Bang Beben Profile picture
Aug 15, 2021 1122 tweets >60 min read Read on X
Petaka Tambang Emas Berdarah
Bab 1: Kepergian Abah

Cc @bacahorror @IDN_Horor @HorrorBaca

#hororthread #bacahorror #ceritaserem Image
Aku terpaksa jadi penambang emas liar, kehidupan keras yang tak pernah kuinginkan sebelumnya. Jujur, setelah lulus SMA dua tahun lalu sebenarnya aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Aku iri dengan Jali, anak haji Dullah si juragan sembako. Padahal si Jali ini terkenal bandel dan suka bolos waktu sekolah dulu. Tapi karena terlahir dari orang kaya, tentu saja nasib si Jali jauh lebih beruntung.
Dengan duit orangtuanya yang berkarung-karung, Jali bisa menyandang status mahasiswa di salah satu universitas di pulau Jawa sana.
Aku juga kesal dengan si Mila. Gadis genit berotak kosong itu dengan gampangnya memakai jas almamater salah satu perguruan tinggi di kota. Sewaktu sekolah dulu, Mila ini hanya sibuk dengan pupur dan gincu.
Ketika ditanya oleh guru bahasa Inggris, jawabannya hanya yes dan no. Tapi lagi-lagi karena punya duit, otak kosong bukanlah penghalang bagi orang seperti Mila, anak salah satu pejabat di kabupatenku.
Sedangkan aku, hanya bisa pasrah menyandang status sebagai orang miskin. Apesnya, udah miskin tetap saja tidak pernah dapat BLT dari kelurahan. Aku juga sudah malas mengurus tetek bengek administrasi yang ribet.
Selalu saja kurang berkas, entah apa alasanya. Yang kutahu, BLT dan sebagainya hanya dibagikan bagi keluarga Lurah, keluarga pegawai kelurahan, juga keluarga pak RT dan kawan-kawannya yang tidak layak disebut miskin.
Lalu orang miskin sepertiku ini hanya bisa memaki dalam hati. Pasrah dengan keadaan dan menjalani pahitnya kemiskinan. Ngadu pada camat, dicuekin. Ngadu pada Bupati, tetap dicuekin. Ngadu pada Tuhan, eh...tetap dicuekin.
Mau gimana lagi, terkutuknya kemiskinan sepertinya belum mau lepas dari kehidupanku.

Sebenarnya kehidupanku pernah sedikit nyaman sewaktu Abah masih hidup. Walau tidak pernah berlebihan duit, setidaknya aku dan Ibu tidak pernah makan pakai garam.
Tidak juga hanya makan daun singkong rebus selama berhari-hari. Walau setahun sekali, dulu aku juga bisa pakai baju baru sewaktu lebaran.
Kemudian Abah meninggal akibat tenggelam di sungai Barito.
Jasadnya ditemukan tiga hari kemudian dengan kondisi yang sulit dikenali. Sungguh aneh, karena Abah orang yang jago berenang.
Yang kuingat, waktu itu selepas Isya Abah pamit pergi ke Lanting, rumah apung yang ada pinggiran sungai Barito. Kata Abah, beliau ingin bertemu dengan kawannya untuk membahas lokasi penambangan emas berikutnya.
Namun hingga lewat tengah malam Abah tak juga kunjung balik. Hingga tersiar kabar keesokan paginya Abah terjatuh dan tenggelam di sungai.
Kata kawan-kawannya, malam itu Abah datang ke lanting sebenarnya bukan untuk membahas lokasi penambangan, tapi untuk pesta miras.
Memang beberapa hari sebelumnya usaha Abah dan kawan-kawannya sebagai penambang emas liar dapat hasil yang lumayan. Sudah rahasia umum juga, orang-orang susah itu kalau dapat duit agak lebih sedikit gak jauh-jauh dari miras.
Karena dalam kondisi mabuk, Abah yang berusaha pulang malah terpeleset di titian batang kayu dan terseret arus sungai Barito yang deras.
Tiga hari kemudian, jasad Abah ditemukan tersangkut di Lanting yang ada di bagian hilir sungai.
Ibu tidak terima, sakit hati dan hampir gila. Walau bukan orang relijius, menurut ibu, Abah bukanlah orang yang suka mabuk. Jangankan mabuk, melihat botol miras saja Abah tak suka.
Waktu itu, Ibu menangis sejadi-jadinya, meraung-raung bagai orang kesurupan melihat jasad Abah yang sudah membusuk.

Selepas pemakaman Abah, berhari-hari ibu tidak makan, tidak mandi dan tidak ganti pakaian.
Tubuhnya bau, jorok dan rambutnya acak-acakan. Kukunya pun semakin panjang dan menghitam karena tidak dipotong.

Bila malam tiba, aku sering ketakutan sendiri di rumah melihat tingkah ibu. Sering aku terbangun tengah malam karena mendengar suara tangis menyayat hati.
Dari balik kelambu, sambil menahan jerit aku memelototi punggung perempuan yang meratap di dapur.
Rambut yang hitam, panjang dan terurai menyentuh lantai dengan pundak yang bergoyang akibat sesenggukan, membuat jantungku rasanya mau copot.
Aku semakin gemetaran ketika perempuan itu tiba-tiba menoleh, menatap tajam kearahku yang tengah berbaring di dalam kelambu.
Memang, rumah kami yang sempit ini tidak punya kamar. Hanya sekat ruang tamu, lalu tempat tidur yang langsung lurus ke arah dapur. Sehingga dari tempat tidur, aku bisa melihat langsung ada perempuan yang tengah duduk di dekat kompor.
"Hamid...? Kok belum tidur ?" tanya perempuan itu tiba-tiba.

"Be-belum bu." jawabku terbata. Antara kaget dan lega, ternyata perempuan yang duduk di dapur tadi bukanlah kuntilanak nyasar. Tapi ibu yang sedang berduka.
"Tidur nak...besok kamu harus sekolah." kata ibu lagi pelan. Sedih, perih dan menyayat hati. Matanya sembab karena menangis.

"Besok hari Minggu bu, sekolah libur." jawabku polos.
Ibu terlihat kaget. Sepertinya tersadar sudah hampir 10 hari ia tak pernah mengurusku. Aku dibiarkan sendiri, mencari makan kesana kemari. Bila lapar, kadang aku mencuri buah jambu di kebun Haji Rasyid.
Bila apes, sumpah serapah mengiringi langkahku berlari, menghindari kejaran anak-anaknya yang membawa kayu.

Seragam putih merahku pun sudah menguning, dekil, penuh daki dan bau. Sejak kepergian Abah, kesedihan ibu membuatnya tak lagi peduli padaku.
Jangankan mengurusku yang masih duduk di kelas 5 SD, mengurus dirinya sendiri pun ibu sudah tak mampu.

Untung saja ada Mang Anang, sahabat sekaligus boss almarhum Abah sewaktu bekerja sebagai penambang emas liar.
Mang Anang inilah, yang disebut anak buahnya Kapten, yang banyak membantu mengurus pemakaman Abah. Mang Anang juga yang kerap membantuku dan ibu setelah kematian Abah.
Tak jarang Mang Anang mengantari kami beras, ikan asin, serta keperluan dapur lainnya.
Tentu saja ia sisipkan sedikit uang untuk ibu dan uang jajanku.

Apa yang dilakukan Mang Anang, bukan hanya sekedar belas kasihan pada anak dan istri sahabatnya.
Tapi lebih rasa bersalah. Mengetahui kematian Abah, Mang Anang yang waktu itu ada di kota Banjarmasin untuk menjual emas, bergegas pulang hari itu juga.
Mang Anang mengamuk habis-habisan. Anak buahnya yang mengajak almarhum Abah untuk pesta miras malam itu, dimaki tanpa ampun.
Penambangan emas yang dilakukan oleh kelompok mang Anang pun dihentikan berbulan-bulan. Mang Anang menyesal, menyalahkan diri sendiri. Kata mang Anang, mungkin saja Abah masih hidup kalau saja ia mengajaknya ke Banjarmasin.
Tapi apa mau dikata, takdir tak bisa ditolak dan umur tidak berbau.

"Terimalah, Arbayah. Tak perlu kau sungkan. Almarhum suamimu juga pasti melakukan hal yang sama untuk keluargaku. Kau juga tahu, aku dan almarhum sudah bagai saudara kandung.
Kami hidup serantang-seruntung sedari masih bujang."

Tangan ibu bergetar dan matanya berkaca-kaca, ketika pertama kali mang Anang mengantarkan bantuan waktu itu.
Ibu langsung bersujud dengan uraian air mata, mengucapkan beribu terima kasih pada mang Anang.

Memang sudah berhari-hari kami tidak pernah merasakan makanan manusia. Hanya memakan daun singkong rebus yang tumbuh tak terurus di samping rumah.
Derajat kami hanya satu tingkat diatas kambing. Bedanya, daun singkong rebus olahan ibu ditambah garam, supaya ada rasanya.

Dan sepertinya penyakit miskin kami juga menular pada kebun singkong warisan almarhum Abah.
Begitu dicabut, singkong-singkong itu tidak ada umbinya. Hanya ada kayu yang tidak bisa dimakan. Babi pun tak sudi memakannya, apalagi kami yang masih berstatus manusia.
Kembali ke mang Anang, bantuan yang diberikannya tentu saja tak bisa setiap saat. Hasil menambang emas tidak menentu. Bila hasil menambang emas cukup lumayan, maka mang Anang mengantarkan bantuan padaku dan ibu. Bila hasilnya merugi, siap-siap saja gigit jari.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 2 : Orang Miskin Baru

cc @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca Image
Sejak kematian Abah, status keluarga kami yang tadinya hampir miskin, secara resmi dinyatakan OMB. Orang Miskin Baru.

Perlahan, Ibu sudah mulai normal, tidak jadi gila dan berhenti main kuntilanak - kuntilanakan.
Aku juga sudah kembali diurus, dikasih makan, dicubit dan dipukul hingga menangis bila berbuat bandel.

"Jangan lama mandi di Barito ! Nanti dimakan Tambun, baru tahu rasa !"
...bak...buk...bak...buk...

Potongan rotan mendarat di pantatku yang tepos.

"Huu...hu...hu..."

Aku tersedu menahan sakit. Meronta dan meraung berurai air mata. Ku gosok-gosok pantat yang memar karena pukulan ibu, tapi ia tak berhenti memukul.
"Ibu jahat...ibu jahat..." teriakku dalam tangis, "aku mau abah...aku mau abah...abah tak pernah jahat. Abah tak pernah memukul. Abah selalu sayang Hamid...Huu...hu...hu..."
Pukulan ibu berhenti, rotan terlepas di tangannya. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Dipeluk dan diciumnya aku tanpa suara.

Memang, biasanya aku lupa diri kalau sudah mandi di sungai.
Saat malam, diam-diam rotan ibu kubuang ke sungai kecil dekat rumahku, sungai beriwit, anak sungai Barito.

Saat pagi, ibu kebingungan mencari rotannya. Katanya buat ngangkat jemuran. Kujawab saja tak tahu.
Waktu berlalu. Satu-persatu harta peninggalan Abah sudah terjual. Motor bututnya pun sudah dijual demi beras dan menutupi utang.

Listrik dari PLN juga diputus karena tak sanggub dibayar. Bantuan dari mang Anang pun tidak selalu lancar.
Bagaimana pun juga, mang Anang juga punya keluarga yang harus dihidupi.

Ibu kemudian mengampil upah sebagai tukang cuci di rumah Haji Rasyid yang hasilnya tidak seberapa. Kadang, ibu juga bantu-bantu memasak di rumah Haji Rasyid.
Aku paling suka bila ibu membantu memasak, karena pulangnya bisa makan enak. Aku bisa merasakan patin, ayam atau makanan enak lainnya.
Tapi pekerjaan ibu sebagai tukang cuci di rumah haji Rasyid tidak bertahan lama. Status ibu yang janda jadi bahan gunjingan tetangga. Tukang gosipnya adalah acil Asnah. Tukang gosip kelas wahid di kelurahan Beriwit.
Beredar kabar, Haji Rasyid berniat menjadikan ibuku sebagai istri kedua. Istri Haji Rasyid mengamuk, mencaci dan menghina. Ibu dipecat dan digantikan orang lain. Penggantinya, siapa lagi kalau bukan acil Asnah.
Hari terus bergulir, tapi nasib kami sebagai orang miskin belum juga berubah. Kadang makan, kadang puasa berhari-hari. Para pedagang pun tidak mau lagi menghutangi ibu, sedangkan hutang terdahulu belum juga terbayar.
Agar tetap bisa makan, ibu kerja apa saja yang penting halal. Kadang bantu orang jualan di pasar, kadang terima jasa jadi tukang cuci pakaian orang-orang kaya.
Aku juga tidak berdiam diri. Sepulang sekolah aku langsung ganti baju lalu pergi ke dermaga, jadi buruh angkut pelabuhan. Aku juga terima jasa membersihkan rumput atau kebun milik siapa saja.
Kehidupanku dan ibu agak sedikit hampir membaik sewaktu aku duduk di kelas 2 SMP. Itu adalah kali pertama aku bekerja sebagai penambang emas liar. Sungguh ironis, ternyata aku mewarasi profesi ayahku, yang juga diwarisinya dari kakek.
Tentu saja aku ikut kelompok mang Anang, boss sekaligus sahabat Abah. Dan aku juga tidak lagi memanggilnya mang Anang, tapi kapten Anang. Entah kenapa dia dipanggil kapten, aku hanya ikut-ikutan saja dengan pekerja lainnya.
Badanku rasanya saat itu remuk. Sakit luar dalam hingga ke tulang. Dua minggu di tengah hutan belantara rasanya bagai neraka. Badan menghitam,kulit semakin dekil dan rambut acak-acakan. Sungguh pekerjaan yang tak layak bagi remaja 13 tahun.
"Sabar Mid. Sekarang kau miskin, tapi nanti aku yakin kau akan jadi orang kaya. Jarang ada anak seusiamu yang mau bekerja seperti ini." hibur Kapten Anang yang melihatku merenung di balik pondok waktu itu.
"Kau sedari kecil sudah terbiasa berusaha keras. Nanti saat kau dewasa, kau akan menuai hasilnya." lanjut kapten Anang.

Aku hanya diam saja, tidak mengiyakan tidak pula membantah. Yang kutahu, kapten Anang dan almarhum Abah sudah sedari kecil kerja keras banting tulang.
Namun setelah dewasa, nasib mereka tak juga berubah. Tetap berkutat dengan kemiskinan.

Melihatku yang hanya diam saja, kapten Anang kembali mengeluarkan nasihatnya.
"Yang penting, begitu terima hasil harus kau tabung. Jangan kau habiskan seperti orang-orang susah itu." Kapten Anang menunjuk rekan kerjaku yang lain yang tengah sibuk main gaple dibawah pohon besar, dekat tumpukan mesin penyedot pasir.
"Kau lihat mereka, begitu terima pembagian hasil kerja, duitnya habis untuk mabuk-mabukan. Habis di meja judi atau main perempuan di kota. Sudah miskin, cara berpikirnya juga miskin. Makanya tak pernah lepas dari kemiskinan."
Kali ini aku setuju. Aku mengangguk dan mengiyakan nasihat kapten Anang. Ia lalu tersenyum dan membelai rambutku, layaknya belaian seorang ayah pada anak.

"Ingat Hamid. Meski sudah tak ada harapan lagi, kau harus tetap tegak berdiri."
"Siap, kapten !" Ucapku sambil berdiri lalu memberi hormat pada kapten Anang. Melihat ulahku, ia hanya tertawa lalu menepuk-nepuk punggungku.
Setelah dua minggu menambang emas di hutan, segala derita langsung terbayar saat pembagian hasil. Segera saja kuserahkan uang itu pada ibu. 4 juta rupiah. Uang yang sangat banyak bagi kami. Bahkan teramat banyak bagi remaja kampung sepertiku.
Mata ibu berkaca-kaca. Dipeluk, dibelai dan diciumnya diriku tanpa henti.

"Kau sudah dewasa nak. Kaulah kepala keluarga kita. Abdul Hamid, anakku yang bauntung batuah." peluk ibu berurai air mata.
"Bu, ketekmu bau !" seruku menahan muntah sambil menghindari pelukan ibu.

Mengusap air mata, ibu hanya tertawa mendengar celetukanku. Ia lantas bergegas ke kamar mandi, membersihkan badan, berganti baju dan memakai minyak wangi murahan.
Ibu harus bahagia, kataku dalam hati. Sejak kehilangan Abah, ibu semakin kurus. Matanya cekung, rambutnya jarang disisir dan kulit putih mulusnya menjadi dekil. Baju daster ibu juga penuh tambalan. Sebenarnya lebih layak dijadikan lap kaki daripada disebut pakaian.
Ibu juga tak mau menikah lagi, katanya takut suami barunya tak menerima kehadiranku. Selama ini, ibu sudah berjuang keras membesarkan dan menghidupiku, sekarang saatnya aku membalas kebaikan ibu.

*****
Malam itu kami makan enak. Ibu memasak patin bumbu kuning, kulit cempedak goreng, daun singkong goreng baupet dan sambal tampuyak. Sudah bertahun-tahun kami tak pernah makan enak semenjak kematian Abah.
Utang di warung pun dicicil, sisanya ibu simpan. Waktu terus berlalu, aku beranjak semakin besar. Badanku semakin hitam akibat terbakar matahari, tubuhku juga berotot akibat bekerja keras.
Bila libur semester, aku ikut kapten Anang menambang emas. Selain itu, aku kerja apa saja. Kadang aku jadi tukang untuk membangun gedung sarang burung walet. Di lain waktu, aku juga ikut orang menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan dan bahan bangunan.
Hasil kerjaku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah kami tetap reot. Hanya ditambal sana-sini seadanya. Utang di warung juga masih gali lobang tutup lobang. Ternyata, modal kerja keras juga tidak cukup untuk lepas dari kemiskinan.
Di sisi lain, polisi juga semakin gencar melakukan razia. Penambang emas seperti kami banyak yang ditangkap. Alasannya merusak lingkungan, ilegal dan tak berijin. Sungguh ironis, padahal kami hanya ingin mencari makan di tanah sendiri.
Kami bukan pencuri, bukan perampok, bukan pula maling.

Sedangkan perusahaan tambang dari luar semakin banyak yang berdiri. Padahal, hasilnya pun tak pernah kami nikmati. Jalan kabupaten masih banyak yang rusak, listrikpun masih belum sepenuhnya kami nikmati.
Kapten Anang pun berhenti total memberi bantuan, karena pekerjaan sebagai penambang emas semakin sulit. Lagian, aku juga malu bila terus-menerus dibantu. Aku sudah bisa menghidupi ibu.Tapi kalau ada urusan mendesak, kapten Anang adalah orang pertama yang membantu kami.
Sebagai remaja, aku juga jatuh cinta. Beruntung, cintaku bersambut. Selepas SMA, aku menikah dengan Raudah, gadis dari desa seberang sungai. Adalah hal lumrah bagi orang di daerahku menikah muda. Lagian, orang miskin seperti kami juga tidak bisa sekolah lebih tinggi lagi.
Karena sama-sama berasal dari keluarga miskin, maka urusan pernikahanku tidak terlalu ribet. Kapten Anang adalah orang yang paling banyak membantu agar pernikahanku lancar.
Setelah menikah, istri kuboyong ke gubuk kami yang reot. Tentu saja sudah diperbaiki. Kebun singkong di samping sudah dibabat habis. Dibantu kapten Anang dan penambang lainnya, rumahku dibuat lebih luas.
Aku dan istri punya kamar sendiri, sehingga tak perlu malu pada ibu bila ingin mengeong seperti kucing.

Dan yang namanya orang miskin menikah dengan orang miskin, tentu saja melahirkan generasi miskin berikutnya.
Setahun setelah menikah, putri pertamaku lahir. Keinginanku untuk bertahan hidup semakin tinggi. Semangat untuk tetap tersadar semakin kuat.
Meski tubuhku terluka,melemah dan kehabisan tenaga di tengah belantara, aku harus tetap hidup. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah.

Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu -persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 3 : Mayat Misterius

Penulis : Achmad Benbela

cc @IDN_Horor @bacahorror @ceritaht @HororBaca Image
beberapa hari lalu.

Malam itu, kami melaju kencang menyusuri sungai Barito menuju arah hulu dengan tiga buah kelotok.
Di malam buta, bising knalpot segera menderu-deru, bersahut-sahutan dengan suara binatang malam yang mengawasi kami dari balik hutan angker yang tumbuh lebat di kiri-kanan sungai.
Kami memang sengaja bergerak saat langit telah gelap, menghindari sergapan Polair yang semakin ganas menangkapi para penambang emas liar dalam beberapa bulan terakhir.
Hanyalah orang gila, putus asa dan ingin bunuh diri saja yang berani melintasi sungai Barito di malam hari, apalagi di musim kemarau sekarang ini. Batu-batu sungai yang tajam bisa muncul tiba-tiba dan merobek badan perahu, speed boat dan kelotok.
Bila terjatuh di sungai, orang paling pandai berenang sekali pun takkan lepas dari sergapan buaya, ikan tapah atau ular raksasa.

Belum lagi cerita tentang hantu banyu yang kerap membuat pusaran air agar perahu tenggelam, membuat bulu kuduk siapa pun merinding.
Dan memang, musim kemarau adalah saat paling baik buat menambang emas di bantaran sungai. Pasir-pasir sungai yang berisi butiran emas akan jauh lebih mudah digapai dibandingan saat musim air dalam.
Di hulu sana, hanya bermodal dulang saja penduduk kampung bisa mendapatkan emas 1 gram dalam sehari. Apalagi kami yang menggunakan mesin, tentu saja hasilnya lebih besar.
Kelompok kami berjumlah 10 orang, dipimpin kapteng Anang. Kapten Anang ini sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai penambang emas liar. Kemampuannya dalam membaca jalur emas di bantaran sungai sangat kami andalkan.
Kapten Anang berada di kelotok tengah, bersamaku dan seorang lagi yang bernama Dayat. Dayat ini usianya hanya selisih dua tahun diatasku dan sudah punya dua anak. Berkaca mata, ceking, selalu pakai baju Hem. Selain Dayat juga ada mang Muksin si juru mudi.
Kelotok paling depan ada tiga orang, dan paling belakang juga ada tiga orang. Selain membawa mesin penyedot, pipa paralon serta alat tambang lainnya, kami juga membawa bekal untuk 10 hari kedepan.
Tiga buah kelotok trus beriringan, kadang melaju dan kadang melambat menyesuaikan alur sungai. Baru saja mau terlelap di dalam badan kelotok, tiba-tiba Dayat mengguncang badanku. Nafasnya memburu dan wajahnya pucat. Kacamata di hidungnya yang pesek melorot menyentuh bibir.
"Mid... Hamid... Bangun. Ada bahaya !"

Tiba-tiba saja ngantukku hilang begitu mendengar bahaya. Aku segera meraih Mandau yang ada di samping. Kulihat, wajah Dayat tegang dan matanya melotot dengan tubuh gemetaran.
"Bahaya !? Dimana ?"

"U-ular...." ucap Dayat menunjuk ke badan sungai.

Aku segera melihat kearah sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, seekor ular berwarna hitam tengah menyeberangi sungai. Cukup besar, mungkin panjangnya sekitar 3 meter.
"Ah...cuman ular nyebrang sungai. Bahaya apanya !? " kataku kesal.

"Tapi, Mid. Ular itu nyeberang dari sisi kanan. Kamu tahu kan artinya ?"

"Kau ini terlalu percaya takhayul." seruku sambil terus melirik ular yang tampak timbul tenggelam diseret arus.
Memang sudah jadi kepercayaan orang di daerahku, apabila ada ular menyeberang dari sisi kanan saat melakukan perjalanan baik darat maupun sungai, adalah pertanda buruk. Sebaliknya, bila dari sisi kiri adalah pertanda baik.
"Hamid, ada baiknya kita ikuti petuah orang tua jaman dulu. Sebaiknya kau bangunkan kapten dan minta putar balik saja." desak Dayat dengan penuh kecemasan.

"Kau ini ada-ada saja. Sudah sana, kembali berjaga di haluan. Nanti gantian."
"Ada apa ribut-ribut ?" Suara berat kapten Anang dari arah belakang mengangetkan kami. Perdebatan kecilku dengan Dayat berhenti seketika.

"A-anu kapten. Ada ular menyeberang dari arah kanan. Pertanda buruk, sebaiknya kita putar balik saja." cerocos Dayat bersemangat.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah anak 2 masih percaya takhayul." Kapten Anang menghardik dan matanya melotot.

Dayat tampak kecewa, lalu merangkak hati-hati ke arah haluan tempatnya berjaga.
Di balik kemudi, mang Muksin terlihat tertawa melihat tingkah Dayat yang ketakutan. Diputarnya setir kemudi ke kiri dan ke kanan sehingga klotok pun bergoyang.
Duuk...!

"Aduh !" seru Dayat kesakitan. Ia kemudian menoleh ke belakang dan mengepalkan tinju ke arah mang Muksin.

"Ha...ha...ha..."

Mang Muksin tertawa semakin kencang, sehingga aku dan kapten pun ikutan tertawa.
Di haluan, Dayat terlihat kesal dan menggerutu tidak jelas.

Suara tawa kami segera terhenti ketika klotok paling depan bergerak melambat.
Di atas atap, disorot lampu kelotok yang diarahkan mang Muksin, mang Mursid terlihat menyilang-nyilangkan tangan ke udara. Mang Muksin pun memelankan laju kelotok dan merapat ke kelotok depan.
"Mungkin kerusakan mesin." kata Kapten Anang dan bergegas ke haluan. Aku pun segera menyusul di belakang.

"Ada apa?" tanya kapten Anang.

"Ada mayat, kapten." balas mang Mursid.

"Mayat ?" Tanpa menungu jawaban, kapten Anang segera melompat dari haluan ke atap kelotok depan.
Aku dan Dayat juga langsung menyusul, sementara mang Muksin berusaha mensejajarkan kelotok. Tidak berapa lama, kelotok paling belakang juga sudah merapat.
Malam itu, kami semua geger dengan penemuan mayat berbentuk tidak karuan yang mengambang di tengah sungai. Kami tak ada yang berani untuk mengangkatnya ke dalam klotok.
Dengan masing-masing senter di tangan, kami menyorot mayat yang terombang-ambing di terpa gelombang dalam posisi tengkurap.
Jasadnya penuh lendir seperti ingus, mungkin karena terlalu lama di dalam sungai.
Baunya sangat busuk menusuk hidung, sepertinya sudah mati berhari-hari. Aku saja sampai muntah berkali-kali karena tak kuat. Begitu pula Dayat dan lainnya. Di antara kami, hanya kapten Anang yang terlihat paling tenang.
"Aneh kali bentuk ni mayat, kapten. Coba kau tengok." ujar si Lai, orang batak yang sudah lama berdiam di kampung kami.

Aku tak tahu nama aslinya. Karena ia kerap memanggil orang dengan sebutan "Lai", maka orang kampungku pun memanggilnya Lai.
"Aneh bagaimana ?" tanya kapten mengernyitkan dahi. Kerah baju ia gunakan untuk menutup hidung.

"Badannya remuk macam tak punya tulang." sahut si Lai.

"Kau sendiri punya tulang gak?" tanya kapten lagi.
"Tulangku kutinggal di Sumatera. Opungku juga kutinggal. Opung doli dan opung boru. Repotlah aku kalau mereka juga ikut. Tak sanggup kukasih makan. Ha...ha...ha..."

Si Lai terbahak dan kami semua terbahak. Hanya Dayat yang tampak gelisah.
Gelak tawa kami berubah jadi muntah begitu bau busuk kembali menyengat hidung.

Setelah keadaan mulai tenang, si Lai mencoba mengangkat bagian kaki mayat dengan dayung.
"Tengoklah kapten. Kakinya remuk macam habis keluar dari penggilingan padi. Tulang badannya juga hancur macam ditumbuk lesung."

Kapten terdiam, berjongkok di sisi kelotok dan memperhatikan mayat itu baik-baik.
"Iya...mayat ini memang aneh. Bukan mayat orang tenggelam seperti biasanya." ucap kapten dengan suara datar.

"Kalau dilihat dari pakaian, sepertinya mayat orang perusahaan. Tidak ada orang kampung dengan pakaian seragam seperti itu. Sepatunya juga sepatu safety." timpalku.
Kapten mengangguk tanda setuju.

"Kapten...ular tadi. Ular tadi adalah pertanda. Sebaiknya kita putar balik saja kapten. Sepertinya ada hal buruk yang bakal menimpa kita."
Cemas, Dayat terlihat khawatir. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetaran. Kacamatanya kembali hampir lepas.

Berdiri, kapten Anang tampak tak senang dengan ucapan Dayat. Ia melotot dan menatap mata Daya dalam-dalam, membuat nyali Dayat semakin ciut.
"Kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri. Silahkan berenang !" kapten Anang mulai gusar.

"Tahukah kau, sudah berpuluh juta modalku habis untuk penambangan kali ini. Enak saja kau minta pulang, huh !"
Dayat tertunduk. Badannya meringkuk dalam sarung kumal yang ia kenakan.

"Kapten, gimana ini mayat?" seloroh Lai, "kita angkatkah? Masukkan dalam kelotok. Tak tega aku melihatnya."
"Sudah, biarkan saja hanyut terbawa arus. Nanti orang di hilir yang mengurusnya. Kita lanjutkan perjalanan sebelum kena razia Polair."

Tanpa membantah, kami langsung melaksanakan perintah kapten. Kami kembali ke kelotok masing-masing.
Kelotok yang tadinya rapat dan saling bertaut, kembali berpisah.

Namun, baru saja menyalakan mesin, pekikan suara Dayat membuat kami terkejut.

"Kapten, di sana. Ada mayat lagi !" Dayat berteriak dari arah haluan.
Mataku segera mengarah ke sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, ada mayat terapung di sungai, tidak jauh dari kelotok kami. Berseragam hijau, menggunakan rompi hitam dan mengenakan sepatu safety.
"Muksin, arahkan kelotok mendekat !" Kapten Anang memberi perintah.

Kelotok kami bergerak pelan melawan arus, mendekat ke arah mayat yang mengapung. Dua kelotok lainnya juga segera menyusul.
Menggunakan dayung, aku dan kapten membalikan mayat itu untuk melihat wajahnya.

Begitu terlihat wajahnya, aku langsung muntah di tengah sungai. Hidungku kembang kempis dan mataku berair. Baunya yang busuk ditambah bentuk wajahnya yang tidak karuan, membuat perutku menjadi mual.
Mayat itu melotot dan mulutnya menganga. Sepertinya mati dalam ketakutan. Badannya juga penuh lendir seperti mayat yang tadi.

Kulirik, kapten Anang masih tetap tenang, memperhatikan mayat itu baik-baik. Raut wajahnya berubah, seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa kap?" tanyaku penasaran.

Kapten Anang terdiam, terlihat ragu.

"Mayat ini aneh."

"Aneh bagaimana ?"

Hening. Kapten Anang masih terdiam.

"Mayat ini...bukan mayat warga lokal."

"Maksudnya?"
"Ini mayat orang Tiongkok. Tiongkok daratan. Bukan Tionghoa melayu. Bukan pula Tionghoa banjar yang jualan di pasar. Ini adalah orang Tiongkok yang membuka tambang batu bara di hulu sana."
Kuperhatikan, apa yang dikatakan kapten memang benar. Tionghoa peranakan dan Tiongkok daratan memang terlihat berbeda. Sulit dijelaskan, tapi mudah sekali membedakan mana Tionghoa lokal dan mana Tionghoa daratan.
Memang, beberapa tahun terakhir banyak orang Tiongkok daratan yang datang kemari untuk membuka dan bekerja di tambang.

"Kapten, lihat rompinya !" seru Dayat.
Aku dan kapten langsung memperhatikan rompi itu. Bukan rompi biasa. Seperti rompi yang kerap dipakai Brimob. Banyak kantung wadah menyimpan magazin peluru.

"Militer Tiongkok !" pekik kapten Anang kaget. Hampir saja ia terjatuh ke sungai kalau tak kuraih bajunya.
"Untuk apa militer Tiongkok masuk ke pedalaman sini ?" tanya Dayat dengan rauh wajah gusar.

Aku dan kapten saling pandang. Benar juga. Untuk apa militer Tiongkok ada di sini, di hulu Barito, di pedalaman Kalimantan ?

...bersambung...
Judul : Petaka Tambang Emas Berdarah
Bab 4 : Pakahan
Penulis : Achmad Benbela

cc @FaktaSejarah @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht Image
"Kita tak usah ikut campur. Biar koramil yang dihilir sana yang mengurus."

Kami sepakat dengan ucapan kapten. Hanya Dayat yang tampak resah, terlalu percaya pada takhayul yang tak berguna. Kacamata yang hampir lepas kembali ia benarkan.
Malam buta itu kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah hulu. Dua mayat kami biarkan mengambang di tengah sungai, hanyut terbawa arus dan berharap warga desa di hilir yang mengurusnya.
Malam berganti pagi. Suara monyet dan binatang hutan saling bersahutan dari kiri dan kanan sungai. Melewati beberapa desa, penduduk sudah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang mandi, ada yang mencuci, ada juga yang menjala ikan.
Kami tak berhenti, tak pula beristirahat. Sarapan kami lakukan di dalam klotok, menikmati bekal nasi bungkus yang kami bawa tadi malam.

Bila tak salah perhitungan, kami akan sampai di tujuan sebelum tengah hari.
Kami harus berpacu dengan waktu, sebelum Polair berpatroli mencari mangsa.

Sungai Barito semakin sempit dan surut. Batu-batu besar mulai bermunculan di tengah sungai, menimbulkan pusaran air dan riam ganas.
Kelotok bergerak berhati-hati menyesuaikan arus sungai. Untung saja 3 buah kelotok kami memiliki juru mudi yang berpengalaman. Mereka pandai membaca arus, jago memprediksi dimana celah-celah batu tajam bersembunyi.
Bagi orang kota, bertemu riam ganas seperti ini bisa saja mati terkencing-kecing. Namun bagi kami yang terbiasa, bertemu riam ganas tidaklah terlalu mengkhwatirkan.
Bahkan si Lai yang jauh dari tanah Batak sudah terbiasa. Begitu pula mas Sugang, orang Jawa yang sudah puluhan tahun merantau dan beranak pinak di sini. Sebenarnya nama aslinya adalah Sugeng.
Tapi karena 'e' terlalu sulit bagi kami orang Kalimantan untuk mengucapkan, jadilah namanya Sugang. Dan ia adalah satu-satunya yang berambut gondrong di antara kami.
Lolos dari riam, 3 kelotok kembali melaju kencang. 2 jam berlalu, kelotok akhirnya berbelok ke arah kanan, masuk ke dalam anak sungai.

