobil untuk mengantarkan Mbak Marti.
Aku pun lari secepat kilat menuju rumah. Aku langsung memberi tahu bapak agar bapak langsung menemui ibu di rumah Diki sambil membawa mobil.
"Gawat pak, Mbak Marti pendarahan. Ibu minta bapak bawa mobil sekarang buat anterin Mbak Marti ke rumah sakit," kataku.
Bapak kaget bukan kepalang. Ia lantas masuk ke kamar mengganti baju dan mengeluarkan mobil dari garasi. Sementara aku, kembali ke rumah Diki dengan cara berlari. Karena pastinya aku akan lebih cepat sampai ketimbang bapak.
Tak lama, mobil tiba di depan rumah Mbak Marti. Bapak kemudian masuk ke dalam rumah menemui ibu. Sejurus kemudian, tanpa banyak bicara, bapak masuk ke kamar Mbak Warti dan langsung membopongnya menuju mobil.
Darahnya terus mengucur meski sudah dibalut beberapa kain jarik. Diki mengikuti dari belakang, disusul ibuku yang ikut membawa bayi Mbak Marti untuk ikut juga mendapat perawatan di rumah sakit.
Sementara aku diminta oleh ibuku menjaga adikku yang masih kelas 2 SD di rumah. Bapak langsung tancap gas menuju rumah sakit. Karena muka Mbak Marti sudah memucat. Khawatir terjadi apa-apa jika tidak segera sampai rumah sakit.
Tak berselang lama, bapaknya Diki pulang ke rumah. Raut mukanya terlihat cukup khawatir. Ia kemudian menanyakan kondisi istrinya ke ibu-ibu yang masih berkumpul. Dijawablah oleh ibu-ibu itu, jika istrinya mengalami pendarahan dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluargaku.
"Duit seko endi ya Allah, (uang dari mana Ya Allah)" tiba-tiba Mas Trimo, suami Mbak Marti mengatakan itu dan menyalakan motornya lagi untuk menyusul ke rumah sakit.
Aku yang mendengar keluhan itu langsung pulang ke rumah. Tiba di rumah aku menelpon bapak. Aku meminta tolong agar bapak membiayai biaya rumah sakit Mbak Warti dengan menjelaskan beberapa alasan. Bapak pun menyetujuinya.
Persetujuan bapak yang tak menimbang-nimbang lagi tentu sangat beralasan. Apalagi Mbak Marti sebelumnya pernah dekat sekali dengan keluargaku. Ia sempat bekerja sebagai ART di keluargaku dan pernah mengurusku saat aku masih kecil.
Inilah yang membuat hubunganku dengan Diki semakin dekat, teman tapi seperti keluarga kandung sendiri.
Setelah mendapatkan transfusi darah, kondisi Mbak Marti lambat laun semakin membaik. Ia pun sudah bisa menyusui bayinya di rumah sakit.
Setidaknya delapan hari ia menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum diperbolehkan untuk pulang.
Hari demi hari, berjalan seperti biasa hingga hari syukuran pemberian nama adiknya Diki tiba.
Layaknya kehidupan di desa, ibu-ibu tetangga ikut membantu memasak untuk acara syukuran. Meski syukuran itu dilakukan secara kecil-kecilan.
Beberapa jam sebelum acara syukuran dimulai, Mbak Marti izin untuk ke sungai yang tak jauh dari rumahnya. Niatnya hanya untuk buang air besar (BAB).
Dan meminta Diki untuk menjaga adiknya. Oh, iya, memang waktu itu, di desaku, masih banyak keluarga yang belum memiliki jamban sendiri. Untuk keperluan mandi atau BAB, masih banyak yang menggunakan aliran sungai.
Lama tak kunjung pulang, Diki kemudian menyusul Mbak Marti ke sungai. Ternyata musibah menghampiri Mbak Marti. Ternyata ia pingsan di sungai setelah terpeleset dan kepalanya membentur bebatuan.
Diki pun kembali ke rumah dengan tangisan untuk meminta pertolongan. Mas Trimo kemudian berlari menuju ke sungai. Digendonglah tubuh Mbak Marti menuju ke rumah dalam keadaan masih pingsan.
Di kamarnya, kening Mbak Marti dilumuri balsem, berkali-kali juga hidungnya diolesi minyak kayu putih. Namun, Mbak Marti tak kunjung siuman. Hingga akhirnya acara syukuran pemberian nama dimulai tanpa adanya Mbak Marti. Mbak Marti baru siuman setelah acara syukuran berakhir.
