Islam itu ribet. Itu yang kita lihat pada Islam saat ini. Sedikit-sedikit haram. Semua dilarang. Mau makan saja repot, mau bergaul dengan orang lain yang tak seiman juga repot. Apa benar begitu?
Islam tak seharusnya menjadikan kita pribadi yang ribet. Islam itu melaksanakan ibadah sesuai Rukun Islam, lalu hidup dengan aturan: tidak makan babi, darah dan bangkai, tidak minum miras, tidak judi, tidak zina. Dan itu tidak ribet.
Untuk menjadi Islam itu simpel yaitu sesuai hadis Nabi, "Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan".
Orang Islam itu tidak ribet. Bergaul dengan siapapun juga tidak ribet. Kerja di mana saja bisa. Hanya saja, di waktu salat, orang Islam “break” sebentar untuk melakukan salat. Itupun tak harus di musala, tak harus disediakan tempat wudhu.
Jika tak ada tempat wudhu, ya tayamum, tak perlu memaksakan diri wudhu di wastafel dan membasuh kaki dengan angkat kaki di wastafel. Pilih tayamum saja. Jangan dipersulit.
Salat di trotoar, di tangga darurat, di pesawat, di mobil, semua bisa. Jika sedang ada hal yang tak bisa ditinggal, maka salat bisa di-jama’. Selama ada alasan untuk jama’, ya jama’ saja.
Salat itu jangan dipersulit. Mudahkan. Yang penting dilaksanakan. Jangan ditinggalkan. Itulah Islam. Perbedaan yang paling terlihat saat muslim bergaul dengan siapapun, ya di masalah salat itu.
Saya termasuk orang yang “menggampangkan” salat. Menggampangkan, bukan meninggalkan.
Kalau kita di wilayah yang bisa membuat musala atau bahkan masjid, ya alhamdulillah. Tapi kalau tak bisa ya tidak masalah, kita tetap salat, apapun yang terjadi. Salat itu dirancang untuk bisa dilakukan di mana saja.
Begitu juga saat puasa Ramadan. Bahkan misal di lingkungan yang semua orang tak berpuasa, ya kita puasa sendiri, tak perlu menuntut yang lain menghormati puasa kita. Begitulah puasa, kita harus bisa menahan diri tanpa orang lain harus tahu bahwa kita sedang puasa.
Bagaimana jika kita bekerja di sebuah pekerjaan yang kita tak mungkin kuat berpuasa? Ya tak perlu berpuasa. Kita bisa mengganti di lain hari atau dengan membayar fidyah. Orang yang memang tak bisa puasa, jangan dipaksa puasa. Justru harus kita ajari solusinya.
Kalau kerjanya memang mengandalkan fisik dan di bawah terik matahari, tentu mereka boleh tak puasa. Kasih tahu solusinya seperti apa. Salah satunya adalah fidyah. Di Quran jelas sekali bahwa puasa Ramadan itu wajib namun juga ada solusi bagi yang tak bisa melakukannya.
Banyak orang yang akhirnya menjauh dari agama hanya karena saat Ramadan tak bisa puasa.
Karena tak bisa puasa, merasa tak bisa jadi muslim yang baik, lalu sekalian tak melakukan salat.
Lihat saja, jarang sekali diajarkan tentang bagaimana bayar fidyah untuk gantikan puasa.
Pekerja fisik yang mereka sulit berpuasa harusnya diberi solusi. Bukan dirazia saat mereka harus makan di warung.
Razia warung seperti itu malah membuat mereka merasa bukan bagian dari orang muslim. Mereka tersisih, lalu memilih untuk menjauh dari agama.
Bersyukurlah Anda yang bisa berpuasa sambil tetap kerja di kantor ber-AC. Tapi ayo beri solusi kepada SIAPAPUN untuk ber-Islam tanpa ribet. Banyak saudara kita harus kerja di jalanan, di pabrik, di pelabuhan dan di bawah teriknya matahari. Kalau tak kuat puasa ya carikan solusi.
Dengan penafsiran baru tentang Islam masa depan, Islam akan menjadi agama yang asik dan tidak ribet. Tak ada lagi Islam yang menolak berkembangnya peradaban. Tak ada lagi yang mengatasnamakan Islam lalu menggunakan kekerasan. Islam itu menata diri, bukan menata orang lain.
Berdakwah? Tentu. Namun dakwah Islam harus sepenuhnya sesuai dengan kesepakatan yang ada di manapun kita berada. Aturan yang sudah ada di sebuah negara harus dihormati.
Umat Islam itu mewarnai budaya yang ada, bukan memaksakan budaya masa lalu ke dalam kehidupan sekarang.
Islam tak lagi serba-mengharamkan suatu budaya yang sudah ada. Islam bisa membaur dengan segala macam budaya. Islam tetap bermusik, Islam tetap menjalankan budaya tradisional setempat, Islam tetap berolahraga, Islam tetap berkarya dan berprestasi, di manapun kita berada.
Islam bukan agama yang menutup diri dari sistem pergaulan dunia. Islam bukan budaya yang hidup dalam impian utopis kembali ke budaya masa lalu yang justru hanya membuat Islam terpinggirkan di kehidupan yang terus berkembang.
Islam rahmatan lil alamin adalah ketika umat Islam bisa memberikan kebaikan dengan akhlaknya di manapun dia berada. Apapun sistem sosial yang sudah disepakati di sebuah negara, di situ umat Islam memberikan pengaruh yang baik. Apapun sistemnya, Islam menjadikan itu lebih baik.