"Lihatlah, kita sudah sampai di sungai Busang."
Duduk di dalam kelotok, mata kapten Anang berbinar melihat sungai Busang, seperti melihat hamparan kilau emas. Sebatang rokok tersemat di jarinya.

"Tahun 90an, daerah ini pernah terjadi skandal besar. Tidak tanggung -tanggung, skandal kelas dunia."
Aku terkejut mendengar ucapan kapten Anang. Baru kudengar ada skandal kelas dunia di tanah kelahiranku.

"Waktu itu, Kopassus sampai turun tangan. Entah apa yang mereka lakukan. Katanya, banyak para petinggi marah. Orang-orang bule, orang-orang penting, orang-orang berduit."
Kapten terlihat gusar. Rokok ia hisap, lalu asap keluar dari mulutnya.

"Hamid...tanah kita ini sangat kaya. Banyak orang luar mengincarnya. Sedangkan kita penduduk asli, diburu bagai binatang.
Hanya demi sesuap nasi, kita terpaksa jadi pencuri di tanah sendiri. Dicap ilegal, dibilang merusak lingkungan.

Lihatlah perusahaan-perusahaan itu, tegak berdiri dengan sombong. Lihat jalan kita, tak ada bedanya dengan kubangan babi. Listrik pun tak ada. Cuiih !"
Murka, kapten Anang meludah ke dalam sungai.

...dug...dug...dug...

Aku dan kapten kaget setengah mati ketika terjadi benturan di badan kelotok.
Hampir saja aku memaki, sewaktu kudapati Dayat merangkak terburu-buru ke arah kami. Bercucur peluh, wajah Dayat terlihat panik. Baju hem yang ia kenakan basah karena keringat.

"Ada apa ? " tanyaku gusar. Mataku melotot.
"Ada ular lagi ?" tanya kapten sedikit mengejek.

"Bu-bukan kapten. Tapi pakahan."

"Pakahan ? Dimana ?"

"Disana !"

Dayat menunjuk ke sisi kanan sungai. Terlihatlah tiga patung ulin berwujud manusia berdiri tegak di pinggir sungai.
Tertutup belukar dan rimbun pakis, berdiri di antara pohon besar menjulang, pakahan itu sepertinya masih baru. Mungkin sekitar 6 bulan atau setahun.

Pakahan adalah patung tanda pernah terjadi kecelakaan. Satu pakahan, artinya satu nyawa melayang.
Ada 3 pakahan, berarti ada 3 nyawa yang hilang di sekitar sini.

"Hanya pakahan. Kenapa kau panik ? Bukahkah kau sudah biasa melihat pakahan?"

"Iya kapten...tapi di darat. Dan sekarang kita ada di sungai." jawab Dayat khawatir.
"Memangnya apa yang salah kalau ada pakahan di pinggir sungai. Bukankah sudah biasa ada orang tenggelam di sungai." Aku menyela.
"Buka matamu Hamid. Sungai ini terlalu tenang. Kalau ada pakahan di pinggir riam, aku tak khawatir. Tapi disini, hanya ada ikan sapan dan hutan. Tidakkah kau merasa janggal. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat pakahan di pinggir sungai."
Aku tersentak. Apa yang dikatakan Dayat ada benarnya. Kulirik, kapten Anang sepertinya juga berpikiran sama. Sungai ini terlalu tenang untuk terjadi kecelakaan. Tidak ada riam, tidak ada buaya. Hanya hutan lebat berisi pohon-pohon angker menakutkan.
Belum lagi hilang keheranan kami, kelotok kembali melewati dua buah pakahan yang berdiri tegak di sisi kiri sungai. Dilihat dari bentuknya, sepertinya seorang ibu dan anaknya.
"Jangan terlalu risau. Sebaiknya kita teruskan perjalanan. Pakahan itu hanya penanda supaya kita hati-hati melewati sungai ini."

Meski berusaha tenang, terlihat jelas kalau kapten juga mulai khawatir.

*****
Setelah melewati jeram kecil, kami tiba di bantaran sungai yang agak lebar. Kapten memerintahkan mang Muksin untuk menepi. Aku bergegas melompat ke atas atap, menyilang-nyilangkan tangan, memberi tanda dua kelotok lainnya bahwa kami akan berhenti.
Kelotok bergerak melambat, diikuti dua kelotok lainnya.

Huft !
Aku melompat ke pantai sungai, hamparan pasir kelabu bercampur batu kali dan kerikil.

Dayat dengan cekatan menyeret tali tambatan, mencari batang kayu untuk diikat.
Bersama kapten Anang, aku mendorong kelotok agar lebih rapat dengan pinggiran sungai.Hanya dalam hitungan menit, 3 buah kelotok sudah bertambat.

Aku menarik nafas, memandang ke sekeliling sungai dan belantara. Sepi, hening, sekaligus menciutkan nyali.
Hanya ada hutan angker dengan akar menggantung. Konon, di hutan ini banyak Raung gantung. Peti mati yang digantung di pohon. Seketika aku bergidik ngeri, takut kalau-kalau ada raung yang mengejar.
Apalagi suara gesekan daun dan ranting yang bergoyang tertiup angin membuat jantung melorot.

Dan 10 hari kedepan, kami akan ada disini, berada di tengah belantara yang sunyi.
Tidak ada riuh manusia kecuali kami. Selama itu pula, kami tak bisa berkirim kabar berita pada keluarga di rumah. Pahit, getir serta rindu pada anak, istri dan ibu harus ditepis.
Dalam 10 hari, 10 orang penambang emas liar akan jadi keluarga, bekerja keras, bahu-membahu demi mencari makan untuk orang rumah.

"Kapten...yakinkah tempatnya di sini ?" tanya Lai bersemangat.
"Kita coba dulu Lai. Kalau percobaan pertama hasilnya bagus, kita dirikan pondok di sini. Kalau tidak, kita terpaksa pindah, cari lolasi baru"

"Kapten..." ucap Dayat tertahan," di semak-semak, ada yang mengintip."
Sontak kami semua memalingkan wajah, menatap kearah pandangan Dayat. Kedua kaki Dayat gemetar, hidungnya kembang kempis dan nafasnya putus-putus.

"Astagfirullahul azzim..."

"Astagfirullahul azzim..."

Dayat mulai istighfar, membuat kami semua waspada.
...sreekk....sreek....

Belukar tampak bergoyang-goyang. Jelas ada sesuatu yang bersembunyi di situ.

...kretek...kretek...

Terdengar suara ranting patah, membuat degub jantungku semakin tak karuan. Tanpa sadar, aku menahan nafas hingga dadaku terasa sesak.
Deg !
Jantungku rasanya mau copot. Darahku berdesir hebat dan bulu kudukku merinding, ketika kudapati ada sepasang mata yang mengawasi kami dari tadi. Sepasang mata dengan taring panjang dan kuku tajam.
Kami semua terdiam, tak bergerak dan menahan nafas. Salah langkah, kami semua akan celaka.

...krasak...krasak...

Makin ngeri, mahluk itu bergerak perlahan, tertutup belukar dan ilalang.
...braak...

Mahluk itu melompat.

"Huwwaaa...Beruang !"
"Huwwaaa.....!"
"Huwwaaa.....!"

Dayat lari terpontang panting ke arah kelotok. Menapak di atas pasir, Dayat terjerambab, bangkit, lalu kembali terbirit. Tak dipedulikannya kacamata yang terjatuh di pasir.
"Huwahaa...haa...haa...!"

Lai tertawa kencang melihat Dayat lari ketakutan.

"Hahahaha..."
"Hahahaha..."
"Hahahaha..."
Kami juga terbahak melihat Dayat terbirit. Beruang tadi bukannya menyerang kami, tapi kabur ke dalam hutan dan hilang di balik pepohonan.

Di haluan kelotok, Dayat masih ketakutan. Badannya tertelungkup menghadap sungai, membelakangi kami.
"Kap...kapten ! " seru Dayat lantang.

"Ada apalagi ? Dasar penakut !" jawab Kapten gusar.

Dayat terdiam beberapa saat, tubuhnya gemetar tidak karuan.
Baru beberapa langkah kami mendekat, tiba-tiba Dayat berbalik sambil memencet hidung. Di tangan kiri, ia menenteng seonggok kepala manusia tanpa badan. Darah segar menetes di potongan leher, dengan mata melotot dan mulut menganga.
"Huwwaaaa....!"

Gantian, kini kami yang menjerit ketakutan.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah
Bab 5 : saluh andau
Penulis : Achmad Benbela

cc @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht Image
"Dayat...!!! Lempar...!!!" pekik kapten.

"Hiiiii....!!!" yang lain menjerit sejadinya.

"Dayat...! Lempar kepala itu ke sungai !!!"

Seolah tersadar, Dayat menjerit.

"Hiiiiii...!!!"
buuuk...

Kepala itu ia lempar. Tapi bukan ke sungai, justru ke arah kami yang merasa ngeri.

"Ampun tulang...! Ampun tulang...! Ada kepala, tulang...!"

Si Lai memekik bagai perempuan, mendapati ada kepala manusia di tangannya.
Kakinya melompat bergantian di atas pasir. Tak tahu umur, Lai pipis di celana.

...buuk...

Kepala berpindah tangan, ke mas Sugang.

"Mo-modiaaaarr ndasku...! modiar ndasku ! Sugeng bin Slamet nyuwun ngapuro, ndas !"
Mas Sugang menjerit bagai orang kesurupan. Hilang keseimbangan, mas Sugang terjatuh. Kepala di tangannya terlepas dan menggelinding di pasir.

"Hiii...!!!"
"Hiii...!!!"
Kepala buntung itu melotot dan menganga. Persis menatap tajam kearahku. Pasir menempel di lehernya yang penuh darah. Aku bergidik, bulu kudukku merinding. Tubuhku kaku tak bergerak.
Kami semua tegang, terdiam tak bersuara. Hening. Hanya ada suara gemerisik daun yang bergoyang tertiup angin.

Lalu terdengar suara ribut-ribut.

...byuurrr...

Si Lai bercebur ke sungai, mandi demi menghilangkan malu.
Takut-takut, kapten Anang melangkah perlahan, mendekati kepala buntung. Satu-persatu yang lain mengikuti.

Kami akhirnya bergerombol, memandang kepala buntung dengan rasa ngeri, takut dan waswas jadi satu.
Sungai yang tadi hening berubah jadi riuh. Hiruk pikuk dan saling berkomentar. Semua menebak-nebak asal kepala di hadapan kami. Kesimpulannya hanya satu, ada orang mengayau !

Kapten Anang berjongkok, memperhatikan kepala itu dengan seksama.
"Ini bukan ulah orang mengayau," ujar kapten tenang, "lihatlah...tidak ada bekas tebasan parang."

Kami kembali terdiam, bungkam tanpa suara.

"Kepala ini..." Kapten Anang menggantung kalimatnya, seolah tak yakin.
"Kepala ini seperti dicopot dengan paksa dari badannya."

"Hiiii...!!!"

Serentak kami semua bergidik. Entah mahluk apa yang sanggup melepas kepala manusia dari tubuhnya.

"Dan lagi-lagi...ini adalah orang Tiongkok daratan."
"Haah !?"

Kami terhenyak, ada rasa tidak percaya.

*****
Kami sepakat membuang kembali kepala itu ke sungai. Bila dikubur, takutnya malah celaka. Bisa-bisa kepala itu justru malah bangkit dan menghantui kami.
Dengan gontai, kapten Anang menghanyutkan kepala itu tanpa merasa ngeri sedikitpun.

"Biar saja polisi atau koramil yang ngurus. Kita tak usah ikut cumpur. Lebih baik kita urus periuk nasi kita sendiri."
Kapten Anang berdiri tegap di pinggir sungai, di atas pasir, menatap kepala yang timbul tenggelam terbawa arus hingga hilang di kejauhan.

Lai sudah berganti baju dan celana. Tubuhnya wangi aroma sabun batangan.
Dengan rambut klimis tersisir ke belakang, Lai senyam senyum menutup malu.
Sedangkan Dayat, sudah memakai kacamata, masih terlihat cemas. Butir peluh sebesar jagung mengalir dari dahi hingga ujung dagunya.
Tapi kali ini aku setuju. Kecemasan Dayat beralasan. Setidaknya ada seorang warga lokal dan dua orang Tiongkok daratan yang mati tak wajar kami jumpai, walau yang terakhir hanya ketemu kepala buntung.
Mungkin saja di tengah rimba sana, ada banyak lagi orang Tiongkok yang mati tidak ketahuan, entah dimana.
"Woeeii...! jangan melamun !"

Teriakan kapten Anang membuat kami kaget.

"Ayo kerja ! Anak istri kalian menunggu di rumah !"
Kami bergegas melaksanakan perintah kapten. Mesin sedot, pipa, selang, jerigen solar, timbangan emas dan alat tambang lainnya kami turunkan dari kelotok. Kami letakan di tengah pasir.
Beras, ikan asin, sayur layu, tempe, kompor, panci dan alat masak lain kami taroh di pinggir sungai, di rerumputan dekat dengan belukar.
Mesin sedot langsung kami rakit dengan pipa, selang dan lain-lain. Dalam 30 menit, mesin tambang tak ramah lingkungan sudah siap kami gunakan. Siap melaksanakan tugas pertamanya.

"Kapten, mesin sudah siap."
Kapten mengangguk, lalu memanggil mang Soleh, orang paling sholeh diantara kami.

"Mang, mulai doanya. Setelah itu kita lakukan uji coba pertama. Semoga lokasi ini berjodoh, jadi kita tak perlu buang waktu cari tempat lain."
Tanpa banyak bicara, mang Soleh melangkah ke arah klotok, kemudian kembali dengan segelas air putih ditangan berisikan racikan daun pandan.

Kami segera berkumpul, bergerombol, membuat setengah lingkaran di depan mang Soleh.
Uluh Bakumpai, jangan lupa syahadat, rakaat dan adat. Orang Bakumpai, Orang Batak, Orang Jawa, mari kita berdoa. Semoga kita diberi perlindungan dan mendapat rezeki berlimpah."
Mang Soleh lalu membaca doa, memulai ritual Tampung Tawar. Ritual meminta perlindungan, keselamatan dan rezeki berlimpah. Ritual yang biasa dilakukan ketika memulai pekerjaan baru.
Dimulai dari kapten Anang. Dengan daun kelapa yang sudah dirangkai, mang Soleh memercikan air ke dahi, pundak dan telapak tangan kami bergantian.
Baru saja ritual selesai, hujan tiba-tiba turun dari langit. Padahal cuaca sangat terik. Matahari pun bersinar sangat terang. Entah mengapa firasatku jadi tak enak.

"Hujan mandang !" seru Dayat cemas.
Diguyur rintik hujan, ia lantas berlari kecil ke semak yang penuh rerumputan, lalu kembali lagi dengan beberapa rumput liar di tangan. Sehelai rumput sudah terselip di telinga kanannya. Tergopoh, rumput itu ia serahkan pada kami satu-persatu.
Kami hanya tersenyum melihat tingkahnya yang ganjil. Saling pandang dengan tatapan mengejek.

"Ini, selipkan di kuping supaya gak sakit. Nanti kena saluh andau, bisa sakit, bisa diculik hantu."

"Kau ini, sudah besar masih percaya mitos. Tak sudi kupakai itu rumput di kuping."
"Lai...ini bukan hujan biasa, tapi hujan mandang. Hujan panas ! Kalau tidak hati-hati, kita bisa celaka. Kena saluh andau !"

"Akh...tak mungkinlah alam murka. Malang betul nasib kita. Sudah miskin...ee...masih pula dikutuk alam. Makin miskinlah kita."
Si Lai hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Sudah...sudah ! Hari semakin siang. Lekas bersiap...Nanti kesorean. Ayo ! Jangan bingung kayak orang kalah judi !" Kapten menyela perdebatan tak penting itu.
"Ta-tapi kapten..." rupanya Dayat masih khawatir.

"Tapi apalagi !? " Kapten melotot.

Hening.

Dayat terlihat ragu untuk bersuara.
"Kapten..." Dayat menarik nafas, lalu menghela nafas, "tadi malam ada dua mayat hanyut di sungai dengan bentuk tidak karuan. Salah seorang adalah militer Tiongkok. Dan hari ini...ada kepala orang Tiongkok yang kita temukan. Ada yang tidak beres di hutan ini."
Semua yang mendengar tercenung. Mungkin bukan aku saja yang berfikir bahwa yang dikatakan Dayat ada benarnya.

"Kapten...bila ada hujan panas, biasanya ada yang mati berdarah." tertahan, suara Dayat parau.
Semua saling pandang. Wajah kami berubah jadi tegang.

"Dayat...! Bila kau masih membual, kupaksa kau berenang pulang sekarang juga !" hardik Kapten menahan emosi.
Dayat tertunduk lemas. Wajahnya murung dan menggerutu tak jelas.

Tak berapa lama, hujan panas pun berhenti.

"Lihat, hujan mandang sudah berhenti. Saatnya bekerja !"
Penuh wibawa bagai komandan Satpol PP, kapten Anang segera memberi titah.

"Kita tetap pada rencana semula. Bila percobaan hasilnya bagus, lokasi ini kita pilih. Bila tidak memuaskan, kita terpaksa pindah lebih ke hulu.
Dayat, Lai, kalian berdua memasak. Yang lain, ayo bekerja !"

*****
Satu jam berlalu. Hamparan pasir sungai telah berubah jadi kubangan. Mesin meraung-raung di tengah belantara, menyedot butiran pasir berisi emas ke papan penyaring yang di sebut kasbuk.
Penuh semangat, kami bekerja gotong royong. Tak dihiraukan panas yang terik. Tak peduli badan menghitam dan dekil. Pahit getir kehidupan tak jadi soal demi anak, istri dan ibu yang harap-harap cemas menanti di rumah.
Semua kami yang di sini memendam rindu yang sama dengan orang rumah.

Akhh....! aku teringat putriku ! Gadis kecil berkulit putih seperti ibunya. 10 bulan usianya. Tak pernah ia memanggilku abah. Hanya ada kata mama di mulutnya.
Semakin teringat, semakin perih hatiku berpisah. Takkan kubiarkan ia menderita. Takkan kubiarkan ia kelaparan. Takkan kubiarkan ia tak punya boneka.

Semangatku bergelora. Jiwaku bergejolak. Demi pelampiasan rindu, aku bekerja lebih keras.
Demi putri mungilku, aku rela mendaki bukit, membelah hutan, menyusur sungai. Demi dialah, aku rela berhari-hari di tengah hutan angker ini. Hutan yang penuh hantu, kuyang, raung, macan, beruang dan ular.
Hutan yang jadi sarang mahluk misterius berusia ratusan tahun. Mahluk yang tak jelas apakah gaib atau nyata. Mahluk yang ada dalam dongeng orang-orang Dayak.
Mahluk yang mampu melepas kepala manusia dari badannya. Mahluk yang sedang mengincar kami diam-diam dari dalam sungai.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah
Bab 6 : Kilau Emas
Penulis : Achmad Benbela

cc @IDN_Horor @bacahorror @ceritaht @HorrorBaca Image
"Berhenti...! Sudah cukup !" Kapten Anang memberi perintah.

Suara bising mesin penyedot langsung berhenti, berganti keributan yang tak sabar ingin tahu hasil percobaan kami.
Bergegas, aku, mang Muksin, mang Mursyid, mang Soleh, melepas karpet penyaring dari papan kasbuk. Karpet penuh pasir kami cuci dalam ember, bercampur air dan deterjen.

Sedangkan yang lain sibuk merapikan peralatan tambang yang berantakan kesana kemari.
Mang Mursyid, pendulang terbaik langsung mengerjakan keahliannya.
Wajah kami berbinar, saat butir-butir emas mulai terkumpul di papan dulang, berkilauan terkena sinar matahari.
Setelah dimasak dengan raksa dan ditimbang, emas yang terkumpul 12 gram. Yap...12 gram. Hasil yang menjanjikan untuk sebuah percobaan.

"Lihat...baru 1 jam bekerja kita sudah dapat 12 gram. Apalagi kalau seminggu, bisa 1 ons. Bisa juga 1 kilo, huwaha..ha...ha...!!!"
Kapten Anang tergelak melihat hasil percobaan kami. Wajahnya sumringah penuh kebahagiaan.

Sorak sorai kegembiraan menghampiri semua orang. Rasa lelah dan khawatir hilang begitu saja. Kami lupa akan mayat yang mengapung di sungai.
Kami juga lupa ada kepala buntung yang copot dari badan. Yang ada di otak kami hanyalah emas dan emas.

Butiran emas kemudian dimasukan dalam botol kaca kecil, lalu disimpan dalam peti yang hanya boleh dipegang kapten.
"Ayo...! Saatnya kita makan. Setelah itu kita bangun pondok." ucap kapten Anang.

Kami lalu melangkah menuju Lai dan Dayat yang sedang berdebat panas. Bagai anjing dan kucing, dua orang itu memang tak pernah akur.
"Ada apa lagi kalian ribut-ribut !?" Lantang kapten menghardik, membuat ciut nyali yang mendengar.

"I-ini kapten. Si Lai, mau ngebakar terasi."

"Tak enak lah lai, makan sambal tanpa terasi. Mengecil nanti lubang hidungku."
"Sudah ! Sudah ! Tak boleh ada terasi di tengah hutan !"

Merajuk, si Lai menjauh membawa piring penuh nasi dan lauk menuju pantai di pinggir sungai.

" Lai...! Jangan lupa lempar sedikit nasi buat penunggu hutan !" ucap Dayat sambil berteriak.
Si Lai hanya diam, tak peduli pekikan Dayat. Diam-diam, ia kembali membakar terasi.

*****
Siang berganti senja. Senja berganti malam. Sebuah pondok sederhana sudah berdiri di pinggir sungai. Beratap terpal, berdinding spanduk caleg gagal serta berlantai kayu bulat beralas tikar. Sebuah lampu strongking menyala terang, tergantung di tengah pondok.
Selama 10 hari kedepan, di pondok tak layak huni inilah kami bernaung. Dingin sudah pasti, nyamuk apalagi. Hujan tak perlu risau karena sekarang musim kemarau.

Dari hutan, suara burung hantu saling bersahutan, beriringan dengan suara serangga dan binatang malam.
Esok pagi, kami sudah mulai bekerja mencari butir-butir emas. 5 orang bekerja dari pagi hingga malam. 5 orang bekerja dari malam hingga pagi. Hari jumat kami libur bekerja, lalu berganti giliran.

Di luar pondok, di atas kayu, aku duduk dengan segelas kopi panas.
Di tengah pantai, mang Soleh dan si Lai tampak sibuk sendiri. Entah apa yang mereka lakukan, dua cahaya headlamp menyala terang di dalam gelap.

Aku menatap langit, penuh bintang dan bulan yang hendak purnama. Pikiranku kembali pada rumah, ibu, istri dan putri mungilku.
Akkh...! Putri mungilku !
Rinduku membara, menyala-nyala bagai api. Semakin rindu, semakin pilu.

Sedang apa kau nak ? Kenapa selalu kau ucap mama saat kubilang abah ?
Aku tersenyum mengingat polahnya. Bisa saja ia sedang membuat gaduh ibu dan neneknya.

"Mikir anak ?"

Suara Dayat membuyarkan kerinduanku. Duduk di sebelah, ia memegang rokok dan secangkir kopi panas.
"Berapa umur anakmu ?" tanya Dayat, sambil mengelap kacamatanya dengan handuk kecil yang lusuh.

"Jalan 10 bulan. Baru belajar berdiri." Jawabku tersenyum kecut. Kecut karena rindu.
"Kau tak ingin cari pengganti ?" tanyaku pada Dayat.

Tidak menjawab, Dayat menatap kosong ke arah langit. Wajahnya getir dan penuh luka.

"Anak-anakku masih kecil. Aku takut, ibu baru tak bisa menerima kehadiran mereka."
Dayat menghisap rokok, menutup perih di hati. Asap lalu keluar dari mulut dan hidungnya.

"Wanita sundal itu...," suara Dayat mulai meninggi," wanita sundal itu terlalu hina untuk kusebut namanya. Lebih hina dari yang paling hina."
Penuh luka, kata-kata Dayat terdengar sedih.

"Wanita sundal itu tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil, demi lelaki yang sama miskinnya denganku. Ia telantarkan anak yang baru lepas dari persusuan ibu, demi pria yang hanya juru mudi kelotok. Cuihh !"
Ucapan Dayat penuh emosi, amarah, namun getir menyayat hati.

"Jika ia kabur dengan lelaki lebih kaya dariku, lebih gagah, lebih ganteng, lebih segala-galanya, tak terlalu sakit hatiku.
Tapi ini...lepas dari tangan orang miskin hanya untuk berpindah ke tangan orang miskin lain. Memalukan ! Tak punya selera ! Cuih !"

Duduk di samping, kedua tangan Dayat mengepal dan tubuhnya bergetar hebat.
Hening. Kami berdua terdiam.

"Semoga saja Yat, semoga kau dapat pengganti lebih baik. Pengganti yang bisa menyayangi anakmu bagai anak sendiri." Aku mencoba menghibur, walau tak yakin berguna.

Dayat menoleh, tersenyum kecut.
"Beginilah hidup Mid. Banyak hal terjadi di luar kendali kita. Tak seorang pun ingin rumah tanganya berantakan. Tapi, kadang takdir berkata lain."

Kembali diam, lalu Dayat kembali bersuara.
"Kau tahu Mid, apa yang membuatku sakit ? Saat aku pulang, anak-anak tak mengenal abahnya. Si sulung tak mau dicium, si bungsu menangis. Perih rasanya. Nasib mempermainkan kita seperti ini. Berhari-hari di hutan, demi duit yang tak seberapa.
Tapi apa mau dikata, sekeras apapun takdir tak bisa dilawan. Kadang, kita harus berdamai dengan isi dompet yang pas-pasan."
Aku tersenyum mendengar ucapan Dayat yang terakhir. Setidaknya aku tidak sendiri dalam kemiskinan.

"Bila punya uang banyak, kau mau apa?" tanyaku.
Seperti berpikir, Dayat menghisap rokok yang sisa separo di jarinya.

"Aku ingin menetap di kampung. Tidak lagi ke hutan seperti ini. Kursus barbar sop, jadi tukang cukur. Ha..ha..ha..."

Aku dan Dayat tertawa karena tahu khayalan kami takkan jadi nyata.
"Terus Mid, aku mau ke Jakarta. Mau berfoto di Monas."

"Kenapa harus Monas ?"

"Kita ini orang Indonesia. Paling tidak, sekali seumur hidup kita harus pernah ke Ibukota. Ke Monas ! Ha...ha..ha..!"
Aku dan Dayat kembali tertawa. Tertawa orang miskin. Bagi orang miskin, bisa ke Monas pun sudah membuat bahagia.

"Kalau kau Mid, bila punya uang berlimpah, apa yang kau lakukan ?"
"Aku akan membeli truck. Bisa untuk ngangkut sembako dari Banjarmasin ke tempat kita. Bisa juga untuk ngangkut pasir, atau tanah, atau sapi, atau pupuk. Bisa juga disewakan untuk perusahaan tambang yang berpuluh biji di kampung kita ini."
Aku dan Dayat kembali terkekeh, menertawakan khayalan masing-masing.

Dayat lalu beranjak dari tempat duduk, mengambil parang di pondok, kemudian kembali lagi.
Sepotong kayu sepanjang 5cm ia keluarkan dari dompet. Berwarna putih mirip kayu siwak. Kayu itu ia potong jadi dua, ia serahkan sepotong untukku.
"Ini kayu kareh jewu. Untuk perlindungan dari hal jahat. Simpan di dompet. Di hutan ini banyak perampok, hantu, kuyang, macan, hewan buas dan hewan jadi-jadian." ucap Dayat.
Sebenarnya aku tidak terlalu percaya pada kekuatan jimat, basal, penyang dan sebagainya. Apalagi hanya sepotong kayu. Tapi karena merasa tak enak, kusimpan saja kayu kareh jewu itu di dompet.
"Hei lai...sini ! Sesama orang susah jangan kebanyakan curhat, nanti semakin susah !"

Teriakan si Lai mengagetkan kami. Berdiri di samping api unggun, di atas pantai, Lai memberi kode dengan tangan untuk mendekat.
Petikan kecapi mang Soleh terdengar membahana di tengah belantara. Mulutnya komat-kamit menyanyikan lagu karungut dengan merdu. Lagu khas Dayak.
Sumringah, aku dan Dayat langsung berlari menyusul Lai yang sedang menari mengelilingi api bagai orang indian.

Suasana semakin meriah, saat yang lain ikut bergabung. Hanya kapten yang tetap di pondok, istirahat katanya.
Hutan yang tadinya sepi, berubah riuh dengan ulah kami. Sorak sorai penuh tawa menggema ke seluruh penjuru hutan. Menelusup ke celah pepohonan dan batu-batu sungai.
Malam itu kami bernyanyi dan menari manasai, melupakan terkutuknya kemiskinan walau sejenak. Bagai berpesta, kami sudah lupa kasbon yang menumpuk di warung Haji Rasyid. Lupa cicilan yang belum dibayar. Lupa segala pahit getir kehidupan.
Bersahut-sahutan dengan burung hantu dan serangga malam, suara mang Soleh terdengar merdu. Saking merdunya, suaranya bahkan terdengar mirip seperti suara Elvy Sukaesih, penyanyi dangdut idola ibu.
Mengeliling api, menari manasai, kaki kami terus bergerak mengikuti irama kecapi mang Soleh. Melangkah teratur ke kiri dan ke kanan.
Persis di depan, gerakan kaki mas Sugang sungguh kacau balau. Tak teratur dan tak berirama. Beberapa kali kakinya menyentuh lututku, membuat hampir jatuh. Belum lagi rambut gondrongnya yang bau dan acak-acakan.
Kesal, aku pun berniat membeset kaki mas Sugang.

Deg !

Niatku urung terlaksana. Jantungku berdetak lebih kencang dan bulu kuduk merinding.
Kaki di depanku melayang, tidak menapak tanah. Langkahku terhenti, seiring bau busuk yang mulai menyengat.

Duukk !
Kepalaku terantuk kepala Dayat yang ada di belakang. Dayat hendak memaki, namun juga langsung terdiam. Tubuhnya gemetar tak karuan, saat menyadari di depan kami ada sosok perempuan berbaju putih dan berambut panjang ikut menari.
Rupanya, suara Elvy Sukaesih tadi adalah suara perempuan ini.

"Astaghfirullahul azzim !!!" Dayat menjerit histeris.

Perempuan itu menoleh, tersenyum lebar hingga ke telinga dengan bentuk wajah hancur berantakan. Tawanya melengking menciutkan nyali.
Kih...kih...kih..."

"Hiii..!!!"

Kami terlonjak kaget. Tubuh kami menggigil dicekam ketakutan.

"Ka-ka-kaaambbeee ...!!!"

"Haantuu...!!!"
Semua yang di pantai berhamburan menyelamatkan diri. Terpontang panting, kami berlari sangat kencang menuju pondok.

"Setan alas...! Biyangane setan alas !"

"Tuullanng...! Opuung...! Ada setan !"
"Hannntuuu puujuutt !"

"Buukaan...! Hantu saandaahh !"

Saat ini, hantu lebih menakutkan daripada kemiskinan.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 8 : Cahaya di Seberang Sungai
Penulis : Achmad Benbela

@FaktaSejarah @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht

#hororthread #ceritaserem Image
Hutan di pinggiran sungai Busang menjadi gaduh. Semua bergidik ngeri tak karuan.

"Ada apa !?"

Keluar dari dalam pondok, masih mengantuk, kapten terlihat kesal.

"Ada hantu kapten. Hantu pujut !" seru mang Muksin.
"Bukan, hantu sandah !" timpal mang Mursyid.

"Akh...! Kalau ada hantu, biar kusate !" seru kapten kesal.

"Dimana Soleh ?" tanya kapten lagi.

Kami semua terdiam, saling lirik. Astaga ! Mang Soleh tak ada. Kami baru tersadar kalau mang Soleh tertinggal di belakang.
Dengan penuh rasa cemas, kami semua menoleh ke arah pantai. Diterpa cahaya api unggun, terlihat mang Soleh tengah berdiri memandang ke seberang sungai. Tak bergerak, hanya mematung.

"Kesurupan kah?"

"Iya ! Kesurupan !"

"Waduhh ! Angel iki, wes angel ki !"
Suasana di sekitar pondok kembali riuh. Bagaimana mungkin mang Soleh, orang paling shaleh diantara kami, bisa kesurupan !?

"Ayo !!!" seru kapten.

Tanpa rasa takut, kapten Anang melangkah menuju mang Soleh.
Bergerombol, kami mengikuti langkah kapten di belakang. Mas Sugang dan Lai saling berbisik, saling dorong ke depan. Dua orang itu rupanya sama-sama takut.

Hanya beberapa meter dari posisi mang Soleh, langkah kami tiba-tiba terhenti. Kapten Anang terlihat ragu untuk mendekat.
Ada apa kapten ?" tanyaku penasaran.

"Lihat, tangan si Soleh." jawab kapten setengah berbisik.

Deg !

Jantungku kembali berdegub kencang. Membelakangi kami, menatap sungai, tangan kanan mang Soleh menghunus sebilah Mandau yang sangat tajam.
Darahku berdesir, bulu kudukku merinding. Berkelahi, aku sudah biasa. Babak belur, aku sudah sering. Tapi menghadapi manusia dengan senjata tajam, aku merasa ngeri. Apalagi orang itu sedang kesurupan jin hutan, alamat celaka !
Kami mulai grasak grusuk, mencari kayu dan batu. Bisa saja, mang Soleh mengamuk dan membantai kami tanpa ampun.

"Diam !" seru mang Soleh.

"Hiiii....!!!"

Kami semua terperanjat kaget.

...tap...tap...

Tenang, kapten Anang melangkah pelan mendekati mang Soleh.
"Ada apa ?" tanya kapten penuh wibawa.