"Ya Allah... Mripatku kenopo iki, sikilku kenopo iki. (Mataku kenapa ini, kakiku kenapa ini," teriak Mbak Marti sambil menangis dan membuat para tamu syukuran terkaget.
Diki dan Mas Trimo langsung masuk ke kamar. Aku yang hadir bersama bapak ikut menghampiri ke kamar. Bukan tidak sopan, tapi memang, keluarga Diki sudah seperti keluargaku sendiri.
Ternyata, mata Mbak Marti tidak bisa melihat, sementara kakinya tak bisa digerakkan. Kemungkinan akibat dari musibah yang menimpanya di sungai siang tadi.
Sore itu juga, Mbak Marti langsung dilarikan kembali ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, ia kemudian menjalani pemeriksaan dan menjalani rawat inap selama tiga hari.
Di hari ketiga rawat inap Mbak Marti, Mas Trimo dipanggil dokter. Ia didampingi bapak menuju ruangan dokter yang menangani Mbak Marti.
Pernyataan dokter cukup mengejutkan bagi Mas Trimo. Mbak Marti divonis lumpuh dan matanya mengalami cedera yang menyebabkan buta sementara.
Dokter bilang, matanya bisa kembali pulih asalkan menjalani perawatan dan terapi yang baik serta rutin. Namun untuk kakinya, dokter cukup pesimis. Meski semisal dioperasi, tidak menjamin Mbak Marti bisa berjalan normal kembali.
Bapak memutuskan untuk membantu. Ia berniat menjual tanahnya untuk pembiayaan berobat Mbak Marti. Tapi Mas Trimo menolak. Alasannya, keluargaku sudah banyak menolong mereka. Mas Trimo mau membawa Mbak Marti pulang dan berobat ke alternatif saja.
Apa boleh buat, bapak tidak bisa memaksakan untuk membantu pengobatan Mbak Marti. Akhirnya di hari keempat, Mbak Marti dibawa pulang ke rumah.
Selama di rumah, Mbak Marti hanya menjalani perawatan ala kadarnya. Beberapa kali Mbak Marti dibawa ke pengobatan alternatif, namun tetap saja kondisinya masih seperti itu. Hanya saja, matanya sudah memburam dari kondisi yang hanya bisa melihat gelap saja.
Kondisi Mbak Marti tak kunjung membaik tahun demi tahun. Ia hanya bisa menjalani aktifitasnya di ranjangnya. Mendidik dan membesarkan Riki, anak keduanya, ia pasrahkan kepada Diki dan Mas Trimo.
Hingga suatu saat Mas Trimo nampak mengisyaratkan lelah untuk merawat Mbak Marti. Terkadang ia tak pulang ke rumah. Tak juga menarik ojek untuk menafkahi keluarganya. Jika di rumah, Mas Trimo juga sering marah-marah. Dan juga sering kali mabuk-mabukan.
Warga sendiri kerap kali mendengar teriakan Mas Trimo dari dalam rumah yang sering mengumpat dan memarahi Mbak Marti. Menyalahkan Mbak Marti atas kondisi hidup yang saat ini mereka jalani.
Diki pun menjadi berubah. Ia menjadi pribadi yang pendiam. Dan jarang pergi bermain bersama teman-teman. Hari-harinya ia sibukkan dengan kegiatan di sekolah dan bekerja setelah pulang sekolah.
Maklum, setelah perubahan sikap Mas Trimo, ia kini harus menjadi tulang punggung keluarga.
Ia mencari uang dengan bekerja apa saja. Buruh serabutan, kuli panggul di pasar, dan pekerjaan kasar lainnya, ia lakoni untuk memberi nafkah keluarganya.
Sementara Mas Trimo malah bersantai-santai di rumah, tanpa merawat Riki dan juga Mbak Marti.
Kebetulan, Diki adalah anak yang cerdas. Sejak SD, untuk biaya sekolah ia selaku mendapatkan beasiswa.
Jadi hal itu memudahkan Diki untuk lebih fokus mencari uang untuk keperluan sehari-hari di rumah.
Ibuku diam-diam sering memberikan uang kepada Mbak Marti tanpa sepengetahuan Diki jika membesuk Mbak Marti. Sebab, jika diberikan kepada Diki, ia pasti akan menolak.
Suatu hari di malam hari, Diki datang ke rumahku. Ia datang untuk menceritakan kondisi keluarganya yang kias memprihatinkan.
"Rif, aku capek ngadepin bapak. Kadang terbesit aku pengen bunuh bapak," ia membuka obrolan.
