Di antara para ekonom Indonesia yang memperhatikan kenaikan harga beras waktu itu, muncul kelegaan karena harga beras bisa terkendali akibat stok yang cukup.
Indonesia beruntung karena bisa duluan borong beras di pasar internasional sehingga harga bisa stabil.
Hal seperti ini tidak mudah dikomunikasikan kepada masyarakat - karena ada pemahaman umum: "impor pasti buruk", "kita harus bisa swasembada pangan" dll.
Padahal swasembada bisa sangat mahal ongkos ekonominya kalau harga beras naik terlampau tajam. Yang jadi korban: daya beli.
"Bukankah harga beras yang tinggi menguntungkan petani?"
Kata siapa? Nilai Tukar Petani di Indonesia nggak pernah nyambung dengan harga beras di pasar. Mengapa? Karena rantainya sampai ke pasar sangat panjang. Dan tiap mata rantai punya marjin laba tersendiri.
Akibat panjangnya rantai ini, maka kenaikan harga beras lebih dulu mengisi marjin laba komponen-komponen rantai ini - sebelum bisa sampai ke petani.
Rantai terpendek? Beras impor. Itu sebabnya beras impor efektif menurunkan harga beras dari lonjakan berlebihan.
Maka opsi impor sebenarnya harus tetap dibuka, supaya harga di pasar masih terjangkau. Kalau keadaan sudah membaik dan stok dalam negeri sudah pulih, keran impor bisa ditutup kembali.
Atau lebih ideal lagi: automatic stabilizer. Keran impor otomatis terbuka bila harga kemahalan.
Untuk bisa menciptakan automatic stabilizer maka perlu ada pasar komoditas berjangka atas beras. Di mana kontrak harga beras sampai sekian bulan ke depan diperdagangkan saat ini.
Kalau harga 3-4 bulan lagi melewati titik tertentu - keran impor otomatis terbuka.
Begitu keran terbuka, maka harga beras dalam negeri diharapkan bisa stabil kembali.
Lalu kenapa ini nggak jalan? Karena infrastruktur pasar komoditasnya berantakan. Berbulan-bulan dicoba diperbaiki: nggak ada hasil. Sampai akhirnya masa jabatan kabinet pertama Jokowi berakhir.
Sesudah menteri-menteri berganti, tentu birokrasi akan menyesuaikan pada "selera" menteri yang baru. Maka ide automatic stabilizer terhenti.
Buat apa? Toh harga beras stabil dan dunia sedang mengalami La Nina 2020 yang akan bersambung La Nina 2022.
Mungkin kita perlu menunggu sampai El Nino suatu saat muncul kembali, sebelum ide tentang automatic stabilizer bisa dihidupkan kembali.
Mudah-mudahan El Nino-nya nanti nggak terlalu berat. Atau orang Indonesia sukses mengurangi makan nasi secara ekstreme.
SEKIAN.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kasus Evergrande ini nggak ada yang bahas ya di Indonesia? Padahal ini bisa meledak kayak Lehman Brothers.
Evergrande ini adalah pemilik properti terbesar nomer dua di China. Sempat menjadi nomer satu beberapa tahun lalu. Evergrande anggota Fortune 500 Global.
Masalah ada di utang $100 Miliar yang terancam default. Ada yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini. Dan nggak ada duit.
Pemerintah China sudah bilang nggak akan melakukan bailout. Tapi apa iya kalau sudah sebesar Evergrande dampaknya nggak akan menjalar ke sektor properti lain di China?
Dan ini jadi masalah karena banyak perusahaan properti di China adalah cash cow Pemerintah Daerah.
CATATAN: harga beras rata-rata di sekitar 1998 naik lebih dari 2x lipat. Pak @boediono dalam bukunya pernah menulis hal ini.
Kenaikan harga beras ini mendorong kenaikan tajam inflasi karena bobot beras dalam konsumsi masyarakat saat itu mencapai hampir 1/4 belanja masyarakat.
Kalau La Nina mengakibatkan Indonesia sering hujan dan banjir, lalu apa yang terjadi kalau El Nino muncul? Ya ekstreme yang satu lagi: Kekeringan.
Berikut adalah gambaran siklus El Nino vs La Nina sejak tahun 1990 sampai sekarang.
Merah = El Nino
Biru = La Nina
Fenomena El Nino paling parah pernah terjadi pada tahun 1997-1998. Indonesia mengalami kekeringan panjang dan juga kebakaran hutan.
Bersamaan dengan itu terjadi gagal panen karena kekeringan. Akibatnya harga padi naik tajam dalam waktu singkat dan inflasi melonjak.
Padahal di saat yang sama perbankan Indonesia sedang dalam tekanan akibat mulai menjalarnya Krisis Moneter Asia. Gabungan dari dua fenomena terpisah ini yang kemudian menjadi tekanan politik dan di kemudian hari memaksa Suharto turun dari kekuasaannya.
Dalam video ada ilustrasi sederhana bahwa dengan asumsi jumlah anggota 700.000 orang dan masing-masing menempatkan iuran Rp. 10 ribu - maka akan tersedia aset bersama (mutual) yang dapat digunakan untuk menalangi bila ada yang sakit.
700.000 x Rp. 10 ribu = Rp. 7 Miliar.
Lalu ada disebutkan bahwa talangan maksimum Rp. 100 Juta. Ini disebut sebagai klaim maksimum dari aset bersama oleh satu anggota.
Jadi dari dana yang Rp. 7 Miliar - andai ada SATU orang mengambil klaim maksimum - maka dana tersisa menjadi Rp. 6,9 Miliar.
Penentu utama laik atau tidaknya pesawat adalah kondisi Airframe. Dan karena pesawat terbang biasanya dibuat dari bahan dengan kualitas tinggi - maka airframe dapat bertahan hingga puluhan tahun. (contoh Pembom B-52H)
Berlaku juga untuk pesawat sipil.
Bagian pesawat di luar Airframe (seluruh mesin, controlling dan avionics) selalu bisa diganti. Secara reguler juga dicek dan diganti. Jadi bisa terjadi suatu pesawat airframe-nya tua, tapi "jeroan"-nya baru.
Yang reguler diganti dalah mesin karena ada usia pakai.
Kalau begitu, mengapa pesawat penumpang sipil jaman DC-8, DC-9 dll., sekarang jarang sekali dioperasikan? Karena airframe-nya tidak bisa menyesuaikan diri dengan mesin jet generasi baru.
Apa istimewanya mesin jet generasi baru? Lebih panjang umur dan hemat bahan bakar!