[ Sinopsis ]

Cerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri.

Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya.

Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis merupakan awal-
mula teror dari hantu mbak Santi di kampung mereka.

Teror demi teror yang menghantui Shepia dan warga kampungnya mengawali petualangan panjang mereka untuk mengungkap misteri kematian mbak Santi yang penuh dengan kisah mistis.
6 Gadis remaja terjebak dalam sebuah kisah misteri yang di rencanakan oleh ayah Santi.

Akankah shepia dan teman-temannya dapat menguak tabir misteri kematian mbak Santi, apakah meraka dapat selamat dari perjalanan panjang mereka.
Dan mampukah Shepia mengungkap jati dirinya yang sebenarnya menuju takdir yang telah memilihnya...
Part 1

Hujan !

Aku berteduh menghindari serbuan air hujan, di sebuah ruko pertokoan pinggir jalan, bersama sofi tetangga samping rumah sekaligus teman sedari masih kanak kanak sampai remaja saat ini.
Hujan semakin deras, seragam berwarna biru yang kami kenakan setiap kali bekerja di sebuah mini market, telah basah oleh air hujan.
"Kok iso se Shep, ora ngowo mantel iku" (kok bisa tidak bawa mantel) kata Sofi, dengan badan mulai menggigil karena kedinginan.
"Wes nunut nyocot" (Sudah numpang banyak bicara) Jawabku kesal, mataku tertuju pada air hujan yang mengalir ke selokan.

Lalu lalang kendaraan di tengah guyuran hujan, menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Tidak ada tanda hujan akan berhenti, dalam waktu dekat ini karena mendung semakin pekat.

Motor matic melaju kencang di tengah kepadatan kendaraan lain, si pengendara nampak mendoyongkan badan sedikit ke depan menghindari derasnya hujan, tanpa mengunakan mantel pengendara itu-
melesat cepat seperti pembalap liar.

Aku dan Sofi yang melihatnya merasa takjub, bercampur ngeri. Bagaimana tidak ! Orang itu melajukan skuter maticnya dengan kecepatan tinggi, menyalip zig zag kendaraan di depannya.
BRAKK..

Aku dan Sofi terkejut, pandangan nanar kami tertuju pada orang yang mengendarai skuter matic kencang tadi. Darah yang keluar dari tubuh orang itu mengalir terbawa air hujan sebelum ia terpental ke atas, karena menabrak gundukan tanah bekas galian proyek di pinggir jalan.
Ku bungkam mulut Sofi dengan tangan kananku. Sebelum Sofi berteriak lantang karena histeris.

Cepat cepat kunaiki motor, lalu menarik tangan Sofi untuk segera ikut menaiki motor, kuputuskan secara sepihak dengan memilih pulang dengan badan basah kuyup oleh air hujan.
Ku paksakan pandangan untuk tidak melihat ke arah kerumunan orang, yang mulai berlarian datang menolong.

Deg..
Jantungku serasa berhenti berdetak, begitu juga dengan Sofi ia nampak terkejut setelah mata kami. Tertuju pada Plat no kendaraan, yang terguling akibat kecelakaan tadi.
Sedangkan jaket hijau, beserta helm di kenakan serasa tak asing bagiku.

Tubuhnya terkapar di bawah roda depan truck, sesekali badanya berkejut dengan darah yang terus mengalir bercampur air hujan.

Ya Allah ...
Pekikku lirih, aku tak berani menatap lama ke arahnya, meski sedari tadi kupaksakan untuk tidak melihat ke arah di mana tubuh terkapar tak berdaya itu, rasa penasaranku lebih besar, lalu berubah menjadi rasa bersalah.
Meskipun jika aku berhenti, aku tidak akan bisa melakukan apapun. Sebabketakutan tersendiri dariku akandarah dan kematian.
Bahkan sejak kecil, jika ada tetangga atau aku tak sengajamelihat rombongan orang mengangkat keranda mayat, aku akan berlari pulang sambil menangis histeris.
Kukebut motor memasuki jalan menuju rumah kami bayangan seseorang yang sangat kukenal di bawah truk tadi masih melintas di pikiranku.
Suara Sofi, dengan berbagai pertanyaan yang ia ajukan padaku, tak kuhiraukan karena malas untuk menjawabnya, bahkan Sofi sampai memukul punggungku
keras karena aku terus fokus pada jalan yang kami lewati.
Memasuki gang kecil ke rumah kami, aku masih terus melajukan motor dengan kencang. Meski rumah kami sudah terlewati sejak tadi,
lalu kuhentikan motor di depan rumah Pak Anam dan Bu Anam, Sofi nampak heran, namun ia mengerti maksudku.
Part 2

Gerimis masih belum reda hingga malam hari.

Aku meringkuk di pelukan ibu, tangisku tumpah di dadanya. Ayah mulai panik dengan keadaanku saat itu, tanpa berfikir panjang ayah membopongku menuju kamarnya di ikuti ibu yang berjalan di belakang kami.
Tangisku belum berhenti, dadaku terasa sesak, masih terbayang di ingatanku sosok Mbak Santi yang menampakkan diri padaku, meski aku tidur di tengah kedua orang tuaku. Rasa ketakutanku belum sepenuhnya hilang.
Tok... Tok... Tok...

"Gak tuku jajan a." (Tidak beli jajan?)

Suara itu, aku mengenalinya, itu suara mbak Santi.

Mbak Santi berjualan kue jajanan pasar saat pagi dan sore hari di depan gapura gang masuk rumah kami.

Tok.. Tok... Tok...

"Gak tuku jajan ta?" (Tidak beli kue?)
Berulang ulang ia ketuk pintu rumahku di malam hari, kami yang mendengarnya merasakan ketakutan oleh teror Mbak Santi.

Bukan hanya aku, ibu tampak terkejut ketika mendengar suara ketukan pelan di pintu rumah kami.

Sreeekk... Sreekkkk.. Sreekk..
Suara langkah di seret di dalam rumah kami, ia berjalan menyusuri ruang depan lalu melewati ruang tengah dan berhenti di depan pintu kamar di mana saat ini kami berada.

Tok.. Tok.. Tok..
"Lek, aku nawakno jajan ora ser tuku ta?"(Bibi aku menjajakan kue tidak berminat beli kah?)
Pintu kamar di ketuk amat pelan, suara mbak santi juga terdengar berat dan serak, bau amis darah tercium sangat menyengat saat kehadirannya.

Dari celah bawah pintu kamar, bayangan itu berdiri menghadap ke arah kamar.
Berkali kali kusebut asma Allah, sambil terus menangis, memohon pertolongan dari yang maha kuasa.

Ibu yang sedari tadi memelukku, mendongakkan kepalanya ke arah pintu.

"Ora San, sepurane yo nduk." ( Tidak San, maaf yah nak.) Kata ibuku pelan.
Kawatir denganku, ayah mengambil minyak angin di laci kamar, lalu mengoleskan di leher dan sela sela bawah hidung.

Entah apa yang dibicarakan ayah dan ibu, badanku terasa lemas sambil terus kupejamkan mata agar sosok Mbak Santi tak kulihat, tangisku belum juga berhenti.
Beberapa kali ibu menenangkanku, dengan tangan lembutnya membelai kepalaku agar aku sedikit tenang.

Gemetar di badanku tak kunjung hilang, tanganku masih mencengkeram erat tangan ibu, berkali kali ayah menyeka keringat di keningku.
Ayah bangkit keluar kamar, menuju kamar mandi mengambil air wudhu, lalu kembali ke kamar dengan gelas berisi air putih lagi.
Sajadah di gelar di samping tempat tidur, selesai sholat tahajud ayah meniup gelas berisi air putih yang sudah ia persiapkan, lalu merapalkan suatu ayat Al
-Quran.

Ibu menyuruhku bangun, agar aku lekas meminumnya, dengan mata terpejam aku meminumnya. Sisa dari air yang Kuminum, di basuhkan ke wajahku.

Aku mulai sedikit tenang, lalu tertidur.
Dulu ketika ketakutan atau phobiaku kumat,
kakek sering datang menjenguk lalu menyuruh mengambil air dalam gelas, setelah berdoa lalu meniup 7 kali ke arah gelas berisi air tersebut, aku di suruh meminumnya.

Pernah juga suatu ketika saat pulang sekolah, kukayuh sepeda pancal di bantu Sofi yang duduk di kursi belakang-
ikut membantu mengayuh. Tak sengaja kulihat dari jauh rombongan pengantar Jenazah berjalan ke arah kami, ketika semakin dekat dan jelas yang di pikul oleh 4 orang itu keranda mayat. Tanpa pikir panjang aku meloncat dari sepeda, berbalik lalu berlari dengan tangisan kerasku.
Meninggalkan Sofi yang terjatuh dari sepeda.

Part 3

Sayup sayup terdengar suara rintihan kesakitan dari luar rumah, di sebelahku mbak Ocha sedang terlelap. Sedang kan Juminten nampak berdiri di samping jendela kamarku.

"Sssstttt..."
Juminten melakukan bahasa isyarat ke arahku, saat mengetahui aku terbangun.

"Nek njobo" Suara lirih Juminten sambil menunjuk ke luar jendela.
Bau anyir darah menusuk hidung, tak peduli dengan kelakuan Juminten yang terus mengintip dari balik jendela kamarku, aku memilih menutupi seluruh badan hingga kepala dengan selimut.
Badanku mulai gemetaran lagi, bau amis darah tercium sangat menyengat.
"Teko maneh ta," kata mbak Ocha lirih, saat terbangun karena gemetar badanku.

Aku hanya mengangguk pelan, tak tau harus berbuat apa, mulut kami berdua komat kamit membaca surat Al-Quran.
Hujan kembali datang di malam hari itu, Juminten dengan rasa penasarannya memkasa kami untuk melihat hal yang sama sekali tak ingin ku lihat.

Mbak Ocha bangun, karena selimut yang menutupi kami di tarik oleh Juminten.
Rasa keingin tahuan Juminten, memaksa aku dan mbak Ocha ikut penasaran.

Ku geser pelan badan ku di sisi Juminten, mbak Ocha mencengkeram baju ku dari belakang.
Aku berjongkok di bawah Juminten, pelan pelan dengan tangan gemetaran ku buka gorden jendela kamar.
Mbak Santi berjalan menyeret kaki kanannya, di tengah guyuran hujan deras di malam itu. Tangan kanan menutupi mulutku, sedangkan tangan kiriku mencengkeram erat betis Juminten.
Beberapa kali Juminten memukul tanganku, agar aku melepaskan betisnya.
"Loro Shep...." (Sakit Shep)

Ucap Juminten memukul tangan kiriku.

Badanku sudah gemetar, ingin sekali aku berteriak memanggil ibu, atau ayahku, ketika melihat mbak Santi berjalan pelan, sangat pelan, hingga berhenti di depan rumah. Lama ia tak bergerak, berdiri mematung di-
depan rumahku.

Dari balik jendela kamar kami bertiga mengamati mbak Santi yang berdiri lama menghadap ke ujung gang, di depan rumah. Hingga ahirnya ia menoleh ke arah kami, dengan wajah penuh luka serta bola mata kiri yang menggantung, berlumuran darah.
BLAAAAAAARRRR......

Suara beserta kilatan petir di malam hari, memperjelas wajah mbak Santi yang menoleh ke arah kami.

"HUAAAAAAAAA...."
Jantungku serasa copot, kami bertiga meloncat ke kasur dengan teriakan secara bersamaan.

Keringat membasahi badan kami, dengan badan gemetar tak karuan ku ambil Al-Quran di atas lemari kecilku.
Ku peluk erat kitab suciku dengan badan gemetaran, hingga duduk bersimpuh bersandar pada tembok. Meski ayah dan ibuku, datang menenangkan air mataku belum juga berhenti, jiwaku terasa terguncang. Mengingat apa yang baru saja ku alami.
Ibu menuntunku keruang tengah, mbak Ocha dan Juminten juga nampak shock dengan yang baru saja yang kami alami.

