Ketika pertanyaan itu harus dijawab Budiman Sudjatmiko, ini tentu memiliki dimensi yang menarik. Kita tahu bahwa sosok itu adalah salah satu "jenderal lapangan"
dalam banyak demo mahasiswa manakala harus melawan rezim totaliter Orde Baru pada era tahun 90an.
.
.
Perspektifnya penting. Pengalamannya pada perlawanan terhadap rezim yang dianggap totaliter itu seharusnya akan memberi warna berbeda.
Dia pernah divonis 13 tahun penjara oleh Soeharto karena aktivitas demonya.
.
.
Menjadi masalah adalah ketika posisinya juga sebagai kader PDIP sama dengan Jokowi. Dapatkah netral menjadi bagian dirinya?
Dalam cuitannya dia berkata "Jika tak represif, bisa jatuh bangun dan kacau. Adanya kontrol/oposisi yg cerdas adalah untuk mencegah jangan sampai jadi otoriter. Pemerintah Jokowi represif? Ya. Otoriter? Tidak,".
Menurut Budiman, represifitas aparatus memang diperlukan pada negara demokrasi. Statement ini lantas menuai kritik bahkan hingga dinilai hanya pembelaan politis belaka.
Tanggapan sinis keluar dari Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin. Dia menilai bahwa ucapan Budiman hanya untuk pembenaran saja.
"Untuk membenarkan represifitas sebuah rezim. Itu pembelaan saja. Memutar-mutar logika," kata Ujang.
Benarkah?
Tindakan represif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tindakan yang bersifat menekan, mengekang, menahan, atau menindas namun bersifat menyembuhkan.
Sementara, represif adalah juga upaya yang bisa dilakukan oleh individu, kelompok, atau pemerintahan untuk mengontrol masyarakat. Tujuan tindakan represif adalah mengembalikan keserasian yang terganggu akibat penyimpangan yang ada.
Ketika penekanan (represif kelompok) dilakukan oleh demonstran 212 pada Presiden, Jokowi tak menggunakan kekuatan aparatnya untuk mengusir ancaman tersebut. Padahal, dia punya kapasitas dan landasan hukum atas apa pun yang akan dilakukannya demi selamat jalannya negara.
Jokowi memilih masuk ke jantung pusat kerumunan. Secara individu, Presiden melakukan perlawanan. Jokowi akhirnya justru mampu mengintimidasi jutaan demonstran itu. Jokowi sebagai pihak ditekan oleh kerumunan pada akhirnya mampu membalik tekanan itu secara pribadi.
Bila memakai konsep KBBI, Jokowi memang melakukan tindakan represif yakni melakukan penekanan pada massa namun dengan menggunakan kapasitas pribadinya sebagai pemilik jabatan Presiden bukan menggunakan aparat yang dimilikinya.
Pada peristiwa demo UU Ciptaker dan demo sidang gugatan Pilpres yang diwarnai dengan bakar-bakaran, adakah represif aparat keamanan pada para perusuh itu tidak tepat? Sekali lagi, bila menggunakan terminologi yang benar, represifitas aparat itu dilakukan demi
mengembalikan keserasian yang terganggu akibat penyimpangan yang ada bukan?
.
.
Ini sekaligus menepis pernyataan Ujang yang mengatakan bahwa penggunaannya salah.
"Penggunaannya salah. TNI dan Polri itu institusi represif. Tapi tak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat." kata Ujang.
Adakah fungsi TNI dan Polri pada peristiwa tersebut menakuti rakyat? Atau justru melindungi?
Rupanya ada gaps antara terminologi tentang represif yang dibaca oleh Ujang dengan yang dimaksud oleh Budiman.
Ujang pada sesi lain justru berkata bahwa represifitas yang dilakukan aparat sudah lumayan parah.
"Lumayan parah. Buktinya masyarakat ketakutan untuk mengkritik," katanya. Dia sama sekali tak menyinggung tentang sebuah peristiwa di mana rakyat pernah merasa ketakutan mengkritik pemerintah.
"Rasanya perlu pengamat politik utk bukan cuma membaca kumpulan berita dan punya akses ke media. Dia perlu juga baca buku filsafat politik dan buku sejarah yang serius sehingga layak disebut sebagai intelektual ilmu politik. Bukan cuma komentator berita2 politik"
Padahal, bukankah saat ini kritik justru terlalu sangat mudah dilakukan oleh siapa pun dan hingga justru yang terlontar seringkali adalah kritikan ngawur tanpa esensi dan terdengar sebagai hinaan, caci maki hingga fitnah alih-alih sebuah kritik?
📷Paolo Benoforti
Pun pernahkah Jokowi melaporkan penghinanya secara pribadi pada kepolisian seperti yang pernah dilakukan SBY saat melaporkan Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif, mengenai isu pernikahan sebelum masuk Akademi Militer pada 2007 silam?
Padahal secara gamblang Budiman juga telah memberi petunjuk saat dia mengutip argumen Filsuf Louis Althusser yang mengatakan negara harus punya dua jenis aparatus. Pertama aparatus ideologis dan kedua aparatus represif.