"Lihat, di seberang !" jawab mang Soleh datar.
Serentak kami semua melihat ke seberang sungai. Batu dan kayu tak jadi kami pungut. Di seberang sungai, di kejauhan, di bukit bekas ladang, ada lima cahaya yang bergerak. Menelusup di antara celah pepohonan, cahaya itu bergerak mendekat.
"Kuamati dari tadi, cahaya itu sepertinya menuju kemari." ujar mang Soleh. Kulirik, tangannya gemetar memegang Mandau.

"A-apa itu ? Kuyang kah ?" tanya mas Sugang cemas.

Hening. Semua menahan nafas. Cahaya itu sepertinya terpancing api unggun di dekat pondok kami.
"Itu cahaya senter." ujar kapten, masih tetap tenang.

"Cahaya senter ? Itu artinya manusia." kataku pelan, berusaha tidak gugup.

"Manusia dengan maksud baik, atau dengan niat jahat." ucap kapten lagi.
"Bisa saja itu perampok, atau para pengayau. Kita harus hati-hati."

Kata-kata mang Soleh membuat kami semakin khawatir. Ada perasaan tidak tenang yang membuat gelisah tidak karuan.
Di tengah belantara seperti ini, hukum rimba berlaku. Bila ada yang mati, tinggal lempar ke hutan maka tak ada yang tahu.
"Jangan khawatir, jika memang mereka berniat jahat, kita menang jumlah. Mereka berlima, kita bersepuluh.
Sebaiknya kita bersiap. Ambil senjata kalian masing-masing. Hamid, bawakan tas pinggangku. Tergantung di tiang dekat tempat tidurku."

Kami berlari menuju pondok, meraih segala jenis senjata yang kami punya. Mandau, kampak, pisau, golok, tombak dan senapan angin.
Tas pinggang kapten segera kutenteng, agak berat. Entah apa isinya. Aku berlari sangat kencang hingga nafasku ngos-ngosan.

Huft !
Hah !

Aku menarik nafas, lalu menghela nafas.
Di pinggir sungai, kapten dan mang Soleh masih berdiri memandang lima cahaya senter yang terus bergerak.

"Ini kapten." Kuserahkan tas pinggang milik kapten.

Terburu-buru kapten mengeluarkan isi tasnya, sebuah pistol rakitan.
Entah apa jenisnya, tapi sebuah pistol yang sering kulihat di film koboi.

Setelah memastikan peluru terisi penuh, kapten menggenggam pistol dengan erat. Sangat erat, hingga tangannya bergetar hebat.
"Malam ini, akan ada petaka di tambang emas. Darah akan kembali mengalir di sungai Busang." ucap kapten penuh keyakinan.

Harap-harap cemas, 10 pasang mata mengawasi pergerakan 5 senter di seberang sungai yang semakin mendekat. Malam ini akan ada tawuran bertaruh nyawa.
Bleebb.

"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"

"Doorrr...!!!"

Cahaya senter paling belakang tiba-tiba mati, diiringi jerit kesakitan, lalu suara tembakan. Kami terperanjat, saling pandang, namun hanya diam. Bergidik ngeri, kami menunggu kejadian berikutnya.
Bleebb.

Bleebb.

"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"

"Doorrr...doorrr...doorrr...!"

Senter kedua dan ketiga juga mati, disusul pekik kematian dan suara tembakan silih berganti.
Hutan di seberang sungai seketika gaduh. Burung hantu, monyet, serangga dan binatang malam menjadi ribut. Pohon-pohon bergoyang seperti ada gempa.

Kami semakin tegang, ketika lampu ke empat dan kelima akhirnya padam bergantian.
Jerit kesakitan meminta tolong menggema ke segala penjuru hutan. Lalu hening.

Gelisah, kami berdiri dengan perasaan was-was. Terlihat jelas kalau kami ketakutan. Kami sadar berhadapan bukan dengan perampok atau pengayau. Tapi sesuatu yang lebih mengerikan.
"Mereka kemari bukan untuk merampok atau mengayau, tapi diburu, lalu dibunuh." ucap kapten tegang.

"A-apa yang memburu mereka, kapten ?" tanya Dayat khawatir.

"Entahlah...mungkin binatang buas. Binatang yang mampu melepas kepala manusia dari badannya."
Kami semakin terdiam. Tak seorangpun berani buka suara. Semua menanti kedatangan mahluk dari seberang sungai dengan rasa waswas. Api unggun telah padam, menyisakan bara yang masih menyala.
Lima menit berlalu, kami masih berdiri dengan senjata masing-masing di tangan. 10 sorotan cahaya senter dan headlamp terus mengawasi ke hutan di seberang sungai. Tak ada suara binatang malam, tak ada pohon yang bergoyang. Hanya ada gelap tanpa suara.
10 menit.

30 menit.

1 jam.

2 jam.

2 jam sudah kami menunggu dengan tegang, tak ada aktivitas mencurigakan dari seberang.

"Sepertinya mahluk itu sudah pergi. Mungkin tak bisa berenang. Mungkin juga sudah kenyang." kata mang Soleh gugup.
"Sebaiknya kita kembali ke pondok. Yang besok tugas malam, berjaga. Yang tugas siang, kalian istirahat. Besok pagi kita periksa ke seberang, mahluk buas apa yang ada di sana."
Masih menggenggam pistol koboi, kapten Anang melangkah menuju pondok diikuti yang lain.

*****

Malam itu, kami tak tenang. Yang tugas jaga merasa tak nyaman, yang kebagian jatah tidur pun tak nyenyak.
Hanya si Lai saja yang mendengkur tanpa beban di dalam pondok.
Gila ! Situasi genting seperti ini ia masih bisa tidur nyenyak.

Kasak-kusuk tak jelas sudah terdengar sejak kami di pondok tadi. Berisik dan riuh karena saling menebak kejadian di seberang sungai.
"Aku yakin, mereka pasti dikejar Raung lalu dimakan satu-persatu. Hutan di seberang, adalah hutan angker."

"Bisa juga Bue macan. Kudengar, di hutan sekitar sini ada macan jadi-jadian. Biasa menyaru jadi kakek-kakek dan suka memakan mayat."
Tebakan demi tebakan yang keluar malah membuat keadaan semakin runyam. Semua menduga-duga namun tak ada yang pasti. Aku yang mendengarkan ikut merinding. Tak tahan, aku segera keluar pondok dengan Mandau di pinggang. Tak lama Dayat juga ikut menyusul.
Di luar pondok, kapten duduk diatas sebatang kayu lapuk. Sebatang rokok tergamit di jarinya. Ia memandang kosong ke seberang sungai sambil memainkan pistol rakitan di tangan kanan. Wajahnya tegang dan nafasnya tak teratur.
Baru kali ini kapten terlihat gusar hingga tidak menyadari kehadiran kami.

"Bagaimana kapten ?" seruku.

Ceklek !
Refleks, kapten menodongkan senjata kearahku hingga rokoknya terjatuh ke tanah. Tak bergerak, aku menahan nafas dengan perasaan tak karuan. Seluruh darah di tubuhku berdesir dan bulu kudukku merinding.

Berdiri di samping, Dayat gemetar hingga kacamatanya hampir lepas.
Di depan, kapten masih tertegun. Raut wajahnya serius dan matanya menatapku tajam. Sedikit ngeri, tatapan kapten terlihat penuh kebencian dan dendam.

"Akh...kau Mid. Hampir saja aku khilaf." kapten bernafas lega.
Kapten kemudian menyelipkan pistol di pinggang dengan tangan yang masih gemetaran.

Sedangkan mas Sugang, entah sejak kapan ia sudah berada di dekat kami. Ia mondar mandir gelisah.
Sebentar duduk, sebentar berdiri, lalu berjalan ke arah semak dengan wajah cemas, lalu kembali lagi. Memang, apa yang terjadi membuat semua orang ketakutan.
Aku dan Dayat lalu duduk di samping kapten, memandang ke arah sungai.
Kapten merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok, lalu ia serahkan padaku dan Dayat.

"Uhuk...uhuk...!" Aku terbatuk, tenggorokan rasanya sangat sakit bagai tersangkut tulang ikan asin.
"Hah...hah...ha..."

Kapten dan Dayat tertawa kencang.

"Kau semakin mirip abahmu, ha....ha...ha..." kapten Anang kembali tergelak.

Aku tersenyum menahan malu. Memang, almarhum abah dulu tak pernah merokok. Segera kumatikan, rokok langsung kubuang ke semak belukar.
"Tak hanya kelakuan. Wajah, hidung, mata dan tubuh, kau memang sangat mirip abahmu." Kapten Anang menepuk-nepuk pundakku.

"Andai masih hidup, abahmu pasti bangga. Kau sekarang sudah jadi laki-laki. Kepala rumah tangga."
Aku kembali terdiam, mencoba mengingat-ingat wajah almarhum abah.

Perhatian kami teralihkan, ketika mas Sugang yang mondar mandir semakin gelisah ketakutan.

"Ada apa mas ?" tanya kapten.
Ragu, mas Sugang mendekat perlahan. Kedua tangannya memegang perut.

"Anu kapten.... Saya sakit perut."

"Owalah...yaudah buang sana di sungai. Biasanya juga di sungai."

"Ta-takut kapten."

"Kenapa gak di semak belukar saja?"
"Gak enak kapten. Gak enak pake daun. Bisa-bisa ada ular."

"Hmm...." Kapten mendengus.

Mas Sugang lalu melirik kearahku dan Dayat.

"Kenapa gak bilang dari tadi. Hamid, Dayat, antar mas Sugang ke sungai !"

*****
"Mas...jangan ngintip ya !" teriak mas Sugang dari sungai.

"Hoeeeekkk...cuih !"

Aku dan Dayat merasa mual dengan seloroh mas Sugang. Cahaya headlampnya menyala terang dalam gelap.

Sedangkan aku dan Dayat, harap-harap cemas menunggunya di pinggir sungai.
"Mas Hamid...mas Dayat, sudah hampir selesai. Mau bantuinkah ? He...he..he.."

"Hoeekk...cuih !!!"

"Heh...heh..he..."

Mas Sugang kembali terkekeh sambil mengancing celananya. Ia kemudian melangkah hingga menimbulkan suara keciprat air.
Mengetahui mas Sugang sudah selesai dengan hajatnya, aku dan Dayat segera menoleh ke arahnya.

"Astagfirullahul adzim...." suara Dayat tiba-tiba tertahan.
Tak hanya Dayat, aku juga mulai ketakutan. Bulu kudukku merinding, saat cahaya senter kami menyorot sesuatu yang mengikuti mas Sugang di belakang. Bergerak perlahan, muncul tenggelam dari dalam sungai.
"Mas...mas Sugang !" suaraku tertahan.

"Hah !?" Mas Sugang masih melangkah gontai menuju pinggir sungai.

"Mas Sugang !!!" Dayat mulai berteriak.
Masih santai, mas Sugang tak sadar ada bahaya yang mengancam.

"Mas Suugaaang !!! Di belakang !!!" Dayat berteriak, wajahnya panik.

"Hah !?" Mas Sugang malah kebingungan.

"Mas Suugaang !!! Laaarrii !!!"
Kulihat, mahluk itu telah bangkit sempurna dari dalam air. Berbadan hitam, berkepala lancip dan bermulut vertikal hingga ke dahi. Mahluk itu berdiri persis di belakang mas Sugang yang tetap melangkah pelan.
"Mas Suuugaanng !! Awas di belakang !"

Aku berteriak sangat kencang hingga tenggorokan terasa sakit.

Bukannya berlari, mas Sugang justru balik badan dan menatap mahluk yang mengikutinya.
"Allahu Akbar !!!" Pekik mas Sugang mengucapkan takbir.

...byurr...

Kaget, mas Sugang malah terjatuh ke dalam air. Tubuhnya menggelepar bagai ikan.

"Tooollloooonnggg...!!!"

"Tooollloooonnggg...!!!"
Mas Sugang berteriak sekencangnya, menyadari umurnya tinggal sejengkal.

Tak peduli bahaya, aku berlari hendak menarik tubuh mas Sugang. Namun, terlambat, mahluk itu sudah terlebih dahulu menerkam tubuhnya yang gelagapan.
"Aaarrrrgggghhhh !!!"

Lalu, kembali terdengar jerit kematian yang membahana ke segala penjuru hutan.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 8 : Amang Atak

cc @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @FaktaSejarah

#horror #ceritahorror #ceritahoror #ceritaserem Image
"Aaarrrrrggghhhhh....!!!"

Perlahan, tubuh mas Sugang tenggelam ke dalam air. Tangannya menggelegap di atas permukaan, berusaha pertahankan hidup.Sekuat tenaga aku menarik tubuhnya yang terkulai tak berdaya.
Dengan sebatang kayu, Dayat membabi buta memukul tubuh mahluk yang tengah menindih tubuh mas Sugang.

Praak...!
Praak...!

Kayu ditangan Dayat patah. Tak puas, Dayat kemudian menendang berkali-kali hingga terdengar rintih kesakitan.
"Ampun...ampun...tolong...!" mahluk itu memelas.

"Hah !?"

Aku, Dayat dan mas Sugang terbengong bersamaan.

"Biyangane !!! Jebole manungso !" mas Sugang bergegas berdiri dengan tubuh basah kuyup.
Kapten Anang, mang Soleh dan lainnya berhamburan begitu mendengar jerit mas Sugang. Setiba di pinggir sungai, mereka ternganga melihat ulah kami. Senjata ditangan mereka kembalikan ke sarungnya.
"Tiwas meh ta pateni, jebule manungso ! Nek ora, tak lempit-lempit ndase. Biyangane setan alas !"

Mas Sugang segera melangkah ke pinggir sungai, sambil memaki dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti.
Di hadapan kami, tergeletak sesosok tubuh yang terkulai tak berdaya. Menggunakan jaket hitam dengan penutup kepala, kukira ia adalah hantu dengan mulut vertikal.

Bersama yang lain, aku dan Dayat menyeret tubuh penuh luka itu ke pinggir sungai.
"Loh, Atak ? " ujar kapten kaget.

"Atak !?" timpal mang Soleh dan mang Muksin hampir bersamaan.

"Atak !?"
"Apa benar si Atak ?"
"Ternyata Atak toh ? Ternyata masih hidup."

Kecuali aku dan Dayat, yang lain rupanya mengenali sosok yang barusan kami tolong.
"Lekas bawa ke pondok, kita selamatkan si Atak !" Perintah kapten panik.

*****

Waktu menunjukkan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Hanya mengenakan sarung, tubuh mang Atak kami hangatkan di luar pondok, di depan api unggun yang menyala-nyala.
Saat pakaiannya dilepas, tubuh mang Atak penuh luka gores. Hanya luka ringan, tidak ada luka berat meski pakaian yang dikenakannya telah robek di sana-sini.
Mang Atak ini, usianya kuperkirakan sepantaran kapten Anang, mang Soleh dan mang Muksin. Andaikan masih hidup, usia almarhum abah pastilah sama dengan mereka, sekitar 40 tahun lebih sedikit.

"Kukira si Atak ini menghilang kemana, gak tahunya di sekitar sini saja."
"Kukira ia sudah mati, ee...ternyata masih hidup."

"Tak disangka, rupanya ia masih berani menampakkan batang hidungnya di daerah kita."
Desas-desus tentang mang Atak semakin berhembus. Bapak-bapak di depanku ini rupanya tak kalah dengan perempuan, suka bergosip. Semua membahas masa lalunya, tak satu pun yang bertanya-tanya kenapa mang Atak bisa terdampar di sini.
"Ehm...ehm...!"

Kapten berdehem keras. Dengan pistol di tangan, kapten memandangi mereka sambil melotot. Suara-suara miring yang dialamatkan pada mang Atak kembali hilang. Hanya ada saling lirik dan saling sikut, agar mereka tak bersuara.
Yang kucuri dengar, mang Atak ini dulu rupanya salah satu anak buah kapten Anang. Ia merupakan salah satu kawan serantang seruntung almarhum abah bersama kapten Anang.
Setelah Abah meninggal, ia menghilang entah kemana. Ia bahkan tak melayat saat pemakaman Abah. Polisi sempat mencurigainya, namun kapten Anang bersikukuh bahwa mang Atak bersamanya di Banjarmasin, saat ayah terjatuh di sungai.
"Uhuk...uhuk..." mang Atak tiba-tiba terbatuk.

"Ambilkan air, cepat !" perintah kapten.

Yang lain langsung bergerombol mengelilingi mang Atak yang mulai sadarkan diri.

"Minggir ! Minggir ! Jangan bergerombol. Biarkan ia beristirahat !" seru kapten lagi.
Yang tadinya bergerombol segera menyingkir, kembali ke tempat duduk masing-masing. Semua mata menatap mang Atak dengan penuh curiga.

Mas Sugang bertindak cepat, mendudukkan tubuh mang Atak lalu memijat-mijat punggung,pundak serta kepalanya.
"Minumnya pelan-pelan saja. Nanti tersedak." kata kapten lembut. Segelas air ia minumkan ke mulut mang Atak.

"A-anang ?" tanya mang Atak kaget, menyadari ia kenal dengan orang di hadapannya.
"Untung saja. Kukira aku sudah mati." ucap mang Atak lagi.

"Sudah, jangan banyak bicara. Pulihkan dulu tubuhmu." balas kapten.
"Kau ini Tak...," ujar mas Sugang sambil memijat kepala mang Atak, "hampir saja tadi. Kukira kau hantu pujut. Kalau tak ada Hamid dan Dayat, habis tak lempit-lempit sirahmu. Untung saja mereka menolongmu." lanjut mas Sugang sambil menunjuk ke arahku dan Dayat.
"Madhan !?" kata mang Atak kaget. Wajahnya mendadak ketakutan seperti melihat hantu.

"Bukang mang. Saya Hamid, anaknya almarhum Ramadhan." balasku cepat.

Huuh...
Hahh...

Mang Atak mengatur nafas.
"Kukira kau Madhan yang bangkit dari kubur. Untunglah...,rupanya kau sudah dewasa sekarang."

Mang Atak memperhatikan wajahku lekat-lekat hingga membuat tak nyaman.

"Kau benar-benar mirip abahmu. Ha....ha...ha...uhuk...uhuk..."
Setelah tertawa, mang Atak malah terbatuk. Kami semua terheran-heran dengan ulahnya yang aneh.

Mang Atak tiba-tiba menatap tajam ke kapten Anang. Tak mau kalah, kapten Anang balas melotot.
"Kau hebat Anang," ucap mang Atak sambil mengangguk-anguk," aku salut padamu. Aku kagum. Kau besarkan anaknya Madhan hingga dewasa. Kau benar-benar kawan yang setia. Semoga....semoga Tuhan membalas kebaikanmu."
"Hamid sudah kuanggap bagai anak sendiri. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi." Balas kapten, ingin mengorek informasi lebih detil.

"Bagian sini mas." Tak menggubris ucapan kapten, mang Atak malah meminta mas Sugang memijat pinggangnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi ?" tanya kapten lagi, sambil menggeser duduknya.

Kami semua menanti penjelasan mang Atak dengan tak sabar.

Hening.

Mang Atak menatap wajah kami satu-persatu. Tatapannya serius hingga membuatku bergidik.
"Aduduh...!!!"

Mang Atak tiba-tiba merintih sakit sambil memegang kepalanya.

"Siapa tadi yang menghantam kepalaku?" Gertak mang Atak, menatap mas Sugang yang tengah memijit punggungnya.
"A-anu Tak. Nganu..." jawab mas Sugang gelagapan. Gugup dan salah tingkah, mas Sugang melirik kearahku dan dan Dayat.

Mang Atak lantas memalingkan wajah kearah kapten. Sorot matanya seperti api yang menyala-nyala.

"Kalian ada makanan ? Aku lapar." ucap mang Atak lemah.

*****
Hari semakin malam, tapi kantuk tak kunjung datang. Masing-masing kami merasa waswas, mengamati gerak-gerak mang Atak yang mencurigakan.

Di hutan belantara yang mengelilingi pondok, suara burung hantu dan binatang malam saling bersahutan.
Aku semakin khawatir ketika suara-suara binatang itu semakin ribut, seolah menandakan ada bahaya yang sedang mengintai. Apalagi, beberapa kali aku mendengar suara desisan entah darimana.
Ditemani mang Muksin dan Mursyid, mang Atak melangkan ke kelotok untuk mengambil baju dan celana di dalam tas mas Sugang.

Tak berapa lama, mang Atak sudah kembali dengan pakaian lengkap. Beberapa kali ia menggerutu karena merasa gatal.
Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, sepertinya memilih tetap diam di kelotok. Cahaya senter mereka berpindah-pindah di pinggir sungai, seperti mencari sesuatu.

"Kenapa Muksin dan Mursyid tetap di sana ? Apa yang mereka lakukan ?" tanya kapten penuh curiga.
"Katanya mau berjaga. Kalau ada bahaya, kita sudah siap."

"Bahaya apa !? Cepat katakan !" kapten mencengkram kerah baju mang Atak dengan penuh emosi.

"Nang...sebaiknya aku makan dulu, setelah itu kuceritakan semua." jawab mang Atak sambil tersenyum.

*****
Di dalam pondok, kami duduk melingkar, tak sabar ingin tahu apa yang telah terjadi. Setelah menghabiskan dua piring nasi dengan rakus, mang Atak mulai bercerita.
"Setelah kematian Madhan, ayahnya si Hamid, aku langsung pergi meninggalkan kampung halaman. Tak sanggup aku melihat liang lahatnya. Terasa perih di hati, mengetahui kawan serantang seruntung pergi begitu cepat."
Mang Atak menghentikan kalimatnya, menatap kosong ke arah dinding terpal. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca.

Mang Atak lalu menatap kearahku, seolah ada penyesalan yang mendalam. Aku memalingkan wajah karena tidak sanggup menatap matanya.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa terluka mengingat almarhum abah.

"Aku merantau ke Putussibau, kerja apa saja di sana." lanjut mang Atak.

"Aku kerja apa saja demi menyambung hidup. Jadi buruh sawit, supir truck, buruh bangunan.
Apa saja asal bisa makan. Hingga dua minggu yang lalu, ada seorang pria menghampiri saat aku memecah batu.

Seorang penerjemah untuk orang Tiongkok. Entah tahu darimana kalau aku berasal dari Barito. Aku tidak peduli. Yang jelas, aku terima tawaran mereka."
"Apa tawaran mereka ?" tanya kapten tidak sabar.

Tidak langsung menjawab, mang Atak justru menyalakan sebatang rokok milik mas Sugang dan menyeruput kopi dingin di depannya.
"Aku jadi pemandu mereka untuk menjelahi Barito. Mereka melakukan survey, mengambil sampel bebatuan untuk membuka perusahaan tambang emas di sini. Namun yang tak kusangka, kita malah berjumpa di sini, di Busang. Tanah yang jadi skandal emas terbesar dunia tahun 90an."
Mang Atak tersenyum, menikmati tiap hisapan rokoknya. Aku merasa kalau mang Atak ini sedikit aneh.

"Kau tahu, Anang ? Seacak apapun, tidak ada yang kebetulan. Sepertinya, Tuhan punya rencana lain untuk kita. Bukan begitu, kapten Anang ? He...he..he.."
Mang Atak terkekeh, menatap kapten dan wajahku secara bergantian.

"Hei....Atak ! Jangan banyak bacot ! Apa yang terjadi di seberang sana ? Kenapa ada suara tembakan ?" bentak mang Soleh penuh emosi. Matanya melotot dan tinjunya terkepal.
"Ha..ha...ha...kenapa Soleh ? Kau takut ? Kau takut sumpah itu jadi kenyataan ? Ha...ha..ha..!!!"

Tak sanggup menahan emosi, mang Soleh menerjang mang Atak di tempat duduknya.
Kami semua kaget, mang Soleh tiba-tiba tidak lagi Shaleh. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah mang Atak yang lemah dan tak berdaya.

Darah segar mengalir di pelipis, hidung dan bibir mang Atak.
Sekuat tenaga kami memisahkan dua orang itu. Mang Soleh meronta-ronta bagai orang kerasukan. Perlu orang berlima untuk menahan tubuhnya agar berhenti mengamuk.
Wajahnya bengis, nafasnya memburu. Jantungku rasanya melorot ketika menatap matanya yang sadis. Menyala-nyala tanpa ampun.
Aku mulai curiga ada yang tak beres, tiba-tiba saja mang Soleh jadi beringas.

Sedangkan mang Atak, meski wajahnya penuh luka tapi masih bisa tersenyum.
"Tenang saja Soleh. Aku tidak akan membantu Tuhan menggenapkan takdir. Tapi ada mahluk lain, mahluk yang dulu kukira hanya ada dalam dongeng. "

Sambil menyeka luka di bibir, mang Atak kembali tersenyum.
Kali ini kapten Anang yang hendak menghajar mang Atak. Namun langkahnya keburu terhenti, ketika terdengar suara desisan dari luar pondokm

...seeeshhh.....seeeshhh...

...seeeshhh.....seeeshhh...
Deg !

Seketika kami semua berdiri dengan perasaan cemas. Saling lirik, kami tidak ada yang berani bergerak. Hanya mematung tanpa suara. Suara desisan terus berpindah, terdengar seperti mengelilingi pondok.
....seeeshhh.....seeeshhh...

Semakin lama, suara desisan semakin kencang dan menciutkan nyali. Lantai tempat kami berpijak mulai bergemeretak, ketika suara desisan perlahan berpindah ke kolong pondok.
Samar-samar diterpa cahaya strongking, melalui celah lantai kulihat ada mahluk yang menggeliat di bawah kami. Hitam pekat dengan sisik sebesar piring. Belum pernah kulihat mahluk dengan sisik sebesar ini.
Deg...deg...deg...!

Kurasakan jangtungku berdegub dengan kencang. Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku merinding. Tiba-tiba saja aku dicekam ketakutan.
"Inilah Tambun, monster sungai. Monster yang menenggelamkan kapal Onrust Belanda di Muara Teweh." ucap mang Atak pelan.

Kami semua terkejut begitu mendengar Tambun, namun tak ada yang berani bergerak.
Tidak ada yang menyangka, mahluk yang kerap digunakan untuk menakuti anak kecil kala mandi di sungai, kini benar-benar nyata.

Perlahan, kapten Anang mengarahkan pistol ke lantai. Butir-butir peluh mulai menetes dari dahi hingga wajahnya.
Hati-hati, kami juga memegang parang dan tombak masing-masing.

Bruuaaakkk....!!!

Tiba-tiba lantai hancur diterjang sesuatu. Beberapa orang terlempar ke kiri dan ke kanan. Kurasakan tubuhku melayang lalu hempas ke tanah. Terasa sakit, tubuhku tidak bisa bergerak.
Hitungan detik, pondok telah porak poranda dihantam amukan Tambun yang ganas. Api mulai menyala akibat lampu strongking yang jatuh. Dengan cepat, pondok sudah terbakar hebat.

Aaaaarrgghhhh.....!!!
Di tengah api yang membara, Lai menjerit menjemput kematian. Mahluk itu, mengoyak-ngoyak tubuh Lai di tengah jilatan api.

"Ayo...! Bangun !!!"

Kurasakan pegangan tangan kapten menyeret tubuhku yang mati rasa. Tergopoh, sekuat tenaga aku bangkit dan berlari.
Tak ada lagi rasa sakit, hasrat bertahan hidup membuat adrenalin terpacu.

Sangat kencang, kami berlari ke tepi sungai menuju kelotok. Baru saja tiba di tepi sungai, hasrat kami untuk tetap hidup seketika sirna.
Dua buah kelotok telah terbakar. Api menyala-nyala dengan hebat. Satu-satunya kesempatan kami untuk selamat telah hilang. Kami lemas tak berdaya. Putus asa dan kehilangan harapan.
"Aaattttaaakkkk baaannggsaaattt !!!"

Kapten menjerit sejadinya. Air matanya mengalir dan tubuhnya gemetar hebat.

Di tengah sungai, lampu sebuah kelotok bergerak menjauh. Rupanya mang Atak telah kabur bersama mang Muksin dan Mursyid.
Mereka sengaja meninggalkan kami untuk menjadi mangsa Tambun.

Door..! Door..!

Kapten Anang menembakan pistol ke arah kelotok, namun sia-sia.

Braak...!!!

Entah terlempar dari mana, tiba-tiba bagian atas tubuh Lai terjatuh di hadapan kami.
Kami semua bergidik ngeri, tubuh Lai berantakan penuh darah.

"Astagriluhul azim...!"

"Astagriluhul azim...!"

Mas Sugang mengucapkan istigfhar sangat kencang. Belum hilang ketakutan kami, tiba-tiba Dayat buka suara.
"Kap...kapten. Lihat itu !" ucap Dayat ketakutan.

Kami semua menatap ke arah sorotan headlamp Dayat. Di tengah sungai, air terlihat mulai berputar membentuk pusaran air.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 9 : Tambun
cc @IDN_Horor @bacahorror @ceritaht @HorrorBaca Image
Semakin lama, pusaran air semakin besar dan membentuk gelombang yang mengerikan.

Kapten Anang memberi kode, kami melangkah mundur perlahan. Pistol terus ia arahkan ke pusaran air. Kami semua menahan nafas dengan rasa cemas.
Tubuhku menggigil, entah karena udara dingin atau rasa takut yang datang tiba-tiba.

Byurrr...!!!

Tiba-tiba mulut besar menganga dengan gigi tajam muncul dari dalam sungai.
Arrrrgggghhhhhhh....!!!

Kembali terdengar jerit kematian, entah siapa yang jadi korban. Tanpa menunggu perintah kapten, kami berlari kencang ke dalam hutan. Kami terbirit menyelamatkan diri masing-masing, hanya mengandalkan cahaya senter yang minim.
Di belakang, teriak kesakitan silih berganti menggema, bersahutan dengan suara gaduh binatang yang ketakutan. Satu-persatu, rekan kerjaku diseret ke dalam sungai.

*****
Entah sudah berapa lama kami berlari menerobos belantara yang lebat ini. Di langit, cahaya masih gelap tertutup rimbun pohon yang tinggi menjulang.
Suasana di sekitar sangat gelap. Tidak ada apapun yang terlihat kecuali cahaya senter dan headlamp yang semakin redup. Aku melirik ke kiri dan kanan, batang-batang pohon besar bagai mahluk raksasa yang mengawasi langkah kami.
Kini hanya tersisa kami berlima, aku, kapten Anang, mang Soleh, Dayat dan mas Sugang. Tubuh kami semakin lelah dan langkah kaki terasa semakin berat.

"Berhenti ! Kita istirahat sebentar. Mahluk itu sepertinya tidak mengikuti." kata kapten Anang dengan nafas ngos-ngosan.
Kapten Anang langsung duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Peluh keringatnya bercucuran dengan suara nafas yang kentara di tengah kesunyian.
Kami lalu beristirahat untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Tidak ada yang tahu kami sekarang ada dimana. Yang jelas, kami sudah berada jauh di dalam hutan, berharap mahluk itu tidak mengejar.
Mang Soleh kemudian berdiri, dengan sebilah mandau ia memotong akar pohon yang menggantung hingga airnya keluar. Segera saja kami berdiri untuk meminum air dari akar gantung itu bergantian.
Mang Soleh memotong beberapa akar lagi, hingga tenggorokan kami benar-benar basah. Tubuh kembali terasa segar ketika air mengalir ke dalam tubuh, tetes demi tetes.

"Kita istirahat di sini, sambil menunggu terang." ucap kapten sembari menyeka air di bibirnya.
"Yang penting jangan tertidur. Kita hanya perlu memulihkan tenaga. Bisa saja, monster itu tengah mengintai entah dimana." sahut mang Soleh.

Tanpa banyak bicara, kami semua duduk bersandar di sebuah batang pohon besar. Bau khas daun-daun busuk di dasar hutan segera menyeruak.
Kami semua terdiam, menyadari bahwa kami baru saja lolos dari maut. Lai, Ali dan Nurdin, telah meregang nyawa diseret monster sungai. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, telah kabur bersama mang Atak.
Entah apa yang mereka rencanakan, yang pasti kami telah dijadikan umpan agar mereka bisa melarikan diri.

Di samping, mas Sugang mulai menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menggigit bibir. Di tengah kegelapan, pundaknya berguncang karena menahan isak.
"Karma....ini karma. Ini pasti kutukan. Kutukan atas dosa kita..."

Entah karena menyesal atau takut, mas Sugang mulai bicara ngelantur.

"Sugang, Diam ! Jangan ngelantur !" bentak mang Soleh.
"Aku tidak ngelantur. Apakah kau tidak sadar, kutukan itu semakin nyata !? Kita sudah kena sumpah !"

Meninggi, nada suara mas Sugang penuh emosi. Tak dihiraukan air mata yang mengalir di celah hidung.

Bangkit berdiri, mas Sugang sudah siap bertaruh nyawa menghadapi mang Soleh.
"Bodoh !" hardik kapten Anang, "Bukan waktu yang tepat memikirkan dosa. Sekarang yang penting, adalah bagaimana caranya kita selamat."
Terdiam, dua orang ini seketika tersadar lalu kembali duduk menahan amarah. Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang. Sepertinya hanya aku dan Dayat yang belum paham apa yang sesungguhnya terjadi.
Beberapa menit berlalu, kami kembali terdiam tanpa suara. Keadaan sekitar masih gelap dan kabut tipis mulai naik.

Tubuhku yang tadi panas karena berlari, perlahan mulai menggigil. Suara-suara serangga dan hewan malam terus menggema di antara cabang-cabang pohon dan dedaunan.
Karena kelelahan, kesadaranku mulai menghilang. Perasaan lelah dan mengantuk jadi satu. Namun rasa takut membuatku memaksakan diri untuk tetap terjaga.

"Kukira, Tambun itu hanyalah mahluk dalam dongeng."
Suara mang Soleh tiba-tiba memecah kesunyian. Masih bersandar, mang Soleh beberapa kali memukul headlampnya yang semakin redup.
"Dahulu, almarhumah nenekku sering bercerita kalau Tambun  kerap  menyerang para pencari ikan atau kapal-kapal dagang yang berlayar di sungai Barito.
Bahkan, kapal perang Onrust Belanda tenggelam di perairan  Barito Utara akibat serangan Tambun. Bangkai kapal itu masih ada sampai sekarang, dan sering terlihat saat sungai sedang surut."

Lanjut mang Soleh sambil membetulkan posisi headlamp di kepalanya.
"Sewaktu masih kecil, aku sangat percaya kalau Tambun memang benar ada di sungai Barito. Tidak ada yang tahu persis seperti apa bentuknya, ada yang mengatakan seperti ular raksasa, ada juga yang bilang berupa Naga dengan tanduk dan sisik emas.
Bahkan ada yang bilang Tambun adalah hantu banyu yang kerap membuat orang mati tenggelam di sungai.