Aku tak bergeming ketika ayah menyuruhku lekas mengambil air wudhu, badanku masih gemetar dipelukan ibuku.
Hingga akhirnya ia mengambil gelas dengan air putih, lalu mengulangi cara yang sama seperti malam kemarin. Ketika air di basuhkan ke wajahku, aku sedikit merasa tenang.
Dengan badan lemas di temani Ibu dan mbak Ocha aku kembali membasuh wajah dengan air wudhu.
Setelah itu, kami sholat dua rakaat, ku buka kitab suciku, ku lantunkan doa-doa untuk almarhum mbak Santi. Deraian air mataku belum juga berhenti, hingga adzan sholat subuh.
Part 4

Sepulang lek Jat yang akan menghadiri tahlilan bersama warga termasuk ayahku, di mushola kampungku. Kutengok keadaan Sofi, ia sedang tidur dengan slang infus di tangan kanannya.
Tak tega rasanya melihat keadaannya yang hampir saja depresi, apa karena waktu kecelakaan mbak Santi waktu itu kami yang sengaja acuh meski mengenalnya.Berlalu begitu saja, saat mengetahui ia sedang sakratul maut, bukankah mbakSanti tau, tentang phobia yang kuderita sedari kecil.
Bukan salah Sofi, jika harus melihat kondisi mbak Santi meninggal secara mengenaskan.

Semakin kupikirkan, semakin berat rasanya seiring beban pikiran yang ku alami.
Bukankah orang yang sudah meninggal itu sudah tidak ada hubungan dengan dunia ini lagi, lalu kenapa setiap malam-
mbak Santi datang mengetuk pintu rumah setiap warga.

Cling...

Nada pesan di gawaiku berbunyi, kubuka pesan yang Juminten kirimkan padaku, ia akan menyusul ke puskesmas dengan segudang berita yang ia bawa.
Melihat wajah Sofi tertidur pulas, hatiku sedikit lega, kutarik kursi di sebelah ranjangnya untuk dudukku.
Sambil menemani Sofi ku coba menangkan diri di sampingnya.

Suasana hatiku hari ini sangat kacau, perutku terasa kram sedari kemarin, serta kepala sedikit sakit.
Aku lupa !

Setengah berlari kuhampiri ibu depan ruang inap.

"Buk aku halangan," kataku mulai panik, di sisi ibuku.

Ibu menautkan kedua alisnya seraya berkata, "yo opo se Shep, ora ngowo p*****t?" (gimana sih tidak bawa ***** ) ke arahku.
"Yo ora, budal nyusu-susu kok" Jawabku, manyun.

"Ndang tuku" (cepat beli) Kata Ibu, mengambil dompet dari tasnya, lalu memberikan uang pecahan padaku.

Mbak Ocha yang baru saja dari kamar mandi, memandangiku heran.
"Napo Shep" (Kenapa) Tanya mbak Ocha padaku, ia nampak segar seusai mandi.

"Halangan Cha" Sahut ibuku cepat.

"Njaluk terno Juminten ae mariki" (Minta antar Juminten saja habis ini) Kataku, lalu membuka bungkus plastik makanan, yang di bawa ibu dan Lek Tutik dari rumah.
Tak berapa lama Juminten datang, wajahnya nampak sumringah.

"Napo awakmu nguya nguyu dewe koyok wong stres" (ngapain kamu senyum senyum sendiri mirip orang setres) Kataku yang melihat Juminten datang senyam senyum sendiri.
"Dari pada nangis koyok Ocha karo awakmu" Jawab Juminten asal.

"Ngowo opo koen iku Jum" (bawa apa kamu itu jum) Tanya mbak Ocha, pada Juminten dengan plastik berisi martabak pesananku.
"Martabak, aku lak apik'an ora koyok Shepia elek'an" (Martabak, aku kan baik tidak seperti Shepia jelek) Canda Juminten.

"Terno aku nang mini market" (Anterin aku ke mini market) Kataku pada Juminten.

"Lapo, aku ae sek tas teko" (Ngapain, aku aja baru datang) Kata Juminten-
langsung duduk di sebelahku.

"Tuku roti" (Beli roti) Jawabku asal lalu berdiri, ku tarik tangan Juminten ke atas agar ia berdiri lagi.

Kami berdua menyusuri lorong puskesmas, menuju parkiran motor yang tak jauh dari ruang rawat inap, tempat Sofi di rawat. Sesekali ku tanyakan-
keadaan di rumah pada Juminten.

"Nyeleh korek mbak" (pinjam korek, mbak) Suara lelaki dengan rambut di kuncir ke belakang ke arahku.

"Ora rokok an mas" Jawab Juminten sopan.
"Nek nomer wa, due?" Katanya lagi, aku risih dengan situasi ini.
"Age Mbak, seng kaos putih" (Buruan mbak yang kaos putih) Rayunya lagi, kali ini rayuan itu di tunjukan padaku yang memakai kaos putih, dua pemuda ini menghalangi jalanku dan Juminten.
Part 5

Setiba di puskesmas, aku dan Juminten memilih diam tak membicarakan mbak Santi lagi. Meski perjalanan ke sini tadi kami melihat mbak Santi dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Entah apa yang mau disampaikanya pada kami, beberapa kali kucoba memijit telapak tanganku, agar-
ibu tak curiga dengan ketakutan di wajahku.

"Ayahmu sido nyusul, Shep" (Ayah kamu, jadi menyusul) Tanya ibu, saat mengetahui aku berjalan diikuti Juminten ke arahnya.

"Sido buk, tapi mampir omah'e mbah kakung disik" (Jadi buk, tapi mampir kerumah mbah kung dulu) Jawabku,
menepis ketakutan di wajahku.

"Raimu kok pucet ngono, rene" (wajah kamu kena pucat begitu) Kata ibu yang memandangi wajahku, ditariknya tanganku untuk duduk di sebelahnya. Memang aku tak bisa membohongi ibuku, insting seorang ibu sangat tajam pada anaknya.
Begitu juga ibuku, ia akan tau jika aku berbohong atau menutupi sesuatu darinya.
Dulu ibu mati matian menolak keinginanku, untuk bekerja. Ia khawatir jika terjadi sesuatu padaku, aku merengek kukuh dengan pendirianku ingin tetap bekerja.
Ku sandarkan kepalaku di pangkuannya, ia menanyaiku berbagai hal, tentang perlakuanku pada dua pemuda tadi, atau mbak Santi yang datang lagi, mulutku kelu untuk menjawab semua pertanyaan ibu.
"Pindah nang omahe mbah kakung a, Shep" (Pindah ke rumah mbah) Tanya ibu, dengan membelai rambutku.
Aku menggeleng pelan, pindah kerumah kakek akan membuat ibuku tertekan, ibu tidak disenangi oleh saudara ayahku. Hanya gara gara ibu orang biasa, tak sebanding dengan derajat-
keluarga ayahku.

Meski kakekku tak mempermasalahkan hal itu, tapi pandangan pak De Kus, dan istrinya pada ibuku, seperti memandang seekor binatang peliharaan, jika pindah kerumah kakek ibu akan kembali dijadikan babu oleh saudara ayahku di sana.
Tanpa terasa aku terlelap saat mendengar obrolan ibu bersama yang lainnya, Juminten tidur dibelakangku.

***

Mbak Santi terlihat sedih duduk depan kursi rumahnya, wajah rupawannya yang dulu selalu ceria, di kala bersenda gurau dengan kami remaja kampung, kini terlihat sedih.
Ingin rasanya kusapa menanyakan ada apa gerangan, saat wajah murungnya menunduk lesu.
Mata sayunya memandang ke arahku yang berdiri mematung memperhatikannya. Kakiku terasa berat ketika ingin menghampirinya, dari matanya ia seperti meminta tolong padaku.
Aku terkejut dengan mimpiku barusan, mbak Santi. Sebenarnya apa maksud dari mimpiku tadi.

"Ssssstttt...." Suara Juminten memberi isyarat lirih padaku.

"Mbak Santi teko kene" (mbak santi datang kesini) Lanjutnya lirih.

Deg...
Aku baru sadar saat terbangun, tidur berbantalkan tas berisi barang bawaan yang di bawa ibu dari rumah. Sedangkan di sisiku mbak Ocha terlelap, serta Juminten yang tidur dibelakangku.
Suasana puskesmas yang tadi ramai kini nampak sepi, hanya beberapa orang yang tidur menunggu sanak saudara mereka yang dirawat di sini.
Mungkin ibu dan lek Tutik tidur di dalam menemani Sofi.

Juminten semakin merapatkan badannya ke tubuhku, badan kami saling bergetar satu sama-
lain.

Sunyi !

Jika biasanya beberapa orang masih berlalu lalang di sekitar kami, malam ini sangat sepi bahkan suara orang sedang mengobrol pun tak terdengar.

Sreekk... Sreekk... Sreekk...

Suara langkah kaki yang diseret seperti sebelumnya,

Sreekk.. Sreekk...

Suara pelan-
kaki di seretnya semakin mendekat ke arah kami.

Keringat dingin membasahi kami berdua, kugeser pelan badanku merapat ke arah mbak Ocha.

Sreekk... Sreekk...
Part 6

Sepulang dari puskesmas, kakek membuat beberapa rajah, ditulis di balik kulit hewan. Bertuliskan huruf arab, lalu di bungkus dengan kertas putih serta kain berwarna putih juga.
Lalu ditempelkan di atas pintuh tiap rumahku, terutama di balik pintu kamarku.
"Mbah...." Sapaku saat menghampiri kakekku, yang duduk di ruang tamu, dengan membawa secangkir kopi singa kesukaannya di tanganku.

"Hmmmm...." Jawab kakek melihatku.

"Ngak usah di bongkar wis kuburane mbak Santi, ngarai heboh sak kampung engkok mbah" (Tidak usah di bongkar-
kuburannya Mbak Santi bikin heboh desa nanti)

Kataku saat duduk disebelahnya, dengan menaruh kopi untuknya.
Kakek heran dengan penuturanku, ia nampak berfikir sejenak sebelum menjawab.
"Seumpomo di bongkar, terus kate di apakno engkok, kate di suceni yo opo maneh, mesti wes akeh belatunge mbah" (Seumpama di bongkar, mau diapain lagi nanti, mau di sucikan bagaimana lagi, pasti sudah banyak belatungnya)
Lanjutku, meyakinkannya agar mengurungkan niat membongkar-
makam mbak Santi.

"Yo di kubur ulang, ngae coro N*, supoyone ora dadi molo" (Di kuburkan ulang dengan cara **, biar tidak jadi petaka)

Jawab kakekku, memang cara mengubur sangat berbeda dari kebanyakan orang.
Selentingan kabar yang kudengar, mbak Santi di kuburkan dengan cara yang tak lazim. Seperti halnya mengubur bangkai binatang.

Menjelang pukul 2 Siang, kakek pamit mengurusi usaha keluarga, sebelum kakek pergi semalem beberapa rajah sudah di pasang di atas semua pintu rumahku.
"Shep kate nandi awakmu iku" (Shep mau kemana kamu itu)
Tanya ibu, saat aku mengeluarkan vario putihku.

"Dolen buk, bosen ndek omah tok" (Pergi main, bosan di rumah terus)
Jawabku, seakan tak peduli dengan wajah ibu yang mulai geram karena ulahku.
"Kumat nek golek pekoro terus ae yo, mbok seng anteng nek omah" (Kumat bikin gara gara terus, mending di rumah saja)

Kata ibu mencegah niatku, yang akan kelayapan di siang hari.

Ku ulurkan tangan kananku pada ibu, secara cepat ibu menyambut uluran tanganku.
"Njalok duwek kok, malah di salami" (minta uang kok malah berjabat tangan)
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.

"Ora due duwek" Jawab ibu melengos.

"Buuuukk" Suara beratku, saat niatku tak di kabulkannya.
Ibu masuk kedalam, tak beberapa lama ia keluar membawa jaket merahku.

"Jaketan! Awas koen moleh sore." (Pakai jaket, awas pulang sore hari)

Kata ibu, sambil menyodorkan jaket padaku.

"Lha duwik e, endi buuukk" (uang nya mana)
Jawabku memelas, lalu mengambil jaket dari uluran tangannya.

"Wes nek kesak jaket, kerjo ngawatiri, gak kerjo nitili duwek teros" (Sudah di saku jaket, kerja bikin khawatir, gak kerja mintain duit)
Jawab ibu, lalu mulai menyapu pasir dari bekas roda motorku.
Meski sedikit bergidik ngeri, saat ku parkirkan motorku, depan rumah Juminten yang berseberangan langsung dengan rumah pak Anam.
Mataku terus memandang ke arah rumah pak Anam, sebelum meninggalnya mbak santi puntu rumah mereka, sering terbuka atau sengaja di buka.
Sekarang rumah pak Anam nampak sepi, bahkan seperti rumah yang di tinggalkan pemiliknya meski mereka berada di dalam rumah.