Ia mencontohkan aparatus ideologis adalah sekolah dan universitas. Sedangkan aparatus represif adalah polisi, tentara dan penjara.
"Negara demokratis yang kita cita-citakan harus bisa represif. Ini untuk menegakkan aturan dengan tetap dikontrol oleh oposisi yang cerdas" lanjut Budiman.
"Adakah itu tentang persepsi?"
Entahlah.. Yang jelas, pemerintahan di mana pun sudah pasti harus memiliki sisi represif. Mencegah menjadi otoriter, itu adalah tugas oposisi. Menjadi oposisi yang smart memang bukan pekerjaan mudah. Butuh effort dalam banyak sisi.
Bukankah PDIP selama 10 tahun bisa menjalani peran tersebut? Seharusnya partai lain juga bisa dong?
"Trus Jokowi bukan sosok otoriter?"
Kurang galak, iya..!! Lihat saja kelakuan para persekutor atau perusak tempat ibadah hingga penghalangan kegiatan budaya yang terkesan selalu didiamkan. Selalu tentang kelompok itu mendapat privilege karena mengatasnamakan mayoritas bukan?
.
.
.
Fahri Hamzah pernah berucap bahwa Jokowi diktator. Alasannya adalah karena Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Fahri mengatakan, dari sisi penampilan dan wajah Jokowi jelas tidak terlihat sebagai seorang diktator.
Akan tetapi, kebijakan penerbitan Perppu Ormas, menurut Fahri, secara tidak langsung menunjukkan sisi otoriter Jokowi.
"Dia membuat Perppu bukan undang-undang. Dan dia buat pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah tunjuk jari dan membubarkan satu lembaga, menghilangkan kebebasan," kata Fahri.
"Iya, anda punya sejarah alergi terhadap obat tertentu seperti antibiotik penisilin, atau obat pereda nyeri seperti aspirin dan ibuprofen misalnya?" tanya dokter muda yang masih kelihatan energik meski telah
melayani ratusan peserta vaksinasi itu melanjutkan pertanyaannya.
.
.
Itu sepenggal cerita saat beberapa waktu yang lalu saya menjalani vaksinasi massal di sebuah Rumah Sakit.
Dokter hanya bertanya berapa umur saat ini dan riwayat kesehatan kita di masa lalu sekaligus adakah alergi terhadap jenis obat tertentu. Dokter tidak bertanya adakah ibu kamu orang terkenal, kaya atau miskin apalagi masih jomblo atau sudah laku.
Siapakah yang justru dalam refleksnya marah-marah ketika dia menendang gelas yang tergeletak di lantai? Biasanya adalah mereka yang memiliki kasta tinggi dalam komunitas itu. Bila di keluarga, bisa ayah, ibu atau kakak tertua.
Kenapa mereka justru marah, mereka tahu aturan main di mana seharusnya gelas itu ditaruh. Dengan mudah mereka sering memindahkan pokok perkara dengan mengabaikan bahwa faktor ketidak hati-hatiannya lah penyebab dari drama itu muncul.
Pun pada Haris Azhar ketika menjadi kuasa hukum Rocky Gerung dalam perkara sengketa kepemilikan tanah melawan PT Sentul City, dia tak sibuk mencari tahu kenapa RG menendang gelas itu tapi justru mencari cari kesalahan pemilik gelas itu.
Kemenangannya dalam pilpres 2014 yang lalu dimaknai sebagai merebut ruang kerja, bukan kekuasaan. Kerja, kerja dan kerja tiba-tiba menjadi ajakan pertamanya pada semua menterinya, dan mereka terseok lunglai kehabisan nafas.
Kita memang kaya dengan politisi. Negeri kita penuh sesak dengan orang pandai berbicara, apalagi tentang surga. Sumber daya manusia kita dibidang itu memang luar biasa hebat.
Disisi lain, negeri kita sangat subur. Alam milik kita berlimpah ruah dengan kekayaan yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Gemah ripah loh jinawi.
Secara hukum PKI adalah organisasi terlarang. TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 adalah aturan hukumnya. Hal itu harus kita taati bersama ketika HUKUM ADALAH SEBAGAI PANGLIMA.
Kita dpt berdebat panjang lebar, adakah peristiwa '65 adlh setting ORDE BARU demi rebut merebut kekuasaaan.
Kedepannya kita dapat mencari tahu secara lebih terbuka manakala tak ada lagi saling dendam antara kita. Kita masih tersandera dengan banyak hal tak terungkap atas peristiwa itu.Dia adalah organisasi dengan paham kuno yang tak lagi dapat digunakan.
Dia sudah tak compatible dengan cara hidup modern saat ini.
.
.
Bisa dibilang, hanya tinggal satu negara saja yang masih memakai paham itu secara murni yakni Korea Utara. Lantas, masuk akalkah bila pemerintah sering dituduh sedang membuat arah menuju kesana?