Fahri Hamzah pernah berucap bahwa Jokowi diktator. Alasannya adalah karena Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Fahri mengatakan, dari sisi penampilan dan wajah Jokowi jelas tidak terlihat sebagai seorang diktator.
Akan tetapi, kebijakan penerbitan Perppu Ormas, menurut Fahri, secara tidak langsung menunjukkan sisi otoriter Jokowi.
"Dia membuat Perppu bukan undang-undang. Dan dia buat pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah tunjuk jari dan membubarkan satu lembaga, menghilangkan kebebasan," kata Fahri.
Sementara, menurut Fadli Zon, penilaian tentang kediktatoran tidak dilihat dari ucapan atau wajah, tapi kebijakan yang dikeluarkan. Melihat berbagai kebijakan yang dikeluarkan Jokowi saat ini,
menurut Fadli, sangat wajar kalau ada yg menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo ini menuju kediktatoran.
Dan belum lama ini seorang pengamat politik Muslim Arbi pun meminta agar rezim Jokowi jangan mengulang cara2 diktator berjubah demokrasi.
Benarkah Jokowi diktator?
***
"Bud, aku punya informasi rahasia.”
Bahkan sebelum mengucapkan kalimat itu, dari bahasa tubuh-nya aku menangkap bahwa aktivis HAM ini ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Setelah kurapatkan tubuhku kepadanya, aku berbisik:
”Informasi dari mana, Cak?”
”Dari intelijen, Bud!” jawabnya.
Munir adalah seorang pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) yang pada awal-awal Reformasi 1998 banyak bergiat mengkampanyekan pencarian para aktivis yang hilang. Pada tahun 2004 dia dibunuh dengan racun dalam penerbangan dari Singapore ke Amsterdam.
”Informasi apa, Cak?” Aku tak sabar mendengarnya.
Ekspresi wajahnya mendadak berubah. Kelihataan sekali betapa dia resah.
”PRD akan segera digulung, Bud!”
Dia cuma berbisik, tetapi berita itu seperti geledek di telingaku.
"Partai Rakyat Demokratik akan digulung. ”Anak kandung” kami akan dilibas.
Aku termenung. Rezim ini sekarang telah mengarahkan moncong senjatanya ke arah kami. Masih beberapa saat lagi kami bersama pejuang HAM itu.
Di akhir pertemuan, Munir mengingatkanku: ”Jangan patah semangat, Bud. Tetap lanjutkan perjuangan, namun lebih hati-hati!”
Aku menatap tajam matanya dan berkata, ”Kami sudah tidak mungkin berbalik arah, Cak. Kami tidak mau jadi lelucon sejarah!”
Informasi dari Munir terbukti benar. Keesokan harinya Harian Angkatan Bersenjata, koran milik tentara Indonesia, memuat berita tentang PRD. Koran ini dibagikan pada peserta mimbar bebas di Kantor PDI (Pusat Partai Demokrasi Indonesia).
Berita ini ternyata terus bersambung beberapa hari selanjutnya. Isinya memuat sejarah PRD, aksi PRD di Surabaya dan kota-kota lainnya, serta mencap PRD sebagai reinkarnasi Partai Komunis Indonesia.
.
.
Kami menyadari bahwa kami tidak dapat bersembunyi terus di rumah Gomar. Kami harus kabur ke daerah terpencil. ”Tetapi bagaimana caranya? Nama dan fotoku tersebar di mana-mana”, pikirku.
Dari kurir kami yang bernama Ndaru kami mengetahui bahwa Romo Sandyawan mendirikan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Tim ini bertujuan untuk membantu para korban Kerusuhan 27 Juli.
Aku lalu meminta Ndaru untuk menghubungi Johnson Panjaitan, seorang pengacara dan aktivis buruh.
Pagi itu Bang Johnson membawa kami ke Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Kami disembunyikan di kamar salah seorang pegawai di sana. Dari kamar persembunyian kami melihat helikopter terbang rendah di atas kami.
Kurniawan saat itu berkata, ”Mereka sedang memburu-buru kita.” Kami pun tersenyum pahit.
Sore harinya Romo Sandyawan menjemput kami di STF Driyarkara. Dia menunjukan sejumlah koran. Ada wajahku terpampang di sana. ”Sepertinya mereka menjadikanku buronan nomor satu”, pikirku.
Kami tak bisa mengandalkan berita yang kami lihat di TV atau di radio. Andalan kami hanyalah Ndaru sebagai kurir kami.
Setiap info sungguh berharga, dan tiap ada info sesedikit apapun tentang anggota-anggota PRD maupun tentang kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya,
kami anggap ada harapan untuk menyalakan api perlawanan sampai rezim diktator Soeharto terbakar. Itulah oxygen yang membuat kami menolak untuk menyerahkan diri.
Oxygen lain yang juga ikut menghidupiku dalam ruang pengap itu adalah sebuah buku.
Ya, tepatnya sebuah buku novel. Kebetulan, selama pelarian itu aku sempat membawa buku novel berjudul Orang-Orang Sisilia karya Mario Puzo. Novel tersebut mengisahkan Salvatore ”Turi” Giuliano, seorang pemuda desa yang diburu oleh carabinieri (polisi) Italia dan mafia-mafia.
Turi dan kawan-kawannya diburu untuk kejahatan yang tak pernah mereka lakukan.
.
.