"Shep" Tegur Mak Ten ibu Juminten, saat melihatku di depan rumahnya.
Juminten itu, sebenarnya nama ibunya, sedangkan nama aslinya adalah Ella.
Karena saat kecil kami saling olok nama panggilan, dan aku kalah dari Ella karena namaku di pelesetkan menjadi Shapi. Maka dari itu kusebut nama emaknya saat menimpali olokkannya.
Part 7

Selesai adzan subuh, ku bangunkan Juminten yang tidur di lantai.

"Jum, Jum, tangio wes subuh" (Jum, bangun sudah subuh)
Kataku, mengoyangkan tubuh Juminten di lantai.
"Hmmmmm...." Suara Juminten berat, aku tak habis pikir dengan tingkahnya, bisa bisanya Juminten pingsan lalu terlelap tidur di lantai.

Ingin sekali kutendang perutnya, ia meninggalkan diriku yang ketakutan semalam. Entah apa yang di lihatnya semalam yang jelas sebelum ia-
pingsan, Juminten terlihat terkejut saat melihat ke arah rumah mbak Santi.

Setelah berpamitan pada mak Ten dan Pak Tino, orang tua Juminten aku pulang meninggalkan Juminten yang masih tertidur di lantai kamarnya.
Terus ku coba mengingat kejadian semalam, rasa takutku akan kedatangan mbak Santi memang belum sepenuhnya hilang, berbeda dengan sebelumnya.
Sampai pagi menjelang pun, rasa takutku tak akan hilang, berbeda dengan hari ini.
Yang kurasakan justru sebaliknya semakin besar rasa penasaranku hingga aku sendiri tak mengerti, harus berbuat apa.

Apa ada hal yang ingin mbak Santai sampaikan, sehingga ia terus menampakkan wujudnya padaku.
Apakah ada suatu perkara di dunia yang masih belum ia selesaikan,
kenapa tidak datang dalam mimpi bu Anam saja, pikirku.
Kenapa harus kami para tetangganya yang harus ia teror.

"Shep, turu nek endi membengi awakmu iku?" (Tidur dimana kamu semalam)

Suara ibuku, yang akan menuju mushola di depan gang untuk sholat subuh berjamaah.
"Di keloni Juminten" (Tidur sama Juminten) Jawabku singkat, lalu buru buru aku memasuki rumah.

Tak habis pikir rasanya, kampung yang dulunya tentram dan ramai, kini menjadi sepi menjelang malam.

"Turu omah e Bude ta, Nduk" (Tidur di rumah Bude ya, Nak) Sapa ayahku, saat-
mengetahuiku, memasuki rumah.

Buru buru kupeluk badan kekar ayahku dari belakang.

"Yah," kataku pelan sambil memeluknya.

"Hmmm.." Jawab ayah sambil mengelus pelan tanganku yang melingkar di dadanya.
"Minta duit" Kataku, sambil memasang wajah sedih agar ayahku mengabulkan permintaanku, rasanya isi kepalaku penuh dengan semua masalah, yang tidak pernah kuperbuat.

"Duwek terus, gae opo seh" (uang terus, buat apa sih)
Jawab ayah, mengambil nafas panjang.
"Pengen tuku klambi, pengen sepatu, pengen, nang salon, pengen njajan, pengen refresing terus pengen banyak" Jawabku semangat.

"Masa Allah, Shepia..." Jawab ayah kaget, mendengar semua keinginanku.

"Yawes ora usah" Kataku merajuk, mulai memasuki kamar, lalu kubanting kuat pintu
kamarku.

Dan benar ayah mengikuti kekamarku, duduk di sampingku yang tidur tengkurap, ayah mengelus pelan kepalaku.

Semakin kubenamkan, wajahku pada bantal, agar terlihat aku benar benar merajuk.
"Oalah iyo, iyo, ojo nesuan tala" (Iya, iya, jangan suka marah)

"Bah" Jawabku singkat, dengan suara yang kubuat seperti sedang menahan tangis. (ini jurusku)

Ayah membuka dompetnya, mengelurkan tiga lembar seratus ribuan, "Cukup ora" kata ayah padaku.
"Yo ora yah, gae nyalon wes entek" (Ya tidak yah, buat kesalon sudah habis)
Jawabku, pusang wajah melas ke arahnya.
Karena kutahu meski ayah orang yang tegas, ia akan menuruti kemauanku, apa lagi jika aku bilang pada kakekku, ayah akan di marahinya karena ulahku.
Part 7 (2)

Malam semakin panjang, begitu juga dengan kejadian demi kejadian terus bermunculan.

Aku dan Juminten meyandarkan punggung di tembok, sementara Eva masih serius bersila dengan meditasinya.
Suasana menjadi hening, ku atur nafas yang terasa sesak di dada. Berkali kali Juminten membasuh keringat di keningnya.

Lamat lamat terdengar suara orang sedang berbincang dari arah jalan depan, "Koen krungu Shep?" (Kamu dengar Shep?) Tanya Juminten padaku, karena mendengar suara
orang sedang berbicara.
Semakin lama suaranya semakin mendekat, Juminten menautkan kedua alisnya.
Siapa juga yang malam malam begini sedang di luar, pikir kami.
Juminten menarik paksa tanganku, untuk memastikan di mana suara itu berasal, karena rasa penasaran aku tak menolak saat Juminten menarik tanganku, kami merangkak ke arah jendela.

Suara khas becak yang kayuh, dengan penumpang di depannya sebagai bobot muatan menimbulkan bunyi-
kriet, kriet, saat di kayuh.

Kami berdua saling pandang heran, jangan jangan becak Cak Johan ikut jadi hantu.

Dengan wajah pucat kami berdua menekan rasa ketakutan, hanya karena rasa penasaran oleh suara obrolan yang semakin jelas terdengar di telinga.
Mata kami berdua terbelalak tak percaya, dengan apa yang saat ini kami lihat dengan mata kepala kami sendiri.

Deg.

Becak di kayuh pelan memasuki gang rumah Isna, lalu di kursi penumpang depan becak yang sedang melaju pelan.
Mbak Dista adik kandung mas Roni sekaligus kakak sepupuku, sedang duduk santai serta berbicara sendirian. Lalu di kursi pengemudi tak ada siapa pun di sana, becak itu melaju sendiri tanpa pengemudi.
Takut sekaligus heran dengan apa yang kulihat saat ini, kucubit keras lengan Juminten, agar aku tau ini nyata atau sekedar mimpi semata.
"Loro gendeng!" Kata Juminten pelan, menahan suaranya agar tak memulai keributan di antara kami.
Seakan menyaksikan trik sulap, saat menyaksikan mbak Dista di atas becak, dengan jantung berdebar debar, serta keringat dingin yang mulai membasahi badan kami.
BUUKKK....

Suara sesuatu jatuh dari atas pohon rambutan, kami berdua yang sedari memperhatikan mbak Dista yang berbicara sendirian, menoleh ke arah pohon rambutan karena mendengar suara jatuh dari sana.

Aku Berharap ini hanya bunga tidur semata.

Di sana.
Di bawah pohon rambutan, sosok tubuh dengan wajah hancur sedang merayap keluar dari kegelapan.

Juminten menelan ludah saat melihat mbak Santi yang merayap dari bawah pohon rambutan.

Mbak Dista yang turun dari becak, terlihat gemetaran memandang ke arah mbak Santi yang merayap-
ke arahnya.

Dista berdiri kaku memandang ke arah mbak Santi yang terus merangkak pelan ke arahnya.

Allah Hu Akbar.
Allah Hu Akbar.

Mulutku lirih mengucap asma Allah, Sedangkan Juminten meraih gagang pintu lalu membukanya, seraya setengah berteriak "Dis, Distaaa" Suara-
Juminten membuyarkan, mbak Dista yang sedari tadi berdiri kaku melihat ke arah mbak Santi.

Mbak Dista berlari menuju pintu rumah Isna yang sedikit dibuka oleh Juminten, raut wajahnya mengisyaratkan ketakutan seperti yang kami berdua alami.
Juminten menutup pintu kembali saat, mbak Dista sudah memasuki rumah Isna, dengan badan gemetaran matanya memandangi kami satu persatu, tas besar yang ia bawa di tinggalkan begitu saja di atas jalan paving.
Part 8

Seperti biasa Adzan subuh menjadi penentu, berakhirnya teror mbak Santi yang menghantui kami.
Eva yang meditasi semalaman di depan lilin yang sudah padam sejak lama, kini tengah duduk di kursi memperhatikan kami bertiga yang saling peluk satu sama lain.
Pukul 6 Pagi Isna bangun dari tidurnya, ia nampak heran melihat kami bertiga yang tidur dengan bersandar di tembok ruang tamunya.

"Mbak, Mbak, tangi he, wes awan" (mbak bangun sudah siang) Isna menepuk pelan kami bertiga secara bergantian.
Juminten mengucek kedua katanya, ia nampak masih mengantuk saat Isna membangunkan kami.
Aku dan Dista bergantian memasuki kamar mandi, masih terbayang di ingatanku, tentang mbak Santi yang menghantui kami.
"Terus oleh e, awakmu silo mambengi iku opo Va?" (yang kamu dapat dari bersila semalam itu apa Va?) Tanya Dista pada Eva yang duduk di samping Juminten yang melanjutkan tidurnya.

"Iku iblis, mergo matine Santi ora di suceni pas di kubur" (Itu iblis, karena matinya Santi tidak
di sucikan) Jawab Eva dengan nada serius.

"Terus kate di dudah ta, kuburane Santi" (Lalu mau di bongkar kah, kuburan Santi) Kali ini suara Juminten yang tidur di paha Eva mulai penasaran.
"Nek di dudah awakmu ae Jum seng ngedusi karo mbuak susuk'e mbak Santi" (kalo di bongkar kamu saja jum, yang mandiin dan buang susuknya mbak Santi) Jawabku menimpali Juminten.

"Nang Kakikmu ngono Shep" (Kakimu Shep) Sahut Juminten, melengos.
"Asline yo opo seh, Santi kok iso dadi medi ngono iku?" (Aslinya gimana sih, Santi bisa jadi hantu begitu?) Tanya Dista heran ke arah kami.

"Koen kerjo adoh adoh, gak eroh transformasi ne, Santi dadi medi bendino ngedok lawang omah karo nawakno jajane"
(Kamu kerja jauh, tidak tahu hantunya Santi tiap malam mengetuk pintu menawarkan kuenya) Jawab Juminten panjang.

"Cangkemu Jum" (Mulutmu Jum) Umpat Dista kesal.
"Ancene iyo, Mbak Santi ngedor lawang ben bengi" (emang iya, Mbak santi mengetuk pintu tiap malam) Isna menimpali.

"Is, koen turu ta, keblinger? suwengi ora ngelilir babar blas, kancane kepoyoh kepeseng ngejer, awakmu isone ora tangi"
(Is, kamu tidur atau pingsan, semalaman tidak bangun, teman ketakutan kamu tidak bangun) Tanya Juminten pada Isna.

"Lha moro moro tangi isuk e, Mbak Jum hehehe" (Tiba tiba bangun pagi) Jawab Isna sambil tersenyum senang.

"Terus solusine yok opo iki Va?" (Terus solusinya gimana-
ini Va?) Tanya Dista pada Eva.

"Yo kudu medot susuk e, marani nang omahe dukun e" (Harus memutus susuknya, dengan datang ke rumah si dukun) Jawab Eva santai.

kami berempat memandang Eva dengan tatapan heran, bagaimana bisa tau rumah dukunnya, sedangkan mbak Santi-
memasang susuk saja kami tidak tahu.

"Tenang, Santi nyimpen catatan alamat e nek kamare" (Tenang santi menyimpan catatan alamatnya di kamar) Ucap Eva menepis keheranan kami.
"Terus sopo seng kate marani nang omae dukune?" (terus siapa yang kerumah dukunya) Tanyaku masih heran.
Mereka beralih memandang ke arahku.

"Yo awak dwe lah, Shep" (Ya kita lah) Jawab Dista singkat.

"Aku kan ora oleh metu adoh, Mbak" (Aku kan tidak boleh keluar jauh, Mbak)
Kataku memberi alasan.

