"Iya, anda punya sejarah alergi terhadap obat tertentu seperti antibiotik penisilin, atau obat pereda nyeri seperti aspirin dan ibuprofen misalnya?" tanya dokter muda yang masih kelihatan energik meski telah
melayani ratusan peserta vaksinasi itu melanjutkan pertanyaannya.
.
.
Itu sepenggal cerita saat beberapa waktu yang lalu saya menjalani vaksinasi massal di sebuah Rumah Sakit.
Dokter hanya bertanya berapa umur saat ini dan riwayat kesehatan kita di masa lalu sekaligus adakah alergi terhadap jenis obat tertentu. Dokter tidak bertanya adakah ibu kamu orang terkenal, kaya atau miskin apalagi masih jomblo atau sudah laku.
Pada semua pertanyaan itu, masalah paling penting adalah sejarah kesehatan kita dimasa lalu berikut sejarah alergi. Itu harus kita jawab dengan jujur. Tak boleh dikurang atau ditambah.
Itu terkait bila terjadi komplikasi atas vaksinasi dan jenis tindakan seperti apa yang harus dilakukan. Dan maka data riwayat tersebut penting.
Jujur pada sejarah kesehatan kita di masa lalu mutlak diperlukan. Anda yang alergi pada penisilin dan menutupinya hanya akan membuat celaka.
Antibiotik dengan bahan dasar penisilin misalnya yang seharusnya menolong kini justru akan makin memperparah tubuh anda yang sedang sakit manakala anda tak memberi data dengan jujur dan ternyata alergi pada jenis obat itu.
.
.
"Adakah hal yang sama dapat dikaitkan dengan sejarah kita sebagai bangsa?"
Penyakit terparah kita sebagai bangsa saat ini adalah perilaku korup banyak para pejabatnya. Ketika mereka yang seharusnya bekerja sebagai tukang cuci justru penuh berlumur debu dan lumpur,
pantaskah bersih cucian ingin kita dapatkan?
.
.
Dan maka KPK dibuat. Tapi ternyata lembaga yang merangkap kerja Polisi dan Jaksa itu lagi-lagi tak berfungsi. Tak ada bukti signifikan bahwa lembaga berbiaya sangat mahal itu mampu mengurangi tindak korupsi di negeri ini.
Sama dengan sangsi bu Mega pada kinerja aparat Kejaksaan dan Kepolisian saat itu dan maka KPK perlu dibentuk, ternyata mencari sosok yang tak berbalut debu dan lumpur adalah mustahil pada negeri ini. Pada KPK pun hal yang sama kembali terjadi.
Selalu dan selalu masalah yang muncul adalah tak tersedianya bahan yang bagus apalagi bersih.
.
.
Ketika kenapa terungkap dalam tanya, jujur kita pada sejarah masa lalu harus pula berani kita ungkap bukan?
Bukankah para pejabat yang duduk pada posisi tertentu sejak reformasi hingga hari ini dalam rentang umur adalah generasi yang terdidik dan terbentuk ketika rezim terkorup di dunia itu eksis?
Artinya, ada generasi terbiasa dengan budaya korup karena selama lebih dari 30 tahun keseharian kita korup adalah sesuatu yang wajar.
Bukankah istilah uang rokok sangat familiar pada periode tertentu? Buat KTP, ada selipan uang itu. Bikin SIM hingga
Surat Keterangan apa pun selalu terkait dengan selipan semacam itu bukan?
.
.
Ketika itu semua telah menjadi keseharian, batasan baik dan buruk pun menjadi semakin tipis. Tercipta ruang abu-abu yang semakin lebar bagi wilayah putih dan hitam.
Perilaku korup telah mendarah daging dan kita terlarut dalam turut menjadi bagiannya. Korup sebagai kebiasaan pun masuk pada banyak ranah. Skripsi beli. Gak naik kelas pindah terbang. Ijasah sarjana tersedia dalam ragam yang luar biasa. Intinya,
tak ada yang tak bisa dibuat di negeri ini selama ada duit. Dan luar biasanya adalah kita bisa menerima semua itu dalam bingkai kewajaran. Alah bisa karena biasa. Witing tresna jalaran saka kulina.
.
.
Dan itu semua tak bisa dilepas karena sebab curiga banyak pihak atas adanya korupsi besar-besaran pada penulisan sejarah nasional kita. Sialnya, selama 30 tahun lebih kita diberi makan dari cerita itu.
Apa yang kemudian menjadi benar adalah apa yang selalu diajarkan dan kemudian diterima sebagai kebenaran.
.
.
Selama lebih dari 30 tahun Orde Baru telah banyak menyuntikkan banyak paham yang diperbarui sesuai versinya pada pondasi bangunan kebangsaan kita dan banyak dari kita mengatakan bahwa itulah sejarah yang benar.