Beberapa hari yang lalu, dongeng yang disampaikan almarhumah nenek tentang Tambun hanya kuanggap sebagai isapan jempol.
Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menakuti anak-anak yang suka lupa diri saat mandi di sungai.

Namun sekarang, aku harus berpikir ulang. Satu-satu persatu, kawan kita tewas diseret sesuatu dari dalam sungai."
Kami kembali terdiam, menyadari belum sepenuhnya lepas dari maut. Mungkin saja mahluk itu tidak lagi mengejar, tapi sekarang kami tengah tersesat di hutan belantara. Lepas dari maut hanya untuk menuju maut lainnya.
"Bisa jadi, orang-orang Tiongkok itu berniat memburu Tambun. Kudengar, mereka sangat suka memakan daging hewan langka." timpal kapten Anang di tempat duduknya.
"Bisa jadi. Tidak mungkin hewan itu keluar dari persembunyian kalau tidak diganggu. Yang jadi perkara, hewan itu adalah pemburu."

Kalimat terakhir mang Soleh membuatku kaget. Kantukku hilang seketika, berganti rasa waswas tak karuan.
"Pemburu ?" tanyaku tak percaya.

Mang Soleh mengangguk pelan. Bulu kudukku merinding seketika. Tak hanya aku, yang lain juga sepertinya dicekam ketakutan yang sama.
"Dalam Hikayat Pedatuan, orang-orang Banjar mencatat kalau Tambun adalah hewan ganas penguasa sungai. Mereka berburu hingga ke darat, tak mengenal takut apapun." lanjut mang Soleh.
"Dalam senandung orang-orang Dayak, Tambun diceritakan sangat menguasai hutan. Bisa menjelma jadi pohon, mengintai dalam gelap, menyergap apapun yang di hadapannya."

Panik, seketika aku dan Dayat bangkit dari duduk. Bisa saja, pohon tempat kami bersandar adalah jelmaan Tambun.
"Tak perlu khawatir. Tambun tak benar-benar menjelma jadi pohon. Hanya kiasan orang-orang dulu. Yang jelas, hewan itu benar-benar nyata."
Aku dan Dayat sedikit lega mendengar penjelasan mang Soleh, walau rasa waswas masih menghantui. Aku kembali duduk ke tempat semula, sedangkan Dayat malah melangkah menjauh.

"Mau kemana ?" tanya kapten.

"Buang air kecil, kap." jawab Dayat.
Namun Dayat tiba-tiba diam tak bergerak. Ia terlihat ragu melangkah, lalu mundur hati-hati. Kami yang ada di belakangnya seketika waspada, kemudian berdiri dengan sangat perlahan.
Beberapa meter di depan Dayat, sepasang mata tampak menyala-nyala, memantulkan cahaya senter kami.

Grrrrhhhhh....grrrrhhhh....

Hewan buas itu mengeluarkan suara penuh amarah.
Merangkak perlahan selangkah demi selangkah, mahluk ganas itu memamerkan gigi dan taringnya yang tajam.

Grrrrhhhhh....grrrrhhhh...

Suara hewan itu benar-benar menciutkan nyali. Jantungku lagi-lagi berdegub kencang.
Telapak tanganku mulai basah karena keringat. Kutarik nafas sangat pelan hingga dadaku terasa sesak.
Aku juga turut mundur perlahan, tanpa lepas sedetik pun mengawasi gerakan hewan buas itu.
Diterpa sorot cahaya senter, samar-samar terlihat corak tubuhnya berupa bintik besar keemasan dengan garis hitam.

Hewan itu mulai merunduk, bertopang pada empat kaki. Cakar-cakarnga nya yang tajam telah mengembang bagai belati.

"Macan dahan." ucap kapten tertahan.

..bersambung
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 10 : Bertahan hidup

cc @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht

#hororthread #ceritahoror #bacahoror #ceritaseram Image
Door...!!!

Pistol kapten kembali menyalak, menggema di hutan yang sunyi.

Burung-burung berhamburan dan kumpulan monyet segera melompat dari pohon ke pohon karena ketakutan. Pucuk-pucuk dahan bergoyang dan daun-daun luruh ke tanah.
Hutan yang tadinya senyap, mendadak riuh. Teriakan hewan yang berisik terasa menyakitkan telinga.

Di depan kami, macan itu terjengkal beberapa meter ke belakang. Penuh darah, mahluk itu merintih kesakitan menanti ajal.
Kami sedikit lega, sekali lagi nyawa kami selamat. Kapten melangkah pasti, sambil terus mengarahkan moncong pistol ke macan yang sudah tak berdaya.

Begitu telah dekat, kapten sekali lagi menarik pelatuk, memastikan hewan itu benar-benar mati.
Ada rasa kasihan saat kulihat mahluk itu merintih-rintih bermandikan darah. Mahluk itu mengerang lemah, seolah memohon ampun. Kulirik, air matanya mengalir pelan.

Kapten tak peduli, pistol itu arahkan ke kepala macan yang tergolek lemah.
Aku menutup telinga, tidak tahan mendengar suara letusan.

Ceklek !

Pistol kapten tak mau menyalak.

Ceklek ! Ceklek !

Dipaksa berkali-kali, pistol tetap tidak meletus. Gusar, kapten segera memeriksa wadah peluru yang berputar.
Kosong ! Kapten memaki sejadinya. Persedian peluru tertinggal di pondok kami yang telah jadi arang.

Entah kenapa aku sedikit lega, mengetahui hewan itu masih ada harapan hidup.
Grrrrhhhhhh.....Grrrrhhhhhh....

Namun kelegaanku lenyap seketika, saat kembali terdengar geraman macan dahan yang marah.

Grrrrhhhhhh.....Grrrrhhhhhh....

Kami kembali cemas, karena suara itu jelas bukan berasal dari macan yang ada di depan.
Suara itu ada di suatu titik di belukar di sekeliling kami.

Waspada, kami kembali mundur setapak demi setapak. Senter kami arahkan ke kiri dan kanan, menyusuri tiap semak dan pohon. Kosong, tidak ada apapun yang terlihat kecuali suara geraman yang sepertinya makin mendekat.
Kreek....

Terdengar suara ranting patah, membuat kami semakin khawatir tidak karuan. Tubuhku kembali berkeringat dan nafasku memburu. Langkahku terasa berat dan kakiku seakan tak mampu lagi menopang tubuhku.
Aku sadar, mahluk itu tengah mengincar kami dan bersembunyi di balik rimbun belukar, tertutup malam yang sangat pekat.

Di depan, macan yang terluka terus merintih seolah meminta bantuan.

"Allahu akbar....Allahu akbar..."

Mas Sugang tak henti mengucapkan takbir.
Sedangkan Dayat terus melantunkan surat-surat pendek, seakan yang kami hadapi adalah hantu dan bukan binatang buas.

"Laarrriiii...!!!"

Kapten berteriak kencang, lalu lari tak tentu arah.
Tubuhnya melesat cepat menembus semak berduri disusul yang lain. Tanpa pikir panjang, aku segera menyusul tanpa sadar apa yang terjadi. Dalam pikiranku saat itu adalah yang penting bagaimana bisa selamat.
Di belakang, suara geraman terus mendekat. Sangat cepat, suara geraman itu seakan siap menerkam kapan saja. Bisa saja itu pasangan macan tadi. Semak belukar bergoyang-goyang dan suara binatang kembali ribut.
Di depan, cahaya senter tiba-tiba menghilang dan berganti teriakan yang sangat kencang.

Aaaarrrrgggghhhh.....!!!

Suara jeritan terdengar sangat menyakitkan lalu menghilang begitu saja.
Aku mulai ragu melangkah namun tak ada pilihan. Aku terus berlari karena suara geraman yang mengejar tak juga berhenti. Entah apa yang terjadi di depan, namun aku tak berhenti berlari.
Di depan, terlihat tiga orang berdiri dengan raut wajah ragu menatap ke arahku. Hanya ada kapten Anang, Dayat dan mang Soleh. Entah di mana mas Sugang. Mungkin teriakan tadi adalah suaranya.
Aku terus mendekat hingga terdengar sayup-sayup suara deras arus air. Sungai, batinku. Namun di mana?

Rupanya mereka berdiri di bibir tebing. Tak tahu berapa meter tingginya, yang jelas di bawah tebing itu adalah sungai yang mengalir deras.
Bisa saja mas Sugang sudah terjatuh. Semakin dekat, deras arus sungai semakin terdengar kencang.

Suara geraman yang mengejarku tak juga berhenti, namun tak terdengar suara langkah kakinya.
Sepertinya ia berhenti mengejar, namun tetap mengancam. Bisa juga siap menerkam.

Tiga orang di depan terlihat tegang, sepertinya mengetahui kalau aku akan jadi korban.
Aku langsung balik badan, untuk memastikan keberadaan mahluk itu. Benar saja, macan dahan itu mengambil ancang-ancang siap menerkam.
Hewan itu mulai merunduk, menghitung jarak untuk menerjang. Barisan gigi tajam dan taring panjang terlihat jelas, siap merobek leherku kapan saja. Belum lagi cakar-cakarnya yang tajam, siap merobek perut dan kulitku.
Tak mau gegabah, aku mundur perlahan, selangkah demi selangkah. Aku mengatur nafas agar tidak bertambah panik.

Macan itu semakin mendekat, bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari celah untuk menerkam.
Di belakang, deru nafas tiga orang terdengar sangat kencang. Jelas sekali kalau mereka juga ketakutan, namun tidak tahu harus berbuat apa.
Celaka ! Kami benar-benar berada di posisi yang sulit. Di belakang, ada jurang yang sangat dalam. Bisa saja sungai yang mengalir dipenuhi batu tajam.

Di depan, ada hewan ganas yang merupakan predator puncak di hutan Kalimantan.
"Kap...? Gimana kapten ?" tanya Dayat ketakutan.

"Bismillah saja...kita melompat ke sungai." sahut Kapten cepat.

Tanpa pikir panjang, Kapten langsung melompat ka dalam jurang sambil mengucapkan takbir.
"Allahu akbar...!" pekik Kapten Anang kencang, lalu menghilang tertutup suara deras sungai.

Tak lama, mang Soleh menyusul sambil memekikan takbir dan tertinggal aku dan Dayat.
Rupanya ulah Kapten justru memancing macan itu semakin marah. Macan itu melompat, tubuhnya melayang di udara. Terlihat jelas, giginya yang tajam mengarah ke leherku.

*****
Aku terdiam beberapa saat, hingga tersadar ada tangan yang menarik tanganku sangat kencang. Macan itu mendarat di tanah kosong, sedangkan Dayat telah menyeret tubuhku untuk melompat ke arah jurang.
Aku hanya memejamkan mata, tidak sadar apa yang terjadi. Hembusan angin terasa sangat kencang memukul pipiku. Tubuhku lemas tanpa tenaga, aku benar-benar pasrah menunggu kematian. Kakiku terasa kosong karena tidak menapak tanah.
Bersama Dayat, aku melayang di udara. Tubuh kami meluncur deras ke dasar jurang yang tidak terlihat, hanya terdengar suara arus sungai yang deras.
Semakin tersadar, semakin terasa kalau kami belum juga menyentuh dasar jurang. Entah berapa meter dalamnya, tiap detik terasa sangat lama.

Bayangan kematian kembali menghantui, jarakku dengan maut hanyalah sejengkal.
Tanpa terasa air mataku mengalir teringat anak dan istri. Mungkin, aku takkan pernah lagi berjumpa dengan mereka.

Byurrr.....!!!

Tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam air, berputar-putar diseret arus dalam. Aku gelagapan mencapai permukaan, namun tanganku sulit digerakkan.
Sikut dan kakiku terasa sakit karena membentur batu tajam. Kepalaku terasa perih dan pelipisku mulai berdarah.

Semakin bergerak, badanku semakin terasa remuk.
Tubuhku terhempas kesana kemari di dalam air, diseret arus yang membenturkan tubuhku ke batu-batu sungai yang tak terlihat.

Tubuhku terus berguling di dalam air dan nafasku terasa semakin sesak. Sial, air telah masuk ke dalam paru-paru.
Aku akan mati, batinku. Aku akan mati...aku akan mati, kataku dalam hati sambil terus menangis.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 11 : Terdampar di Hutan

cc @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror @HorrorBaca Image
Air terus menggulung tanpa ampun. Bagai kain yang melilit, gulungan air membuat tubuhku kaku tak bisa bergerak.

Perlahan, tubuhku mulai mati rasa. Tak lagi kurasakan rasa sakit saat batu-batu tajam menggores kulit dan meremukkan tulang.
Darah mengalir deras bercampur dengan arus sungai yang liar.

Aku pasrah dan tak berdaya, ketika arus air menyeret tubuhku semakin dalam ke dasar sungai.
Detak jantungku kini melemah. Pandanganku semakin kabur dan dada terasa sesak akibat terlalu banyak menelan air. Bayang-bayang tangis putri mungilku, silih berganti datang bersama jerit isak istri dan pandangan nanar ibuku.
Tidak ! Aku tidak boleh mati sekarang ! Aku harus hidup ! Aku harus hidup apapun yang terjadi.

Sekuat tenaga kupaksa menggerakkan seluruh tubuh yang mulai membeku. Kuhentak tangan dan kaki kesana kemari demi menyambung hidup.
Kelebatan wajah anak, istri dan ibu membuat keinginanku untuk hidup kembali pulih. Semakin lama, tubuhku terasa semakin bebas bergerak.

Bagai terbebas dari ikatan, kugerakan tangan dan kaki di dalam air agar tubuhku bisa segera muncul ke permukaan.
Susah payah, kepalaku berhasil muncul di permukaan. Gelagapan, kuhirup udara sebanyaknya ke dalam paru-paru. Semakin kuhirup, semakin besar keinginanku untuk tetap hidup.

Huuh...haah...

Huuh...haah...
Aku tak jadi mati, batinku. Keadaan sekitar sangat gelap tanpa cahaya bulan dan bintang. Senterku entah hilang dimana.

Adrenalinku terpacu untuk menyambung nyawa yang di ujung tanduk.
Aku mencoba berenang ke pinggir, namun percuma. Arus ini terlalu deras. Tubuhku kembali dihajar kesana kemari oleh arus yang sangat kuat.

Air terus menerjang tanpa henti, membanting tubuhku ke dinding-dinding batu sungai yang tak terlihat karena gelap.
Sreett....

Ujung batu yang tajam menggores punggungku bagai silet. Kurasakan perih hampir di seluruh tubuh karena kulit yang robek dimana-dimana. Darah terus mengalir, bercampur dengan air sungai.
Tidak juga selesai deritaku, badan mulai menggigil kedinginan. Aku menggigit bibir agar tak hilang kesadaran. Tidak ada manusia yang mampu bertahan dengan kondisi air sedingin ini. Dalam lima menit, siapapun akan lumpuh tak berdaya.
Di depan, suara gemuruh air terus menderu tanpa henti. Semakin lama, suara gemuruh terdengar semakin jelas. Air terjun ! Tidak salah, tubuhku di seret menuju air terjun.
Panik, aku berusaha mencari pegangan. Tanganku gelagapan mencari apa saja yang bisa digenggam. Batu-batu sungai begitu licin karena berlapis lumut. Terjangan gelombang yang bertubi-tubi membuat usahaku sia-sia.
Terseret arus, tubuhku meluncur deras ke arah air terjun. Seketika kurasa badan kembali melayang di udara. Entah apa yang terjadi, karena saat terjatuh aku menutup mata. Yang kurasa hanyalah hantaman air di kepala, mendorong tubuhku semakin cepat meluncur ke bawah.
Byuuurrr !

Badanku terhempas di dasar air terjun. Sakit mendera sekujur tubuh akibat jatuh dari ketinggian. Muntah darah, aku hilang kesadaran.

*****
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kurasakan silau yang sangat menyengat ketika membuka mata. Sakit luar biasa terasa di bagian sikut dan lutut. Namun yang paling sakit adalah bagian punggung. Tidak hanya perih, punggungku terasa remuk.
Sakit di kepala juga tak kalah hebatnya, bagai terkena pukulan bertubi-tubi. Ada benjolan dan luka di sana. Bagian tubuh lain juga penuh memar dan lecet.
Kuperhatikan, tubuhku kini hanya mengenakan celana dalam. Luka-luka di tubuhku ditutupi tumbuhan paku gelang yang telah ditumbuk. Aku mencoba duduk, namun tak sanggup bergerak. Sakitnya sungguh luar biasa hingga membuatku ingin berteriak.
"Jangan bergerak !" ucap suara yang kukenal, mang Soleh.

Rupanya tubuhku tengah terbaring di atas hamparan batu-batu kali dan kerikil di tepian sungai. Di bawah rindang pohon-pohon besar, udara hangat mengalir di sekujur tubuhku.
Ternyata aku sedang berbaring di sebelah api anggun.

Tidak salah lagi, pasti mang Soleh yang membuat api. Diantara kami, hanya dia yang mampu membuat api menggunakan ranting dan daun kering.
Di dekat api unggun, ada Dayat yang setengah telanjang memeluk lutut. Menghangatkan badan, kepalanya tertunduk tanpa memperhatikanku yang tergeletak di depannya. Kaca matanya sepertinya telah hilang entah dimana.
"Jangan bergerak dulu."

Suara kapten Anang mengagetkanku. Terpincang, ia mendekat sambil membawakan air yang ditampung di lipatan daun keladi.

Mang Soleh membantuku duduk, sedangkan kapten Anang menyodorkan air tadi ke mulutku.
Tetes demi tetes air mengalir di kerongkonganku. Segera kutenggak air di daun keladi hingga tidak tersisa.

"Baring saja, tubuhmu belum pulih." kata mang Soleh sembari kembali meletakkan tubuhku di atas bebatuan.

*****
Entah berapa lama aku tertidur, atau tepatnya pingsan. Saat kembali tersadar, matahari telah bergeser ke barat. Menyadari aku merintih kesakitan, mang Soleh dan kapten Anang bergegas membantuku duduk.
"Bismillah....pelan-pelan saja." kata mang Soleh lirih.

Aku meringis menahan sakit. Aku mengatupkan gigi hingga terdengar suara gemeretak dan ludah bercampur darah mengucur dari mulut. Sekujur tubuhku terasa perih akibat luka gores dimana-mana.
Susah payah akhirnya aku berhasil duduk. Kurasakan otot-otot tubuhku lemas dan sulit digerakkan.
Mang Soleh dan kapten Anang membersihkan sisa-sisa paku gelang yang telah mengering dari lukaku.
Saat paku gelang itu dilepas, tak sanggup lagi kutahan rasa perih yang luar biasa. Aku merintih hingga mengeluarkan air mata. Seketika pandanganku menjadi gelap, namun masih bisa kutahan.
"Istighfar Mid, bawa istighfar aja." kata mang Soleh seraya membersihkan sisa-sisa paku gelang yang menempel di kulitku.

Aku mengucapkan istighfar berulang kali dengan air mata yang mengalir. Saat ini aku tidak bisa berfikir jernih, hanya menurut dengan apa yang mereka katakan.
"Tenang saja, hanya luka gores. Kau baik-baik saja, tidak ada patah tulang."

Kapten Anang berusaha menenangkanku, namun percuma. Keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Tenagaku juga telah habis terkuras menahan sakit.
Dayat melangkah tertatih, mengambil sepatu, baju dan celanaku yang telah kering dari atas sebuah batu besar di pinggir sungai.

Setelah itu, ia mendekat dengan membawa barang-barangku di kedua tangannya.
"Kau bisa berdiri ?" tanya Dayat pelan. Kulihat kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Penuh memar dan luka gores.

"Entahlah..." jawabku lirih sambil menggeleng.
Aku mencoba berdiri dengan tertatih. Dibantu mang Soleh dan Kapten Anang, badanku mampu berpijak di atas dua kaki. Aku coba melangkah, kakiku baik-baik saja. Hanya saja bagian punggung dan pinggang terasa sangat perih.
"Pakailah dulu pakaianmu, nanti masuk angin." ucap Dayat lemah.

Aku mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.

*****
Setelah selesai memasang pakaian, mereka bertiga membantuku untuk duduk beristirahat. Baju dan celanaku compang-comping, penuh robek di sana sini. Sedangkan sepatu kubiarkan tergeletak di hadapanku.
Selama beberapa saat aku termenung.
Keadaan kami benar-benar kacau, terdampar di tengah hutan dalam kondisi tubuh yang memprihatinkan.
Tidak ada seorang pun yang tahu keadaan atau dimana kami berada.
Hatiku semakin sedih ketika teringat keluarga di rumah. Masihkah aku bisa berjumpa dengan anak, istri dan ibuku. Semakin dipikir, semakin pikiranku tak tenang.

Seketika aku tersadar, ada yang kurang di antara kami. Dari tadi tidak kulihat mas Sugang.
"Dimana mas Sugang ?" tanyaku memecah keheningan.

Kapten Anang terlihat ragu untuk menjawab, namun tak bisa mengelak. Tatap matanya terlihat kosong, ada raut kesedihan di wajahnya.
"Kami tidak menemukan tubuhnya," balasnya tertahan, "sudah kami cari di sepanjang aliran sungai, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya."

Aku terdiam mendengar penuturan kapten. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya tertunduk menahan sedih.
Dalam satu malam, kami harus kehilangan orang-orang dekat.

Tiba-tiba kebencianku tumbuh kepada mang Muksin dan Mursyid. Namun tentu saja yang paling kubenci adalah mang Atak. Air susu dibalas air tuba.
Gara-gara ulahnya, kami harus bertaruh nyawa di tengah hutan yang tak pernah dijamah manusia sebelumnya.

Kami benar-benar berada di antah berantah. Di tengah hutan lebat Kalimantan, di antara hewan-hewan buas yang selalu mengintai di antara rimbun belukar.
"Kita tidak ada pilihan. Sebentar lagi gelap. Sebaiknya kita bermalam di sini hingga benar-benar pulih. Besok pagi baru kita susuri sungai ke arah hilir." ucap mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian, seolah meminta persetujuan.
Meskipun berbahaya, apa yang dikatakan mang Soleh adalah satu-satunya pilihan paling logis. Malam ini, kami akan menginap di pinggir sungai, di alam terbuka, di bawah batang-batang pohon besar yang menjulang.
Malam nanti, entah kejadian mengerikan apalagi yang akan kami hadapi.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 12 : Hilangnya mang Soleh

cc @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror @HorrorBaca

#ceritahoror #horor #ceritahorror #ceritaserem Image
Suara sungai di hadapan kami masih terus bergemuruh. Air yang surut karena kemarau, membuat batu-batu besar dan kecil tampak menonjol di antara arus yang deras.
Di sekeliling kami adalah hutan lebat yang diiringi ribuan suara binatang yang terus berbunyi tanpa henti. Pohon-pohon besar tinggi menjulang, dengan rimbun dedaunan yang menghalangi sinar matahari ke dasar hutan.
Di sini, kami berempat terdampar dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuh kami penuh luka, memar dan lebam. Tanpa senjata dan penerangan, keadaan kami sungguh rapuh. Mandau, pistol dan senter sudah hilang terbawa arus.
Di antara kami, hanyalah mang Soleh yang tetap bisa berpikir tenang. Ia berhasil menangkap dua ekor ikan Sapan yang lalu dibakar dan kami makan bersama.
Dua ekor ikan untuk orang berempat tidaklah mengenyangkan. Rasanya juga aneh karena tidak ada bumbu. Tapi ikan bakar tadi sudah cukup untuk memulihkan tenaga, walau tidak seratus persen.
Berempat, kami menata batu-batu kali untuk tempat menginap malam ini. Sekarang musim kemarau, jadi tidak perlu khawatir apabila air sungai datang tiba-tiba. Bermalam di semak belukar bukanlah pilihan.
Bisa saja ada ular, lintah, serangga atau hewan ganas lain yang menyergap saat kami tidur.
Andai ada pisau dan parang, tidaklah terlalu sulit untuk membuat pondok sederhana. Tapi kami tidak memiliki senjata apapun di tangan.
Tubuh kami juga belum benar-benar pulih. Kami harus bertahan dengan keadaan kami sekarang.

Senja berganti malam. Suara binatang malam semakin berisik, bercampur dengan deras sungai yang bergemuruh.
"Biar aku dan Dayat yang jaga pertama. Nanti gantian kalau sudah terasa mengantuk." ujar mang Soleh sembari menambahkan ranting dan daun kering ke api unggun yang terus menyala.
Malam semakin larut dan udara terasa dingin. Tanpa selimut, tubuhku menggigil. Aku merapatkan badan ke dekat api supaya udara hangat membaluri tubuhku.

Dengan tangan dijadikan bantal, aku berusaha menutup mata. Namun sia-sia, aku tetap tidak bisa tidur.
Tubuhku sebenarnya sudah sangat lelah dan lemas, tapi trauma membuatku tetap terjaga.

Di samping, kapten juga rupanya belum bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikan badan, pertanda ia juga tidak tenang.
Mang Soleh dan Dayat juga terlihat gelisah. Sudah beberapa kali kulihat mang Soleh tiba-tiba berdiri dengan kayu di tangan, melempar batu ke semak belukar, lalu duduk lagi. Semakin malam, kulihat wajahnya semakin tegang.
Sedangkan Dayat dari tadi melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya putus-putus karena diiringi isak tangis tertahan. Dalam keadaan seperti ini, siapapun akan kehilangan nyali.
Lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Dayat bukannya membuatku tenang, malah bulu kudukku tiba-tiba merinding. Seolah ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari balik kegelapan.
Tiba-tiba saja air mataku mengalir, teringat anak, istri dan ibu di rumah. Tak bisa kubayangkan bila aku mati saat ini tanpa sempat berjumpa dengan mereka. Entah kesedihan seperti apa yang mereka alami, bila aku mati di tengah belantara tanpa ada seorang pun tahu.
Keluargaku yang malang pasti akan terus meratap tanpa henti.

Lalu bagaimana dengan mas Sugang ? Apakah ia selamat atau sudah tewas terseret arus ?
Pikiranku semakin lama semakin tidak karuan. Jangan-jangan mas Sugang sudah dibawa ke kampung hantuen. Konon, hutan-hutan lebat banyak sekali kampung hantuen. Kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Kudengar, mereka suka sekali menjebak manusia untuk tersesat ke alam mereka, lalu dijadikan makanan. Membayangkan semuanya membuatku semakin merinding ketakutan. Ditambah lagi cuaca dingin dan suara binatang malam membuat bulu kudukku semakin berdiri.

*****
Entah berapa lama aku tertidur, hingga seketika terbangun karena Dayat mengguncang-guncang tubuhku.

"Mid...Hamid, bangun !" seloroh Dayat panik.

Kurasakan tiap sendi tubuhku masih sakit, namun Dayat tidak perduli.
Dia terus mengguncang-guncang tubuhku dan sesekali memukul pundakku.

"Hamid, ayo bangun !"

"Ada apa ? " Jawabku lemah. Aku berusaha duduk, namun kurasa seluruh badanku masih terasa ngilu.

"Mang Soleh, Mid. Mang Soleh..." ujar Dayat terbata.
"Kenapa mang Soleh ?"

"Mang Soleh hilang."

"Hah !?," kataku tidak percaya, "bangunkan kapten !"

Dalam keadaan panik, aku dan Dayat berusaha membangunkan kapten. Perlu beberapa saat hingga ia benar-benar terbangun.
"Hilang bagaimana ?" tanya kapten sambil mengucek mata.

Kantuknya tiba-tiba hilang begitu mengetahui mang Soleh menghilang. Tertatih ia berusaha duduk kemudian menatap wajah kami satu-persatu.
Dayat menarik nafas panjang, jelas sekali bahwa ia sangat gugup. Setelah nafasnya teratur, Dayat mulai bercerita.

"Tadi, mang Soleh bilang bahwa ia melihat ada sesuatu di belukar. Ia kemudian memeriksa belukar itu dan menyuruhku berjaga di sini.
Namun, sudah lebih dari 1 jam ia tak juga kembali. Aku sudah berusaha mencari ke sekitar belukar tempat ia menghilang, namun nihil. Kupanggil-panggil, juga tak ada sahutan."
Aku dan kapten Anang tertegun mendengar penuturan Dayat. Kesulitan kami akan semakin bertambah apabila mang Soleh benar-benar menghilang.

"Hilang dimana dia ?" tanya kapten lagi.

"Di sana !"
Dayat menunjuk ke arah belukar. Namun tidak ada yang bisa kami lihat karena sangat gelap. Kami bagaikan orang buta. Jarak pandang hanya beberapa meter di sekitar api unggun yang semakin redup.
"Bagaimana mungkin dia bisa berjalan kesana tanpa senter dan senjata ?" tanya kapten tidak percaya.

"Tadi mang Soleh membuat obor dengan sobekan kain bajunya. Lalu melangkah kesana."

"Seharusnya kau melihat bila obornya menjauh atau padam."
"Ma-maaf kapten. Tadi aku tertidur. Saat terbangun, ternyata mang Soleh tidak juga kembali. Cukup lama aku menunggu lalu mencarinya. Setelah sadar ia menghilang, barulah kubangunkan kalian."

Dayat tertunduk meski tidak ada yang menyalahkan.
"Sudah lah, sebaiknya kita cari si Soleh sekarang."

Kami bertiga lalu berdiri sambil menahan ngilu yang belum juga hilang. Kami tambahkan beberapa batang kayu kering agar api unggun tidak padam selama kami melakukan pencarian.
Kain baju kami robek untuk dililitkan pada batang kayu dan dibakar untuk jadi obor. Sambil berteriak memanggil mang Soleh, kami melangkah menuju semak belukar tempat dia menghilang.
Kami harus melangkah hati-hati agar obor di tangan kami tidak padam. Belum lagi hembusan angin yang cukup kencang, obor di tangan yang tanpa minyak bisa padam tiba-tiba. Selain itu, kami juga takut bila menginjak ular atau serangga beracun.
Begitu sampai di dekat belukar, kami tidak berani melangkah ke dalam hutan. Kami hanya mengecek di sekitar belukar tempat mang Soleh menghilang untuk mencari jejaknya.
Sepuluh menit berlalu, pencarian kami sia-sia. Tidak ada jejak mang Soleh kami temukan. Kapten Anang terlihat cemas, bingung menentukan keputusan.

"Bagaimana kapten ? Apakah kita kembali atau mencarinya ke dalam hutan ?" tanyaku pada Kapten.
Hening. Sepertinya perlu waktu bagi kapten untuk berfikir.

"Baiklah, kita cari ke dalam hutan. Tapi jangan terlalu jauh. Sudah cukup kita kehilangan orang, jangan sampai kita juga menghilang."
Beberapa saat setelah kapten menyelesaikan kalimat, kami hanya tertegun di depan semak belukar yang membatasi hutan dan sungai. Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk melangkah.
Memang, masuk ke dalam hutan tanpa senjata dan penerangan memadai, sama saja cari perkara. Pohon-pohon besar dengan akar menggantung terlihat seperti sosok hitam yang menakutkan.

Detik-detik berlalu, kami masih saja terdiam.
"Bagaimana kapten ?" tanyaku memastikan. Seumur hidup, baru kali ini kulihat kapten ragu. Yang membuatku kaget, ternyata sedari tadi kapten sedang membaca doa. Mulutnya komat-kamit dengan mata tertutup.

"Bismillah..."
Tanpa memberi aba-aba, kapten melangkahkan kaki setapak demi setapak masuk ke dalam hutan. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan penuh rasa cemas.

Suara burung hantu dan serangga malam terdengar semakin lantang, seolah menyambut kedatangan kami.
Kami yang tadi niatnya hanya beberapa meter saja, ternyata melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Yang kutakutkan, adalah jika kami tersesat ke kampung hantuen,-kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Atau, jangan-jangan kami memang sudah masuk ke alam mereka.

...bersambung...
Suara gemericik sungai terdengar semakin jauh di belakang. Kaki kami terus melangkah menyusuri hutan yang penuh semak berduri. Kami harus berjibaku mengusir nyamuk dan lintah yang menempel di kulit.
Teriakan kami menggema di tengah hutan, berharap ada jawaban dari mang Soleh. Anehnya, setiap kali berteriak memanggil nama bang Soleh, burung hantu selalu menyahut.
Semakin dipanggil, semakin lantang sahutan burung hantu. Hanya kebetulan, ucapku dalam hati. Berada di tengah rimba di tengah malam seperti ini membuat pikiran berimajinasi macam-macam.
Namun dinginnya angin malam membuat bulu kudukku merinding. Suara gesekan daun dan ranting yang tertiup angin juga tak kalah menyeramkan. Jujur saja, bila terlalu lama di hutan ini rasanya aku bisa jadi gila.
Beberapa kali jantungku rasanya hampir melorot, karena tiba-tiba saja di depanku muncul wajah nenek tua yang keriput. Wajah itu persis seperti wajah Mak Lampir yang ada di televisi.

"Allahu akbar !" Pekikku kaget.

"Ada apa ?" tanya kapten sambil mengernyitkan dahi.
"Gak apa-apa, Kap." balasku sambil menarik nafas lega.

Ternyata yang kulihat hanyalah kulit kayu dari batang-batang pohon besar. Diterpa cahaya temaram, kulit pohon yang kasar itu membuat otak berpikir macam-macam.
Dayat juga sepertinya dicekam ketakutan. Ayat kursi yang keluar dari mulutnya amburadul ke sana kemari.

Pikiranku semakin tidak karuan, ketika banyak sekali cahaya kunang-kunang mengitari kami.
Mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Kumpulan cahaya itu sepertinya sengaja menggiring kami semakin jauh masuk ke dalam hutan.

Saat ini yang kutakutkan bukan lagi binatang buas, tapi mahluk halus penunggu hutan.
Cerita tentang kampung hantuen semakin menjadi-jadi bergelayut di kepalaku.
"Soollleehhhh...!!! Soollleehhhh...!!!"

Kapten terus berteriak lantang. Tidak dihiraukannya suara burung hantu yang menjawab panggilannya.
Kapten terus memanggil nama mang Soleh berulang-ulang hingga suaranya serak.

"Kemana si Soleh ? Kenapa dia pergi begitu saja ?" tanya kapten sambil menyeka keringat di wajah.