"Aku seng ngomong nang Lek Eni, mariki" (Aku yang bilang sama Bibi Eni, habis ini) Jawab Dista pelan.
"Jum koen terno Eva moleh ganti karo salen, aku karo Shepia tak nang omahe Anam" (Jum kamu anterin Eva pulang, ganti pakaian, aku sama Shepia ke rumah Anam) Kata Dista tegas memberi perintah, kekesalan nampak muncul di wajah cantik kakak sepupuku ini.
Part 9

Perjalanan menuju jawa tengah yang amat melelahkan tak mengurangi niat kami, beberapa kali aku dan Juminten salah jalan atau bahkan salah belok saat menjumpai perempatan, karena Dista yang memimpin di depan mengendarai motor seperti orang kesetanan.
Kupasang earphone di kedua telinga menikmati perjalan jauh dengan mendengarkan lagu kesukaanku.
Beberapa kali kami singah serta istirahat di pom bensin untuk melepas penat sebentar, bokongku sudah terasa panas selama perjalanan yang kami tempuh.
Berulang kali aku dan Juminten-
bergantian menyetir karena lelah.

===

Tengah malam.

Kami sudah sampai di kota klaten jawa tengah, Dista dan Eva bertanya pada penduduk sekitar tentang alamat yang akan kami tuju, Ajeng dan Melisa memasuki mini market membeli minuman dingin, Aku dan Juminten selonjoran saling-
bersandar punggung diteras depan mini market.
Kami berdua sudah hilang semangat juang untuk meneruskan perjalanan, "Jum" Suaraku lirih.

"Hmmm ..." Sahutan Juminten tanpa semangat, padahal waktu di malang tadi ia yang paling bersemangat.
Melisa yang baru keluar dari dalam mini market bergabung bersama kami, ia malah tiduran di lantai menyandarkan kepalanya ke pahaku, tidak peduli dengan lantai kotor bekas pijakan alas kaki pengunjung mini market.
"Duh, jan persis argobel" (Duh, hampir sama dengan pemulung) Ujar Ajeng saat mengetahui kelakuan kami bertiga.

Kami bertiga diam tak menjawab candaannya, bahkan saat Ajeng mulai memotret kami beberapa kali pun, kami masih dengan posisi yang sama.
Dista dan Eva berjalan ke arah kami, mereka sudah mendapat informasi tentang desa yang akan kami tuju malam ini.
"He, ayok berangkat" Suara Dista mengajak kami untuk memulai perjalanan kembali.
Ajeng berjalan ke arah motornya ia nampak kembali bersemangat saat berada di atas jok motornya, sedangkan kami bertiga masih dalam posisi seperti tadi. Air mineral dan beberapa minuman bervitamin C yang di beli Ajeng bersama Melisa tadi, sama sekali tak kami sentuh.
"Shep, Jum, Melisa ayok berangkat" Lanjut Dista pada kami bertiga yang sama sekali tak bergerak.

"Jangan ngulur waktu lah" Sahut Eva yang berdiri di samping Dista.

"Jadi berangkat atau nginap sini aja?" Tanya Dista.
Kami bertiga masih diam tak bergerak, meski tak tidur, kami-
sengaja memejamkan mata.

"Shep?" Suara Juminten bertanya padaku.

"Hmmm..." Jawabku malas, membalas sahutan Juminten tadi saat aku memanggilnya.
"Mbakmu, bendino mangan pohong katek bahasa indonesia barang" (Kakak kamu, setiap hari makan singkong aja make bahasa indo) Kata Juminten pelan, sontak aku dan Melisa terkekeh mendengar perkataan Juminten barusan.
"Jancok koen Jum" Umpat Dista dengan nada kesal.

Akhirnya kami bangkit berjalan gontai menuju motor dengan tenaga yang masih tersisa.
Kali ini kami bertukar posisi, Dista memboncengku karena kasihan, perjalanan di lanjutkan.
Menuju suatu desa yang bernama muntihan, Dista memacu motorku kencang memaksa tanganku melingkar erat di perutnya.
Beberapa kali helm yang kukenakan beradu dengan helm Dista akibat rasa kantuk yang tak bisa kutahan.
Gas motor di sentakkan dengan keras, Dista sedang mengerjaiku berkali kali membuat rasa kantukku sedikit hilang karena ulah jailnya.
Pejalanan semakin jauh memasuki daerah pedesaan, kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku.
Sudah pukul 2 Pagi sedangkan tempat tujuan yang akan kami tuju masih beberapa puluh kilo meter lagi.

===
Pukul 3 dini hari.

Kami mulai memasuki desa yang namanya tercatat dalam buku kecil milik mbak Santi, perjalanan di jeda beberapa sebentar karena rumah dukun yang di maksud belum juga di ketahui.
Part 10

Kami terjebak di sebuah bangunan tua yang sudah hancur, aku menerangi Dista yang sedang mencoba membetulkan senternya dengan panik, dengan cahaya dari nyala senter yang kupegang dengan gemetaran.
Mataku sibuk mengawasi sekeliling dengan perasaan was-was, kecemasan mejalari kami.
Kami berharap ini hanyalah sebuah mimpi belaka, namun yang terjadi sekarang kami benar benar terjebak dalam situasi mengerikan dalam sebuah bangunan tua di tengah hutan belantara.
Senter Dista kembali berfungsi secara normal kembali, Juminten menyibakkan remputan yang menjalar di sekitar kami. Dalam situasi sekarang ini kucoba berpikir keras, mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kami hadapi.
"Jancok" Dista kembali mengumpat kesal, ia mulai panik bersama kami.
Eva mulai mencari sesuatu dari dalam tasnya, Melisa menyinarinya dengan lampu flash dari gawainya.
Ajeng meringkuk ketakutan dengan posisi berjongkok di dekat Eva, Juminten yang juga tak percaya dengan keadaan yang tiba tiba berubah mencekam ini mencoba untuk tetap tenang, dengan terus menempel padaku ia sadar yang paling rawan di terpa rasa ketakutan dalam kelompok kecil ini-
adalah aku.

"Taek koen Dis" (Sialan kamu Dis) Makian kekesalan Ajeng pada Dista dengan suara serak, matanya mulai sembab.
Dista mengarahkan senternya pada Ajeng yang sedang berjongkok ketakutan, seraya menjawab.
"Cangkemu ngomong opo he?" (Mulut kamu berbicara apa?) Dista menyahut dengan nada kesal juga.

"Kan awakmu seng ngejak sampek tekan kene" (Kan kamu yang mengajak sampai di sini) Kata Ajeng, bibirnya bergetar ketakutan.
"Mosok eroh nek bakalan koyok ngene dadine" (Siapa yang menyangka kalo bakal seperti ini jadinya) Jawab Dista ia nampak menahan emosi.

"Koen! seng mulai awal ora jujur, dadine malah koyok ngene" (Kamu! yang dari awal tidak jujur, membuat keadaan jadi seperti ini) Suara keras-
Melisa seraya mendorong Eva di sampingnya jatuh tersungkur. "Iki kabeh salahmu" (Ini semua salahmu) Lanjut Melisa degan menudingkan tangannya ke arah Eva di bawahnya.
Aku dan Juminten tak ingin ikut dalam pertengkaran mereka, percuma saja berengkar sedangkan keadaan sudah menjadi seperti ini.

Eva berdiri sambil mengibaskan debu di kedua lututnya, setelah itu ia membalas mendorong Melisa dengan keras seraya berkata-
"Aku niat nulungi cok" (Aku niat menolong, sial) Eva membela diri membalas makian Melisa.
Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, kami saling menyalahkan satu sama lain.
BUUKK ..
Suara benda jatuh secara tiba tiba di tengah kami yang sedang bergerombol, bau busuk menyengat di hidung yang berasal dari sesuatu yang jatuh barusan, membuat kami diam sambilmenutup hidung.
Kuarahkan senter yang kupegang pada sesuatu yang baru saja jatuh di tengah kami.
akh ...

Suaraku tertahan di tenggorokkan, mataku nanar menatap sosok tubuh yang membusuk, berbalut kain kafan yang sudah tak terlihat warna aslinya karena cairan yang terus keluar dari tubuh tersebut. Kami terkejut secara bersamaan ketika melihatnya.
Melisa dan Ajeng yang panik berlari ke arah pintu yang kami masuki tadi, Dista menarik tangan kiriku dengan keras mengajakku berlari bersamanya menyusul Ajeng dan Melisa yang lari terlebih dahulu di depan kami.
Juminten juga ikut berlari di belakang kami, meninggalkan Eva seorang diri berdiri mematung memandangi pocongan di depannya.

Kami terus berlari tak tentu arah, dalam hutan yang gelap oleh pekatnya malam.
Suara tawa cekikikan seorang perempuan mengiringi kami yang berlari sambil panik, semakin menjauh dari bangunan tua tadi dengan rasa ketakutan dalam diri kami.
Berkali kali aku jatuh bangun karena tersandung akar pepohonan, terus terang aku sudah tak kuat untuk berlari lagi.
tetap kupaksakan kaki untuk berlari mengejar Dista di depanku, sampai akhirnya ia berhenti karena kelelahan berlari.
Part 11

Aku merasa lelah terus berlari dengan ketakutanku sendiri, muak dengan semua hal di luar nalar yang terjadi pada kami.
Terus berlari di saat ketakutan datang pada kami tidak akan menyelesaikan petaka yang sedang kami hadapi, aku kembali teringat perkataan Eva,
saat perjalanan menuju ke rumah Mbah Harjo orang yang belum pernah kenal dan temui hingga saat ini.

Eva bercerita saat bermeditasi mencoba mencari jawaban, kenapa arwah Mbak Santi menghantui desa kami saat malam.
Mbak santi di jadikan tumbal pesugihan oleh orang tuannya, sedangkan yang mengantar Mbak Santi ke rumah Mbah Harjo adalah Cak Johan.

Cak Johan merayu Mbak Santi memasang susuk agar kue jualannya semakin laris, atas perintah Pak Anam ayah Mbak Santi.
Cak Johan tergiur oleh rayuan Pak Anam yang memberikan beberapa juta uang padanya, padahal ia tidak tahu jika akan di jadikan tumbal pesugihan Pak Anam.
Dan kedatangan kami di sini sekarang, bukanlah suatu kebetulan belaka, Pak Anam sudah merencanakan semua ini sebelum kematian Mbak Santi, karena hari kelahiran kami berenam, Senin, Kamis, Jum'at dan Minggu.
Aku lahir di hari minggu, sedangkan Dista lahir pada hari senin malam, sedangkan yang lain juga lahir di hari pada hari tersebut.
Pak Anam harus memenuhi syarat yang di ajukan, dengan mengorbankan gadis yang belum menikah sebagai tumbal.
Eva yang mencoba mencari jawaban dikelabui Mbah Harjo, dengan alasan harus datang kemari untuk melepas susuk yang di tanamnya pada Mbak Santi.

Sejauh kami berjalan dalam pekatnya kabut malam di tengah hutan, kami hanya berputar putar lalu kembali ketempat terakhir kali kami-
berhenti.

"Awak dewe iki mek muter muter, tok" (Kita hanya berputar putar saja) Umpat Dista dengan melempar ranting pohon yang sudah kering di tangannya.
Kami berhenti di tempat semula terakhir kali aku menghentikan lari dari mbak Santi, yang tiba tiba muncul dengan suara langkah kaki di seretnya.
Kami kebingungan entah jalan mana lagi yang harus pilih, kesekian kalinya kami melanjutkan perjalan untuk mencari ketiga teman kami yang terpencar, ujung ujungnya kami selalu kembali ketempat ini.
Dista memutuskan untuk berdiam di sini terlebih dahulu, saat pagi nanti kami akan kembali mencari mereka kembali.
Kusandarkan kepala di pundak Dista, dengan kaki selonjor di atas paha Juminten yang duduk di sebelahku.
Kakiku terasa panas karena saking lamanya berjalan di tengah hutan ini, dalam hati aku mendoakan ketiga temanku yang terpisah, semoga saja mereka dalam keadaan baik baik saja.
"Jum awakmu ngompol ta?" (Jum kamu ngompol?) Tanyaku pada Juminten, ia nampak kelelahan.

"Ora ndeng" Jawab Juminten cepat, dengan menoleh kearahku.