Kita percaya bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun tapi tak peduli bahwa VOC adalah entitas perusahaan. Kita tak peduli bahwa Daendels adalah kepanjangan tangan Perancis. Kita juga tak mau pusing dengan Raffles yang adalah bentuk kehadiran Inggris pada negara ini.
Kita disodori bahwa para pahlawan daerah mulai dari Pangeran Diponegoro hingga tuanku Imam Bonjol pantas menerima gelar itu hanya karena berani melawan Belanda.
Kita tak diajarkan menjadi kritis sehingga banyak pemberontakan dari sesama anak bangsa dalam DI/TII, PRRI, PKI, RMS Permesta dan banyak lagi yang lain yang hanya dilihat dari sisi makarnya saja. Selalu hanya tentang perebutan kekuasaan dan maka mereka adalah penjahat.
Semua pelajaran itu kita terima begitu saja sebagai sebuah fakta sejarah tanpa mencoba memberi sandingan buku yang lain demi kritis anak bangsa.
Sejak awal apa yang ditulis dalam banyak buku pelajaran sejarah hanya melulu soal si baik melawan si jahat dan maka keturunan si jahat (versi penguasa) akan kita musuhi selamanya.
.
.
Sama seperti kita selalu menyentuh hanya hal baik, hanya hal yang menguntungkan manakala sedang bercerita tentang keluarga kita, demikianlah sepertinya sejarah bangsa ini ditulis.
Cerita tentang cela kita, kita tutup rapat dan cerita prestasi kita, kita tulis dengan huruf kapital. Itu bukan sejarah, itu narsis.
Kita lupa bahwa baik dan buruk bukan tujuan dari sejarah. Sejarah adalah potret. Dia apa adanya.
Dia bercerita tentang fakta bukan drama dengan setting. Dia obyektif tak boleh tersisipi pesan sebagai tendensi.
Sejarah adalah bahan mentah yang apa adanya. Dia bukan dikonstruksikan utk menjadikan kita menjadi orang baik atau buruk. Itu wilayah filsafat, agama & budi pekerti.
Korup kita dalam menuliskan sejarah adalah pondasi sempurna bagi budaya korupsi pada banyak kehidupan kita yang lain.
Korup penulisan sejarah penguasa Orde Baru telah membuka pintu korupsi bagi dirinya. Kekuasaannya yang demikian besar tak terlepas dari ditutupnya pintu kebenaran bagi fakta sejarah selain yang diijinkannya. Tak ada hal yang mustahil bagi pemilik kekuasaan sebesar itu.
Dia mampu menjadi apa saja yang dia ingin. Dan itu bermula dari tindakannya memanipulasi sejarah.
.
.
Bukankah bila bapak suka judi maka anak tak akan jauh dari kebiasaan itu? Ketika budaya korupsi telah dimulai dari dia yang duduk pada posisi tertinggi,
mereka yang lain hanya soal waktu saja. Dan itu bermula dari tindakannya memanipulasi sejarah. Dan kita ternyata adalah produk dari didikan sejarah yang seperti itu.
.
.
"Perlukah sejarah kebangsaan kita ditulis ulang?"
Sama dengan bertanya kamu punya sejarah alergi terhadap obat tertentu harus dilakukan oleh seorang dokter, dia yang pantas menulis sejarah adalah orang dengan spesialisasi penulisan semacam itu.
Mungkin tak perlu narasi "menulis ulang sejarah" harus kita buat. Menulis ulang sejarah bukan seperti pekerjaan merobohkan dan kemudian mendirikan rumah baru sebagai ganti yang lama. Sejarah bukan bangunan seperti itu.
Dia hanya perlu diluruskan bila belok cerita yang terkandung di dalamnya tak sesuai fakta apalagi demi sebuah kebutuhan politik orang tertentu. Sejarah harus netral tak berpihak sehingga selalu "up to date" sebagai bahan dasar sebuah rujukan.
.
.
Di luar sana ada cukup banyak penulis yang telah mencoba menggali sejarah dengan idealisme cukup. Dengan dana pribadi mereka merêka ulang fakta sejarah dengan menggali cerita dari para pelaku sejarah yang kemarin tak turut ditanya.
Disana juga ada seorang antropolog yang memulainya dengan menggali cerita dari koin (mata uang kerajaan kuno) yang tak bersuara namun berbicara banyak. Ilmu itu numismatik namanya.
Konon, demi mencari kebenaran sejarah dengan cara mendengarkan koin itu bercerita tentang betapa beratnya beban yang pernah disandang betapa lelahnya koin-koin itu menyembunyikan sebuah rahasia yang sengaja dibungkam butuh dana tak sedikit.
Dan disana, melalui koin-koin itu, wajah Majapahit, Sriwijaya, Aceh hingga Kutai menampakkan wujud sesungguhnya dalam besar dan pengaruhnya.
Pemerintah sudah selayaknya mulai peduli.
"Sudah sangat mendesak kah?"