"Jangan gitu Dik, gitu-gitu juga itu bapak kamu. Kamu harus sabar. Pikirin Emak dan Adik kamu. Kalau ada apa-apa sama kamu, siapa yang mau mengurus mereka," kataku.
"Tapi semakin hari, bapakku semakin keterlaluan. Emak yang sudah enggak bisa apa-apa saja, masih saja sering dipukuli," katanya kesal.
Aku kaget mendengar pernyataan Diki. Bisa-bisanya Mas Trimo melakukan itu. Padahal, dulu Mas Trimo dikenal warga sebagai orang yang santun dan ramah.
"Sekarang malah bapak sudah enggak pulang selama lima hari. Rumah sedikit tenang. Aku harap bapak enggak pulang lagi ke rumah," katanya dengan dana kebencian.
Sejak saat itu, Mas Trimo tak pernah pulang lagi. Kabar burung berseliweran jika Mas Trimo menikah lagi dengan seorang janda di kabupaten sebelah.
Kondisi Mbak Marti kian parah. Sekian tahun ia hanya bisa berbaring, maka punggungnya terus mengalami luka. Bulan berganti bulan, luka itu menjadi semakin parah. Ibuku bilang, jika lukanya kini sering mengeluarkan nanah dan ada belatungnya.
Mbak Marti semakin hari seperti mayat hidup. Untuk berbicara saja sudah tidak bisa. Ia hanya bisa menggelengkan kepala dan mengangguk jika ditawari sesuatu.
Kondisi Mbak Marti tersebar di seluruh warga desa. Ibuku yang kala itu cukup disegani di desa, kemudian berinisiatif menggalang dana untuk keperluan pengobatan Mbak Marti. Hal ini dilakukan, agar Diki mau menerima uang hasil dari penggalangan dana.
Saat dana terkumpul, ibuku meminta Diki agar membawa Mbak Marti berobat ke rumah sakit. Namun, Mbak Marti menolak. Saat Diki meminta agar mau dibawa ke rumah sakit, Mbak Marti malah menggelengkan kepalanya. Ia seperti pasrah begitu saja.
Tiga hari sebelum Mbak Marti meninggal Diki kembali datang ke rumah. Kali ini ia meminta ibuku untuk menjenguk Mbak Marti. Aku yang sedang berada di rumah, ikut mendampingi ibu ke rumah Mbak Marti.
Aneh bin ajaib, setelah beberapa lama mulutnya membisu, Mbak Marti mengucapkan kata-kata perpisahan kepada ibu dan juga aku. Ia pamit dan merasa ajalnya sudah dekat.
"Bu Tono, matur sembah nuwun. Kawula kathah lupute kaliyan panjenengan. Keluarga kawula nggih teras mawon ngrepotke ibu sekeluargo. (Bu Tono, terima kasih. Saya banyak kesalahan kepada ibu keluarga saya juga terus menerus merepotkan ibu sekeluarga)," kata Mbak Warti.
Ibuku hanya menangis sambil mengangguk-anggukan kepala. Suasana itu membuat kami lupa akan terciumnya bau busuk yang cukup menyengat di dalam kamar Mbak Marti.
"Kawula pamit nggih bu. Nyuwun agunging samudra pangaksami. Titip lare-lare nggih bu. (Saya pamit ya bu. Saya minta keluasan samudra maaf dari ibu. Titip anak-anak ya bu," kata dia.
Air mata ibuku membanjiri pipi. Aku pun langsung memeluk Diki yang sedari tadi memegang telapak kaki Mbak Marti. Diki pun menangis tersedu-sedu. Mbak Marti justru tersenyum dengan matanya menatap langit-langit rumah.
Tiba di hari duka itu, Mbak Warti berpulang. Ia menghadap Sang Pencipta menjelang subuh. Warga pun berbondong-bondong ke rumah Mbak Warti. Diki terlihat menggendong adiknya yang masih berumur 5 tahun sambil terus menangis.
Aku menenangkan Diki. Warga kemudian bergotong royong membangun tenda dan mempersiapkan sejumlah peralatan untuk memandikan jenazah. Ada juga yang berangkat ke tempat permakaman untuk menggali kubur.
Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Jenazah kala itu akan dimandikan. Karena bau busuk yang menyengat, tidak ada satu pun warga yang mau masuk ke dalam rumah Mbak Marti. Termasuk keluarga dari Mbak Marti sendiri.
"Ya Allah, segitunya," kataku dalam hati.