"Shep" Panggilan Dista tiba tiba matanya nampak sembab, saat aku berpaling memandangnya.
"Opo Mbak?" (Apa Mbak?) Jawabku sambil bertanya heran ke arahnya, air matanya mulai mengalir membasahi pipi tirusnya.

"Sepurane yo, gara gara aku awakmu karo liyane dadi koyok ngene" (Maaf yah, gara gara aku kamu dan yang lainnya jadi seperti ini)
Ucap Dista sambil mengusap air matanya, dengan sorot mata penyesalan saat memandang wajahku.

"Koen duduk Mbak, ku" (Kamu bukan kakak, ku) Jawabku kesal, dengan mengerakan kepalaku yang tadinya bersandar di bahunya.
"Mbakku, Dista iku kuat ora cengeng koyok awakmu, Dista panutanku mulai cilik sampek gede iku ora koyok ngene" (Kakakku, Dista itu kuat tidak cengeng sepertimu, Dista panutanku sedari kecil sampai besar tidak seperti ini) Lanjutku dengan nada kesal kearahnya.
Dista nampak terkejut mendengar makianku padanya, ia nampak menyeka air matanya sambil tersenyum padaku.
Part 12

Kami masih tak percaya dengan apa yang saat ini berada di depan mata, Ajeng mati tergantung di antara 9 gadis lain dengan tali yang melilit leher mereka.

Binggung dengan semua yang tiba tiba terjadi, meratapi nasib yang telah terjadi pada kami dengan tangisan-
kehilangan, karena Ajeng benar benar telah meninggal.

Jika Ajeng meninggal, lalu di mana Melisa sekarang bukankah semalam mereka berlari bersama.

"Terus yo opo iki, opo di kubur saiki ae?"
(Terus sekarang bagai mana, apa di kubur sekarang saja?) Kata Juminten pada kami, ia nampak tak tega melihat Ajeng yang mati tergantung.

Aku mengehentikan langkah Juminten dan Dista yang akan bergegas menurunkan mayat Ajeng, hawa jahat yang tiba tiba kurasakan terpaksa-
menghentikan mereka.

Ada semacam bisikan dalam hati, jika kami lebih mendekat lagi ke arah pohon di mana Ajeng tergantung saat ini, akan datang hal yang tidak kami inginkan terjadi.
Juminten menepis cepat tanganku yang menahannya, aku menggelengkan kepala padanya saat Juminten menoleh padaku dengan tatapan penuh tanda tanya.

Pada akhirnya aku tak bisa menghentikan Juminten yang terus melangkahkan kakinya menuju pohon besar di depan kami.
Dista merasakan kecemasanku, yang menghentikan niatnya berteriak keras menghentikan Juminten yang semakin mendekat ke arah pohon, "Jum, mbalek" Teriak Dista keras agar Juminten mengurungkan niatnya.
"Arrgg .." Belum sempat Juminten sampai ke pohon, ia mengerang sambil berguling - guling di tanah memegangi wajahnya.

Aku dan Dista berlari cepat menghampiri Juminten yang terlihat kesakitan, sambil memegangi wajahnya.
Kutarik kerah jaketnya sambil berjalan mundur di bantu Dista yang juga terlihat panik dengan yang Juminten alami saat ini.

Dista memapah Juminten yang terus mengusap wajahnya, ia mencoba menenangkan Juminten dari kepanikannya.
Kami kembali menuju depan bangunan yang rusak tempat Eva sedang menunggu tadi, mataku mulai mencari keberadaan Eva.
Seluruh penjuru bangunan sudah kudatangi guna mencari keberadaannya, namun tak pernah kutemui sosok Eva.
Deg.

Jantungku serasa berhenti mengingat Eva yang tadinya bersamaku, tubuh dingin dan muka pucatnya.
Angin menerpa pelan tubuhku kupejamkan mata untuk sesaat, pikiran dan keinginanku hanyalah pulang bersama teman temanku dengan selamat dengan selesainya masalah hantu mbak Santi yang membuat resah warga setiap malam.
Namun yang terjadi sekarang ini di luar perkiraan kami, kami datang dengan canda dan tawa dan sekarang satu persatu temanku meninggalkan dengan mengenaskan. Di tambah lagi keberadaan Melisa yang sampai sekarang entah di mana.
Masih jelas terasa saat Eva memelukku tadi, memori ingatanku kembali mengingat ucapan Eva waktu memelukku tadi.

"Mbak" Panggilku pada Dista yang mengolesi wajah Juminten dengan lotion dingin, berharap bisa meredakan rasa panas di wajahnya.
"Opo Shep?" (Iya Shep?) Tanya Dista menoleh padaku, tanganya sibuk mengolesi lotion di wajah Juminten.

"Awak dewe kudu ngolek'i kuburan, terus njukuk kotak seng di pendem" (Kita harus mencari kuburan, terus mengambil kotak yang di kubur di dalamnya) kataku lirih padanya.
"Kuburan?" Tanya Dista masih tak mengerti maksudku.

"Iyo sebab nek njero kotak iku, onok barang seng digawe numbal awak dewe" (Iya sebab dalam kotak itu, ada barang yang di buat untuk menumbalkan kita) Lanjutku menerangkan.
Dista nampak berpikir sejenak kemudian ia berdiri lalu mengambil punggungnya, kemudian melucuti semua pakaian yang di kenakannya.

Setelah selesai berganti pakaian membantu Juminten berdiri, seraya berkata,
"Jum poisisine awak dewe iki di dadekno tumbal, mati nek kene dadi tumbal opo ngelawan terus moleh bareng?" (Jum posisi kita sekarang ini di jadikan tumbal, mati di sini apa melawan terus pulang bersama?) Ucap Dista pada Juminten yang duduk di depannya.
Part 13

Sosok gadis di depan berdiri membelakangi kami dari rambut lurus dan jaket yang di kenakannya sama sekali tak asing bagi kami, kuarahkan senter untuk memperjelas siapa penglihatan kami.

"Mel .." Panggilku lirih karena kuyakin ia adalah Melisa.
Dista bergegas cepat menghampirinya. Di tariknya tangan Melisa yang masih berdiri mematung dengan badan gemetaran, Melisa linglung semua pertanyaan kami padanya hanya di jawab dengan pandangan kosong beserta mulutnya yang membisu.
Juminten menepuk pipi serasa mengoyangkan badan Melisa, agar ia sadar dari linglungnya.
Kutuntun Melisa untuk duduk menepi lalu memberikan botol air mineral padanya, agar ia tenang.
"Mel ..." Ucapku lirih, dengan kalem kuhapus air mata yang meleleh di pipinya, rasa trauma yang di alami membuat jiwanya terguncang.

"A-jeng di seret Lek Anam Shep" Ucap Melisa lirih dengan bibir bergetar,
tangisannya semakin deras saat ia mencoba mengingat apa yang di alaminya semalam.
Kupeluk erat tubuh Melisa sambil terus kubisikan semua akan baik baik saja.
"Asu Anam iki" (Dasar Anam binatang) Umpat Dista kesal, ia geram menahan marah karena apa yang di lakukan pak Anam pada kami.

Kami lega karena Melisa terselamatkan meski ia menderita trauma berat, akibat peristiwa yang di alaminya semalam.
Tanganku terasa di sentuh pelan lalu seperti di tarik pelan meski sebenarnya aku bisa mengehentikan langkahku, yang mulai berjalan pelan hatiku memilih menuruti tarikan pelan di tanganku.
Terasa halus hingga aku tersadar dengan apa yang kulihat saat ini. Dua bocah perempuan sedang menarik pelan tanganku dengan senyuman mereka yang membuat hati tenang sekaligus bertanya tanya, siapa sebenarnya mereka ini.
Aku terus berjalan pelan tak sadar dengan apa yang kualami saat ini. Dista dan Juminten yang membantu Melisa berjalan, mengikutiku berkali kali mereka memanggil namaku namun yang kulakukan justru terus berjalan mengikuti dua bocah di depanku saat ini.
"Shep, he arek iki kesurupan ta?" (Shep he anak ini kesurupan kah) Kata Dista mencoba menghentikanku yang terus berjalan tanpa menghiraukannya.

"Iku lak sepeda e awak dewe" (Itu kan motor kita) Ucap Juminten yang mengarahkan senter ke arah motor yang sengaja kami tinggal dua-
hari yang lalu.

"Loh iyo" (Lah benar) Sahut Dista bergegas mendahuluiku menuju motor kami.

Di sebelah motor kami seseorang sedang duduk di kegelapan malam, dengan nyala rokok yang menemaninya.
"Mbah Darkun?" Kata Dista setelah yakin orang yang duduk beralaskan tikar tersebut adalah Mbah Darkun.

"Sepurane Nduk, Mbah ora iso nulungi nyusul awakmu kabeh, seng iso tak lakoni namung ngenteni awakmu kabeh mbalek merene.
Aku percoyo mesti onok salah siji tekan awakmu seng iso mbuyarno kelakuane Harjo" (Maaf nak, Kakek tidak bisa menolong menyusul kalian semua, yang bisa kakek lakukan hanyalah menunggu kalian kembali kesini.
Kakek percaya salah satu dari kalian bisa menghentikan yang di lakukan Harjo) Jawab Mbah Darkun dengan pelan, sambil mengawasi sekeliling.

"Seng endi jenenge Harjo iku Mbah?" (Yang mana Harjo itu Mbah?) Tanya Dista penasaran.
"Harjo iku pengabdi Nyi Rukmi" Jawab Mbah Darkun, orang yang bersekutu dengan jin penguasa hutan ini.

"Terus Nyi Rukmi iku sopo Mbah?" (Terus
Nyi Rukmi itu siapa Mbah?) Tanyaku penasaran.

"Kuburane onok nek nduwur gunung cilik tengah alas ini Shep" (Kuburanya ada di atas-
bukit tengah hutan ini) Jawab mbah Darkun.

Tiba tiba angin kencang datang dari dalam hutan, di susul suara jeritan keras yang menyayat hati.

Sraaak ...
Part 14 (1)

Mbak Utari menuturkan kalo desa ini bukan dihuni oleh bangsa manusia.

"Jadi dua temanmu di jadikan tumbal pesugihan?" Tanya Utari setelah mendengar ceritaku.

"I-iya Mbak" Jawab Dista tergagap karena sorot mata tajam gadis cantik bernama Utari didepan kami saat ini.
"Lalu apa tujuan kalian datang ke desa ini?" Lanjut Utari, sorot mata tajamnya tak menghilangkan kecantikan di wajahnya. Mata kami tak berkedip saat menatapnya, bahkan sekelas artis papan atas saja tak sebanding jika mereka di sejajarkan.
"Untuk menyempurnakan teman kami yang di jadikan tumbal, Mbak" Ujarku menjelaskan.

Mendengar jawabanku, Utari nampak sedikit heran, beberapa kali ia menoleh pada pemuda yang bernama Alfan di sampingnya.
"Apa hubungannya dengan desa ini? Jika kalian ingin menyempurnakan jiwa teman kalian, bukan di sini tempatnya." Ucap Alfan memperhatikan kami bertiga yang kebingungan, "siapa yang menyuruh kalian kesini?" Lanjutnya sembari bertanya.
"Mbah Darkun" Jawab Juminten.

"Orang itu sengaja menyesatkan kalian" Kata Utari pelan, kali ini ia memandang ke arahku lama.

Kami tersentak kaget mendengarnya, bagai mana bisa orang yang kami percaya bisa membantu mengatasi masalah saat ini.
Malah menjerumuskan kami kedalam masalah yang lebih rumit.

Kami teringat akan Melisa yang bersama Mbah Darkun, jangan jangan. Semua yang terjadi saat ini karena ulah kakek tua itu.
Atau mungkin dia lah sebenarnya Mbah Harjo itu sendiri.
Aku panik saat sadar Melisa bersama Mbah Darkun, harusnya aku sadar dari awal dengan kehadirannya yang membuat pikiranku jangal.

"Kamu! yang bernama Shepia ikut aku, jika ingin menyempurnakan teman temanmu" Ucap Utari yang tiba tiba membuyarkan pikiranku.
"Tapi Mbak, Teman saya...."