Aku dan Dayat hanya bisa menggeleng.
"Sebaiknya kita kembali. Bahaya kalau terlalu jauh ke dalam hutan. Bisa-bisa kita tersesat. Siapa tahu dia hanya pergi sebentar lalu kembali lagi. Sebaiknya kita tunggu di sana." tambah kapten lagi.
Tanpa pikir panjang kami balik badan, kembali ke perapain tempat kami istirahat tadi.

Kabut tipis berwarna putih mulai naik, membuat jarak pandang kami semakin pendek. Kami harus melangkah hati-hati, agar tidak menginjak semak berduri atau binatang berbisa.
Di atas dahan-dahan pohon, suara burung hantu masih mengikuti. Suaranya begitu teratur, namun menakutkan. Serangga dan binatang malam lainnya juga tak kalah berisik.
Kami terus melangkah dengan pelan, menyesuaikan kondisi tubuh yang belum pulih. Kunang-kunang juga masih setia mengiringi, entah kebetulan atau ada sesuatu yang lain.
Yang jelas, rasanya sudah lebih dari setengah jam kami hanya berputar-putar saja di hutan ini. Dari tadi, belum juga ketemu bibir sungai yang kami cari.

Obor darurat yang ada di tangan juga semakin redup, membuat pergerakan kami semakin sulit.
"Kapten, ada yang aneh." ucapku sambil menghentikan langkah.

Kapten tiba-tiba berhenti, menatap wajahku dengan heran.

"Aneh bagaimana ?"

"Pohon ini, sudah tiga kali lewati. Kenapa ada di depan kita lagi ?"
Kapten terdiam, lalu mengamati pohon besar yang ada di hadapan kami. Ada sebuah lubang cukup besar di batangnya, biasanya jadi sarang hewan atau ular.

"Namanya juga pohon, memang bentuknya mirip semua. Apalagi saat ini gelap, pasti sulit dibedakan."
"Tidak, kapten," sanggahku, "aku yakin ini pohon yang sama. Aku ingat betul ada lubang di batangnya."

Lagi-lagi kapten terdiam. Dia mengernyitkan dahi seakan tidak percaya yang kuucapkan barusan.
"Sudah, jangan dibahas," timpal Dayat, "sebaiknya kita terus maju ke depan. Suara sungai sudah terdengar."

Aku dan kapten memfokuskan pendengaran, memastikan perkataan Dayat. Ternyata memang benar, sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengalir.
Tanpa berkata apa-apa, kapten langsung menerobos ke depan. Aku dan Dayat agak kesulitan menyusul di belakang, hingga akhirnya kami menjejakan kaki di pinggir sungai.
Kami semua terbelalak, tidak percaya dengan yang kami lihat. Api unggun yang tadi kami tinggalkan, kini lenyap tanpa bekas.

*****
Kami kebingungan, hanya berdiri mematung di pinggir sungai. Tertutup gelap dan kabut, di depan hanya terdengar suara gemericik air karena sungai tidak terlihat. Pemandangan di sekitar benar-benar gelap kecuali kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang yang sedari tadi mengikuti kami.
Badan kami telah basah karena keringat, meski angin malam sangat dingin hingga menusuk tulang. Nafas kami masih ngos-ngosan karena sedari tadi menjelajah hutan.
Kapten Anang masih terus mematung seperti hilang kesadaran. Beberapa kali kupanggil, ia tidak menggubris. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya.

"Kapten, sekarang kita bagaimana ?" tanya Dayat meminta kepastian.

"Ggrrhhmm..."
Lagi-lagi gumaman tidak jelas. Aku dan Dayat saling menatap, keheranan dengan perubahan sikap kapten yang mendadak. Sepertinya ada hal janggal yang dialami kapten sehingga membuat kami merasa waswas.
Perasaan kami semakin tidak tenang ketika obor di tangan masing-masing tiba-tiba padam dan hanya meninggalkan bara.

Susah payah aku dan Dayat meniup bara obor kami masing-masing, hingga api perlahan kembali menyala.
Di depan, kapten masih berdiri terpaku di tempatnya. Obor kayu yang padam tidak ia hiraukan.

Aku dan Dayat semakin panik tatkala kabut asap putih bergerak perlahan akibat tertiup angin. Wajah Dayat terlihat lebih pucat dari sebelumnya, dan lututnya gemetar tidak karuan.
Tubuhku kini menggigil, entah karena malam yang semakin dingin atau rasa takut yang kualami.

"Kapten !?" seruku sembari menepuk pundaknya. Lagi-lagi kapten hanya bergumam.

"Ggrrhhmm..."

Kepanikanku dan Dayat semakin menjadi-jadi.
"Kapten !?" aku mengulangi lagi memukul pundaknya. Setelah lebih dari tiga kali kutepuk barulah ada respon.

"A-ada apa !?" jawab kapten kebingungan.

Aku dan Dayat menarik nafas lega sambil mengelus dada.

"Kap, obormu padam." sahut Dayat.

"Astagfirullahul azim."
Seolah tersadar, kapten tiba-tiba gelagapan. Susah payah kami bertiga meniup bara obor di tangannya hingga api kembali menyala.

"Ayo, kita jangan lama-lama di sini. Hutan di sini angker."

Suara kapten seperti orang panik, entah apa yang dilihatnya.
"Memangnya kita mau kemana, kap ?" tanyaku ragu.

"Kita harus ke hulu. Perapian kita ada di sana, dekat air terjun. Mungkin Soleh sedang menunggu kita di sana."

"Tapi kap, sungai saja tidak terlihat, bagaimana kita bisa tahu arah hulu ?" tanya Dayat cemas.
"Benar juga. Kalau begitu kita pastikan arah aliran sungai."

Kami bertiga lalu melangkah perlahan menuju bibir sungai yang gelap. Tiap pijakan kami lakukan sangat hati-hati karena banyak batu yang tajam.
Di dalam hati aku terus berdoa supaya kami baik-baik saja. Tapi entah kenapa, sedari tadi perasaanku tidak bisa tenang. Selalu saja aku merasa ada sesuatu yang mengamati kami entah dimana.
"Arah hulu ada disana," ucap kapten memecah kesunyian, "kita harus secepatnya ke hulu sungai. Terlalu lama di sini membuat perasaanku tidak nyaman."

Aku mengangguk setuju. Namun belum sempat beranjak, tiba-tiba Dayat mencengkram lenganku erat.
"Ada apa ?" tanyaku gusar.

"I-itu apa ?"

Aku dan kapten langsung memalingkan wajah ke arah tempat Dayat menunjuk. Di tengah sungai, tampak sesosok hitam besar tengah duduk di atas sebuah batu.
Namun wajahnya tidak jelas karena hanya terlihat samar-samar.

Diselimuti kabut tipis, sosok misterius itu terlihat duduk dengan tenang, memperhatikan kami di balik kegelapan.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 14 : Sosok Misterius

cc @IDN_Horor @ceritaht @HorrorBaca @bacahorror Image
Sosok misterius yang di tengah sungai masih tak bergerak. Meski diterjang percikan air, sosok hitam itu masih terus duduk mematung.

Aku dan Dayat menjadi waspada, mundur selangkah demi selangkah dengan sangat pelan.
"Astagfirullahul azim."

"Astagfirullahul azim."

Mulut Dayat tak henti mengucapkan istighfar. Wajahnya tampak berkeringat dan nafasnya tersengal-sengal.

Aku membaca ayat kursi dan segala doa yang kuingat, namun sosok misterius itu tidak beranjak.
Kapten tiba-tiba berjongkok lalu memungut beberapa batu kecil. Setelah itu ia kembali berdiri, lalu mengambil ancang-ancang untuk melempar ke arah mahluk yang di tengah sungai.

Ak menahan nafas, ketika batu itu melayang di udara dan tiba-tiba hilang dalam kegelapan.
Praaak...!!!

Terdengar suara benturan cukup keras. Aku bersiap lari bila ada hal buruk yang terjadi.

Hening.

Beberapa saat berlalu, tidak ada apa-apa yang terjadi. Mahluk misterius di tengah sungai tetap bergeming di tempat.

Praaak...!!!

Praaak...!!!
Batu kedua dan ketiga menyusul, tetap tidak ada hal buruk yang terjadi.

"Lihat kan !? Dasar penakut !" sungut kapten gusar, lalu beranjak menuju hulu sungai.

Dengan langkah gontai, kapten meninggalkanku dan Dayat yang masih kebingungan.
"Sialan ! Hanya batu sungai !" Dayat mengumpat.

"Ha...ha...ha..."

Sejurus kemudian kami berdua sama-sama tertawa. Lebih tepatnya menertawakan kebodohan kami. Karena terlalu takut, pikiran kami berhalusinasi yang macam-macam.
Lantaran gelap dan berkabut, batu besar yang berdiri kokoh di tengah sungai kami sangka hantu.

*****

Kami bertiga kembali berjalan menyusuri sungai ke arah hulu. Minimnya penerangan ditambah tidak ada tenaga karena lapar, membuat pergerakan kami sangat lambat.
Kunang-kunang sudah berhenti mengikuti, hanya kabut yang terus bergerak karena tertiup angin.

Setiap beberapa langkah, Dayat selalu menoleh ke belakang guna memastikan tidak ada yang mengikuti. Terbersit rasa sesal karena tidak percaya ucapannya tempo hari.
Tapi untuk kali ini, aku akan lebih percaya pada insting Dayat.
Setelah melewati dua belokan, akhirnya apa yang kami tuju mulai terlihat. Di kejauhan, tampak cahaya api unggun yang bersinar terang di pinggir sungai.
Kapten sumringah dan mempercepat langkahnya. Aku dan Dayat juga makin bersemangat, setidaknya sebentar lagi kami bisa istirahat.
Sekitar 100 meter dekat api unggun, kapten mendadak berhenti. Obor di tangan langsung ia matikan dengan tergesa.
"Matikan obor kalian, cepat !" Meski lirih, suara kapten terdengar panik.

Tanpa banyak tanya, aku dan Dayat menuruti perintah kapten.

Selama beberapa detik kami jongkok dalam diam, memperhatikan api unggun di depan.
Diterpa cahaya api yang menyala, terlihat sosok seperti manusia sedang mencakar bebatuan dan pasir di dekat api unggun.

Kali ini aku yakin bukan halusinasi, soalnya kapten pun tampak cemas.

"Kalian lihat kan, apa yang kulihat ?" tanya kapten setengah berbisik.
"iya kapten." balasku pelan.

"Ke-kenapa mang Soleh berprilaku aneh ?" Kali ini Dayat yang buka suara.

Ternyata sosok yang kami lihat adalah mang Soleh.

"Kapten, lihat tangannya." tambahku lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan. Apakah orang itu benar-benar Soleh, atau ada yang lain."

Meski jarak kami cukup jauh, terlihat jelas kalau tangan mang Soleh penuh darah.
Kami semakin ngeri, ketika mang Soleh mengangkat sebuah batu yang cukup besar dengan tangan kanan dan memukul-mukul lengan kirinya berulang kali.
Tertutup kegelapan, kami terus mengamati gerak-gerik mang Soleh yang mencurigakan. Semakin lama, tingkah mang Soleh semakin membuat kami resah. Batu tajam di tangan kanan terus ia hunjam ke lengan kiri tanpa henti hingga darah muncrat ke wajahnya.
"Kalian tunggu di sini, biar aku yang memastikan keadaan Soleh. Kalau ada apa-apa, tolong bantu aku."

Belum sempat kutahan, kapten langsung pergi begitu saja. Ia melangkah sangat pelan hingga hampir tidak bersuara.
Dengan menggengam kayu bekas obor di tangan, jarak kapten dan mang Soleh semakin dekat.
Aku dan Dayat menahan nafas karena tegang. Setiap kali ia melangkah, di situlah nafas kami tertahan.

Kapten akhirnya sampai di depan mang Soleh yang masih memukul-mukul tangannya.
Mang Soleh terlihat kaget dan matanya melotot. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba kapten membuang kayu di tangannya.
Kapten lalu menoleh ke arah kami yang masih menunggu dalam gelap, kemudian berteriak menyuruh segera mendekat.

"Haaammiidd...Daaayyaaattt !!! Kemari !!!" seru kapten lantang memecah kesunyian.

*****
Kami kini duduk melingkar di depan api unggun yang menyala, menikmati daging ular depong hasil tangkapan mang Soleh. Rupanya sedari tadi mang Soleh memukul-mukul ular depong,- jenis ular python yang pendek namun besar-, hingga darahnya muncrat kemana-mana.
Ternyata rasa daging ular biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bahkan, lebih banyak tulang daripada daging.

"Kamu tadi hilang kemana ? Hampir saja kami kesasar karena mencarimu." tanya kapten pada mang Soleh sambil mengunyah daging ular di mulutnya.
"Harusnya aku yang bertanya, kalian yang kemana ? Kukira kalian sudah kabur karena ketakutan entah dikejar hantu atau tambun."

Mang Soleh terus menambah beberapa ranting kering hingga api unggun semakin membesar.
Ia terus menambah ranting demi ranting tanpa melirik sedikit pun ke arah kami bertiga.

Kami bertiga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi mang Soleh sepertinya enggan bercerita. Entah apa yang disembunyikan.
"Sebaiknya kita istirahat, simpan tenaga untuk esok. Besok pagi, kita susur hilir sungai. Mungkin ada perkampungan di sana."
Aku dan Dayat menuruti ucapan kapten, hanya mang Soleh yang sepertinya tidak mau tidur. Sedikit pun, ia tidak mau bergeser dari api unggun di depannya. Pandangannya nanar menatap api yang terus menyala.

*****
Matahari belum terlalu tinggi, kami berempat berjalan beriringan menyusur sungai ke arah hilir. Di atas pohon, owa-owa saling berkejaran sambil mengeluarkan suara yang lantang. Serangga dan burung juga terus berkicau mengeluarkan suara khas hutan belantara.
Walau tubuh kami baik-baik saja, tapi kami harus melangkah perlahan karena badan yang masih terasa ngilu di setiap sendi.

Kadang kami harus melangkah di semak berduri di pinggir sungai, karena hamparan pasir dan batu yang membentang di sepanjang sungai terputus.
Beberapa kali langkah kami terhenti, karena harus menyingkirkan duri tajam yang menembus kulit. Waktu berlalu dan matahari semakin tinggi, belum juga ada tanda-tanda kami menjumpai perkampungan.
Untung saja di atas kepala kami adalah daun-daun yang lebat, sehingga sinar matahari tidak menyengat akibat terhalang dedaunan.
Sepanjang perjalanan, mang Soleh berada di paling belakang. Sudah berjam-jam lamanya, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bila diajak bicara, ia hanya diam saja.
Sambil melangkah, matanya selalu awas ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu yang mengikuti kami.

"Mid, kau tidak merasa aneh ? Dari tadi mang Soleh hanya diam seperti orang bisu." ujar Dayat setengah berbisik, takut kedengaran mang Soleh di belakang.
"Hussh...biarkan saja." sahutku sambil menyikut pinggang Dayat.

"Tapi Mid, dia..."

"Sudah, jangan dibahas." Aku memotong kalimat Dayat hingga ia terdiam.

Di saat seperti ini, aku tidak mau berdebat untuk hal yang aneh-aneh.
Pikiranku terlalu lelah untuk menduga yang macam-macam.
Semakin lama melangkah, tubuhku rasanya sudah tidak bisa berkompromi untuk terus berjalan. Nafasku mulai sesak dan pandangan berkunang-kunang.
Setelah menemukan pohon besar yang rindang di pinggir sungai, kami beristirahat di bawahnya untuk memulihkan tenaga.
Aku, Dayat dan Kapten Anang duduk bersandar di batang pohon. Sementara mang Soleh tetap berdiri, sedari tadi matanya melirik ke segala arah seperti mengawasi sesuatu.

"Soleh, kenapa kau ? Dari tadi kau tak bicara sedikit pun. Apa yang terjadi semalam ?"
Rupanya Kapten juga menyadari gerak-gerik mang Soleh yang ganjil. Matanya yang tajam tak pernah lepas mengamati tingkah mang Soleh yang mencurigakan.

"Sebaiknya kita harus terus bergerak. Terlalu lama di sini bisa berbahaya. Apalagi sebentar lagi gelap."
Tiba-tiba saja mang Soleh melangkah, namun langkahnya terhenti karena kapten mencengkeram lengannya.

"Sebenarnya ada apa ?" tanya kapten dengan mata melotot.

"Aku tidak bisa bicara banyak. Kalau mau selamat sebaiknya kita harus kembali bergerak."
Mang Soleh menepis cengkeraman kapten Anang, lalu kembali melangkah menyusuri sungai ke arah hilir.

Kami yang terbengong dengan tingkahnya, segera menyusul mang Soleh dengan tergopoh.

*****
Kami berempat melanjutkan perjalanan ke arah hilir hingga tidak terasa langit mulai gelap.

Usaha kami sepertinya membuahkan hasil, karena di depan terlihat atap-atap rumah berjejer. Beberapa buah perahu jukung tertambat di pinggir sungai.
Penuh semangat, kami mempercepat langkah untuk segera meminta pertolongan. Tapi segera kami sadari ada sesuatu yang janggal. Kampung di depan kami begitu sunyi, tidak ada aktivitas manusia yang terlihat.
Semakin dekat, apa yang kami takutkan semakin nyata. Tidak ada seorang manusia pun yang kami jumpai. Tidak juga terdengar hiruk pikuk layaknya perkampungan umumnya. Kulirik, mang Soleh melangkah penuh waspada.
Matanya yang tajam mengawasi segala penjuru, membuatku merasa sedikit khawatir.
Langkah kami terhenti beberapa meter dari gerbang desa. Tertutup rimbun belukar, berdiri pakahan di pinggir sungai. Tidak hanya satu, pakahan terlihat berjejer rapi hingga ke gapura.
Kami saling pandang, terasa janggal ada pakahan di sekitar kampung.
Dugaanku, ada kematian tidak wajar di kampung ini. Saat melirik ke gerbang desa, aku semakin cemas. Terdapat dua buah tombak yang ditancap menyilang dan dililit kain hitam.
Di bagian atas, tali anyaman rotan membentang di antara tiang penyangga gerbang, dihiasi daun-daun sawang yang telah layu.

"Hinting pali." gumam mang Soleh tertahan. Wajahnya terlihat pucat dan tegang
"Ke-kenapa ada hinting pali di gerbang desa ?" tanyaku khawatir.

"Entahlah..." jawab mang Soleh tertahan, "sepertinya, siapapun yang masuk ke kampung ini, maka akan mati."

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 15 : Kampung Hantuen
cc @IDN_Horor @ceritaht @HororCuyyy @bacahorror @HorrorBaca Image
Tanpa khawatir, mang Soleh melangkah gontai ke arah gapura. Tombak menyilang ia copot, ia ambil sebuah sebagai senjata lalu berjalan di bawah bentangan Hinting Pali menuju ke dalam kampung
Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang, sedangkan kapten Anang bergegas mengambil tombak yang tersisa dan menyusul mang Soleh.
Tidak ada pilihan, aku dan Dayat segera menyusul mereka berdua. Kami mempercepat langkah agar tidak jauh tertinggal, apalagi hari semakin gelap.

*****
Pemandangan yang kami lihat di dalam kampung sungguh menciutkan nyali. Rumah-rumah penduduk terlihat porak poranda dan puing-puing berserakan di jalan yang berupa tanah merah.
Tulang-tulang dan tengkorak manusia bergelimpangan di mana-mana. Juga ada beberapa mayat yang masih utuh namun sisa tulang terbungkus pakaian.
Entah apa yang terjadi, sepertinya ada hal mengerikan yang menimpa kampung terpencil di tengah belantara ini. Beberapa yang selamat sepertinya berhasil melarikan diri.
Sejenak aku ragu, apakah memasuki kampung ini keputusan yang tepat. Mang Soleh dan kapten Anang yang memegang tombak bersikap waspada. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan rasa cemas.
Kayu telah kami pegang untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, bulu kudukku kembali merinding. Sedari tadi aku merasa ada yang mengawasi kami entah dimana.
Sejauh mata memandang, daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan.
Patung sapundu, patung berwujud manusia yang biasanya ada di depan rumah warga, bergeletakan di jalan.
Di kiri dan kanan, banyak rumah yang telah ambruk dan rata dengan tanah. Sebagian lagi tampak kosong tanpa penghuni, ditutupi tanaman merambat.

Apa yang kami lihat seperti kampung yang ada di film horor. Sepi, sunyi, dan berantakan.
"Kenapa kampung ini ?" tanya Dayat khawatir.

Tidak satu pun yang menjawab, Hinting Pali yang ada di gapura sepertinya pertanda yang cukup jelas.

Kami terus melangkah hati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam lainnya.
Langkah kami terhenti ketika melewati sebuah tanah yang cukup lapang. Di tengahnya, berdiri tegak patung Sapundu yang biasa digunakan untuk mengikat hewan kurban saat ritual kematian.
Namun, bentuk ukirannya tidak lazim. Biasanya sapundu berwujud manusia, tapi yang di hadapan kami berwujud hewan melata. Melilit kayu ulin dengan barisan gigi dan taring tajam serta sisik yang menonjol, sapundu di depan kami berwujud ular naga raksasa yang sedang memangsa manusia
"Tambun..." desis mang Soleh.

Kami semua tercekat. Saling pandang tanpa bersuara, seketika kami merasa ngeri. Hinting Pali yang ada gerbang, adalah peringatan agar tidak seorang pun memasuki kampung ini. Bila dilanggar, maka orang itu akan mati bersimbah darah.

*****
Waktu terus berlalu dan langit semakin gelap. Kelaparan dan kelelahan, kami terpaksa menginap di kampung tanpa penghuni malam ini.

Setelah memeriksa beberapa rumah kosong, akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang paling cocok untuk menginap.
Sebuah rumah yang paling kokoh, berbentuk panggung dan berbahan kayu. Peralatan dapurnya cukup lengkap, walau tidak ada kompor dan hanya menggunakan tungku. Ada sisa minyak tanah, juga pisau yang bisa dijadikan senjata.
Jelas sekali kalau rumah ini ditinggalkan dalam keadaan buru-buru.

Hal pertama yang kami cari adalah sisa-sisa bahan makanan, entah beras atau ikan asin. Namun usaha kami sia-sia. Tidak ada satu pun yang bisa di makan. Begitu juga rumah yang kami periksa sebelumnya.
Hanya ada beberapa bumbu dapur seperti garam dan gula.

Untung saja ada singkong yang tidak terurus. Daunnya kami petik dan umbinya kami cabut. Karena langit semakin gelap, kami terpaksa harus meraba-raba.
Saat mengambil setundun pisang yang tumbuh liar di dekat dapur, tiba-tiba perasaanku tidak nyaman. Aku kembali merasa ada yang mengawasi.
Di rumah kosong sebelah, terdengar suara langkah kaki. Aku berhenti memotong tundun pisang karena penasaran. Aku sangat yakin, tiap jengkal rumah kosong di sebelah sudah kami telusuri.
Tak ada apapun yang kami temui kecuali rumah usang yang ditinnggal pergi. Namun, kini di rumah itu terdengar seperti ada penghuni.

Kupasang mata baik-baik karena bisa saja aku berhalusinasi. Pandangan kuarahkan untuk mengawasi tiap sudut rumah yang hampir roboh.
Pandanganku terhenti saat menatap ke arah jendela. Jantungku rasanya hampir copot, saat kulihat ada sosok seperti manusia berjalan di dalam rumah. Samar-samar dalam gelap, sosok itu terlihat sangat kurus berwarna putih pucat, dengan rambut panjang terurai.
Sosok itu berjalan ke sana kemari, seolah sudah lama menghuni rumah itu.

Tubuhku tiba-tiba kaku dan mati rasa, saat sosok itu bergerak perlahan ke arah jendela.
Sorot wajahnya mengerikan, karena tidak ada kulit yang membungkus daging. Matanya berlubang dan barisan giginya yang tajam terlihat jelas.

Hanya mematung dalam gelap, jelas sekali yang kulihat adalah tengkorak berambut panjang.
Jantungku berdetak sangat kencang, karena tengkorak itu terus menatap ke arahku di balik jendela.

Aku ingin menjerit tapi mulutku terkunci. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat hantuen. Tubuhku gemetar dan kakiku terasa lemas.
Aku mulai membaca ayat kursi dalam hati, hingga tengkorak itu mundur perlahan dan menghilang dalam gelap.

"Alhamdulillah." Akhirnya aku bisa bernafas lega.

"Jangan melamun !" sentak kapteng Anang memukul pundakku.
Di sampingnya, mang Soleh sudah berdiri dengan tombak, menatap tajam ke rumah kosong itu.

"Sebaiknya kita segera masuk. Terlalu berbahaya bila kita di berada luar saat gelap."
Mang Soleh lantas berbalik, lalu melangkah ke dalam rumah tempat kami menginap.

Kami bertiga yang di belakang segera menyusul. Namun tetap saja perasaanku tidak nyaman.
Sekali lagi aku melirik ke rumah kosong itu. Di balik jendela, tengkorak itu ternyata masih mengawasi kami dengan tatapannya yang kosong.

*****
Langit seutuhnya gelap, lampu teplok yang kami temukan jadi satu-satunya penerang. Di luar, keadaan benar-benar mencekam. Suara gemerisik daun yang tertiup angin terdengar sayup-sayup. Dari arah hutan, suara binatang malam kembali terdengar dan semakin berisik.
Makanan yang kami temukan telah habis tak bersisa. Kuah rebusan daun singkong pun kami seruput bergantian.

Setelah cukup kenyang, tidak banyak perbincangan yang kami lakukan.
Kami tidak berminat membahas atau mencoba menebak-nebak tentang peristiwa mengerikan yang dialami penduduk kampung ini.
Kami hanya membahas perihal rencana esok pagi supaya bisa pergi secepatnya dari kampung ini dalam keadaan selamat.
Mang Soleh akhirnya menyuruh kami segera tidur, karena tidak mau esok hari kami bangun kesiangan. Menurutnya, semakin cepat meninggalkan tempat ini maka semakin besar peluang kami untuk pulang dalam keadaam hidup.
Dayat dan kapten Anang sudah terlelap. Mungkin karena kelelahan ditambah kondisi tubuh yang belum pulih, membuat mereka berdua cepat tertidur.

Kulihat mang Soleh, ia masih sibuk mengutak-atik beberapa senjata tajam yang ditemukan di dalam rumah.
Sedangkan aku, dari tadi masih belum bisa tertidur. Meski sudah memejamkan mata, pikiranku melayang kemana-mana. Suara cicak juga terdengar sangat keras, membuat nyaliku jadi ciut. Konon, bunyi cicak adalah pertanda kehadiran jin atau setan.
Aku kembali teringat tengkorak berambut panjang tadi. Semakin diusir, malah semakin menghantui. Aku berdoa dalam hati, berharap mahluk mengerikan itu pergi dari pikiranku. Namun, sorot matanya yang berlubang justru seolah-olah ada di hadapanku.
Mungkinkah ia hantuen, arwah penduduk kampung ini yang bergentayangan ? Apakah ia sendiri atau ada hantuen lain? Membayangkannya membuat bulu kudukku tiba-tiba bergidik.

*****
Aku tiba-tiba terbangun saat suara-suara janggal terdengar dari luar. Awalnya suara yang kudengar masih samar, namun semakin lama terdengar semakin jelas.
...kreek....kreekkk...

Suara gesekan dinding kayu, seperti suara mencakar. Aku menutup telinga dan pura-pura tidur. Namun suara cakaran masih tetap terdengar.
Aku semakin panik saat mendengar suara lain, suara isak tangis tertahan. Suara isak terdengar sangat dekat, seolah-olah ada di antara kami yang sedang tidur.
Perlahan kubuka mata untuk memastikan sumber suara. Aku terkejut setengah mati, di sudut ruangan ada sosok seperti manusia sedang meringkuk.
Diterpa cahaya temaram, sosok bayangan hitam itu terisak pilu menyayat hati. Suara tangisnya terdengar sangat sedih seperti sedang meratapi nasib.

Seolah sadar sedang diperhatikan, sosok itu tiba-tiba mendongak, menatap tajam ke arahku.
Seketika tengkukku merinding dan jantung berdetak tidak karuan.

Di luar, suara cakaran di dinding terdengar di mana-mana hingga rumah bergetar. Kini kusadari, kami tidak sendirian di kampung ini.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 16 : Teror Hantuen

cc @IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht Image
Tak ingin beradu mata, aku balik badan dalam keadaan pura-pura tidur.
Belum hilang rasa takutku, ternyata ada sosok hitam lain yang bergerak di dalam rumah. Sosok itu seolah muncul dari kegelapan, terlihat lebih tinggi dari yang sedang bersimpuh menangis.
Kraaak...kraaak...

Lantai terasa bergetar seiring langkah kakinya yang mendekat ke arahku.

Celaka ! Batinku. Rupanya kami tidur di rumah berhantu.

Aku menahan nafas saat langkah demi langkah terlihat semakin dekat ke wajahku.
Tubuhku tiba-tiba kaku, ketika salah satu kaki yang penuh bulu terangkat ke udara, siap menghantam kepalaku.

Kraak...

Kaki itu mendarat pelan di sampingku, melangkah melewati badanku dan terus mendekati sosok yang sedang menangis.
"Ssstt...jangan berisik." ucap sosok yang lebih tinggi. Suara yang kukenal, rupanya mang Soleh. Sedangkan yang menangis ternyata Dayat yang sedang ketakutan.

"Jangan bersuara, ada sesuatu di luar." desis mang Soleh.
Sialan, rasa takut membuat otakku tidak berpikir normal. Hanya siluet tubuh manusia malah kukira hantu. Bergegas aku bangkit dan menghampiri mereka berdua. Tidak lama kemudian kapten Anang sudah berdiri di samping kami dengan tombak di tangan.
Di luar, bunyi cakaran telah berganti dengan suara lemparan ke dinding rumah.

Tak...tak...

Suara teror semakin menjadi, entah manusia atau mahluk halus.
Kami mengintip di celah dinding, samar-samar terlihat tengkorak berambut panjang berdiri di antara pohon pisang.

Mang Soleh memberi kode, kami pun berpencar dengan masing-masing memegang senjata di tangan.
Kapten Anang dan Dayat keluar dari pintu depan, sedangkan aku dan mang Soleh keluar lewat pintu belakang.
Entah hantu atau manusia, kami bertekad meringkus mahluk itu.

Kami berjalan mengendap hingga hampir tidak bersuara.
Di bawah sinar bulan, kami bergerak perlahan di semak-semak mendekati mahluk yang terus melempari rumah dengan batu.
Di depan, mang Soleh terlihat ragu melanjutkan langkah.

"Astagfirullah." ucap mang Soleh kaget.
Aku tidak melihat jelas karena tertutup kabut dan gelap malam. Samar-samar di antara rimbun pisang, tengkorak berambut panjang masih berdiri di situ.
Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku kembali merinding, ketika kepala tengkorak itu menoleh ke kiri dan kanan. Sepertinya, tengkorak itu menyadari kehadiran kami.

Mang Soleh lalu berjongkok dan mengambil sebongkah batu yang cukup besar.
"Bismillah." ucap mang Soleh sembari meniup batu di genggamannya. Setelah cukup yakin, batu itu ia lempar tepat ke arah kepala tengkorak tadi.

Praakk....

Kepala tengkorak itu hancur dan tubuhnya ambruk.
"Siapa di situ ?" teriak mang Soleh memecah kesunyian.

Tanpa takut, mang Soleh mendekati sisa tubuh yang tergeletak di antara rimbun pohon pisang.
Rasa takutku seketika hilang berganti keberanian. Aku segera mengiringi mang Soleh diikuti kapten Anang dan Dayat yang muncul dari arah lain.
Beberapa langkah dari posisi tubuh mahluk itu tergeletak, kami berempat
seketika kaget.
Tubuh itu tiba-tiba bangkit dan melompat ke arah hutan bagai kancil.

"Kejar !!!" pekik mang Soleh.

Kami berempat langsung menerobos rimbun semak, mengejar tubuh itu yang berusaha kabur.
Ada suatu kejanggalan yang membuatku heran, rambut panjangnya masih terurai. Padahal, tadi sangat jelas kalau tengkoraknya pecah berantakan.
Bruaakk...!!!

Terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah depan. Dari semak, kapten Anang menerjang mahluk itu.
Semak belukar di hadapanku bergoyang hebat, lalu terdengar rintih kesakitan.
Tanpa ampun, kapten Anang dan mang Soleh menghajar mahluk itu bergantian.

"Ampuunn...ampuunn."

Pukulan dan tendangan terhenti, ketika suara merintih itu terdengar tidak asing.

"Loh... Sugang ?" tanya kapten kaget.

*****
Di dalam rumah, mas Sugang merintih karena luka di bibir dan pelipis. Bersandar pada dinding, matanya berkaca menahan perih. Jakunnya naik turun seolah susah menelan ludah.

Tak tega aku melihatnya, tapi di sisi lain aku juga jengkel dengan ulahnya.
Aku dan Dayat membersihkan luka mas Sugang dengan air serta kain kotor yang kami temuka di dalam rumah.

Berkali-kali mas Sugang meminta maaf, namun rupanya kapten Anang masih gusar.
"Untuk apa kau menyamar jadi hantu !? Hampir saja kutombak perutmu."

Kapten Anang melotot menahan amarah.

Mas Sugang tertunduk, tidak berani menatap mata kapten.

"Ma-maaf kapten. Ku-kukira kalian hantu."
"Lalu kenapa kau berpura-pura jadi hantu !?" Hardik kapten masih dengan nada tinggi.

"Karena itu aku menyamar jadi hantu, karena kukira kalian hantu." jawab mas Sugang memelas.
"Sudah lah. Syukur kau masih hidup, kita bisa berkumpul kembali. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi denganmu." timpal mang Soleh seraya mendekati kapten Anang yang masih emosi.

Seketika raut wajah mas Sugang berubah. Matanya berbinar dengan senyum simpul di bibir.
Penuh semangat dan berapi-api, mas Sugang menceritakan detik demi detik peristiwa mengerikan yang ia alami.

"Untung saja aku jago berenang. Kalo gak, bisa mati aku digulung riam. Malam itu, berkilo-kilo aku terseret air deras.
Rupanya gusti Allah masih sayang padaku. Sebatang pohon hanyut kupeluk hingga tertidur. Waktu tersadar, aku sudah ada di dekat kampung ini."

Mas Sugang mengatur nafasnya yang tersengal. Dilihatnya kami masih terdiam, mas Sugang kembali melanjutkan cerita.
"Waktu itu matahari belum tinggi. Kedinginan dan kelelahan, aku berjalan ke kampung ini untuk meminta pertolongan. Namun seketika aku kaget, ternyata kampung ini telah luluh lantak. Hanya ada tulang dan mayat yang telah mengering. Hiii..."
Mas Sugang bergidik dan matanya melotot.