Cerita diatas saya kutip dari buku Anak-Anak Revolusi tulisan Budiman Sudjatmiko. Itu adalah cerita dari kejadian yang sebenarnya tentang gambaran bagaimana sosok otoriter yang
pernah berkuasa lebih dari 30 tahun di negeri ini memerintah. Selalu tentang penggunaan aparat demi mempertahankan posisinya.
Sepertinya, tak perlu lagi ya kita berpolemik tentang Jokowi yang otoriter. Tak ada kejadian seperti yang Budiman pernah alami menimpa.
Dengan menggunakan kekuatan aparat, Orde Baru selalu memberangus siapa pun yang tak sepakat dengannya.
Bila masih tetap ngéyél, jadilah dia antek PKI dan pasal Subversif segera dituduhkan padanya.
"Trus apa jawaban pak Presiden menanggapi krtitikan itu?"
Seperti biasa, beliau hanya tertawa.
"Ya memang tidak ada. Yang pertama saya ingin sampaikan ya, awal-awal kan banyak yang menyampaikan, katanya saya kan ndeso, gitu ya. Ada yang menyampaikan itu, presiden ndeso, presiden klemar-klemer tidak tegas.
Eh, begitu kita menegakkan UU (Ormas) balik lagi, loncat menjadi otoriter, menjadi diktator." kata Jokowi sambil tersenyum lalu menambahkan.
" Jadi yang benar yang mana? Yang klemar-klemer, yang ndeso atau yang diktator, atau yang otoriter?"
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Iya, anda punya sejarah alergi terhadap obat tertentu seperti antibiotik penisilin, atau obat pereda nyeri seperti aspirin dan ibuprofen misalnya?" tanya dokter muda yang masih kelihatan energik meski telah
melayani ratusan peserta vaksinasi itu melanjutkan pertanyaannya.
.
.
Itu sepenggal cerita saat beberapa waktu yang lalu saya menjalani vaksinasi massal di sebuah Rumah Sakit.
Dokter hanya bertanya berapa umur saat ini dan riwayat kesehatan kita di masa lalu sekaligus adakah alergi terhadap jenis obat tertentu. Dokter tidak bertanya adakah ibu kamu orang terkenal, kaya atau miskin apalagi masih jomblo atau sudah laku.
Siapakah yang justru dalam refleksnya marah-marah ketika dia menendang gelas yang tergeletak di lantai? Biasanya adalah mereka yang memiliki kasta tinggi dalam komunitas itu. Bila di keluarga, bisa ayah, ibu atau kakak tertua.
Kenapa mereka justru marah, mereka tahu aturan main di mana seharusnya gelas itu ditaruh. Dengan mudah mereka sering memindahkan pokok perkara dengan mengabaikan bahwa faktor ketidak hati-hatiannya lah penyebab dari drama itu muncul.
Pun pada Haris Azhar ketika menjadi kuasa hukum Rocky Gerung dalam perkara sengketa kepemilikan tanah melawan PT Sentul City, dia tak sibuk mencari tahu kenapa RG menendang gelas itu tapi justru mencari cari kesalahan pemilik gelas itu.
Kemenangannya dalam pilpres 2014 yang lalu dimaknai sebagai merebut ruang kerja, bukan kekuasaan. Kerja, kerja dan kerja tiba-tiba menjadi ajakan pertamanya pada semua menterinya, dan mereka terseok lunglai kehabisan nafas.
Kita memang kaya dengan politisi. Negeri kita penuh sesak dengan orang pandai berbicara, apalagi tentang surga. Sumber daya manusia kita dibidang itu memang luar biasa hebat.
Disisi lain, negeri kita sangat subur. Alam milik kita berlimpah ruah dengan kekayaan yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Gemah ripah loh jinawi.
Secara hukum PKI adalah organisasi terlarang. TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 adalah aturan hukumnya. Hal itu harus kita taati bersama ketika HUKUM ADALAH SEBAGAI PANGLIMA.
Kita dpt berdebat panjang lebar, adakah peristiwa '65 adlh setting ORDE BARU demi rebut merebut kekuasaaan.
Kedepannya kita dapat mencari tahu secara lebih terbuka manakala tak ada lagi saling dendam antara kita. Kita masih tersandera dengan banyak hal tak terungkap atas peristiwa itu.Dia adalah organisasi dengan paham kuno yang tak lagi dapat digunakan.
Dia sudah tak compatible dengan cara hidup modern saat ini.
.
.
Bisa dibilang, hanya tinggal satu negara saja yang masih memakai paham itu secara murni yakni Korea Utara. Lantas, masuk akalkah bila pemerintah sering dituduh sedang membuat arah menuju kesana?
Ketika pertanyaan itu harus dijawab Budiman Sudjatmiko, ini tentu memiliki dimensi yang menarik. Kita tahu bahwa sosok itu adalah salah satu "jenderal lapangan"
dalam banyak demo mahasiswa manakala harus melawan rezim totaliter Orde Baru pada era tahun 90an.
.
.
Perspektifnya penting. Pengalamannya pada perlawanan terhadap rezim yang dianggap totaliter itu seharusnya akan memberi warna berbeda.
Dia pernah divonis 13 tahun penjara oleh Soeharto karena aktivitas demonya.
.
.
Menjadi masalah adalah ketika posisinya juga sebagai kader PDIP sama dengan Jokowi. Dapatkah netral menjadi bagian dirinya?