"Mas Alfan akan membantu ke rumah dukun itu, dan kamu ikut aku. Karena aku butuh kamu untuk menjadi kunci tempat itu." Utari menyela perkataanku, membuat hatiku semakin bimbang, siapa yang harus kupercaya saat ini.
"Aku harus ikut kemana pun dia pergi
..." Kata Dista menyahut, tapi Dista sudah menunduk menghindari tatapan tajam mata Utari yang beralih memandangnya.
"Kalian hanya punya dua pilihan, percaya padaku atau tinggal di sini bergabung bersama penghuni alam lain. dan di luar sana kalian di nyatakan mati" Cerca Utari.
Kami diam dalam diam hati bimbang mana yang harus kami pilih, sedangkan untuk keluar dari desa ini saja kami tak tahu jalannya.
Di tambah lagi kemunculan dua orang yang sama sekali belum kami kenal.
"Kalian pasti bimbang, pertemuan kita bukan karena kebetulan. Tuhan menjawab doamu, dan temanmu Santi datang padaku untuk membantu kalian." Ujar Utari dengan nada tegasnya, dengan mata memandang ke arahku.
"Yowes Shep manut o ae" Kata Juminten lirih sambil menyenggol lenganku, dengan sikutnya.

Aku binggung harus menjawab apa, entah apa yang harus aku lakukan. Tiba tiba Utari mengarahkan telunjuknya ke arah belakangku, mahluk tua dengan baju compang camping. Tertawa ke arah kami.
Kami bertiga terkejut karena nenek tua yang berdiri di belakang kami saat ini, adalah Nyai Rukmi.
Ia terkekeh, membuat kami semakin bertanya tanya. Kenapa Nyai Rukmi masih mengincar kami, padahal syarat tumbal sudah kami hancurkan.
Badanku lemas rasanya saat tatapan Nyai Rukmi mengarah padaku, wajah keriput penuh bercak darah di wajahnya.

Utari dan Alfan berbalik melangkah meninggalkan kami, membantu kami saat ini hanya menambah masalah baginya.
Part 14 (2)

Suasana malam kian sepi, ditambah gerimis ringan di malam hari.

Aku masih menunggu intruksi dari Utari untuk memasuki rumah tua kediaman Mbah Harjo, dukun yang membantu pak Anam.
Utari masih berdiri tenang sorot matanya terus memperhatikan rumah Mbah Harjo, gerimis tak membuatnya pergi menepi untuk berteduh.

Gadis berambut panjang yang dikepang lurus ke bawah di sampingku saat ini. Hanya diam sambil terus menatap rumah Joglo di ujung jalan sana.
"Kamar dengan pintu coklat tua, berukiran aksara jawa. dengan dua bulan sabit, di kamar itu kendi yang kumaksud di simpan di bawah kolong tempat tidur." Utari mulai menjelaskan panjang lebar.

Aku mengangguk pelan pertanda mengerti.
"Jangan sampai salah kamar" Lanjutnya tegas.

"Iyo Mbak" Sahutku pelan pertanda mengerti maksudnya.

"Sebentar lagi bulan akan berubah warna merah, waktumu hanya 10 menit, sebelum bulan kembali kewarna semula" Kata Utari memperingatkanku.
"10 Menit?" Ucapku bertanya pada Utari.

Utari menganguk seraya berkata. " Nyai Rukmi mendiami salah satu kamar di rumah itu" Lanjut Utari.

Aku mulai bersiap, dadaku berdebar tak karuan. Emosiku meluap, sesekali mataku memandang ke arah langit, memastikan jika bulan akan segera-
berubah menjadi warna merah.

"Tenangkan emosimu" Ucap Utari, lalu memegang pergelangan tangan kiriku " Gelang ini. Apa kau keturunan keluarga Ramlan?" Tanya Utari heran.

"Ha .." Jawabku sambil mengerenyitkan dahi, tanda tak mengerti maksudnya.
"Apa kau keturunan keluarga Ramlan?" Utari mengulangi pertanyaannya lagi.

Aku menggeleng tak mengerti dengan maksud pertanyaannya, yang kutahu gelang yang sekarang kupakai adalah pemberian dari kakekku.
"Ini pemberian dari kakekku" Jawabku sambil memperhatikan gelang yang di maksud Utari.

"Pernah dengar peribahasa, harimau di tengah kumpulan domba? Dan saat serigala datang harimau itu ikut lari ketakukan" Kata Utari sorot matanya memperhatikan gerak gerikku, yang masih tak-
paham dengan perkataannya.

"Apa maksudnya Mbak" Tanyaku kemudian.

"Kau memiliki Trah Ramlan yang mengalir di darahmu. salah satu keluarga yang paling di segani, tetapi karena kau sendiri tidak tahu siapa dirimu, kau ikut lari ketika seekor serigala datang" Jawab-
utari.

Aku binggung harus menjawab apa, lagi pula saat ini yang kupikirkan bukanlah siapa diriku. Melainkan ketenangan temanku yang telah menjadi korban pesugihan Pak Anam.
Bulan perlahan, mulai memerah. Aku menatap mata Utari sebelum ia mengangguk pelan pertanda ini lah saatnya aku bergegas mengambil kendi yang di maksud Utari.

Kulangkahkan kaki berlari cepat menuju gerbang pintu kayu dengan pagar tinggi pembatas jalan dan halaman rumah.
Sebelum aku sampai di pintu tebal dari kayu yang melekat di pagar, pintu itu sudah terbuka pelan. Segera kumasuki pintu penghubung jalan dan halaman depan rumah.
Banyak sekali patung aneh dari kayu dengan berbagai macam ukuran, dan kesemuanya memiliki warna hitam pekat.

Kursi duduk yang mengelilingi mejanya pun, sangat aneh menurutku, karena berbentuk antik seperti kursi kuno.
Deg, mataku terbelalak ketika sadar salah satu patung perempuan yang mengenakan topeng mengeluarkan air mata darah dari celah mata topeng. Darah itu terus menetes ke lantai.
Part 15

Rumah utama kediaman Mbah Harjo bersama ketiga istrinya.

Melisa terikat di sebuah kamar gelap kediaman rumah Mbah Harjo, darah merembes dari ujung bibirnya serta kedua pipinya lebam akibat tamparan dukun tua bernama Harjo tersebut.
Mbah Harjo terpikat oleh kecantikan gadis asal kota malang yang kini ia sekap dalam kamar, Mbah Harjo berniat menjadikan Melisa Istri ke-empatnya.

Melisa menolak tegas niatan Mbah Harjo, meskipun dengan jaminan keselamatan dirinya dari tumbal pesugihan pak Anam.
Lebih baik mati menyusul temannya dari pada harus menjadi budak birahi dukun tua bangka di depannya saat ini.

"Pengen dadi bojoku opo ora?" (Mau jadi istriku tidak) Tanya Mbah Harjo alias Mbah Darkun dengan memaksa.
"Ora Sudi Jancok" (Tidak sudi sialan) Jawab Melisa cepat, ia kukuh dengan pendiriannya lebih baik mati dari pada harus menjadi istri dukun tua di hadapanya sekarang.

Air matanya merembes membasahi pipinya menahan tamparan demi tamparan tangan mbah Harjo, ia bulatkan tekad tetap-
kukuh pada pendiriannya.

Merasa usahanya sia-sia, juga tangannya mulai pegal karena memukuli wajah Melisa. pria tua tersebut keluar kamar dengan wajah penuh amarah.
"Kopine Pak" (Kopinya Pak) Kata istri pertama Mbah Harjo, sambil membawa nampan dengan segelas kopi panas.

Pyaaar ..

Mbah Harjo menampel kopi yang di bawa istrinya, dengan penuh amarah pria tua bermuka lusuh tersebut berkata, "nyengkreh soko ngarepku, wadonan goblok"
(Minggir dari hadapanku, perempuan bodoh) Hardik Mbah Harjo pada istrinya.

Kemudian ia memasuki salah satu kamar yang di khususkan untuk ritual, ia mulai bersila di depan meja untuk melakukan pemujaan pada sekutunya.
Mulut dukun tua tersebut komat kamit membaca suatu mantra berbahasa jawa kuno, kemudian ia mengambil kemenyan yang sudah di tumbuk halus di kolong meja di hadapannya saat ini, lalu menaburkan pada arang yang telah di bakar.
Setelah itu ia memejamkan matanya, pakaian serba hitam yang di kenakannya saat ini sudah berbaur dengan asap kemenyan, yang ia bakar tadi.

Mbah Harjo tak bisa konsentrasi pikirannya mulai kacau, terus terbayang wajah cantik Melisa di pikiranya.
Segera ia berdiri tak melanjutkan ritualnya lagi, lalu bergegas keluar kamar kembali, menuju kamar di mana saat ini Melisa yang sedang di sekap.

Mbah Harjo mengunci pintu kamar, matanya terus menatap wajah Melisa yang ia ikat di kursi.
Nafsu bejatnya tidak dapat ia kendalikan, dukun tua itu mulai menanggalkan satu persatu baju yang ia kenakan, dengan tersenyum menyerigai ke arah Melisa.

Sedangkan Melisa mulai menangis kembali, karena ia sadar apa yang akan di lakukan dukun bejat itu.

===
Tempat Dista dan Ella (Juminten) saat ini.

Dua gadis sedang berjalan tergesa ditemani seorang pemuda gagah yang menuntun jalan mereka menuju kediaman utama Mbah Harjo.

"Shepia ora popo kan Mas?" (Shepia tidak kenapa kenapa kan Mas?) Tanya Dista pada Alfan dengan wajah khawatir.
Sebagai seorang kakak Dista sangat peka dengan nalurinya, ia bisa merasakan jika adik perempuannya dalam kesulitan.

Dan rasa khawatirnya saat ini begitu besar pada Shepia, ia merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi pada adik sepupunya tersebut.
"Mbak Utari pasti menjaganya, bukan tanpa alasan Mbak Utari mau menolong kalian" Jawab Alfan menepis rasa khawatir Dista.
Part 16

Kekacauan yang timbul di rumah Mbah Harjo membuat para tetangga sekitar rumah berdatangan, Alfan mulai menceritakan perihal yang terjadi saat ini.

Juminten yang kelelahan masih menyempatkan menendang tubuh Mbah Harjo, sebelum ia membantu Dista memapah Melisa.
Suasana menjadi semakin riuh, karena banyak warga terus berdatangan ke rumah Mbah Harjo.

Dista mulai menghubungi keluarga di malang, menjelaskan kronologi kejadian yang mereka alami.

Berkali-kali Juminten menghubungi Shepia ia nampak cemas, dengan kabar dari satu orang temannya
yang belum di ketahui.

Penduduk geram mengetahui kelakuan Mbah Harjo, mereka mengikat tubuh pria tua tersebut pada tiang rumah.

===
Esok hari Jam 10 Pagi.

Para keluarga dari Malang sudah sampai di tempat tempat Dista dan Juminten berada.

"Yo opo seh, Nduk" (Gimana sih, Nak) ucap Bu Eni, Ibu kandung dari Shepia ia histeris ketika mengetahui anak gadis satu satunya tak ada kabar.
Kedua orang tua Ajeng, Bu Ririn sampai pingsan ketika anak gadisnya di nyatakan meninggal.

Lalu keluarga Eva meratapi kepergian anak gadisnya, mereka tak percaya Eva sudah tiada.

Melisa mulai menceritakan pelariannya bersama Ajeng semalam.
Malam saat mereka berdua berlari.

Melisa berlari mengikuti Ajeng meraka sama - sama panik, dengan pocongan yang tiba tiba jatuh dari atas.

Kedua gadis berlari di tengah gelapnya hutan berselimut kabut pekat, kaki meraka yang lelah terus di paksa untuk berlari.
Hingga akhirnya Melisa terjatuh karena kakinya tersandung akar pohon, senter yang ia genggam terlempar.

Akh ..

Melisa terkejut, karena kakinya di tarik dari belakang. Ia meronta saat sebuah tangan mencengkeram erat kakinya, mulutnya ingin berteriak tapi suara nya tak keluar.
Perlahan tubuhnya di seret ke belakang, meski ia meronta keras, tangan seseorang tak terlihat jelas karena gelapnya malam semakin erat mencengkeram pergelangan kakinya.

Ajeng yang menyadari Melisa tak bersamanya, berbalik matanya terbelalak kaget, saat Melisa di tarik dari-
belakang oleh seseorang.

Langkah kakinya yang semula gemetaran menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.

Kini ia paksakan berlari menolong temannya, ia kepalkan erat tangannya memukul ke arah sosok pria yang tak jelas wujudnya di kegelapan malam.
Buaak ..