"Jujur saja, kukira aku sudah mati dan jiwaku ditawan di kampung hantuen. Satu malam aku tidur disini dengan rasa takut dan ngeri. Ada suara tangis dan jerit kesakitan. Rasanya ingin kabur namun tubuhku terlalu lemah.
Lalu hari kedua, tubuhku sudah membaik. Saat kuintip, ada empat sosok yang mencurigakan. Kukira hantu, makanya aku pun menyamar jadi hantu agar tidak diganggu. Tengkorak dan tulang itu kutenteng kemana-mana. Konon, hantu akan tertipu bila ada manusia yang menyamar jadi hantu."
"Dasar jamet !" sentak kapten lantang, "apa kau tidak merasa ngeri menenteng tengkorak manusia kemana-mana !?"

Mas Sugang lagi-lagi tertunduk sambil menggigit bibir.

"Kenapa kau tidak berusaha mencari kami ?" tanya kapten pelan.
"Maaf kapten. Kukira kalian semua sudah mati."

Kapten menghela nafas panjang mendengar penuturan mas Sugang.

"Kapten, tunggu di sini. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan untuk kalian."
Mas Sugang lalu bangkit dari duduk, lalu berlari kecil ke rumah sebelah. Kami berempat terheran-heran dengan tingkahnya yang ganjil.
Tidak berapa lama, mas Sugang sudah kembali dengan membawa benda aneh, diapit dengan dua tangan di dada. Berwarna putih pudar, benda ditangannya terlihat seperti kelambu usang.
"Hamid, Dayat, bantu aku membentang benda ini." ujar mas Sugang dengan nafas putus-putus.

Aku dan Dayat kemudian membantu membentang benda itu. Sangat panjang, hingga ujung ruangan rumah ini hanya cukup untuk separo benda itu.
Kalau dibentangkan semua, mungkin panjangnya lebih dari 20 meter. Sedangkan lebarnya kutaksir sekitar 3 meter.

Kami lalu berdiri di samping benda itu.
Di balik cahaya lampu teplok yang temaram, kami semua tercekat begitu menyadari benda apa yang dibawa mas Sugang.
"Kulit Tambun" ucap mang Soleh lirih.

"Mahluk itu rupanya baru berganti kulit. Mungkin ia ada di sekitar sini." Lanjut mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian. Kulirik, wajahnya terlihat tegang.
Kecemasan kami bertambah, ketika lantai tempat kami berpijak mulai bergetar. Dari luar, suara desisan yang tidak asing kembali terdengar.

Seeessh....seesshhh...

Persis suara desisan tempo hari, suara desisan yang merenggut nyawa.
Deg ! Deg ! Deg !

Jantungku berdetak kencang, menyadari tambun sudah ada di sekitar kami.

Kami semua menahan nafas dan tidak bergerak sejengkal pun, karena suara desisan itu terdengar semakin nyaring.
Kraak...kraak...

Tiang-tiang penyanga di sisi kanan bergemeretak, saat suara desisan bergerak perlahan ke atas atap.
Lantai mulai miring dan dinding pecah satu persatu karena tidak sanggup menahan beban.
Dengan wajah tegang, kami berlima menatap langit-langit.

Bruaaak....!!!

Langit-langit rumah tiba-tiba hancur berantakan. Mulut besar dengan barisan gigi tajam menganga lebar mencari mangsa.
Sekuat tenaga aku berlari menerjang pintu. Tubuhku terpelanting dan tersungkur di tanah. Darah mengucur dari sikut dan pelipis.

Di belakang, jerit kematian menggema di kampung yang sunyi ini.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 17 : Ular Naga

cc
@IDN_Horor @bacahorror @HorrorBaca @ceritaht
#hororthread #ceritahoror #ceritaserem Image
Berdebar-debar rasa jantungku, melihat rumah tempat tadi istirahat berguncang hebat. Jerit kesakitan dan suara tubuh terbanting terdengar jelas dari dalam rumah.

Praakk.. braak...braak...

Atap tiba-tiba ambruk mengeluarkan bunyi menggelegar.
Dinding-dinding kayu mulai koyak, beterbangan ke sana kemari.

Kreeeeeettt....

Sebuah tiang penyangga roboh, tepat menyasar tubuhku. Aku berguling ke kanan, menghindari hantaman kayu ulin yang meremukan tulang.
Braakkkk...!!!

"Aaaaaaaarrrgghhhh !!!"

Seketika aku menjerit. Kurasakan sakit di pergelangan kaki kiri. Kayu ulin sebesar paha menggenjet kakiku, menyebabkan perih sampai ke tulang.
Sekuat tenaga aku mengangkat kayu itu, namun sungguh berat bagai tiang besi.

"Aaaaaaarrrggghh !!!!"

Aku berteriak sekeras-kerasnya, berharap ada yang menolong. Percuma, tidak seorang pun datang. Hanya ada puing-puing kayu yang terlempar akibat amukan Tambun.
Kreekk...Kreeekk...

Aku semakin panik, saat tiang kedua mulai bergoyang-goyang. Tak ingin mati konyol, kukerahkan tenaga sampai nafasku sesak.

Kreek...kreek....

Tiang ulin terus bergoyang-goyang, membuat nyali semakin ciut.
Jantungku berdetak cepat dan nafasku memburu. Berpacu dengan waktu, kukumpulkan tenaga hingga keringatku mengucur.

Usahaku mulai membuahkan hasil, kayu ulin yang menimpa kaki perlahan terangkat.
Begitu ada celah, segera kutarik kaki dan kayu ulin itu kutendang menggunakan kaki kanan ke samping.

Dengan susah payah, akhirnya kakiku terbebas walau penuh luka. Segera aku bangkit, demi menyelamatkan nyawa yang di ujung tanduk.
Namun terlambat, baru saja berpijak pada dua kaki, tiang kedua roboh menyasar tubuhku. Kakiku gemetar tak bisa bergerak. Dalam kepalaku yang terbayang hanyalah kematian.

Kreeekkkk...
Suara tiang patah terdengar kencang memekakan telinga. Spontan aku menyilangkan kedua tangan, berusaha melindungi kepala.

Kreeekk....braaak...
Tanah terasa bergetar ketika tiang itu menghantam tanah, tepat sejengkal di samping tempatku berdiri. Aku bergidik ngeri dan bulu kudukku merinding. Nyaris saja, batinku.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah seribu. Menahan perih, kupaksakan kaki berlari secepat yang kubisa.

Mengandalkan cahaya bulan dan bintang, aku berlari sangat kencang mengejar mang Soleh yang telah jauh di depan.
Di belakang, jerit memelas minta tolong sayup-sayup terdengar lalu menghilang. Terdengar sangat perih dan menyayat hati.
Entah siapa yang jadi korban, yang kupikirkan hanyalah keselamatan diri sendiri.
Tak kupedulikan nyeri di kaki, aku berlari dan terus berlari menembus pekat malam hingga tiba di pinggir sungai.

"Cepaaat...!!! Cepaatt...!!!" teriak Dayat dari atas jukung yang sudah mengapung di sungai.
Byuurrr...!!!

Aku melompat ke sungai dan segera berenang mengejar perahu jukung yang mulai menjauh.

Terlalu letih, kurasakan tenagaku semakin lemah hingga sepasang tangan menyeret paksa tubuhku ke atas jukung.
Braakk...

Tubuhku hempas tanpa tenaga. Di dalam jukung, aku menggigit bibir melawan dingin. Baru terasa tubuhku sakit semua dan ngilu di tiap sendi. Kurasa perih di pelipis kiri, rupanya darah menetes tanpa henti.
Dayat membantuku membersihkan luka dengan air dan kain kotor yang ia temukan dalam jukung. Aku hanya bisa meringis hingga mataku berair.
Di depan dan belakang, mang Soleh dan Kapten Anang terus mendayung mengikuti arus sungai ke arah hilir. Jukung kecil ini bergerak bergerak cepat walau hanya ada cahaya bulan dan bintang sebagai penerang.
Aku terkesiap demi menyadari mas Sugang tidak ada di antara kami. Hatiku rasanya remuk redam, karena kami baru saja berjumpa beberapa saat lalu.
Ada getir yang tidak terucap, karena besar harapan kami semua akan pulang dalam keadaan selamat. Namun takdir berkata lain, rupanya mas Sugang telah benar-benar pergi untuk selamanya.

*****
Kami berempat mendayung perahu jukung dengan panik, berusaha pergi sejauh mungkin dari monster ganas yang ada di belakang. Di bagian depan, mang Soleh penuh waspada mengawasi agar jukung bergerak lurus atau menghindari batu dan batang kayu.
Sesekali ia berteriak, memerintahkan jukung berbelok ke kiri atau ke kanan mengikuti alur sungai.

Membawa jukung dengan hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang memang penuh resiko, bagai berjalan dalam gelap.
Tapi tidak ada pilihan, menjauh secepat mungkin dari monster ganas yang lapar adalah satu-satunya kesempatan kami untuk tetap hidup.
Waktu berlalu, tidak ada pembicaraan di antara kami. Yang ada di pikiran hanyalah menyelamatkan diri. Kami terus mendayung tanpa istirahat walau tapak tangan terasa sakit dan bahu terasa remuk.
Dayat meringis karena tapak tangannya lecet dan berdarah. Mang Soleh terlihat tegang hingga urat-urat lehernya menonjol. Sedangkan kapten Anang, ia hanya membisu dengan tatapan kosong. Mungkin ia menyesal, tadi telah memarahi mas Sugang.
Aku sendiri masih kalut, tetap mendayung dengan perasaan campur aduk. Aku berdoa dalam hati, agar kami bisa selamat dari petaka ini dan bisa kembali berkumpul dengan anak dan istri.
Angin dingin berhempus, namun tubuhku basah dengan peluh keringat. Teringat anak, istri dan ibu di rumah, semangatku kembali menggelora. Apapun yang terjadi, aku harus kembali ke rumah dalam keadaan selamat.

*****
Kabut tipis menutupi badan sungai dan malam terasa semakin angker. Suara serangga terdengar sahut menyahut diiringi suara burung hantu.

Kutaksir, mungkin sudah lebih dari tiga jam kami mendayung bagai orang gila.
Akhirnya jukung bergerak lambat dan hanya mengikuti arus sungai. Tidak ada seorang pun dari kami yang mendayung. Semua kelelahan dan kehabisan tenaga.
Braakk....

Dayat terkulai lemas di dalam jukung. Hidungnya kembang kempis dan dadanya naik turun mencari udara.

"Sepertinya mahluk itu tidak mengikuti. Kita biarkan jukung ini hanyut dibawa arus. Kita istirahat sebentar sembari memulihkan tenaga."
Kami mengangguk setuju dengan perkataan kapten Anang. Di tengah malam buta, jukung bergerak pelan, hanyut terombang ambing dibawa arus sungai.
Entah sudah berapa jauh kami meninggalkan kampung tadi, tapi sepertinya monster itu tidak mengejar.
Tidak ada tanda-tanda sungai bergelombang, tidak ada juga hewan-hewan ribut karena ketakutan.
Mungkin saja ular naga itu telah kenyang, atau sengaja melepaskan kami untuk nanti diburu lagi. Yang jelas, untuk sementara kami masih selamat.

*****
Matahari belum terlalu tinggi, kami melanjutkan mendayung dengan sisa tenaga. Perut kurasakan perih karena lapar. Keroncongan dan menusuk-nusuk, namun tidak ada yang bisa dimakan.
Kami juga tidak berhenti untuk sekedar mencari ikan atau hewan yang bisa dimakan. Hanya meminum air sungai untuk mengganjal perut.
Anehnya, rasa lapar tidak terasa dibandingkan semangat untuk tetap hidup. Keinginan untuk berjumpa anak dan istri di rumah menjadi motivasi kami untuk terus menyusuri sungai ini.
Dayungan kami semakin menjadi, ketika sungai semakin melebar pertanda akan bertemu muara.

"Lihat, di depan sepertinya muara. Mungkin saja di dekat situ ada desa." seru mang Soleh dengan mata berbinar.
Kami mempercepat dayungan hingga jukung kecil ini bergoyang-goyang membelah arus. Melewati tikungan, muara yang kami tuju akhirnya terlihat.

Di kejauhan, terlihat muara bertemu induk sungai. Kami semakin semangat memacu jukung kecil ini bagai orang kesetanan.
Berhasil melewati muara, kami segera berbelok ke arah hilir berharap ada kampung atau desa yang kami temui.

Baru saja beberapa meter melewati muara, semangat kami seketika padam.
Di tengah sungai, sebuah kelotok dengan posisi tertelungkup terlihat mengapung. Kelotok itu timbul tenggelam, bergerak pelan dibawa arus.

Kami semua tercekat dan saling pandang. Kelotok itu sudah sangat kami kenal bentuknya.
"Kapten, mungkinkah....?" tanyaku ragu.

"Iya... Itu kelotok kita yang dibawa kabur oleh si Atak. Sepertinya, mereka tidak berhasil selamat."
Kelotok itu hanyut hanya beberapa meter di depan kami. Seolah ada yang menggerakan, kelotok itu perlahan-lahan bergerak memutari kami.

"Kapten, ada yang tidak beres." ucap mang Soleh setengah berteriak.
"Cepat, kita harus ke pinggir sekarang !"

Kami segera mendayung ke pinggir sungai dalam keadaan panik. Di belakang, kelotok tadi terus berputar membentuk pusaran air. Pusaran air semakin lama semakin besar dan menimbulkan suara berderak.
Kraaakk....

Kelotok itu tenggelam dihisap arus berputar.

Air sungai semakin keruh, bercampur lumpur serta dedaunan dan kayu yang terangkat ke permukaan.
Jukung kami terombang ambing dihantam gelombang besar. Air mulai menggulung, menyeret jukung ke sana kemari. Air sungai bergemuruh, menggelar bagai gunung runtuh.
Kedua tanganku mencengkram sisi jukung agar tidak terjatuh ke sungai. Dayung yang kupegang sudah terlempar entah kemana.

Dayat menjerit histeris, tubuhnya terlempar keluar jukung. Untung saja, kedua tangannya berhasil memegang erat sisi jukung yang licin.
Aku dan Kapten Anang bergerak cepat, meraih tangannya agar tidak terlepas. Gelombang air menghantam tubuhnya, membuat genggaman tangannya semakin longgar.

"Haamiidd...tolong aku Mid. Jangan lepaskan Mid, kasian anak-anakku."
Tangis Dayat pecah, suaranya hampir tidak terdengar di tengah terjangan gelombang yang datang bertubi-tubi.

Di sisi depan, Mang Soleh terus mendayung, berusaha menyeimbangkan jukung agar tidak tenggelam.
Tiba-tiba tubuh mang Soleh terjungkal ke belakang, ketika jukung mendadak bergerak mundur. Refleks tangannya mencengkram sisi jukung agar tidak terlempar keluar.
Pekik kepanikan semakin menggema, seiring jukung yang mulai tersedot ke dalam pusaran air. Jukung berputar-putar bagai dalam mesin cuci raksasa.
Byuuuurrrr....!!!

Di tengah pusaran air, tiba-tiba muncul mahluk raksasa. Aku menengadah, sebuah kepala besar melayang 3 meter di udara. Itu adalah kepala ular. Bukan sembarang ular, karena ukuran kepalanya sebesar lebar perahu. Ular naga berwarna hitam bercorak emas.
"Ta-tambun." desis mang Soleh tercekat.

Kepala itu bergerak maju mundur, seakan siap menyerang. Tubuhnya menggeliat di dalam air membentuk pusaran.
Seeessshhh...sessshhh...

Mahluk itu mendesis sehingga tubuhku kaku seketika. Otot-otot tubuhku mendadak lemas dan badanku tidak bisa bergerak.

Seeesshhh....seeshhh....
Mahluk itu terus mendesis dan menjulurkan lidah. Desisannya benar-benar mengerikan, bagaikan hipnotis yang membuat tubuh tiba-tiba mematung. Tidak ada seorangpun di antara kami yang sanggup bergerak.
Kepala ular naga itu mundur perlahan, mengambil ancang-ancang. Lalu...

Braaakkk....

Sekali hempas, jukung kami terbelah dua. Seperkian detik, kurasakan tubuhku melayang di udara.
Belum sadar apa yang terjadi, tubuhku sudah terhempas dalam pusaran air. Sangat cepat dan mengerikan.

Tubuhku tenggelam dalam gulungan air, berguling kesana kemari terseret arus berputar. Aku berusaha berontak, tapi tenagaku kalah kuat.
Air yang menggulung tubuh terasa makin bertambah. Tubuhku terasa sakit bagai ditindih tanah longsor. Kaku dan tidak bisa bergerak. Tenggorokanku tercekik dan nafasku sesak.
Belum hilang kengerianku, tiba-tiba ada sesuatu yang membelit kakiku. Aku meronta-ronta, tapi belitan itu sangat kuat. Semakin berontak, semakin usahaku sia-sia.
Akhirnya tubuhku melemah dan tak berdaya, saat belitan itu menyeret tubuhku ke dasar sungai. Kehabisan tenaga, aku pasrah menanti ajal.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 18 : Tangisan Penyesalan

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR @ceritaht @HorrorBaca @PembacaHorror @HorrorTweetID Image
Belitan di kaki terasa merayap, menjepit pinggang dan mencengkram leher. Tubuh lemahku meluncur deras dalam gulungan air keruh yang telah berubah menjadi sungai darah.
"Uhuuk...uhuukk..."

Seketika aku terbatuk dan memuntahkan air sangat banyak. Seolah tak percaya, ternyata aku sudah di permukaan.

"Cepat kepinggir...!"

Kapten Anang ! Dia telah menyelamatkanku. Aku segera berbalik dan menyusulnya berenang ke pinggir sungai.
Di tengah sungai, ular naga itu masih terus mengamuk melilit mangsa. Air sungai telah berubah menjadi pekat darah.

Hempasan gelombang masih menghantam tubuhku, diiringi gemuruh pusaran air yang belum berhenti.
Gelombang bertubi-tubi masih menerjang tanpa ampun, membuat tenagaku semakin habis terkuras.

Untung saja, arus sungai membantuku mencapai pinggir. Begitu mencapai tepi, kapten Anang langsung meraih tangan dan menyeret tubuhku menerobos lumpur dan belukar.
Seketika aku dan Kapten Anang terbirit tanpa arah ke dalam hutan. Kami berdua terus berlari menerjang rimbun belukar penuh duri. Di belakang, entah siapa yang jadi korban.

*****
Entah sudah berapa lama kami berlari, yang jelas sudah semakin jauh ke dalam hutan. Sesekali aku menoleh ke belakang, badan sungai sudah tidak lagi terlihat.
Namun, semak belukar dan pepohonan terlihat bergoyang-goyang diiringi suara desisan yang sesekali terdengar samar. Kadang, suara desisan terdengar pendek-pendek di samping kanan. Benakku dihantam kenyataan bahwa mahluk itu masih mengejar.
Di depan, kapten Anang dengan lincah melompat ke sana kemari, menghindari batang-batang pohon tumbang yang telah membusuk.

Kelelahan, nafasku mulai tersengal dan pandanganku berkunang-kunang.
Tanpa sengaja, kakiku tersangkut salah satu batang pohon yang melintang. Tubuhku terpelanting ke depan dan berguling beberapa kali, lalu terhenti saat membentur salah pohon besar yang tegak menjulang.
"Kaaapppptteeennnnnn..!!!"

Aku berteriak memanggil nama kapten hingga suaraku parau dan tenggorokanku sakit. Aku berteriak berkali-berkali namun tidak ada jawaban, hanya ada suara angin bertiup yang menggoyang dahan-dahan pohon.
Terbaring di dasar hutan, tenagaku sudah habis. Aku menengadah, menatap barisan pohon yang tegak berdiri. Bagaikan pasak-pasak kayu yang ditancapkan ke bumi, barisan pohon ini sangat rapat hingga sinar matahari pun terlihat samar di atas pucuknya.
Aku mencoba merayap, mencari tempat bersandar. Berpegang pada akar-akar merambat, aku berhasil mencapai sebuah pohon besar yang melintang dan tertutup dedaunan dan belukar.
Dengan nafas tersengal, aku menyandarkan badan di situ. Kaki kuselonjorkan dan punggung kehempas begitu saja.

Barulah terasa badanku remuk, sakit dan memar di sekujur tubuh. Lagi-lagi aku meringis menahan perih.
Tubuhku terasa lemas saat kulihat potongan kayu menembus perut bagian pinggang. Kayu itu menancap cukup dalam, menembus kulit dan merobek daging. Darah merah pekat mengucur deras, bercampur tanah dan lumpur yang membalur tubuhku.
Tubuhku mulai menggigil, entah karena dingin atau karena kehabisan darah. Bagai disiram es, dingin menjalari tubuhku dari ujang kaki hingga kepala. Nafasku semakin sesak dan pandanganku semakin kabur. Tubuhku melemah dan tak bisa bergerak.
Tanpa terasa, air mataku mengalir. Bayang-bayang tangisan putri mungilku kembali datang. Senyum lembut istri dan nasehat cerewet ibu datang silih berganti.
Tidak, aku tidak boleh mati di sini. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah. Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu-persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.
Entah dapat pikiran dari mana, aku nekat mencabut kayu yang menusuk perut hingga kedua kakiku menggelepar kesakitan.

"Aaaarrrrggggghhhhhhh....!!!"
Jeritku menggema dari dasar hutan, menelusup di antara dahan-dahan pohon dan menyebar ke segala penjuru belantara.

Burung dan monyet riuh demi melihat upayaku mencabut kayu itu.
Bukannya terlepas, aku justru merasakan sakit yang menjadi-jadi. Kayu itu masih menancap, merobek kulit hingga dagingnya terkoyak, bergelantungan penuh darah. Usahaku sia-sia.
Kedua telapak tanganku telah basah bersimbah darah. Kakiku gemetaran dan tubuhku kejang-kejang tidak karuan.

"Uhuuk...uhuuk...!"
Aku terbatuk memuntahkan darah kental bercampur lendir. Kepala terasa berat dan bumi terlihat berputar-putar. Tak sanggup menahan pusing, kesadaranku hilang begitu saja.

*****
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang jelas, saat membuka mata langit masih terang. Suara serangga, burung, monyet dan berbagai penghuni hutan masih bersahutan.

Ya Allah...batinku. Jujur aku sudah tidak sanggup dan ingin menyerah. Harapanku rasanya semakin tipis.
Air mataku lagi-lagi berurai. Ya, aku takut akan kematian. Takut akan dosa-dosa yang telah kuperbuat. Aku merasa bersalah pada istri dan juga Dayat.
Ya, aku telah mengkhianati mereka berdua. Aku telah mengkniati kesetian cinta istriku yang lugu. Aku juga telah mengkhianati kepercayaan Dayat, kawan setia yang selalu membantuku.
Juminah namanya, gadis berkulit putih yang dipersunting Dayat. Di depan Dayat, ia terlihat penurut dan lembut.
Bila di belakang, ia tak ubahnya bagai kancil. Kalau berjalan, wanita itu suka berlenggok dengan kerling mata nakal penuh rayuan.
Wanita itu memang terkenal suka menggoda sedari remaja. Cita-citanya jadi biduan dangdut terkenal. Suaranya memang tak kalah merdu dengan Elvy Sukaesih. Tapi lenggoknya tidak kalah mengerikan dengan mesin gergaji.
Aku yakin, malaikat pun akan tergoda dengan senyumnya yang merayu. Apalagi aku, lelaki rendahan yang tipis iman.

Aaaargghhhh !!! Aku menyesal telah bermain api. Aku malu pada diri sendiri.
Aku malu atas ulahku yang hina sebagai suami. Aku malu atas perilaku yang khianat pada kawan.

Aku menangis sejadinya. Kini karma datang menghampiri, menuntut balas atas perbuatanku yang terlarang.
Rasanya aku memang pantas mati. Harusnya aku yang duluan mati, bukan Lai, bukan mas Sugang, bukan juga lainnya.

Tapi bagaimana dengan keluargaku bila aku mati. Aku mungkin layak mati, tapi mereka juga berhak punya kepala keluarga.
Tidak, aku tidak boleh pasrah sekarang !

Kukerahkan tenaga sekali lagi. Kuraih sepotong ranting di samping lalu kugigit kuat-kuat.

Bismillah, ucapku dalam hati.
Sekuat tenaga kucopot kayu yang menancap di dekat pinggang. Perlahan-lahan kayu itu bergerak, mengorek-ngorek daging yang berlumur darah.

Rasa sakitnya membuat pandanganku menjadi gelap namun masih bisa kutahan.
Kedua kakiku menggelepar menahan sakit hingga kayu akhirnya terlepas.

"Aaarrrrgggghhhhh...!!!"

Aku kembali menjerit hingga ranting yang di mulutku terlepas.

"Allahu Akbar...Allahu Akbar !"
Aku meneriakan takbir penuh syukur. Sakit di perut dekat pinggang telah berkurang, namun darah masih mengalir deras, membasahi baju dan celana.
Kulihat, dagingnya terkelupas dan meninggalkan bekas luka yang menganga. Sepertinya potongan-potongan kecil sisa kayu masih tertinggal di sana.
Tapi aku tidak peduli. Segera kutekan luka itu untuk menghentikan pendarahan. Tanpa antibiotik, luka itu terasa nyeri dan menusuk-nusuk.

Aku kembali bersandar untuk mengatur nafas. Pandanganku menerawang ke pohon-pohon besar yang menjulang.
Seketika aku merasa sangat kecil di tengah hutan yang sunyi ini. Tenagaku benar-benar telah terkuras. Rasanya aku ingin tidur walau hanya sesaat.

Baru saja memejamkan mata, batang pohon melintang tempatku bersandar tiba-tiba bergerak.
Sreekk....sreeek...

Terdengar suara gesekan belukar dan dedaunan. Semak belukar yang menutupi batang pohon ini bergoyang-goyang.

"Allahu Akbar !"
Aku mengucapkan takbir sambil berteriak. Darahku berdesir dan bulu kudukku merinding. Batang pohon tempatku bersandar tidak hanya bergerak, tapi menggeliat.
Seesshhh....sessshhhhh....

Desis kematian kembali terdengar, memacu jantungku berdetak semakin kencang.

Ternyata tempatku bersandar bukanlah batang pohon, tapi tubuh Tambun.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 19 : Siksaan Tanpa Henti

@IDN_Horor @ceritaht @P_C_HORROR @PembacaHorror @HorrorBaca

#horor #ceritahoror #seram
Mahluk melata itu menggeliat, bergerak-gerak dengan suara desis yang menjadi-jadi.

Monyet-monyet di atas pohon menjadi ribut, berteriak-teriak saling memberi pertanda bahaya. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena sekumpulan monyet itu melompat ke sana kemari dalam keadaan panik.
Burung-burung segera berhamburan dan seisi hutan menjadi riuh karena ketakutan.

Tubuhku tersungkur tak berdaya di atas tanah, menahan sakit yang begitu menghujam di bagian perut dekat pinggang.
Aku merasa ngeri, saat kulihat perut ular itu bergerak-gerak membentuk tonjolan. Jelas sekali terlihat, perut hitam legam dengan sisik sebesar piring, membentuk tonjolan seperti lekuk tubuh manusia.

Ular itu sedang mencerna mangsa !
Kesempatan, batinku. Biasanya ular akan sulit bergerak bila ada mangsa di perutnya.

Tertatih, aku merayap menjauh dengan bertumpu pada kedua sikut. Tak kupedulikan perih di perut, aku merayap bagai kesetanan.
Pergerakanku seketika terhenti, saat sesuatu yang sangat berat tiba-tiba menindih punggung. Dada terasa sesak dan lukaku kembali mengeluarkan darah.
Hanya hitungan detik, tubuhku sudah terguling dalam belitan yang meremukan tulang. Mataku terbelalak dan hampir keluar, ketika belitan demi belitan semakin kuat mencengkeram.
Lidahku terjulur keluar dengan mulut terganga.
Celaka ! Ular besar itu hendak manjadikanku santapan !

Dengan lidah terjulur dan liur menetes, termegap-megap mulutku mencari udara. Keringat dingin mulai menetes di kening, tubuhku semakin lemas tak berdaya. Nafas semakin sesak dan belitan semakin kencang.
Lilitan itu mengangkat tubuhku ke udara, dibawa mendekat ke arah kepalanya yang jauh di depan.

Seesshh...sesshh...

Suara desisan terdengar kencang. Monyet-monyet terus berteriak ketakutan.

Sreekkk....
Dari belukar, kepala ular sebesar pinggang menyeruak. Dengan sisik-sisik menonjol, wajah ular itu terlihat bengis, liar dan lapar.
Lidahnya yang bercabang menjulur-julur keluar, menimbulkan bunyi desis yang menciutkan nyali.
Sepasang mata sebesar bola kaki menatapku tajam. Di celah mulutnya, terlihat barisan gigi tajam dengan taring yang menekuk.

Jantungku rasanya copot dan imanku runtuh. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi untuk meyakinkan diri, bahwa harapanku untuk hidup masih ada.
Kini jarakku dengan kepala ular itu hanya sejengkal. Mahluk itu mengamati tubuhku senti demi senti. Lidahnya terus menjulur-julur di samping wajahku, menyentuh kuping sebelah kiri. Aku bergidik ngeri dengan posisi tubuh terkunci.
Seesshhh.....sessshh...

Suara desisan terus bergema di dalam telingaku, masuk melalui aliran darah dan melemahkan jantung. Tiba-tiba aku merasa hening. Tidak ada apa pun yang bisa kudengar kecuali denging. Mungkinkah seperti ini rasanya sakratul maut ?
Tak mampu kutahan air mata. Lagi-lagi aku menangis karena putus asa.

Bruuukkk....

Tubuhku tersungkur di tanah menahan sakit. Lilitan itu terlepas begitu saja. Seakan tak percaya, tubuhku benar-benar bebas.
Ular naga itu bergerak entah kemana, meratakan belukar dan melindas rerumputan. Perut besarnya masih bergerak-gerak dengan tonjolan seperti manusia.

Entah kenapa mahluk itu melepasku. Entah kasihan atau sudah kenyang, aku tidak perduli.
Dengan tertatih aku bangkit berdiri, berpegang pada akar-akar gantung dan batang-batang pohon.

Menahan luka di perut, aku melangkah menjauh meninggalkan tempat terkutuk ini.

*****
Aku berjalan di dalam hutan tanpa arah, selangkah demi selangkah. Luka di perut membuat pergerakanku sangat lamban. Setiap kaki melangkah, luka semakin menganga dan mengeluarkan darah. Saking sakitnya, mataku sampai berair menahan perih.
Tidak, ucapku dalam hati. Aku tidak boleh terus bergerak. Aku harus segera mencari tempat istirahat atau mati kehabisan darah.
Di antara rimbun pakis, kulihat ada tumbuhan paku gelang. Aku segera mendekat dan meraih beberapa batang. Duduk di tanah, tumbuhan itu kukunyah dan lumatannya kutempelkan pada luka.
Dingin terasa saat tumbuhan itu menyerap darah yang keluar. Sementara, pendarahanku terhenti meski nyawaku belum selamat.

Di langit, matahari semakin tergelincir. Di antara pucuk pepohonan senja merah telah terlihat dan sebentar lagi gelap akan datang.
Aku berbaring di rimbun belukar dengan perasaan remuk redam. Tak kupedulikan duri-duri tajam yang menusuk. Tidak juga kuhiraukan gatal yang mengerayangi seluruh tubuh. Aku terbaring dengan keadaan yang sangat kacau.
Apa aku akan mati saat malam tiba ? Atau Tuhan sengaja mempermainkanku, menyiksaku sebelum nyawaku dicabut ? Segera kutepis pikiran-pikiran yang justru membuatku putus asa. Saat ini, aku hanya ingin istirahat.
Baru saja kupejamkan mata, aku terperanjat saat kurasakan sakit yang menyengat di bagian punggung. Spontan aku tertuduk, berusaha menyingkirkan sengatan yang menghunjam bertubi-tubi.
Aku merasakan sakit yang luar biasa bagai ditusuk besi panas. Sengatan itu tidak hanya di punggung, tapi menjalar ke leher hingga kepala.

Aku bergidik ngeri, saat kulihat ribuan semut merayap di kaki. Semut Salimbada, semut besar berwarna hitam kemerahan.
Semut-semut pradator itu merayap melalui celah celana dan baju, mengoyak sedikit demi sedikit luka yang menganga di perutku.

Celaka ! Mereka telah mencium aroma darah.
Seketika aku berhamburan menembus belukar, terbirit menyelamatkan diri di tengah belantara. Aku berlari ke sana kemari bagai orang kesurupan, berkejaran dengan langit yang semakin gelap.
Mulutku tidak berhenti berteriak kesakitan. Keringatku bercucur dengan nafas yang terengah-engah.
Aku memaki sejadinya karena benar-benar tersiksa.
Kupukul berkali-kali, sisa-sisa semut yang menempel di badan tak juga lepas. Setelah cukup jauh, aku berhenti untuk membunuh sisa-sisa semut yang menancap di kulit.
Terasa sangat sakit karena capit mulutnya yang tajam tidak hanya menusuk daging, tapi tubuhnya mengeluarkan bisa yang terasa bagaikan semburan api.
Dahiku mengernyit menahan perih, saat mencoba melepaskan sekumpulan semut yang mengerubungi kepala. Mataku sampai berair dan lututku gemetar karena perih yang luar biasa
Teriak kesakitan kembali membahana ke segala penjuru hutan. Aku terus memaki sambil melepas satu-persatu semut yang menggumpal di rambut.

Terduduk di tanah, semut yang terlepas langsung kutekan dengan ibu jari dan telunjuk. Kutekan sekuat-kuatnya dengan penuh rasa benci.
Rupanya mahluk-mahluk jahanam itu belum juga jera menyiksa. Mataku terbelalak dan hampir copot. Beberapa ekor semut mencongkel luka di perutku.
Dengan sadis, semut-semut ganas itu mengorek-ngorek luka yang menganga, memotong kecil-kecil daging segar bercampur darah.
Balutan paku gelang tadi sudah terlepas entah dimana. Mungkin saja saat tadi aku berlari.
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"

Aku berteriak sekeras-kerasnya melepas amarah.