Ibuku dan istri Pak Ustaz yang melihat itu, kemudian langsung mengawali langkah. Keduanya langsung masuk ke dalam kamar Mbak Marti. Ibuku kemudian memanggil Diki.
Karena takut tak kuat menggendong jenazah ke tempat pemandian, akhirnya Diki menghampirku dan meminta bapakku untuk untuk masuk ke dalam kamar atas permintaan ibuku.
Jenazah akhirnya terangkat dibawa ke tempat permandian. Hanya ibu, istri Pak Ustaz dan Diki yang memandikan jenazah. Yang lain justru menjauh. Ada juga warga yang terdengar seperti muntah karena bau busuk yang menyengat itu.
"Yang sopan. Tolong hormati jenazah!!!," kata bapakku dengan nada yang cukup tegas.
Selesai dimandikan, jenazah kemudian dikafani. Kali ini, pengkafanan jenazah dibantu oleh Pak Ustaz.
Selesai dikafani, rencana jenazah akan disalatkan di musala yang jaraknya tak jauh dari rumah duka.
Namun ada satu warga yang meminta agar jenazah disalatkan di rumah saja.
"Lebih baik jenazah disalatkan di rumah saja Pak Ustaz. Khawatir nanti saat salat wajib, enggak ada jemaah yang mau ke musala," kata salah satu warga.
Mendengar jawaban itu, bapakku seketika naik darah. Terjadilah keributan kecil waktu itu.
Diki yang mendengarnya akhirnya menyetujui agar ibunya disalatkan di rumah saja.
"Sudah pak, biar ibu disalatkan di rumah saja. Takut nanti musala bau karena jenazah ibu," ucap Diki sedikit menyindir.
Salat jenazah pun diikuti hanya beberapa orang saja. Keluarga Mbak Warti pun bisa dihitung jari yang ikut menyalatkan jenazah. Hal itu membuat Diki semakin bersedih dan terus menerus menangis.
"Rif, dosa apa emak ya. Sampai segininya warga kepada emak. Padahal emak orangnya pendiam," kata Diki mengadu sambil terus menangis.
Aku hanya bisa menenangkan. Dan menyarankan agar Diki tak memikirkan hal itu. Sekira pukul 10 pagi, jenazah akhirnya diberangkatkan ke makam.
Lagi-lagi, warga tak juga ada yang berkeinginan untuk memikul keranda. Yang bersedia hanya Pak Ustaz dan bapakku. Aku dan Diki sebetulnya sangat ingin menjadi pemikul keranda. Tapi, jika dibandingkan bapak dan Pak Ustaz, postur tubuh kami berdua tak sebanding.
"Astaghfirullah... Kalian semua mau mendapatkan dosa? Tidak mau memperlakukan jenazah dengan baik??? Jenazah meninggal insyaallah husnul khotimah. Beliau sakit," ucap Pak Ustaz.
Tanpa berpikir panjang, bapakku mengambil mobil bak terbuka di rumah yang biasanya digunakan untuk mengangkut sayuran. Keranda akhirnya dibawa dengan mobil menuju ke pemakaman.
Sementara warga lain, mengikuti dari belakang. Ada yang menggunakan sepeda motor, ada juga yang berjalan kaki. Mereka seperti tersihir untuk bergerak mengantarkan jenazah setelah Pak Ustaz menegur mereka.
Tiba di pemakaman, keranda akhirnya diturunkan dari bak mobil. Digotonglah keranda mendekati liang lahat. Pak Ustaz dan bapak membuka penutup keranda. Saat terbuka, sejumlah pelayat yang ikut ke pemakaman, seketika memundurkan langkah sambil menutup hidup.
Diki turun ke liang lahat. Beruntung, Lik Pardi akhirnya datang, setelah ditugaskan untuk mencari Mas Trimo dengan pesan mengabarkan jika Mbak Warti sudah meninggal. Lik Pardi lalu akhirnya menyusul Diki ke liang lahat.
Dirasa akan kesulitan di bawah untuk menangkap jenazah, Pak Pras, sahabat bapak, kemudian ikut turun. Pak Ustaz dan bapak mengangkat jenazah dari keranda dan menurunkan ke liang lahat. Setelah terpegangi oleh tiga orang, digeletakkan jenazah menyatu dengan tanah.
Diki berkaca-kaca. Akhirnya Diki diminta Pak Ustaz naik ke atas. Khawatir air matanya menetes ke bumi dengan cara tak sengaja. Bapak menggantikan Diki. Pak Pras juga naik keatas digantikan Pak Ustaz.