Pukulan Ajeng tepat sasaran, pria itu jatuh tersungkur. Ajeng membantu Melisa bangkit, sebelum tangan pria itu menjambak rambut Ajeng.

"Mel melayu disek!" (Mel lari dulu!) ujar Ajeng setengah berteriak.
Melisa diam sesaat hatinya bimbang, antara lari atau melawan balik.
Melisa melemparkan tasnya ke arah pria yang menjambak Ajeng.

Sebelum Melisa sempat melawan balik, Ajeng mendorongnya keras menyuruhnya berlari, "ndang mlayu!" seru Ajeng keras.
Ajeng melawan balik pria yang kini sudah bergulung - gulung di tanah bersamanya.

Sementara Melisa dengan berat hati berlari menuruti permintaan Ajeng, ia sempat menoleh ke belakang jauh dalam benaknya ia ingin melawan orang tersebut bersama Ajeng.
Jatuh bangun Melisa berlari dalam hutan, tanpa penerangan cahaya tanpa tahu arah dan tujuan, kaki yang yang telah lelah ia paksa terus berlari dan berkali kali ia jatuh tersandung akar pohon.
Part 17

Malam di saat semua temannya berlari ketakutan, Eva juga terkejut karena penampakan pocong yang tiba-tiba jatuh di tengah-tengah mereka.

Mata Eva beradu pandang dengan Shepia yang tengah berlari menjauh, karena tangannya di tarik oleh Dista.
Dalam diam Eva mencerna semua kejadian, demi kejadian yang mereka alami. Berlari menjauh tidak akan menyelesaikan semua masalah yang sudah terjadi.

Timbul rasa bersalah karena ia yang menuntun semua teman-temannya, masuk dalam perangkap licik Pak Anam bersama Mbah Harjo.
Kini Eva sadar. Saat pertama kali datang ke desa sebelum memasuki hutan, mereka sudah masuk dalam permaianan Mbah Harjo.

Air mata sebagai tanda penyesalannya, mengalir membasahi kedua pipinya. Dalam duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya, Eva mulai mengutuk dirinya sendiri.
Rasa bersalah akan nasib kelima temannya, yang di haruskan mati sampai besok malam. Serta teriakan kesakitan dari para gadis korban tumbal pesugihan, untuk Nyai Rukmi membuat hatinya semakin menciut.
Malam semakin sunyi, Eva yang masih terpuruk karena rasa bersalahnya menangis keras, dalam kegelapan malam.

Ingatan Eva kembali mengingat masa lalunya, bersama Shepia. Meski beda kelas dan Eva lebih tinggi satu tingkatan, kisah persahabatan mereka berdua selalu ia kenang.
Eva yang memiliki latar belakang seorang Anak indigo, tentang agama yang di anutnya. Menjadikan dirinya di kucilkan dalam pergaulan.
Hanya Shepia yang mengulurkan tangan padanya, menerimanya layaknya seorang saudara kandung sendiri.
Kini ia sadar, tentang sebuah jalan yang akan pilih. Berlari menyelamatkan dirinya sendiri, atau berkorban demi kelima temannya. Ia kepalkan erat kedua tangannya, lalu mengusap sisa air matanya yang telah berhenti mengalir.
Eva beranjak dari duduknya, pocongan yang yang tadi muncul hanyalah siasat Mbah Harjo agar kami terpencar, dan saat kami berpencar karena rasa panik bercampur ketakutan di sanalah teror kiriman akan di lancarkan, oleh Mbah Harjo.
Dalam diam Eva memandangi langit pekat, tanpa taburan bintang di malam hari. Senyuman bahagia menghiasi bibir tipisnya, ia sudah membulatkan tekad.

Eva bergegas berlari keluar dari bangunan tua yang telah roboh, ia berlari tanpa penerangan cahaya. seolah tau arah tujuannya-
Seandainya temannya tadi tidak berlari, seandainya mereka masih berkumpul, tidak terpencar. Mungkin mereka berenam masih selamat sampai saat ini.
Namun ia hanyalah manusia biasa, ia tidak bisa menyalahkan keadaan yang sudah terlanjur terjadi.
Yang harus ia lakukan saat ini adalah. Bagimana caranya menyelamatkan mereka meski dengan taruhan nyawanya sendiri.

Eva sudah sampai di sungai kecil, di sebrang sungai. Sudah terlihat gapura kecil dengan lumut yang tumbuh menjalar di tiap bagian gapura.
Eva semakin mempercepat larinya, menyeberangi sungai dengan bebatuan di tengah sungai, dengan air jernih.

Keringat yang keluar membasahi keningnya, nampak tak di dihiraukan oleh Eva.
Tangga kecil yang mengarah ke atas bukit, dengan pohon bambu yang tumbuh lebat di samping kiri kanan anak tangga. Membuat suasana malam semakin angker.

Di atas bukit, tanah lapang dengan pagar setinggi satu meter yang mengelilingi tanah tersebut.
Menjadikan pembatas antara tempat ritual dengan pohon bambu di sekitar tempat itu.
Seorang pria paruh baya sedang duduk bersila, di depan gundukan tanah kuburan dengan batu nisan kayu yang telah lapuk termakan usia, menandakan usia kuburan tersebut sudah puluhan, bahkan ratusan tahun silam.
Part 18
Geger Makam Santi.

Pagi hari di desa Jati Sari, geger karena makam Santi di bongkar tanpa sepengetahuan perangkat desa dan warga. Meski beberapa warga mengusulkan agar jenazah Santi kembali di sucikan.
Pak Kades dan beberapa perangkat desa datang ke lokasi kuburan Santi, beberapa warga nampak berkerumun karena laporan pak Imam.

Kuburan Santi sudah ambles ke bawah pagi hari itu, Pak Kades menyuruh dua orang untuk membongkar makan Santi pagi itu.
Karena merasa curiga dengan keadaan tanah makam yang seperti habis di gali.

Dua orang suruhan pak Kades segera mencangkul kuburan Santi. Karena tak ingin menimbulkan keramaian lagi, beberapa warga yang berkumpul di suruh bubar sejenak, sambil menunggu kabar.
Dari penuturan Juminten yang ia dengar dari Ibunya, waktu makam Santi di bongkar, yang ditemukan justru pelepah pohon pisang. Jasad Santi tidak ada di dalam lubang kuburnya, Pak Kades dan perangkat desa beserta beberpa warga yang menyaksikan hal itu amat terkejut.
Atas perintah Pak Kades, salah satu aparat desa menemui keluarga Pak Anam. Di Rumah Pak Anam hanya ada Bu Anam seorang diri. Sementara Pak Anam sudah dari kemarin belum pulang dari penuturan Bu Anam, Pak Anam sejak kemarin malam belum pulang kerumah.
Sementara Didik, kakak laki-laki Santi sedang terbaring sakit di atas ranjang tidurnya, tak jelas sakit apa yang di deritanya. Badan Didik membiru di sekujur tubuhnya, bahkan panas badanya tak kunjung turun sejak tiga hari ini.
Anas, perangkat desa yang di utus pak kades menjelaskan jika jasad Santi tidak ada dalam kuburannya.

Mendengar jasad anak gadisnya tidak berada di tempatnya, Bu Anam kaget sampai pingsan beberapa kali.
Wanita paruh baya yang mengenakan hijab tersebut tak kuasa menahan beban hidupnya, di saat genting begini suami tak berada di sampingnya, Pak Anam hanya berkata padanya kalo keluar kota untuk beberapa hari.
Gunjingan para tetangga yang terus mencibir keluarganya, karena Santi anak gadisnya menjadi setan yang bergentayangan setiap malam.

Sepulang Anas dari rumahnya, Bu anam tak kuasa menahan tangisnya. Wanita berhijab tersebut terduduk sambil menangisi nasib keluarganya.
"B-Buukk .." Suara serak, pelan Didik dari kamarnya.

Bu Anam masih belum beranjak dari duduknya, meski ia mendengar suara Didik memanggilnya, Bu Anam butuh beberapa saat untuk menguasai emosinya dan menghapus air matanya saat bertemu Didik di kamarnya nanti.
Dalam kamar tubuh Didik kejang, mata didik melotot pemuda 29 Tahun yang belum menikah tersebut, seperti sedang melihat hantu yang mendatanginya.

Bu Anam melangkah pelan menuju kamar Didik yang sedang terbaring tak berdaya saat ini.
Jika dulu kamar Didik sangat bersih dengan berang-barang yang di tata rapi. Berbeda dengan saat ini, kamar Didik berbau amis dari daging busuk bercampur kotoran serta air seni yang terus menerus keluar dari tubuh Didik.
Melihat tubuh Didik yang mengejang, Bu Anam mempercepat langkahnya menghampiri Didik, meski berkali-kali Bu Anam mengucapkan kalimat Syahadat untuk mengiringi kepergian anak lelakinya, Didik tetap diam membisu dengan mata melotot. Pemuda itu meninggal secara tidak wajar.
Bu Anam kembali menangis dengan memeluk tubuh Didik yang sudah tidak bernyawa, setelah puas dengan tangisannya meratapi nasip keluarganya, dan cibiran para tetangga yang menghujat keluarganya.
Membuat Bu Anam tak kuasa menanggung beban hidupnya, tidak ada yang memberikan pertolongan untuknya, dengan pandangan mata kosong wanita paruh baya itu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri dalam rumahnya.
Part 19

Episode Special Of Shepia Story. (Bagian 1)

Sheeepia .. Bangun, katanya mau ke malang hari ini?" Suara Mbak Ayu di siang hari membangunkan tidurku,

Ku kucek pelan kedua mataku, aku masih ingin bermalas-malasan di atas kasur.
Karena baru seminggu ini aku bisa menghirup udara bebas, setelah apa yang di lakukan Mbak Ayu padaku.

"Eh .." Aku terperanjat kaget, mengingat hari ini adalah hari istimewa. Bukan bagiku, tapi bagi Dista kakak sepupuku karena di hari ini, ia melangsungkan pernikahan.
Cepat-cepat aku meloncat dari kasur, lalu berlari kecil menuju kamar Mbak Ayu.

"Sugeng Enjing Non" (Selamat pagi) Sapa Bu Ines Abdi ndalem rumah besar milik Mbak Ayu.

"Iya, Buk" Kataku membalas sapaan lembutnya.
Sebenarnya aku tak ingin di perlakuan istimewa di rumah ini, tapi mbak Ayu bilang kalo aku harus menempatkan posisiku sebagai mana semestinya.

3 Tahun yang lalu setelah kejadian Arwah Penasaran Santi.
Aku di titipkan di keluarga ini, dengan harapan di usiaku yang menginjak dewasa ini, bisa meneruskan tradisi Trah Ramlan yang mengalir dalam darahku.

Meski Mbak Ayu sudah seperti kakak kandungku sendiri, tapi gemblengan yang kuterima darinya jauh di luar perkiraanku.
Berbagai ritual kujalani, mulai dari puasa pati geni, senin kamis, puasa mutih selama 40 hari, dan akhirnya aku di asingkan di berbagai hutan yang tak pernah kuketahui namanya.

Yang lebih parah lagi, aku di kubur hidup-hidup menjalani, hidup di antara dua alam. Alam dunia dan-
alam kubur.

Mentalku benar-benar di uji di sana, berbagai mahluk dunia lain datang secara bergantian.
Dari sana ketakutan serta air mataku telah lama habis, karena setiap malam bisikan godaan padaku membuat air mataku habis untuk sebuah ketakutan, bahkan untuk ketakutan-
dari sebuah kematian pun sudah wajar menghantuiku.

Aku harus lebih kuat, demi mereka yang selalu menunggu kepulanganku, demi Eva yang mengorbankan dirinya untuk kami.

Demi ayah dan ibuku yang selalu mendoakan diriku tanpa kabar selama 3 Tahun ini.
Aku kangen kalian semua, hari ini aku akan menemui mereka. Setelah sekian lama tak bertemu, bagaimana kabar Juminten, Sofi, Melisa, dan Dista di Malang sana.
Dan yang lebih utama kabar Ibuku dan ayahku, apakah mereka masih terus menangisi diriku seperti dahulu, saat masih bersama mereka. Jika aku pergi bermain terlalu jauh dari rumah, Ibu akan memarahiku.
Aku kangen perhatiannya, kangen pelukannya, kangen tutur kata lembutnya.
Kangen pada sosok pria yang selalu datang mengulurkan tangannya jika aku menangis, kangen masa-masa kecil hingga aku tumbuh dewasa di tengah tengah mereka.
"Shep, itu ilernya hapus dulu, atau mandi dulu sana" Ucap Mbak Ayu saat aku memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri ia yang sedang duduk depan meja mengoreksi data bisnis keluarganya.
Bahkan aku juga baru tahu kalo 4 bisnis keluargaku sampai sekarang di jalankan olehnya, tentu saja atas permintaan Disa.