Dengan sangat hati-hati, semut itu kulepas perlahan-lahan. Namun rasanya aku sungguh tersiksa. Mulutnya mencapit luka sangat kuat hingga tubuhku berkelojotan tidak karuan.
Bergeser sedikit saja, rasa sakit terasa hingga ke tulang. Gigiku sampai bergemelutuk karena perih yang tak sanggup kusandang.

Sesaat aku terdiam, mengatur nafas dan mengumpulkan keberanian.
Setelah mengucap basmallah, semut itu kulepas paksa satu-persatu. Perih yang teramat sangat menjalar ke seluruh tubuhku.

"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"

Mulutku meracau menahan perih, saat semut-semut itu berhasil terlepas satu-persatu.
Penuh dendam, semut-semut itu kubunuh dengan kejam. Kutekan kepalanya hingga gepeng dan kocopot tanpa ampun, demi melampiaskan amarah yang berkepanjangan.
Akhirnya semua semut berhasil kusingkirkan. Memegang luka di perut, aku tertatih berjalan di tengah hutan, menerobos gelap yang telah datang.
Setelah ini, entah siksaan apalagi yang akan kualami. Sendirian di tengah hutan saat gelap, benar-benar pertaruhan antara hidup dan mati.
Di atas pepohonan, burung-burung hantu mulai berkumpul. Hewan malam itu saling bersahutan, berlomba-lomba mengeluarkan bunyi yang paling nyaring. Seolah memberi peringatan, aku pun menjadi waspada.
Dan sepertinya peruntunganku semakin menipis, seiring malam yang semakin mencekam.

...bersambung...
Langit telah sepenuhnya gelap dan tak sedikitpun cahaya terlihat. Mungkin seperti inilah rasanya jadi orang buta, hanya bisa meraba-raba.

Tak ingin cari perkara, aku merangkak dalam gelap untuk mencari tempat yang sekiranya lapang untuk merebahkan badan.
Tanpa penerangan, sungguh usaha yang sangat sulit. Akhirnya aku berbaring seadanya, menahan perih di sekujur tubuh. Aroma khas dasar hutan yang berupa daun busuk, lumut dan tanah langsung menyengat hidung.
Aku menekuk badan untuk menahan dingin. Tubuhku menggigil hingga gigiku bergemelutuk, padahal badan telah basah dengan peluh keringat.
Dunia terasa sangat senyap, jauh dari hiruk pikuk dan keculasan manusia. Di tengah hutan ini, hanya ada suara serangga dan binatang malam dengan aktifitasnya. Sepertinya mereka sudah tidak sabar menantiku melepas ajal, lalu menjadikan bangkaiku sebagai santapan.
Aku meringkuk, memeluk lutut sambil menggigit bibir. Tanpa terasa aku pun tertidur lelap di tengah belantara, di antara pohon-pohon besar berselimut kegelapan.

*****
Riuhnya suara hutan di pagi hari membuatku terbangun. Kurasakan perih di perut, rupanya lukaku mulai membusuk. Darahnya telah mengering berwarna kehitaman, dirubungi sekumpulan lalat hitam yang besar.
Sepertinya matahari sudah cukup tinggi. Kabut tipis yang biasanya menutup hutan sudah tidak terlihat lagi.

Aku mencoba bergerak, berusaha untuk duduk. Namun, baru saja aku mengangkat tangan, otot-otot tubuhku menegang hingga terasa sangat sakit bila bergerak sedikit saja.
Aku kembali terkapar di dasar hutan dengan tubuh yang membiru karena memar. Wajahku memucat dan bibir terasa kering.

Saat ini, aku berharap ada seseorang yang menolong. Tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.
Aku mencoba duduk meski perih terasa menusuk di bagian perut. Meski bersusap payah, aku berhasil menghempaskan pantat di atas tanah.

Kubersihkan dedaunan yang menempel di badan dan menepis lalat yang masih saja beterbangan di sekitar luka yang menganga.
Berpegang pada kayu yang kujadikan tongkat, aku bangkit berdiri. Tak kupedulikan rasa sakit hingga aku benar-benar bisa berpijak pada dua kaki.
Tertatih, aku berjalan tanpa arah di dalam hutan. Aku berdoa dalam hati dan melantunkan ayat-ayat suci yang kuhafal, berharap bisa menemukan sungai.
Ya, sungai. Biasanya bila ada sungai, maka akan ada perkampungan. Atau setidaknya ada pondok milik pemburu atau orang yang mencari ikan.

Aku terus melangkah menerobos belukar dan rumput liar, sambil mengingat-ingat arah sungai tempat kami diserang Tambun kemarin.
Sebenarnya aku khawatir bila tersesat, tapi berdiam diri di tengah hutan juga bukan pilihan tepat. Akhirnya aku melangkah sekenanya saja, setapak demi setapak tanpa tahu harus kemana.
Beberapa waktu berlalu, kudengar sayup-sayup gemericik air di kejauhan. Seketika semangatku tumbuh, kupercepat langkah menuju sumber suara.
Rasa optimis kembali datang saat suara gemericik terdengar semakin jelas. Tak kuhiraukan rasa sakit, aku terus melangkah hingga akhirnya tiba di pinggir sungai yang jernih.
Untuk sesaat rasa sakit dan khawatir terlupakan, saat sungai dengan barisan batu kali membentang di depan mata. Masih memegang tongkat, aku berjalan hati-hati di antara barisan batu tajam.
Setelah mendapatkan tempat berpijak yang cukup kokoh, aku lalu membungkuk dan menangkupkan kedua tapak tangan ke sungai.
Dengan hati-hati, air di kedua tapak tangan kutiup lalu kedekatkan ke mulut. Segera kureguk air sebanyak-banyaknya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Rasa segar membasahi kerongkongan hingga dahagaku hilang.
Setelah haus hilang, aku lalu mencuci muka berkali-kali seperti orang berwudhu. Dalam posisi duduk, badan serta luka kubersihkan dengan hati-hati.
Setelah kurasa cukup, aku kembali ke tepi sungai untuk mencari tempat istirahat. Aku berjalan sedikit terpincang menuju sebatang pohon yang agak besar tapi rindang.
Begitu sampai, kusandarkan punggung secara perlahan karena luka di perut kembali berdarah. Sesekali aku meringis menahan perih.

Kaki kuselonjorkan begitu saja sambil terus menatap ke arah sungai dengan pandangan kosong.
Aku merasa bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Pikiranku benar-benar buntu dan mulai tidak waras.

Aku merasa ular naga itu sengaja melepasku begitu saja untuk kemudian kembali diburu.
Lalu bagaiman dengan Kapten ? Apakah ia telah mati atau masih hidup? Atau ia sengaja mengorbankan aku agar bisa selamat sendiri ?
Berbagai pikiran buruk menghantui kepalaku. Anehnya suasana di pinggir sungai ini begitu sepi. Tidak ada apapun yang terdengar kecuali gemericik air sungai yang mengalir di antara celah-celah batu.
Suara dahan-dahan pohon yang bergoyang tertiup angin pun juga tidak terdengar. Aku merasa berada di ruang hampa.
Firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Tidak ingin celaka, aku lalu bangkit meninggalkan tempat itu. Aku berjalan menyusuri sungai ke arah hilir, berharap bertemu manusia yang bisa menolong.

*****
Waktu berlalu, entah sudah berapa lama aku berjalan di bawah batang-batang pohon, memijakkan kaki di antara batu setapak demi setapak. Yang jelas, pergerakanku sangat lambat.

Kondisi tubuh yang terluka dan penuh memar, membuat langkah kakiku tidak lebih cepat dari kura-kura.
Selama perjalanan, aku beberapa kali beristirahat. Namun tidak lama, karena aku merasa ada yang mengikuti.

Kekhawatirankun menjadi-jadi ketika kulihat di belakang tiba-tiba sekumpulan burung berhamburan di antara pucuk-pucuk pohon, diiringi suara berisik monyet yang ketakutan.
Pohon-pohon itu bergoyang bagai ada gempa, membuat ketakutanku menjadi-jadi. Entah itu pertanda ada Tambun atau hewan buas lainnya, yang jelas ada bahaya mendekat.
Aku berjalan terpincang dalam keadaan panik. Jantungku berdebar-debar bagaikan orang yang ikut lomba lari. Meskipun keadaanku penuh luka, keinginan untuk tetap hidup membuatku bisa bertahan sejauh ini.
Aku mempercepat langkah hingga tanpa sadar menapak pada batu kali yang licin. Tubuhku seketika hilang keseimbangan dan terjatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu.
Buuk...!!!

Kurasakan sakit bukan main di kepala belakang. Aku ingin berteriak tapi masih bisa kutahan, takut teriakanku justru memancing Tambun untuk mendekat.
Aku menggigit bibir sambil meringis hingga mataku berair. Aku meraba kepala sepertinya tidak ada yang luka. Namun, ada benjolan yang cukup besar, sebesar pola pingpong.
Aku sempat tidak ingin melanjutkan perjalanan dan berdiam saja di situ. Aku hanya bisa merintih menahan sakit bagai perempuan yang hendak melahirkan. Luka di perut kembali menganga mengucurkan darah segar.
Hampir saja aku hilang kesadaran, saar kudengar samar-samar riuh suara monyet berteriak di kejauhan. Aku kembali bangkit dan beranjak dari tempat itu.
Bagai kakek renta, aku berjalan terseok-seok ke arah hilir. Saat berjalan aku menengok ke kiri dan kanan, takut kalau ada binatang buas atau Tambun yang mengintai.
Perkiraanku sudah lebih satu jam aku menyusuri sungai ini, namun belum ada tanda-tanda keberadaan manusia yang kutemukan.

Aku sedikit lega, setidaknya suara gerombolan monyet sudah tidak lagi terdengar di belakang.
Setelah belokan, aku seketika menghentikan langkah. Di kiri sungai, terlihat sebuah pondok di kejauhan.

Meski menahan sakit, langkah kupercepat agar segera tiba di pondok. Semakin dekat dengan pondok, semakin aku yakin bahwa peluang untuk hidup bertambah besar.
Aku menyebrang ke arah kiri sungai, melewati arus air yang jernih. Untung saja sekarang musim kemarau, jadi ketinggian air sungai hanya beberapa senti di atas mata kaki.
Kali ini aku melangkah hati-hati agar tidak terpeleset. Berhasil menyeberang, kakiku kini melangkah diatas rerumputan kering.
Setelah beberapa meter berjalan, kini di depanku tampak pondok kecil yang sudah usang. Sebuah pondok yang biasanya digunakan oleh pemburu untuk tempat istirahat.
Baru selangkah kakiku berpijak pada tangga, keraguan tiba-tiba muncul begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, karena di dalam terdengar suara gaduh.
Entah suara manusia atau binatang, yang pasti suara rintihan tertahan. Kupasang telinga baik-baik untuk memastikan, namun suara gaduh itu justru menghilang.

Kutunggu beberapa saat untuk memastikan, tapi lagi-lagi hanya kesunyian.
Mungkin hanya halusinasi, batinku. Ketakutan dan kelelahan membuat otakku tidak bisa berpikir waras.

Dengan gontai aku meniti tangga yang tidak terlalu tinggi. Setelah anak tangga terakhir, pintu langsung kubuka saja.
Kreet....

Rupanya pintu tidak terkunci. Seketika tenggorokanku tercekat begitu melihat kondisi di dalam pondok. Aku merasa ngeri, karena lantai penuh ceceran darah.
Di pojok ruangan, terlihat seorang pria terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Tangannya terikat di belakang, begitu pula kakinya tertekuk dengan simpul tali tambang.
Takut-takut, aku mendekat untuk melihat kondisi pria itu. Mulutnya tersumpal kain lusuh, penuh darah dan liur. Seluruh wajahnya lebam dan biru, sepertinya telah dihajar oleh siapapun yang menyekapnya.
Pria di depanku tiba-tiba bergerak dan merintih. Aku terkejut dan menelan ludah berkali-kali, karena aku mengenal pria yang ada di depanku ini.

"Kapten !?" decakku tak percaya.

...bersambung...
Meski tertatih menahan perih, aku bergegas mendekat untuk meloloskan ikatan kapten. Baru beberapa langkah, instingku mengatakan ada yang tidak beres di belakang, terdengar suara langkah kaki mengendap-endap. Aku menarik nafas panjang, mengucap asma Allah dalam hati.
Ceklek...

Benar saja, terdengar suara kokangan senjata yang sepertinya diarahkan tepat ke kepalaku. Seketika aku mengangkat tangan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

Penuh ketegangan, aku mengatur nafas agar tidak gugup dan salah langkah.
"Berbalik pelan-pelan kalau ingin selamat."

Suara di belakang terdengar berat, namun sepertinya tidak asing. Perlahan, aku mengikuti perintah suara yang sepertinya kukenal sambil berdoa dalam hati.
Aku terhenyak dan hampir hilang keseimbangan, begitu mengenali lelaki yang kini berdiri di hadapanku.

"Hamid !? "

Suara pria itu terdengar ragu. Dengan sepucuk pistol di tangan, matanya yang tajam mengamati jengkal demi jengkal wajahku yang penuh lebam.
Aku menelan ludah, cemas kalau pistol ditangannya meletus sewaktu-waktu.

"I-ia mang. Ini aku, anaknya mendiang Ramadhan." sahutku terbata.

Mang Atak memicingkan mata, seakan masih tak percaya bahwa aku masih hidup.
Kulihat, keadaan mang Atak tidak jauh berbeda denganku. Badannya penuh luka memar dan lebam, jelas sekali ia juga telah mengalami hal buruk.
Dengan memanggul tas punggung, jemarinya bergetar memegang pistol yang diarahkan ke tubuhku. Tapak tangannya terlihat basah karena keringat, membuat nyaliku semakin ciut. Bisa saja jarinya terselip dan pistol itu meletus tanpa sengaja.
"Duduklah, dan jangan coba-coba macam-macam." perintah mang Atak pelan. Matanya melotot menandakan ia serius.

Tak ingin gegabah, aku mengikuti perintahnya. Aku duduk dan menyandarkan punggung pada dinding kayu, agak dekat dengan posisi kapten Anang yang meringkuk.
"Rupanya kau tangguh juga Hamid. Lebih tangguh dari ayahmu."

Masih berdiri, bidikan pistol mang Atak tak pernah lepas menyasar badanku.

Aku mendongak, memperhatikan lubang ujung pistol yang kini tepat menyasar di tengah dahiku.
Darahku terasa mendidih dan amarahku membara. Ingin rasanya kuraih pistol itu, tapi luka di perut membuatku tidak berkutik.

Aku memaki dalam hati atas ketidak berdayaanku. Suasana ruangan tiba-tiba terasa pengap dan sesak.
Entah karena takut akan kematian atau pondok ini terlalu sempit, aku sungguh-sungguh merasa lemah.

Di samping, kapten Anang terus berontak dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya yang tersumpal terus mengeluarkan suara, sepertinya makian dan sumpah serapah tertahan.
"Sebaiknya kau tetap diam di situ, Hamid. Aku tak ingin menghabisi nyawamu."

Mang Atak mundur beberapa langkah, lalu merogoh sesuatu dari dalam tas punggungnya. Sebotol air mineral yang sisa separo ia keluarkan, lalu dilempar ke arahku.
Buuk...

Botol itu terjatuh lalu menggelinding tepat di kakiku.

"Minumlah !" lanjut mang Atak datar.

Cuiih..!

Aku meludah ke botol yang ia berikan. Rasanya tak sudi aku menerima pemberian dari orang yang telah mencelakakan kami.
Bagaimanapun juga, nasib buruk yang kami alami adalah karena ulah liciknya.

"Rupanya kau masih marah, Hamid. Harusnya kau marah pada bajingan di sebelahmu itu." Seloroh mang Atak sinis lalu mengarahkan moncong pistol ke arah kapten Anang.
Kapten Anang kembali berontak saat mang Atak perlahan mendekatinya. Matanya melotot penuh amarah dan kebencian.

Buukk...

Sebuah tendangan mendarat di ulu hati kapten Anang.
Tubuhnya menggelepar bagai ikan di atas tanah, sedangkan darah dan liur kembali keluar dari mulutnya yang bersumpal kain.

Aku coba menahan, tapi lagi-lagi moncong senjata diarahkan ke tubuhku.

"Eee...jangan macam-macam Hamid. Tak perlu kau bantu pembunuh ayahmu."
"Haaahh !?" Aku melongo tak percaya.

Bagai petir di siang bolong, aku sulit percaya ucapan mang Atak. Mataku melotot dan mulutku menganga.

"Ti-tidak mungkin. Kau pasti berdusta !" hardikku penuh emosi.
Aku ingin bangkit menerjang tapi luka di perut membuat tenagaku hilang.
"Kalau tak percaya, sebaiknya kau dengar langsung dari mulutnya."

Mang Atak melepas kain yang membungkam mulut kapten.

Cuih...!
Kapten Anang meludah, namun liurnya yang penuh lendir dan darah tak sampai mengenai tubuh mang Atak.
Liur penuh darah kehitaman hanya mendarat beberapa jengkal dari wajahnya.
Buuk...

Hantaman kembali menghujam perut kapten Anang. Ia merintih kesakitan sambil mengumpat dan mengutuk mang Atak.

Buuk...buuk...
Tendangan demi tendangan membuat kapten Anang hanya bisa meringis menahan sakit. Aku hanya bisa terdiam, mencoba mencerna tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Mengakulah ! Mengakulah, pembunuh !"
Mang Atak melotot, menghajar kapten Anang tanpa ampun. Hunjaman demi hunjaman membuat kapten Anang semakin terkulai tak berdaya.

"Berhenti ! Stooopp ! Cuukuup !" Jeritku sejadinya.
Bergegas aku menghampiri kapten, melindunginya dari kebrutalan mang Atak. Seketika mang Atak berhenti, membiarkanku membersihkan luka di tubuh kapten.

Kain kotor yang bergalayut di dagunya kulepas, lalu kugunakan untuk membersihkan darah yang menyiprat di mulut wajahnya.
Kapten Anang tertunduk lesu mengeluarkan air mata, tidak berani menatap wajahku. Kubersihkan wajahnya dengan hati-hati hingga tidak ada darah yang menempel. Bagaimanapun juga, tak tega aku melihatnya menderita.
"Hamid...maafkan aku." ujar kapten pelan. Suaranya terdengar pasrah dan penuh penyesalan.

Aku terdiam, kutatap wajahnya dalam-dalam. Kapten masih tertunduk dan bibirnya bergetar.

"Apa yang disampaikan Atak adalah kebenaran." lanjut kapten lemah.
Aku tersentak mendengar pengakuannya. Refleks kudorong tubuhnya hingga terbanting ke lantai.

Seketika duniaku rasanya runtuh, menyadari orang yang kuanggap ayah adalah pembunuh ayah kandungku.
Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu sampai-sampai tak sanggup kubendung air mata. Tubuhku bergetar dan darahku mendidih.

Kuraih leher baju Kapten dan kuguncang-guncang tubuhnya.
"Kenapa ? Kenapa kau tega? Kenapa kau hancurkan keluargaku ? Arrrrggghhh !!!"

Aku menjerit bagai orang kesurupan. Gemuruh di dadaku menggelegak sejadinya. Hatiku sakit penuh amarah dan dendam.
Seketika wajah sedih ibu datang menghampiri. Kembali terbayang tubuh ringkihnya mengais rejeki kesana kemari semenjak kepergian abah.

Hari-hari kelam yang kami lewati, ternyata ulah beringas kapten Anang.
Tak sanggup lagi kubendung emosi, tinjuku mendarat di wajah kapten Anang. Pukulan bertubi-tubi membuat Kapten kembali terkulai penuh darah.
Ia hanya pasrah, tidak mengelak maupun menghindar. Kapten Anang seakan sengaja membiarkanku menuntut balas.
Sedangkan mang Atak, ia hanya membiarkanku menuntaskan dendam. Ia tersenyum sinis melihatku tiba-tiba berubah jadi brutal.

Aku tersungkur di lantai, beberapa jengkal dari kapten Anang. Aku menatap kosong ke arah langit-langit pondok yang terbuat dari anyaman daun nipah.
Dadaku terasa sesak dan nafasku memburu. Bukan hanya kepahitan hidup yang kusesali, tapi juga kehilangan seorang abah di usia belia. Apalagi, kepergian abah akibat direnggut paksa oleh orang yang kukira selama ini seorang pelindung
"Uhuuk...uhuukk..."

Kapten Anang terbatuk dan memuntahkan darah. Ingin rasanya kucabut nyawanya saat itu juga, tapi di sisi lain aku tidak memiliki kemampuan menjadi pembunuh.
Bayang-bayang bagaimana kapten menjagaku dan ibu sewaktu kecil, mengantarkan ke sekolah serta memberi beras terasa menyakitkan. Rasanya aku hampir gila menyadari orang paling kupercaya, justru orang yang menghancurkan keluargaku.
Mang Atak memapah tubuhku dan disandarkan pada dinding. Botol air mineral yang tadi sisa separo ia serahkan padaku. Segera kuraih botol itu dan kutenggak hingga airnya tumpah-tumpah di mulut.
Dalam kondisi terikat, kapten Anang merintih kesakitan.

"Ayahmu adalah pencuri." Ucap kapten dengan suara serak. Matanya sembab dan di sekitar mulutnya penuh darah.

"Tutup mulutmu !" sahutku geram.
"Ayahmu pencuri ! Ia mencuri hasil emas kami. Karena itulah ia kami bunuh !"

"Kami !?"

"Iya, kami ! Aku, Soleh, Lai, Sugang dan lainnya. Berminggu-minggu kami bekerja di hutan, hasilnya digelapkan ayahmu. 3 ons emas ! "
"Tutup mulutmu !"

"Ayahmu punya banyak hutang, Hamid. Ia suka berjudi !"

"Diam kau Anang !!!"

Aku bangkit berdiri dengan amarah. Mataku melotot dan gigiku bergemelutuk. Kukepal tinju sekuatnya hingga tanganku gemetar.
Aku dan Kapten Anang saling menatap. Wajahnya kini terlihat menantang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat.

"Ayahmu itu suka berjudi, Hamid. Tidakkah kau sadar kemana uang hasil ia menambang emas ?
Kenapa kalian masih tetap tinggal di gubuk padahal hasil menambang emas cukup besar ? Haah !?"

Aku terdiam penuh kebencian. Kemarahanku rasanya ingin meledak mendengar tuduhan kapten. Apapun alasannya, ia tidak berhak merenggut nyawa ayahku.
"Kalau bukan kami, pastilah bandar-bandar itu yang akan menghabisi ayahmu."

"Cukup ! Aku muak mendengar ocehanmu. Hari ini, aku yang akan mencabut nyawamu !"
"Pakai ini."

Mang Atak menyerahkan pistol rakitan yang sedari tadi ia genggam. Telapak tanganku terasa dingin begitu menyentuh benda itu. Terasa lebih berat dari yang kuduga, hingga tanganku gemetaran saat pertama kali menggengamnya.
Kupandang wajah kapten dalam-dalam. Tekadku sudah bulat, darah dibalas darah. Kuarahkan pistol itu tepat ke pelipisnya.

Aku mengatur nafas agar tanganku tidak gemetar. Degub jantungku mulai teratur dan tarikan nafasku mulai tenang.
Dooorr...!!!

Sepersekian detik, tarikan pelatuk telah berubah menjadi suara ledakan yang memekakkan telinga. Peluru melesat kencang membelah udara.
Di lantai, kapten Anang terkapar tidak berdaya. Seketika kurasakan jiwaku kosong, antara marah dan juga benci pada diri sendiri.

...bersambung...
Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 22 : Amarah

@IDN_Horor @ceritaht @PembacaHorror @P_C_HORROR @autojerit @HorrorBaca Image
Kakiku tiba-tiba lemas hingga tidak sanggup lagi menopang tubuhku yang bermandi peluh.

Duduk tersungkur di lantai, aku menggenggam pistol itu gemetaran. Sungguh, sulit kupercaya atas apa yang telah kulakukan. Hatiku tercabik-cabik karena penyesalan yang mendalam.
"Sudahlah, Hamid. Kau memang bukan pembunuh."

Mang Atak menepuk pundakku lalu meraih pistol dari genggamanku.

Tepat di depan, kapten Anang melotot hingga matanya hampir keluar. Urat-urat lehernya menonjol dan tarikan nafasnya terdengar kencang.
Rupanya ia masih tidak percaya bahwa nyawanya masih kuampuni.

Peluru yang seharusnya bersarang di kepala kapten, justru kuarahkan beberapa jengkal ke samping. Peluru itu melubangi lantai, melesat ke dalam tanah di kolong pondok.
Selama beberapa detik, Kapten tercekat dan terdiam. Ia bahkan terkencing-kencing karena ketakutan.

"Sebaiknya kau ikut aku. Ada dusun di hilir sungai. Kalau bergegas, kita bisa tiba sebelum gelap.
Berharap saja Tambun tidak mengejar. Tempat itu sudah terlalu jauh dari sarangnya."

Aku mengangguk setuju dengan ajakan mang Atak. Setelah menyeka air mata, aku bangkit berdiri.

"Biarkan aku yang menyelesaikan."
Mang Atak mengarahkan pistol ke tubuh kapten, tepat menyasar jantung. Terdengar suara kokangan dan jarinya siap menarik pelatuk.

"Sudahlah mang. Biarkan dia di sini. Sudah cukup nyawa terbuang. Sebaiknya kita pikirkan caranya agar bisa selamat dari hutan ini."
Kuturunkan perlahan tangan mang Atak yang terasa dingin. Jujur, aku merasa ngeri melihat wajahnya. Dingin dan beringas. Membunuh, sepertinya bukan hal baru baginya.
"Kita seret saja tubuhnya keluar, jadikan ia umpan. Tambun tidak suka memakan bangkai. Dengan begitu, kita punya waktu untuk melarikan diri."

Meski berat hati, aku setuju dengan usul mang Atak.
Aku harus tega mengorbankan orang lain agar bisa pulang dengan selamat, termasuk mang Atak.

Kapten berontak saat tubuh ringkihnya kami seret keluar pondok. Mulutnya terpaksa harus kembali disumpal sebab terus memaki dan menjerit.
Mang Atak beberapa kali memukul lantaran kapten terus melawan. Begitu di depan pintu, kapten Anang kami lempar begitu saja ke tanah.

Buuk...

Tubuh kapten mendarat sempurna di atas rerumputan. Suara jerit tertahan kembali keluar dari mulutnya yang berbekap kain.
Membayangkan perlakuannya pada abah, terbersit rasa puas melihat keadaan kapten saat ini. Meski aku tidak sanggup membunuhnya, melihatnya tersiksa menimbulkan rasa kepuasan tersendiri.
Aku dan mang Atak kemudian meniti tangga, lalu mendekati kapten Anang yang tidak berdaya. Apapun yang dilakukan mang Atak, untuk sementara aku mengikuti segala rencananya.
Bagaimana pun juga, mang Atak tak kalah liciknya. Aku harus waspada dengan gerak-geriknya, atau bisa-bisa aku yang dijadikan umpan berikutnya.

*****
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakang. Seorang pria dari arah semak langsung menerjang dengan sebuah kayu di tangan.
Buuukk...buukkk...

Tanpa sempat menghindar, hantaman di kepala membuatku dan mang Atak terpelanting di tanah. Seketika pandanganku kabur dan berkunang-kunang.
Belum sadar apa yang terjadi, sebuah tendangan mendarat di daguku. Aku kembali terkapar tidak berdaya dengan mulut berdarah. Gusi terasa ngilu dan perih, dua gigi depan bergoyang dan siap terlepas akibat hantaman tadi.
Tapak-tapak cap sepatu membekas di dada, aku diinjak-injak tanpa ampun.

Setelah yakin aku tak bisa melawan, pria tadi lalu menyasar mang Atak yang tengah merangkak mencari pistolnya.

Baakk...buukk...baakk...buukk...
Dengan baju basah karena cucuran keringat, pria itu menghantam tubuh dan kepala mang Atak membabi buta.

Hantaman demi hantaman membuat mang Atak tak berdaya bermandikan darah.
Menekuk tersungkur di tanah, mang Atak benar-benar takluk atas kebrutalan laki-laki yang menghajarnya. Bibirnya pecah penuh darah, wajahnya bengkak tidak karuan dengan kantung mata menebal dan membiru.
Hari itu, hatiku gentar demi melihat kekejaman di depan mata. Aku berusaha bangkit namun kondisiku juga tak jauh lebih baik.

Puas menuntaskan amarah, lelaki itu lantas mengambil pistol mang Atak yang terlempar beberapa meter di atas rerumputan.
Diraihnya pistol itu, diperiksanya jumlah butir peluru yang tersisa. Pistol lalu ia selipkan di pinggang layaknya jagoan di film. Kemudian ia melangkah ke dalam pondok.
Sejurus kemudian, lelaki itu telah kembali sambil memapah tubuh kapten. Kapten ia dudukan perlahan di tanah, lalu disandarkan pada tangga pondok.
Setelah itu dengan wajah beringas lelaki untuk mendekat ke arahku. Tubuhku ia seret lalu di jejerkan di samping mang Atak.Terkulai lemas, aku mencoba berontak tapi keadaanku benar-benar kacau.
Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu, hukuman mati.

Dugaanku tidak meleset. Lelaki itu mencabut pistol yang terselip di pinggang dan diarahkan tepat ke pelipisku.
Memejam mata, aku memalingkan wajah. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Wajahku terasa lebih pucat dan dingin menyelimuti. Aku terus berdoa dalam hati, berharap pertolongan Tuhan. Sedangkan di samping, mang Atak terus merintih kesakitan.
Ceklek...

Terdengar suara kokangan. Jantungku berdegub kencang dan bulu kudukku merinding. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Dalam hitungan detik, nyawaku akan melayang.

"Saatnya kau menyusul ayahmu !"

"Soleh, tahan dulu !" cegah Kapten.
Kapten beranjak dari duduk, menghampiri mang Soleh yang terlihat tidak sabar ingin menghabisiku dan mang Atak.

Berjalan tertatih,kapten Anang melucuti tas yang dipanggul mang Atak. Isinya ia bongkar lalu dikeluarkan satu-persatu.
Ternyata mang Atak menyimpan beberapa botol air mineral, makanan ringan, sebuah benda berwarna hitam seperti telpon genggam, serta 3 granat tangan berbentuk seperti tabung gas melon tapi berukuran mungil.
"Granat...dari mana kau dapatkan alat militer ini ?" selidik kapten bernada tinggi.

Bukannya menjawab, mang Atak hanya tersenyum sinis sembari meludahi wajah Kapten.

"Banggsaatt !!!"
Baak...buuk...

Spontan pukulan demi pukulan kembali meremukkan wajah mang Atak yang sudah babak belur.

"Kenapa kau bisa memiliki alat-alat militer ini? Dapat dari mana, hah !?"
Kapten membentak sambil mencengkram kerah baju mang Atak. Matanya melotot penuh emosi.

Mang Atak masih bergeming, membuat mang Soleh yang tadi hanya berdiri di samping mulai emosi. Mang Soleh mengacungkan pistol, tepat membidik pelipis mang Atak dan siap meletus kapan saja.
Hening. Hanya terdengar suara daun-daun bergoyang tertiup angin.

Mang Soleh makin geram melihat gertakannya tak membuahkan hasil.
Meski nyawanya sisa di tenggorokan, mang Atak masih enggan buka suara, membuat kemarahan mang Soleh semakin menjadi.
Ceklek...

"Dari orang China daratan."

Mang Atak buka suara tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk. Ia masih mencari celah untuk menyambung nyawa.
"Jangan main-main. Untuk apa militer China di sini." sanggah Kapten tak percaya.

"Bukan militer. Pasukan bayaran." balas mang Atak sembari menyeka darah di mulut.

"Untuk apa mereka kemari ?" cecar mang Soleh.

Mang Atak kembali bungkam, seakan sengaja mengulur waktu.
"Sebaiknya kau bicara atau kubuat diam selamanya !" bentak mang Soleh berapi-api.

Pukulan gagang pistol di pelipis membuat mang Atak terpaksa buka suara. Menahan perih, kata demi kata kembali terucap dari mulutnya dengan suara bergetar.
"Kau tahu kenapa laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit ?"

Kapten dan mang Soleh saling tatap. Terlihat jelas raut kebingungan di wajah mereka.

"Huuhh... Dasar udik ! Terlalu lama di hutan membuat otakmu tumpul. Pelajaran sejarah saja kau tidak tahu."
"Jangan banyak bacot ! Kenapa orang-orang China itu kemari ?"

Mang Atak mengatur nafas, membuatku yang ikut mendengar juga jadi penasaran.

"10 tahun lalu, peneliti China menemukan lembaran catatan Ma Huan yang hilang. Kuduga, otak tumpulmu itu tidak mengenal siapa Ma Huan."
Mang Atak menghentikan kalimatnya. Ditatapnya wajah Kapten dan mang Soleh bergantian, membuat kedua orang itu semakin geram.

"Ma Huan adalah sekretarisnya Cheng Ho.
Dalam catatan itu, dijelaskan kedatangan Cheng Ho dan ribuan pasukan ke Majapahit bukanlah untuk menghukum karena pembantaian orang-orang China akibat perang saudara sebelumnya.Bukan pula sekedar unjuk kekuatan dan menarik upeti, tapi mencari telur naga."
"Te-telur naga ? Telur Tambun ?" potongku tak percaya.

Mang Atak mengangguk sembari membenarkan duduknya.
"Ratusan tahun sebelum kedatangan Cheng Ho, pasukan Tar Tar berhasil kabur membawa telur naga setelah dikalahkan Raden Wijaya di tanah Jawa. Mereka mengira, telur naga berada di tanah Jawa. Setelah tiba di Majapahit, Cheng Ho baru menyadari bahwa tidak ada naga di sana.
Mereka kemudian menyebar ke penjuru nusantara, salah satunya adalah Tanjung Pura, tanah Kalimantan.

Tapi upaya mereka gagal, karena Tambun sulit ditaklukan.
Menghilangkan malu pada Kaisar, Cheng Ho melanjutkan penjelajahan ke daerah lain untuk mencari hadiah pada Kaisar agar dimaafkan."

"Dongeng yang menarik," timpal mang Soleh, "untuk apa mereka mencari telur Tambun ?"
"Apa peduliku Soleh, selama aku mendapat bayaran." sahut mang Atak dengan nada merendahkan.