Dibukalah tali kafan satu per satu oleh Pak Ustaz. Ditempatkanlah bola-bola tanah untuk mengganjal jenazah. Lalu, Pak Ustaz mengumandangkan Iqomat. Selesai disitu, jenazah ditutupi potongan-potongan bambu dengan posisi miring. Ditutuplah liang lahat dengan menggunakan tanah.
Setelah didoakan, seluruh warga pulang. Tersisa tinggal Diki seorang. Aku menunggu di luar pemakaman. Memberikan waktu kepada Diki untuk mendoakan ibunya. Setelah selesai kami akhirnya pulang.
Ba'da isya acara tahlilan dimulai. Sayang, yang datang hanya bisa dihitung dengan jari. Namun, tahlilan tetap dilaksanakan.
Pukul sembilan malam acara tahlilan selesai. Semuanya pulang ke rumah masing-masing. Namun mulai malam itu situasi desa menjadi mencekam.
Hal ini dikarenakan ada isu, bahwa ada salah satu warga melihat pocong di deretan pohon bambu di dekat makam tempat dimana Mbak Warti dikuburkan.
Isu itu cepat menyebar ke seluruh desa.
Warga desa menganggap jika pocong itu adalah Mbak Marti. Kami sekeluarga menganggap kemunculan pocong itu belum tentu juga benar adanya. Maka kami selalu menganggap kabar itu sebagai adanya upaya oknum warga untuk menakut-nakuti warga lainnya.
Selama seminggu setelah 7 hari tahlilan meninggalnya Mbak Marti. Kondisi desa justru semakin sepi. Warga desa takut untuk keluar rumah.
Hal ini diperparah dengan pengakuan sejumlah warga, jika setiap maghrib tiba, mereka selat melihat pocong itu menampakkan diri di deretan pohon bambu.
Akibat isu itu, orang tua di desaku waktu itu melarang anak-anaknya mengaji selepas maghrib.
Desa yang sebelumnya aman, tentram dan damai, tiba-tiba saja berubah menjadi mencekam. Isu adanya Pocong Mbak Marti semakin santer tersebar. Bahkan hingga di seluruh desa yang ada di kecamatan.
Desa kami kala itu menjadi terkenal. Warga desa lain juga tak memberanikan diri jika melewati jalan raya di desa kami jika sudah memasuki waktu maghrib. Serasa, desa kami menjadi seperti terisolasi waktu itu.
Sebelum kelanjutan cerita yang tentunya bikin merinding saya upload, silahkan bagikan cerita ini kepada teman kalian. Jangan lupa Follow, RT, dan Like. Dengan begitu, kalian sudah mendukung saya untuk terus menyuguhkan cerita-cerita horor real story lainnya.
Untuk kepentingan pembuatan konten atas cerita di akun saya ini, baik untuk konten YouTube atau lainnya silahkan DM atau WA saya (081322030047/082121362921)
Hatur Thankyou....
Salam Rahayu
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Socrates pernah mengungkapkan kalimat "Kenalilah dirimu sendiri", ketikda dia sedang di bawah lagit Delphi.
Sementara Plato, menganut paham filsafat manusia dengan aliran dualisme yang menyatakan bahwa manusai terdiri dari unsur jiwa dan raga.
Jiwa dan raga ini, dia ibaratkan sebagai kapal dan juru kemudinya (nahkoda). Raganya kapal, jiwanya adalah nahkoda. Kedudukan jiwa tentu saja lebih tinggi dari raga. Karena jiwa adalah sesuatu yang bersifat kekal dan berasal dari duni ide.
Sementara Aristoteles melanjutkan tentang filsafat manusia dengan istilah Hylemorfisme. Diamana dia menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu terdiri dari materi, (hule) dan bentuk (eidos,morfe)
Sebelum cerita dimulai saya ingetin nih, ada baiknya kalian membaca doa terlebih dahulu. Karena hanya dengan membaca saja dan tak sengaja mengucap namanya, maka mereka akan hadir di samping kalian.
Bagi kalian yang suka dengan Thread" Horor, lebih baik sebelum membacanya berdoa terlebih dahulu. Karena apa? Karena 'mereka' akan ikut hadir di samping kalian.
Naskah ceritanya sedang kita buat. Konon, cerita merupakan kisah nyata suami istri penjual sate yang menjalani pesugihan dengan media Jenglot. Meski sempat berjaya, namun pada akhirnya sang suami tewas oleh Jenglotnya sendiri.
Rencananya, cerita ini bakal gue up di Malam Jumat.
Selamat Menunggu :)