"Sekalian aja buat mandi" Ucap Mbak Ayu, kalem saat melihatku yang tengah menyemprotkan parfum kesukaannya pada badanku.
"Huuu ..." Sahutku sambil memanyunkan bibir kedepan.

"Kamu ngak mau di antar pake sopir aja, Dek?" Tanyanya lagi.

"Budal dewe kendel kok Mbak" (berangkat sendiri berani kok Mbak) Jawabku asal, lalu memakai semua peralatan kosmetik di meja riasnya.
Part 20

Tanpa terasa kami bercerita sampai larut malam, karena waktuku di malang hanya 2 hari, dan lusa Mbak Ayu akan menyusulku kemari. Juminten menginap di rumah malam ini, karena besok pagi Juminten akan pergi keluar kota bersama keluarganya, sedangkan Dista ia sudah di-
boyong ke Surabaya oleh suaminya.

Lalu Melisa juga sudah sibuk, ia bekerja di salah satu hotel di pulau Dewata Bali.

Sudah biasa bagiku jika bangun lewat pukul 9 pagi, Juminten yang semalam tidur bersamaku di kamar sudah pergi.
Juminten hanya menitipkan salam lewat Ibuku jika nanti setelah urusannya selesai ia akan kembali kesini.

"Masak opo? Buk" (Masak apa? Buk) Tanyaku saat menghampirinya di dapur.
Mbok yo adus disek Shep, sek pancet ae polahe" (Mandi dulu sana Shep, masih belum berubah saja tingkahnya) Kata Ibu, karena baru bangun tidur aku sudah menyapanya tanpa mandi terlebih dahulu.

"Males" Jawabku santai, kebiasaanku masih belum hilang, telur dadar yang ibu tiriskan-
kuambil seperti dahulu.

"Shep" Panggil Ibu, saat aku mulai memakan telur dadar di sampingnya.

"Hmmm .." Sahutku sambil mengunyah.
"Masio adoh teko ibuk, nek kangen moleh yo. Iki yo omahmu, ibuk mesti ngenteni Shepia moleh, masio ta aku iki duduk Ibuk .." (Meskipun jauh dari ibu, kalo kangen pulang yah, ini juga rumahmu, Ibu pasti menunggu Shepia pulang, meskipun aku ini bukan Ibu ...)
"Buk!" Sahutku memotong pembicaraannya, "Ibuk iki ngomong opo seh, cukup, bagiku Ibuk iku ibuk kandungku, aku gak butuh liyane maneh. Aku ora bakalan lali karo jasane Ibuk." (Ibu ini ngomong apa sih, cukup, bagiku ibu itu orang tua kandungku sendiri, aku tidak butuh yang lainnya-
lagi, aku tidak akan pernah melupakan jasa ibu.)

Mata ibu mulai sembab mendengar ucapanku, sebenarnya aku pun ingin terus bersamanya. Namun urusanku belum selesai, aku masih punya waktu sampai besok pagi.
Ku peluk tubuh ibuku, bagiku ia lebih dari sekedar ibu kandungku sendiri. Kuhapus air mata yang mulai mengalir di pipinya.

"Aku janji nek urusane, wes beres aku bakal moleh" (Aku janji kalo urusanya, sudah beres aku akan kembali pulang) Ucapku lalu mencium kedua pipinya.
"Shep"

"Dalem" jawabku santun.

"Mambu iler, adus disek kono loh" (Bau iler, mandi dulu sana) Jawab ibu, bukanya mendorongku seperti dulu saat aku memeluknya tanpa mandi, kali ibu semakin memelukku erat.
"Ayah gak di peluk pisan Shep" (Ayah tidak di peluk juga Shep) Kata ayah yang menghampiri kami di dapur.

"Sepedaku, endi Yah?" (Motorku, mana Yah?) Tanpa memperdulikan pertanyaannya, aku malah balik bertanya. Menanyakan vario putihku dulu.
"Kate nandi seh, wong yo tas teko mbok, meneng nek omah disek" (Mau kemana sih, baru datang juga mending di rumah dulu) Kata ibu.

"Nyekar" Jawabku.

Karena alasanku yang akan pergi menyekar ke pemakaman Ajeng dan Eva, Ibu memaksaku untuk mandi.
"Shep kate nandi?" (Shep mau kemana?) Sapa Sofi saat melihatku mengeluarkan motor, karena rumah kami berdempetan Sofi yang sedang duduk bermain gawainya langsung menghampiriku.

"Nyekar, melok a?" (Nyekar, mau ikut?)
"Melok, aku yo kate cerito nang awakmu" (Ikut, aku juga ingin bercerita padamu)

"Yawes nyoh gocengen." (Yaudah kalo gitu kamu yang bonceng)

Muka Sofi langsung berubah merenggut, saat aku menyuruhnya untuk membonceng. Padahal dulu kami berdua lebih suka duduk di belakang dari-
pada menyetir.

Tujuan pertamaku adalah makam Ajeng dan Mbak Santi, aku menyuruh Sofi untuk bercerita nanti. Setelah dari rumah Eva.

Langkahku menyusuri pemakaman desa, jika dulu aku sangat takut tentang kematian dan kuburan, kali ini rasa ketakutan dalam diriku serasa lenyap.
Aku mulai berjongkok di samping makam dengan batu nisan putih, bertuliskan nama Ajeng.
Pelan ku-usap debu yang menempel di batu nisannya, kuceritakan semua perjalanan hidup kami selepas kepergiannya, aku berharap Ajeng juga tenang di alam sana.
Meski dulu kami sering bertengkar hanya karena masalah sepele, pagi bertengkar, sore sudah baikan.

Ingatanku kembali berputar mengingat kejadian kami 3 tahun yang lalu, bulir air mataku mulai menetes.
Sofi yang juga sedang berjongkok di sampingku, mulai mengelus pelan pundakku. Sofi berpikir aku masih trauma dengan kejadian waktu itu.

Lalu kutaburkan bunga di makam Ajeng, tadi sebelum ke makam, kami sempat mampir untuk beli beberapa bunga untuk menyekar.
Setelah mendoakan Ajeng agar tenang di alam sana, kali ini aku menghampiri makam Mbak Santi, kulakukan hal yang sama pada makam Mbak Santi, setelah menaburkan bunga, lalu mendoakannya juga dan tak lupa berterimakasih padanya, karena berkat Mbak Santi kami masih hidup sampai-
sekarang.

Lalu aku dan Sofi menuju makam Eva, jaraknya agak jauh karena berbeda desa dan kecamatan.
Dadaku serasa sesak mengingat Eva, aku bersimpuh di peristirahatan terakhirnya, tangisku tak terbendung lagi. Ingatan masa-masa bersamanya dahulu, teman yang selalu bersamaku.
Dikala susah mau senang, saat aku dalam masalah ia datang membawa ide-ide cemerlangnya.

Erat pelukanku saat memeluk batu nisannya, masih terasa pelukan terakhirnya sebelum Eva benar-benar pergi.
"Shep wes sore" (Shep sudah sore) Ucap Sofi menepuk pelan pundakku.

Waktu terasa begitu cepat, saat kuceritakan semua kisahku di kuburan Eva, aku berharap di atas sana ia masih berkenan mendengar semua kisah hidupku.
Tidak lengkap rasanya jika tidak mampir ke rumah Eva, kuberanikan diri untuk mampir di rumah Eva.
Padahal aku takut jika Ibu Eva menyalahkanku, atas kepergian Eva.

Pintu pagar rumah Eva kudorong dengan pelan, rumah besar Eva masih sama seperti dahulu.
Rumah yang selalu menjadi tempat persinggahanku saat bolos sekolah atau hanya sekedar mampir.

Aku berdiri di depan pintu rumah Eva, lama tanganku tak mengetuk pintu rumahnya, perasaan mulai bercampur aduk, merasa bersalah, takut dengan kata-kata makian keluarga Eva atas-
kepergian Eva.

Shepia, kok ndak masuk Nduk." (Shepia, kok tidak masuk Nak) Sapa seseorang dari samping rumah.

Aku menoleh, pada suara yang sangat kukenal, Bu Fatma Ibu kandung Eva.
Mataku berkaca-kaca melihat sosok wanita paruh baya ini, bukan sebuah tuduhan atau pun makian yang kudapat melainkan pelukan hangat seorang ibu darinya.
Bu Fatma menerima takdir dengan lapang dada, malah beliau takut jika karena kepergian Eva aku merasa bersalah dan tidak mampir kerumahnya untuk sekedar memberi kabar.

Lalu Sofi bercerita tentang kematian Bu Anam yang meninggal secara gantung diri, serta anak laki-lakinya yang-
meninggal secara tidak wajar.

Sofi juga bercerita jika di dalam mimpinya ia bertemu dengan Mbak Santi. Mbak Santi menuturkan jika ia akan membantu kami yang terjebak di dalam hutan waktu itu.
Kubuka album kenangan berisi semua foto kami sewaktu masih sekolah, dengan pelan kubuka lembar demi lembar. Banyak sekali foto kenangan kami berenam.

Air mataku tak terbendung lagi mengingat kenangan masa lalu.

"Semoga tenang di alam sana Eva." Ucapku lirih.

TAMAT

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with ꅐꋬꋊ꒯ꋬ

ꅐꋬꋊ꒯ꋬ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @neverminess

8 Aug
Gypsy Rose Blanchard lahir 1 Juli 1991 dari pasangan Rod dan Dee Dee Blanchard di AS. Namun Rod dan Dee Dee berpisah tak lama sebelum kelahiran anak mereka, Gypsy. Dee Dee kemudian membawa Gypsy tinggal di rumah orangtuanya.
Saat berumur 8 tahun , Gypsy jatuh dari sepeda motor kakeknya. Meski hanya luka kecil, Dee Dee membawanya ke Rumah Sakit. Karena kekhawatiran yang berlebihan, Dee Dee mengharuskan Gypsy menggunakan kursi roda meski sebenarnya Gypsy bisa berjalan normal.
Read 24 tweets
8 Aug
Diketahui Elizabeth Bathory lahir pada tahun 7 Agustus 1560 dan wafat pada 21 Agustus 1614 diusianya yang ke 54 tahun.

Ia adalah salah satu putri dari pasangan Georges dan Anna Báthory yang merupakan bangsawan yang kaya raya dan salah satu keluarga bangsawan paling dihormati di
Hungaria pada masa itu. Keluarga besarnya juga terdiri dari orang-orang terpandang. Salah satu sepupunya adalah perdana menteri di Hungaria, dan seorang lagi adalah Kardinal.

Kisah mengerikan Elizabeth dimulai sejak pada tahun 1600, ketika itu suaminya Ferenc, meninggal dunia.
Read 13 tweets
8 Aug
Jumat malam yang normal pada 17 November 1978, restoran Burger Chef di Speedway, Indiana buka seperti biasa. Tidak ada yang aneh atau luar biasa hari itu, tetapi sekitar tengah malam salah satu karyawan restoran tiba dan menemukan tempat itu kosong, padahal seharusnya ada 4-
petugas yang sedang bekerja saat itu.

Asisten manajer Jayne Friedt (20), Daniel Davis (16), Mark Flemmonds (16), dan Ruth Ellen Shelton (17), semuanya hilang dan tidak ada ditempat, pada awalnya tidak ada yang aneh di restoran. Lampu menyala semua, dompet, tas, dan mantel para-
Read 32 tweets
8 Aug
Josef dan Rosemarie Fritzl menikah ketika mereka masing-masing baru berusia 21 dan 17 tahun pada tahun 1956. Mereka menetap di Austria dan memiliki tujuh anak bersama; lima putri dan dua putra.
Pada saat Josef berusia pertengahan tiga puluhan, dia sudah memiliki lembaran rap yang panjang termasuk pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, eksposur tidak senonoh, penipuan dan pembakaran.
Read 44 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(