"Dari dahulu, orang-orang China itu suka memakan hewan langka. Gajah Thailand, Harimau Sumatra, apa saja yang langka semuanya lari ke China.
Semakin langka, semakin tinggilah gengsi mereka. Semakin langka, semakin dipercaya akan memberi kekuatan kepada yang memakannya."
Penjelasan mang Atak membuat kami mengernyitkan dahi. Setengah percaya setengah tidak. Aku memang pernah mendengar kalau orang China daratan sangat menyukai memamakan hewan aneh. Bahkan, sarang burung walet hanyalah mereka yang bersedia membayar mahal.
"Karena itulah banyak pekerja China di sini. Mereka hanya pura-pura bekerja, tujuan utama mereka adalah mencari keberadaan telur Tambun. Telur itu pastilah harganya mahal di tempat mereka." lanjut mang Atak.
Mang Soleh kemudian duduk di depan mang Atak. Badan ia condongkan sembari memainkan pistol di tangan.

"Berapa bayaranmu ?" tanya mang Soleh dengan nada berat.

"Rupanya kau tertarik juga Soleh. Dasr licik, ha...ha...ha..."
Buuk...

Pukulan gagang pistol kembali menghantam wajah mang Atak hingga hidungnya patah dan mengeluarkan darah.

"Baanggsaaatt !!!"

Mang Soleh kembali hendak menghajar tapi keburu ditahan Kapten.
Mang Atak merintih seraya mengucapkan sumpah serapah. Setelah sakitnya cukup reda, barulah ia buka suara.

"Dua milyar bila berhasil. Entah berapa mereka jual di pasar gelap. Bagiku dua milyar sudah lebih dari cukup."
Dengan geram mang Atak menyeka cucuran darah di wajah.

Kapten lalu mengambil sebuah benda berwarna hitam tadi yang mirip telepon genggam. Benda itu ia timang-timang lalu melirik ke arah mang Atak.
"Rupanya kau memang licik, Atak. Kau korbankan kami demi telur Tambun. Dan sepertinya, dimana telur itu kau sembunyikan tersimpan di GPS ini."

Kapten tersenyum licik dan melirik ke arah mang Soleh. Mang Soleh mengangguk kemudian keduanya berdiri tepat di dapan mang Atak.
Ceklek...

Doorr !!!

Pistol meletus kencang, mengagetkan burung-burung dan monyet. Suara riuh kembali terdengar di tengah hutan.

Aku terlonjak kaget, merasa ngeri sekaligus takut.
Tepat disamping, mang Atak berkelojotan meregang nyawa. Darah merah bersimbah di perutnya bagian samping, membasahi baju yang ia kenakan.

Dengan mata melotot dan mulut keluar darah, mang Atak berusaha bertahan hingga akhirnya secara perlahan tidak bergerak.
Dengan tenang, mang Soleh mengarahkan moncong pistol ke dahiku.

"Saatnya kau menyusul ayahmu ke neraka." ujarnya datar.

Ceklek...

Kembali terdengar suara kokangan, membuat bulu kudukku tiba-tiba merinding.

...bersambung...
Doorr...!!!

Suara letusan terdengar memekakkan telinga, membuat telingaku sakit dan pandangan terlihat berputar-putar.

Tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk, mang Atak menerjang membuat peluru melesat beberapa senti di samping telinga.
Keduanya lantas bergumul di tanah, mencoba saling melumpuhkan.

Tanpa pikir panjang, aku berlari kencang ke arah hutan menyelamatkan diri. Seribu langkah kupacu menembus belukar berduri.

Door...doorr...
Kembali terdengar suara letusan di belakang. Entah apa yang terjadi, yang ada dipikiranku hanyalah menyelamatkan diri.

Sambil terus berlari, kupukul-pukul kuping kanan untuk mengurangi dengung yang tak berhenti.
Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara rintihan mang Atak mengantar nyawa lalu menghilang ditelan riuhnya hutan.

"Kejaaarr !!!" Jangan sampai lolos !!!"
Teriakan Kapten menggema, diiringi suara-suara langkah kaki yang bergerak cepat menerobos tumbuhan pakis dan ilalang.

Sialan, rupanya mereka memburuku. Dengan kondisi penuh luka, tak mungkin aku bisa berlari jauh. Aku harus mencari tempat bersembunyi agar bisa selamat.
Bagai kijang terluka, kesana kemari aku mencari tempat aman untuk menghindari perburuan Kapten Anang dan mang Soleh.

Di langit, senja kuning sudah terlihat. Aku harus bisa bertahan setidaknya hingga langit berubah jadi gelap.
Beberapa meter di depan, tanah terlihat miring menurun. Kupercepat langkah kaki karena di belakang suara Kapten dan mang Soleh semakin dekat.

"Tidak mungkin ia pergi jauh. Pasti di sekitar sini." seru mang Soleh di antara rimbun pepohonan.
Aku terpaku.

Tepat dua langkah di depan, tanah miring ternyata lebih curam dari yang kukira. Beberapa meter di bawah, terhampar barisan batu tajam, seperti aliran sungai yang telah kering.
Tidak jauh dari hamparan batu, terdapat sebuah lubang menganga yang sangat besar. Sebuah goa dengan mulut yang lebih besar dari rumah. Mungkin di situ bisa jadi tempat sembunyi meski gelap dan terlihat tidak aman. Bisa saja goa itu sarang binatang buas.
Di belakang, derap langkah kaki dan ranting patah semakin jelas terdengar.

Aku menimbang-nimbang, apakah melompat atau berlari ke tempat lain. Kurasakan detak jantung semakin tidak karuan, ketika suara gaduh kapten dan mang Atak semakin dekat.
Bruukk...

Tubuhku meluncur di tanah miring bagai anak kecil main pelosotan.

"Di sana !" teriak mang Soleh lantang.

Braakk...

Tersangkut kayu, aku terjungkal ke depan. Tubuhku menggelinding, berputar-putar tanpa henti di atas rerumputan dan belukar berduri.
Braak...

Tubuhku membentur sebuah batu yang cukup besar dan luncuran tubuhku terhenti seketika. Menjerit tertahan, kurasakan sakit luar biasa di bagian pinggang. Luka di perut kembali menganga, mengucurkan darah kental kehitaman.
Di atas, samar-samar terlihat bayang-bayang tubuh kapten Anang dan mang Soleh berdiri di tepian tanah miring.

Mereka terlihat berdebat, tapi jelas sekali kalau mang Soleh bersikeras menyusulku kebawah.
Dalam satu tarikan nafas, mang Soleh melompat. Tubuhnya mendarat sempurna di atas rerumputan, meluncur deras menerobos semak belukar lalu disusul kapten Anang.

Bergegas aku bangkit, terbirit menyelamatkan diri menuju goa yang gelap gulita.

*****
Aku meringkuk di salah satu celah bebatuan di dalam gua. Bau kotoran kelelawar terasa menyengat, bercampur lumpur kering yang membalur tubuhku.

Separuh tubuhku berada dalam air setinggi lutut. Untung saja goa ini memiliki aliran air, sehingga jejak langkahku bisa tersamar.
Aku memutar otak, bagaimana caranya agar bisa kabur dari buruan kapten dan mang Soleh.

Samar-samar cahaya dari luar goa semakin gelap dan sebentar lagi matahari terbenam.
Trap...trap..trap...

Derap langkah kaki yang menyusuri lorong goa membuatku semakin cemas. Aku menahan nafas, takut desahan nafasku akan terdengar kapten dan mang Soleh.
"Haamiid..." Suara mang Soleh menggema, memantul-mantul di dinding goa yang dingin.

"Hamid, keluarlah. Percuma kau sembunyi. Cepat atau lambat kau akan menyusul si Atak."

Trap...trap...trap...
Suara langkah-langkah kaki menapak di lumpur kering semakin menciutkan nyali. Suara itu semakin dekat, mungkin hanya beberapa meter dari tempatku bersembunyi.

Bulatan cahaya senter segera menerangi lorong goa, menggantikan cahaya matahari yang sudah sepenuhnya tenggelam.
Sepertinya senter itu mereka dapatkan dari tas mang Atak yang mereka rebut.

Cahaya senter bergerak ke kiri dan kanan, menyusuri lorong goa jengkal demi jengkal untuk mencari keberadaanku.
Darahku berdesir dan jantungku berdegub kencang, saat bulatan cahaya itu bergerak pelan menyisir tempatku bersembunyi.

Aku semakin panik, saat cahaya terang itu menyinari gundukan tanah yang hanya beberapa jengkal dari ujung kakiku.
Aku bergerak sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Untung saja celah lubang ini cukup dalam, hingga tidak terjangkau sorotan senter.

"Bocah itu pintar juga. Jejaknya hilang di aliran air ini," desis mang Soleh menggema di dalam goa.
"Sebaiknya biarkan saja ia kabur, Soleh. Lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Firasatku goa ini berbahaya, bisa saja di sini adalah liang naga."

"Kepalang tanggung, Kapten. Dia sudah terlanjur tahu semuanya, lebih baik dituntaskan sekalian."
Terdengar hela nafas kapten, seolah berat hati mengikuti keinginan mang Atak.

"Kalau kau tidak mau mengotori tanganmu, tunggulah di luar. Biarkan aku yang menyelesaikan, dia pasti tidak bisa pergi jauh tanpa cahaya.
Dia pasti sembunyi di suatu tempat di dalam sini." lanjut mang Atak.

Kini terdengar suara cipratan air. Rupanya mereka telah melangkah menyusuri aliran air dengan sedikit kesulitan.
Aku bergidik ngeri, saat siluet tubuh mereka melewati tempatku bersembunyi. Persis hanya beberapa meter di samping, membuatku menahan nafas dan tidak bergerak sedikitpun.

Mereka terus bergerak, belum menyadari keberadaanku yang hanya beberapa meter dari punggung mereka.
Peluh bercucuran meski badanku mulai menggigil menahan dingin. Aku menggigit bibir agar tetap tersadar dan tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba.

Dengan tangan kiri, mang Atak mengarahkan senter ke setiap celah goa, sedangkan tangan kanannya menggenggam pistol.
Di samping, kapten tampak kesusahan mengikuti langkah mang Atak. Luka di tubuh membuat pergerakannya sedikit lebih lambat.

"Kenapa tidak tunggu di luar saja, Soleh ?"
"Terlalu berisiko, Kapten. Bisa saja ujung goa ini tembus ke suatu tempat. Atau, kita akan disergap oleh Tambun itu bila menunggu di luar."

"Tak bisa kah kau lepaskan saja ? Ia sudah cukup menderita."
Mang Soleh menghentikan langkah, berdiri di aliran air setinggi lutut. Setelah mengatur nafas, ia lalu berbalik dan menatap wajah kapten.

"Kapten, kau sendiri tahu apa yang telah dilakukan Madhan, ayahnya Hamid. Karena ulahnya, anak lelakiku meninggal mengenaskan.
Kalau saja ia tidak menggelapkan emas kita, pastilah anakku bisa diselematkan. Pastilah ia bisa menjalani operasi di rumah sakit di Banjarmasin. Tapi..."
Suara mang Atak tertahan, menahan perih dan juga dendam. Ucapannya terdengar getir menyayat hati. Aku tahu, ada kebencian mendalam di situ.

Seketika hatiku rasanya teriris menyadari kebejatan mendiang ayahku di masa lalu.
Aku rasanya ingin tidak percaya atas dosa yang telah ia lakukan. Lagi-lagi duniaku rasanya runtuh seketika.

"Karena kematian anakku, istriku menjadi gila. Bertahun-tahun ia kupasung di dalam kamar reot penuh kotoran.
Suatu ketika, ia berhasil kabur saat aku lengah. Berhari-hari aku mencarinya. Namun, begitu ketemu hanyalah tambahan derita yang kualami. Kau tahu, kapten, apa yang terjadi. Kau tahu kan !?"
Mang Soleh mengguncang-guncang bahu kapten Anang yang hanya tertunduk lesu.

"Ya, kapten. Istriku yang gila jadi korban kebiadaban manusia. Entah siapa yang tega memperkosa wanita gila.
Dan kini...aku harus membesarkan anak yang bukan darah dagingku. Sedangkan istriku, ia malah mati saat melahirkan. Tidak pantaskan aku menuntut balas ? Tidak pantas kah, hah !?"
Suara mang Soleh bergetar dalam cucuran air mata. Lagi-lagi aku terdiam, aku merasa memang pantas untuk menebus kesalahan ayahku.

"Soleh, Hamid bukanlah ayahnya. Madhan sudah mendapat ganjaran. Sebaiknya kita tinggalkan saja Hamid di sini.
Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya bisa selamat."

"Tidak, kapten," mang Soleh menggeleng," wajah Hamid terlalu mirip dengan ayahnya. Tidak kuat aku melihatnya. Setiap menatapnya, darahku rasanya mendidih."
Kapten menghela nafas panjang. Ia mulai putus asa untuk membujuk mang Soleh yang penuh dendam.

"Soleh, dengarkan aku. Bila kita bersikeras mengejar Hamid sekarang, sama saja bunuh diri.
Pikirkan anakmu, ia butuh kamu. Biarkan saja Hamid membusuk di goa ini. Dengan kondisi lukanya, ia takkan bertahan hingga esok pagi. Kalaupun selamat, ia akan mati jadi santapan Tambun."
Menyeka air mata, mang Soleh terdiam memikirkan ucapan kapten. Setelah menimbang-nimbang, ia sepertinya setuju.

"Baiklah, Kapten. Tapi bila ia berhasil selamat dan bertemu di kampung, aku takkan ragu menghabisinya."
Kapten mengangguk sembari menepuk pundak mang Soleh.

Keduanya lantas berbalik, kembali berjalan menyusuri genangan air ke arah mulut goa. Bulatan cahaya senter kembali bergerak ke kiri dan kanan, menyorot lantai dan dinding-dinding goa.
Aku tercekat, saat sorotan cahaya putih menyilaukan itu tepat mengarah ke tempatku bersembunyi. Aku duduk terdiam dan terpaku, benar-benar mati langkah.

"Rupanya kau sembunyi di sini, Hamid. Habis sudah peruntunganmu."
Mang Soleh bergerak mendekat, mengarahkan moncong pistol menyasar tubuhku. Tangannya bergetar penuh amarah, sedangkan matanya melotot penuh kebencian.

Kapteng Anang bergegas hendak menahan, namun langkahnya yang ringkih kalah cepat.
Menarik nafas, aku hanya bisa pasrah menanti nasib. Entah kenapa aku sedikit lega, siap menebus kesalahan ayahku.

"Baiklah, mang. Bila kematianku bisa menebus kesalahan ayahku, lakukan saja."
Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajah, menatap mata kapten dalam-dalam.

"Kapten, aku titip anak, istri juga ibu. Jagalah mereka untukku."

Tak sanggup lagi kubendung air mata, sedangkan kapten hanya mengangguk pelan dengan raut wajah sedih.
Untuk terakhir kali, aku mengucap kalimat syahadat sebelum nyawaku benar-benar lepas. Dunia terasa sunyi, bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar.

Hening sejenak.
Pistol di tangan mang Soleh bergetar hebat. Entah ia ragu, atau mengumpulkan keberanian untuk kembali mengotori tangannya dengan darah.

"Maaf, Hamid. Saatnya kau menyusul ayahmu !"
Kali ini mang Soleh tidak ragu. Genggaman tangannya telah mantap. Bagai gerak lambat, jemarinya yang siap menarik pelatuk terlihat sangat jelas di depan mata.

Seesshh....seesshhh...
Kami semua tersentak. Suara desisan yang sudah sangat kami kenal kembali terdengar di dalam goa yang gulita.

Entah dimana, rupanya Tambun telah kembali menghampiri.

...bersambung...
Bab terakhir Thread ( TAMAT )

Judul : Petaka Tambang Emas Berdarah

Bab 24 :Petaka Tambang Emas Berdarah.

cc @IDN_Horor @HororBaca @HorrorBaca @ceritaht @P_C_HORROR
#ceritaserem #ceritahorror #bacahorror Image
Mang Soleh memutar badan, menyoroti sudut-sudut goa dengan senter yang mulai redup. Ia tampak gelisah dan keringat sebesar jagung menetes di dahinya.

Seeshhh...seesshh...
Suara desisan menggema di setiap sudut goa. Kami bertiga terdiam, tidak berani mengeluarkan suara. Kami tahu persis monster sungai itu ada di sekitar kami tapi entah dimana.
Ular raksasa itu sepertinya sengaja mengintimidasi kami dari dalam gelap, membuat nyali ciut sebelum akhirnya menyeret kami satu-persatu.
Mang Soleh mundur perlahan ke arah mulut goa diikuti kapten yang cemas.
Pistol yang ia genggam terus mengikuti bulatan cahaya senter yang menyorot celah demi celah dinding goa yang lembab.

Kapten Anang juga tidak tinggal diam. Tiga granat ia genggam, entah bisa ia gunakan atau tidak.
Tidak mau mati konyol,tertatih aku bergerak pelan, keluar dari celah tempatku meringkuk kedinginan.

Berpegang pada dinding goa yang licin, aku berhasil berpijak pada dua kaki. Belum sempat bergerak mang Soleh sudah menodongkan pistol ke arahku.
"Ikuti kata-kataku, Hamid. Atau kau yang lebih dahulu mati," gertak mang Soleh dengan nada mengancam.

Dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Melangkah tertatih, aku bergerak di bawah ancaman pistol yang siap menyalak kapan saja.
Aku berdiri tepat di depan mereka berdua, menatap kosong ke sudut gelap di ujung lorong yang tak terlihat.

Celaka ! Rupanya aku hendak dijadikan umpan. Di kegelapan, suara desis semakin menjadi-jadi.
Kadang terdengar kencang, kadang lirih. Suara desisan terus menggema di lorong tanpa cahaya dan berpindah-pindah. Kadang suara itu terdengar di samping, kadang di belakang.
Gugup dan panik, mang Soleh dan kapten mundur perlahan menuju mulut goa serta memaksaku ikut melangkah tanpa menoleh sedikitpun.

Door...!

Pistol di tangan mang Soleh meletus ketika kelebatan hitam muncul dari dalam aliran air.
Apa yang dilakukan mang Soleh ternyata membuat keadaan tambah buruk.

Air tiba-tiba bergemuruh, menimbulkan suara menggelegar seolah goa ini akan runtuh.

Bruuk...
Tendangan mang Soleh di punggung membuatku terjungkal ke depan.
Tanpa aba-aba, mereka berdua sontak berlari meninggalkanku dalam kubangan air.

Meski gelap, jelas sekali terasa gelombang air menerpa tubuhku. Kelebatan mahluk raksasa lewat persis di samping
Cahaya senter bergerak cepat menuju mulut goa diiringi suara langkah terburu-buru.

Senter tiba-tiba terlempar dan membentur dinding goa lalu terjatuh di salah satu sudut lorong yang dingin.
Terdengar suara benturan cukup keras di dinding goa, lalu pekik kematian yang mengerikan kembali menggema.

Entah siapa yang jadi korban, lututku terasa lemas dan badanku gemetar. Perlu beberapa saat bagiku menyadari bahwa aku belum mati.
Di salah satu sudut, senter terus berputar menyorot cipratan darah di dinding lalu perlahan tergeletak dengan cahaya redup.

Beberapa saat berlalu, goa kembali hening dan sunyi hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalaktit
Dengan sisa tenaga aku bangkir berdiri, berjalan terseok di aliran air hingga kakiku berhasil menapak di lumpur kering.

Beberapa kali aku terjerembab karena tidak melihat tempat berpijak, sedangkan cahaya senter menyorot ke arah lain sisi goa.
Perlu waktu cukup lama bagiku hingga akhirnya berhasil meraih senter itu. Sambil memegang perut yang luka, aku bergerak pelan menuju mulut goa yang hanya beberapa langkah di depan mata.
Baru beberapa langkah melewati mulut goa, terdengar suara cukup keras di belakang. Seperti suara benda jatuh menghantam tanah. Sontak aku kaget dan refleks menyorot ke arah suara tadi.
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri dan perutku terasa mual. Tepat di depan tergeletak tubuh mang Soleh yang sudah tidak bernyawa.

Matanya melotot dan mulut terganga. Lendir kental bagai ingus menutupi tubuhnya yang berantakan.
Tidak mau celaka, aku berlari kencang tanpa arah.

Heekk....!!!

Seketika dadaku sesak dan tulang rusukku terasa remuk. Belitan kencang melilit pinggangku diiringi suara desis yang menjadi-jadi.
Tubuhku diseret di udara dengan lilitan yang semakin kencang. Senter yang kugenggam terlempar ke semak belukar yang tidak begitu jauh.

Samar-samar diterpa cahaya bulan, kepala ular raksasa berwarna hitam mendekat ke arahku.
Lidahnya yang bercabang terus menjulur keluar, mengecap udara untuk memastikan diriku yang sebentar lagi jadi mangsa.

Buuk...

Lemparan batu sebesar kepalan tangan menghantam kepala ular itu dengan keras. Tambun meradang dengan desisan yang tak berhenti.
Kepala Tambun berbalik arah, mengincar kapten Anang yang bersimbah darah. Hanya beberapa meter dari mulut goa, kapten berdiri terpincang dengan granat di tangan.

Seolah menantang, kapten terus memancing agar Tambun itu menyerangnya.
"Ke sini kau, naga sialan ! Lawan aku kalau berani !"

Kapten berteriak-teriak seraya terus melempar batu ke arah Tambun.
Seketika Tambun melepaskan belitan dan bergerak cepat mengincar kapten yang diam di tempat. Aku hempas di atas bebatuan, menahan perih di seluruh sendi.
Beberapa saat sebelum Tambun menyergap, kapten menatap tajam kearahku. Tatapan penyesalan dan permintaan maaf. Aku mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca.

Kulirik, tangan kapten bergetar sembari menggenggam erat granat di tangan.
Seesshh...seeesshhh...

Tambun melejit dalam gelap dengan mulut menganga lebar, mencengkram tubuh kapten dengan cepat.

Duuaarr...!!!

Terdengar suara ledakan tiga kali diiringi percikan seperti kembang api raksasa.
Api menyala-nyala dalam gelap diikuti gemuruh mulut goa yang runtuh.

Terjangan angin kencang beserta debu dan kerikil membuatku terpental beberapa meter di udara lalu membentur tanah yang penuh belukar berduri.
Aku terkapar muntah darah, kepalaku terasa berat hingga tak sanggup lagi bertahan untuk tetap terjaga.

***** Image
Tubuhku terasa kaku dan lecet-lecet di sekujur badan terasa perih. Aku mencoba bergerak tapi badanku terasa remuk. Terdengar suara yang cukup ramai hingga membuatku berada di antara sadar dan terlelap.
Hal pertama yang kulihat adalah balutan perban di bagian perut, lutut serta di beberapa bagian tubuh lainnya.

Sebuah jarum menusuk punggung tapak tanganku, dengan infus tergantung pada tiang besi tua yang telah karatan.
Aku belum sepenuhnya sadar berada di mana, seorang laki-laki dengan seragam perawat tiba-tiba membuka pintu. Melihatku telah sadarkan diri, perawat itu lantas keluar ruangan dengan berisik lalu kembali lagi dengan beberapa orang pria.
Seorang pria dengan pakaian loreng bergegas menghampiri dan menyuruhku tetap berbaring.

"Tenang saja, kau ada di puskesmas desa. Aku Danramil daerah sini.
Sementara jangan banyak bicara, sebentar lagi kau akan di rujuk ke rumah sakit di Kabupaten," ucap pria itu dengan sorot mata tajam.

Seorang laki-laki berpakaian polisi, menyuruh polisi lainnya untuk mengambil fotoku yang masih terbaring lesu.
Rupanya ia adalah Kapolsek dan menyuruh anak buahnya untuk segera mengirimkan laporan ke pimpinan mereka.

Aku masih bingung dan belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi,
ketika seorang ibu-ibu dengan pakaian dokter, yang kemudian kuketahui kepala puskesdes,
memeriksa luka-luka di tubuhku. Katanya untuk evaluasi sebelum aku dibawa ke Kabupaten.

*****
Tubuhku yang terbaring terguncang-guncang saat berada dalam speed boat menuju ibu kota Kabupaten. Aku melihat sekeling, ada beberapa orang pria berseragam loreng, berseragam polisi, berseragam oranye dan seorang lelaki paruh baya yang berpakaian biasa.
Saat aku mencoba bangun, beberapa orang mencoba membantuku. Bersandar pada bantal, kulihat langit sangat cerah dengan beberapa burung yang terbang rendah. Beberapa orang mengajakku bicara dan menanyakan apa yang telah terjadi.
Aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala. Aku masih trauma dan sulit berkata-kata atas peristiwa nahas yang kualami.

"Untung kau selamat. Kau ditemukan pemburu di dekat liang naga. Sedangkan jasad dua orang lainnya sudah dikirim terlebih dahulu untuk segera dikubur."
Aku menoleh ke arah suara, rupanya lelaki yang berpakaian biasa.

"Aku kepala desa," lelaki itu menjulurkan tangan dan memperkenalkan namanya.

"Daerah tempatmu ditemukan, dari jaman dahulu memang diketahui tempat bersemayam Raja Tangkaluluk. Naga Tambun penguasa sungai."
Kepala desa lalu bercerita, sehari sebelum menemukan kami para pemburu juga menemukan jasad lelaki muda yang telah membusuk dan penuh lendir di dalam hutan.

Dari ciri-cirinya, jasad lelaki itu sepertinya Dayat. Aku hanya tertunduk menyeka air mata.
Rasa sedih dan sesal membuat hatiku rasanya ngilu.

"Sepertinya ini milikmu."

Pak Kades mengeluarkan benda berwarna hitam dari kantong celana. Kupandang lekat-lekat gps itu, benda yang telah membuat celaka.
Tanpa pikir panjang, gps itu kulempar ke sungai Barito karena hanya mengingatkan kenangan pahit.

Aku kembali berbaring untuk menenangkan pikiran yang kalut. Pertanyaan dari polisi dan tentara yang mencatat keterangan, kujawab seadanya.
Menjelang magrib, aku sudah berada di rumah sakit Kabupaten. Beberapa wartawan yang menunggu di depan ruang IGD, langsung berhamburan begitu melihat tubuhku di gotong dari Ambulance.

Namun, tidak ada seorang pun yang bisa mendekat karena langsung dihalangi oleh aparat.
Hampir tiga minggu aku dirawat di rumah sakit dengan penjagaan ketat dari kepolisian dan prajurit TNI. Aku tidak diijinkan bicara dengan wartawan, begitu juga keluargaku. Bahkan, kudengar rumahku juga setiap hari ada petugas yang berjaga agar tidak ada wartawan yang datang.
Di koran-koran lokal dan media online, wajahku yang sedang ditandu terpampang jelas di halaman depan. Tentu saja hanya menggunakan keterangan dari kepolisian, tanpa ada sedikit pun keterangan dariku, kades atau warga yang menyelamatkan.
Isi beritanya tidak ada satupun yang membahas Tambun. Isi beritanya hanya mengatakan telah terjadi kecelakaan yang menimpa para pekerja tambang emas ilegal. Judulnya pun tak kalah bombastis, yaitu "Petaka Tambang Emas Berdarah."
Beberapa hari setelah itu, tersiar berita penangkapan para pekerja asing ilegal oleh petugas gabungan. Para pekerja yang tersebar di beberapa perusahaan itu lalu dipulangkan ke negara asalnya di Tiongkok daratan.

*****
Setahun berlalu, semua orang sudah lupa perihal kejadian di sungai Busang. Aku sudah berhenti total bekerja sebagai penambang emas.

Untuk kebutuhan sehari-hari, aku menjadi motoris kelotok milik haji Idris.
Sesekali aku menjadi tukang untuk membangun gedung walet, atau menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan.

Suatu malam, rumahku yang sempit kedatangan dua pria tamu asing. Mereka datang dengan sebuah mobil double gardan.
Seorang lelaki bermata sipit dan tubuh sedang, turun dari mobil. Penerjemahnya bergegas menyusul dengan menjinjing tas koper di tangan.

Lelaki asing itu bernama Mr.Kho, seorang investor perusahaan batu bara dari negeri China.
Sedangkan penerjemahnya adalah Tionghoa peranakan yang berasal dari Pontianak.

Setelah memperkenalkan diri, mereka berdua kupesilakan masuk ke ruang tamu yang tidak begitu luas.
Begitu duduk, penerjemahnya celingak celinguk menatap daun pintu yang terbuka sambil memeluk tas koper yang dari tadi selalu ia bawa.

Tanpa aba-aba, istri yang sedang menggendong putriku bergegas menutup pintu lalu ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan minuman hangat.
Sepertinya tamu asing ini membawa sesuatu yang penting, namun aku tidak terlalu peduli.

Usai berbincang dengan Mr.Kho, penerjemahnya langsung membuka tas koper di hadapanku. Seketika mataku terbelalak, melihat tumpukan uang ratusan ribu tersusun rapi memenuhi isi tas.
Entah berapa jumlahnya, tas koper di hadapanku terlihat sesak hingga tidak ada celah kosong.

"Uang ini akan jadi milikmu," ucap penerjemahnya tenang, "asal kau serahkan GPS milik tuan Atak."

"G-GPS !?" sahutku terbata.
"Iya, GPS. Kau tahu maksud kami. Cukup serahkan GPS itu, maka kau tak perlu lagi bekerja seumur hidup."

Seketika aku merasa lemas kehilangan tenaga. Tiba-tiba saja aku menangis sambil tertawa.

"GPS itu telah hilang di Barito." jawabku sambil menggelengkan kepala.
Penerjemah itu tersentak kaget, tidak percaya yang kukatakan barusan. Mereka lalu berdiskusi dengan bahasa yang tak ku mengerti, lalu pamit undur diri.

Dengan berat hati mereka kuantar hingga depan pintu.
Langkah demi langkah mereka menuju mobil, semakin jauh pula anganku menjadi orang kaya mendadak. Aku hanya menggigit bibir dan mengernyitkan dahi menatap pungung dua orang asing itu.

"Loh, kok udah pergi ? Padahal tehnya baru saja selesai dibikin."
Suara istri yang sudah di samping membuatku kaget.

"Sudahlah...memang takdir kita jadi orang miskin, mau gimana lagi."

Kurangkul kepala istriku dan kubenamkan di dada lalu kukecup keningnya.
Breemm....breem...

Mobil double gardan yang ditumpangi Mr.Kho mulai meraung, seolah menertawakan nasib kami yang fakir harta.

Aku segera menutup pintu dan mengambil putriku dari gendongan istri. Belum sempat dikunci, pintu kembali diketok dari luar.
Setelah dibuka, ternyata penerjemah yang tadi.

"Ini buat keluarga abang, dari Mr. Kho. Pesan beliau, anggap kita tidak pernah bertemu."

Aku hanya mengangguk saja seraya menerima tas kresek hitam dari lelaki itu. Entah apa isinya, tapi cukup berat.
Tas kresek itu kuserahkan pada istri, sedangkan mobil Mr.Kho telah hilang di ujung jalan.

"Aaabaaaangggg....!!!"

Di tengah ruangan, istriku tiba-tiba menjerit bagai orang gila. Matanya melotot dan hidungnya kembang kempis.
Aku tidak tahu apa isi tas kresek itu, yang jelas istriku terlihat bahagia.

....tamat...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Dec 15
-Maut Di Ujung Pistol Sang Oknum Brigpol-

Door....! 

Dua letusan pistol di belakang kepala, membuat tengkorak sang driver ekspedisi berlubang tembus ke dahi. Lelaki yang mencari nafkah demi anak istri itu tewas bersimbah darah di tangan oknum Polisi kemaruk berpangkat Brigpol. Image
Image
-Utas-

Rabu siang 27 November 2024, Haryono (37) mengemudikan mobil Daihatsu Sigra melintasi jalan trans Kalimantan Palangkaraya- Kasongan dengan kecepatan sedang.
AC mobil telah disetel full, tapi Haryono tetap saja bercucur berkeringat. Tangannya yang memegang setir gemetar hebat sementara jantungnya berdetak tidak karuan.
Read 39 tweets
Nov 2
Ketika Ayah Korban Tangkap Pembunuh Anaknya-

Jambri rupanya tak bisa berharap banyak pada aparat kepolisian yang lamban. Dengan segenap tekad, ia bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya berhasil meringkus pembunuh anak dan cucunya. 

-Utas- Image
Image
Kamis (10/10/24) sekira pukul 09.00 WIB, Jambri dilanda gelisah. Sedari pagi, anak perempuannya yang bernama Vina belum juga datang. Pesan whatsapp yang ia kirim hanya centang satu.
Padahal, anak pertamanya itu sudah berjanji akan datang pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya membuat kue. Selain itu, Jambri dan istrinya juga sudah tak sabar hendak bertemu cucu mereka.
Read 63 tweets
Sep 12
Kanibal Di Tanah Jambi

Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.

-Utas-
Image
Image
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.

Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.

Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Read 37 tweets
Aug 18
Ayah Bejat Berilmu Kebal

-Utas-

Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot.
Image
Image
Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.

“Barake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)” ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian.

Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Read 81 tweets
Aug 12
Misteri Pembunuh Telanjang

-Utas-

Jumat malam 23 September 2022, hujan gerimis mengguyur kota Palangkaraya. Suasana malam terlihat sepi di kawasan Jalan Cempaka, Kelurahan Langkai. Tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak pula orang-orang yang berkeluyuran.
Image
Image
Dinginnya cuaca membuat warga memilih tidur lebih awal di balik selimut yang hangat.

Jam menunjukkan pukul 22.30 WIB ketika MY (17) terbangun dari tidur. Suara bantingan keras di kamar sebelah membuatnya terjaga. Seketika ia merinding.
Samar-samar ia mendengar suara rintihan manusia dan tebasan parang mengoyak daging. Remaja putri itu langsung tercekat, terdengar suara jerit kesakitan sang ayah.

MY lantas beranjak dari kasur dengan perasan cemas.
Read 58 tweets
Aug 1
-Teror Sandah Di Dusunku-

A Thread

@IDN_Horor @P_C_HORROR

#threadhoror #ceritaserem #malamjumat #kalimantan #hantu Image
Hantu sandah merupakan salah satu hantu khas kalimantan tapi kurang populer dibandingkan kuyang. Sandah merupakan salah satu jenis kuntilanak dengan ciri khas wajah selebar nyiru.
Konon, wajahnya yang lebar merupakan kutukan karena telah mengguna-gunai / menundukan suaminya dengan cara yang kotor.

Kata orang, semasa hidup hantu sandah memberi makan/ minum suaminya menggunakan minyak perunduk yang dicampur darah haid, pakaian dalam-.
Read 37 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(