Tulisan jujur dan apa adanya pada sejarah kita mungkin akan menampar banyak pihak. Namun, sesungguhnya itulah yang kita butuhkan.
Kebenaran kadang terlalu menyakitkan bahkan menakutkan. Bercerita dengan jujur pada seorang dokter tentang sejarah
penyakit kita dimasa lalu meski itu sangat memalukan adalah mutlak. Dokter menjadi tahu apa obat yang paling aman sekaligus terapi paling sesuai yang dapat diberikan demi kesembuhan pasien.
.
.
Hal seperti itu berlaku bagi kita sebagai bangsa. Sepahit apapun sejarah masa lalu kita, bercerita jujur dalam kebenaran fakta akan mendukung cara cepat bangsa ini berlari. Terlalu banyak beban berat yang tak perlu dan hingga hari ini masih harus selalu dibawa oleh bangsa ini.
Yang jelas, ketika negara ini masih terjerat dalam senang menyimpan perkara, meski dengan alasan klasik demi ini dan itu, kita akan tetap terlihat pincang. Bangsa kita tak akan pernah dalam kondisi fit. Akan selalu terjebak pada banyak kompromi tak sehat.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Fahri Hamzah pernah berucap bahwa Jokowi diktator. Alasannya adalah karena Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Fahri mengatakan, dari sisi penampilan dan wajah Jokowi jelas tidak terlihat sebagai seorang diktator.
Akan tetapi, kebijakan penerbitan Perppu Ormas, menurut Fahri, secara tidak langsung menunjukkan sisi otoriter Jokowi.
"Dia membuat Perppu bukan undang-undang. Dan dia buat pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah tunjuk jari dan membubarkan satu lembaga, menghilangkan kebebasan," kata Fahri.
Siapakah yang justru dalam refleksnya marah-marah ketika dia menendang gelas yang tergeletak di lantai? Biasanya adalah mereka yang memiliki kasta tinggi dalam komunitas itu. Bila di keluarga, bisa ayah, ibu atau kakak tertua.
Kenapa mereka justru marah, mereka tahu aturan main di mana seharusnya gelas itu ditaruh. Dengan mudah mereka sering memindahkan pokok perkara dengan mengabaikan bahwa faktor ketidak hati-hatiannya lah penyebab dari drama itu muncul.
Pun pada Haris Azhar ketika menjadi kuasa hukum Rocky Gerung dalam perkara sengketa kepemilikan tanah melawan PT Sentul City, dia tak sibuk mencari tahu kenapa RG menendang gelas itu tapi justru mencari cari kesalahan pemilik gelas itu.
Kemenangannya dalam pilpres 2014 yang lalu dimaknai sebagai merebut ruang kerja, bukan kekuasaan. Kerja, kerja dan kerja tiba-tiba menjadi ajakan pertamanya pada semua menterinya, dan mereka terseok lunglai kehabisan nafas.
Kita memang kaya dengan politisi. Negeri kita penuh sesak dengan orang pandai berbicara, apalagi tentang surga. Sumber daya manusia kita dibidang itu memang luar biasa hebat.
Disisi lain, negeri kita sangat subur. Alam milik kita berlimpah ruah dengan kekayaan yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Gemah ripah loh jinawi.
Secara hukum PKI adalah organisasi terlarang. TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 adalah aturan hukumnya. Hal itu harus kita taati bersama ketika HUKUM ADALAH SEBAGAI PANGLIMA.
Kita dpt berdebat panjang lebar, adakah peristiwa '65 adlh setting ORDE BARU demi rebut merebut kekuasaaan.
Kedepannya kita dapat mencari tahu secara lebih terbuka manakala tak ada lagi saling dendam antara kita. Kita masih tersandera dengan banyak hal tak terungkap atas peristiwa itu.Dia adalah organisasi dengan paham kuno yang tak lagi dapat digunakan.
Dia sudah tak compatible dengan cara hidup modern saat ini.
.
.
Bisa dibilang, hanya tinggal satu negara saja yang masih memakai paham itu secara murni yakni Korea Utara. Lantas, masuk akalkah bila pemerintah sering dituduh sedang membuat arah menuju kesana?
Ketika pertanyaan itu harus dijawab Budiman Sudjatmiko, ini tentu memiliki dimensi yang menarik. Kita tahu bahwa sosok itu adalah salah satu "jenderal lapangan"
dalam banyak demo mahasiswa manakala harus melawan rezim totaliter Orde Baru pada era tahun 90an.
.
.
Perspektifnya penting. Pengalamannya pada perlawanan terhadap rezim yang dianggap totaliter itu seharusnya akan memberi warna berbeda.
Dia pernah divonis 13 tahun penjara oleh Soeharto karena aktivitas demonya.
.
.
Menjadi masalah adalah ketika posisinya juga sebagai kader PDIP sama dengan Jokowi. Dapatkah netral menjadi bagian dirinya?