Di saat umat Islam bisa seperti itu, saat itulah Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dengan cara seperti itulah Islam akan disebut sebagai agama yang penuh kedamaian.
"Islam agama damai" tak lagi menjadi klaim sepihak, namun akan disematkan oleh seluruh penduduk dunia.
-Saatnya Berubah-
Coba perhatikan pemikiran Islam yang ada saat ini. Sejauh ini belum ada tokoh Islam yang berani (atau memang belum terpikir) bahwa hukum syariah dalam kehidupan bermasyarakat itu sebenarnya tidak ada.
Kebanyakan tokoh agama yang moderat pun masih ragu antara menjalankan sebagian syariah yang masih mungkin dijalankan namun menyadari bahwa sebagian ajaran syariah yang tak lagi masuk akal untuk dijalankan. Dalil pun "dipilih" ada yang dipakai ada yang tidak.
Jika kita umat Islam, tak berani secara lantang menyuarakan perubahan, kita akan terus diliputi keraguan karena Islam tak mungkin bisa diterima logika jika masih memaksakan sistem syariahnya untuk urusan hablumminannas. Tanpa perubahan, Islam pasti akan ditinggalkan.
Di masa depan, akan tetap ada perbedaan pendapat. Berbagai aliran dalam Islam juga akan tetap ada. Misalnya bacaan salat NU dan Muhammadiyah tetap beda. Jumlah rakaat salat tarawih juga tetap beda, namun untuk urusan dunia, sama-sama menyandarkan pada kesepakatan masyarakat.
Di masa depan, Islam itu keren, asik namun justru lebih terbiasa dengan perbedaan. Baik berbeda dengan agama lain maupun berbeda pendapat dengan sesama muslim. Berbeda pendapat tentu tak masalah yang penting jangan meninggalkan ibadah.
Sudah saatnya kita berani berubah untuk menatap Islam di masa depan? Mau tunggu apa lagi?
Saya tak akan membahas bukti ilmiah keberadaan Tuhan seperti tuntutan para penganut atheisme karena memang itu tak bisa dibuktikan. Tapi justru saya harus akui bahwa saya adalah salah satu dari 90% penduduk bumi yang percaya bahwa Tuhan itu ada.
Keberadaan Tuhan pasti akan disangkal bagi orang yang menomorsatukan logika dan bukti ilmiah. Namun, bagi saya yang percaya bahwa Tuhan itu ada, keberadaan Tuhan itu kepentingan diri saya. Saya memeluk agama itu untuk mengatur saya, bukan untuk mengatur orang lain.
Saat Nabi bersabda tentang siwak sebagai pembersih gigi, lalu ada yang mencatat dan memasukkan itu dalam buku hadis, tiba-tiba siwak menjadi ajaran agama. Sekarang masih banyak yang anggap siwak adalah sunnah yang harus diikuti. Salah kaprah!
Bagaimana jika saat Nabi bicara, “Kalau keluar kota naiklah unta,” lalu ada yang mencatat dan memasukkan sabda itu dalam buku hadis? Apakah naik unta jadi ajaran agama?
Atau misal saat Nabi bicara, “Kalau masak, pakailah kayu bakar dari kayu apel karena kayu apel adalah kayu paling bagus,” lalu sabda Nabi itu dicatat dan masuk buku hadis, apakah lalu kita harus ikut memasak memakai kayu bakar karena itu kita anggap sunnah Nabi dan ajaran agama?
Tahukah Anda bahwa umat Islam selalu ditakut-takuti (oleh orang Islam sendiri) untuk tidak membaca makna Quran. Membaca Quran terjemahan seperti dilarang. Apalagi menafsirkan sendiri.
Akhirnya Quran hanya jadi semacam mantra yang tak dipahami umatnya.
Islam itu diturunkan untuk jadi agama sampai akhir zaman dengan Quran sebagai petunjuknya. Namun, untuk urusan fiqih saja kita semacam dilarang keluar dari tafsir 4 mazhab yang ditulis 12 abad lalu.
Empat imam mazhab itu berjasa telah mengantarkan Islam hingga saat ini. Namun untuk ke depan, kita punya Quran untuk kita jadikan petunjuk ke masa depan. Penafsiran zaman dulu tentu sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Apa lagi masa depan.
Saya org Islam. Dan secara moral saya ikut bertanggung jawab atas tindakan teroris di Sigi.
Jelas teroris itu beragama Islam dan berbuat jahat atas nama Islam, agama saya.
Saya rela dicaci oleh yg dirugikan atas perbuatan para teroris itu. Maaf baru sebatas itu yg saya bisa.
Misal saya bertemu keluarga korban, saya mau bersujud di kakinya untuk minta maaf. Saya serius.
Mungkin byk yg tahu bahwa Islam yg saya yakini tak seperti mereka, tapi saya malu atas tindakan mereka karena jelas bawa nama Islam. Dan saya malu karena saya tak bisa berbuat apa2 terhadap mereka ataupun mencegah mereka.
Maka dari itu saya minta maaf kepada semua yg dirugikan.
Sunnah secara bahasa artinya metode, atau jalan, atau ketentuan. Jika kita ditanya mana yang lebih tinggi sunnatullah atau sunnah rasul? Tentu jawabannya sunnatullah. Lalu hukum Islam itu termasuk sunnatullah atau sunnah rasul?
Saya pernah melihat sebuah foto yang menunjukkan mahasiswa sedang demo dengan membawa spanduk bertuliskan: "Numpang hidup di bumi Allah, harus patuh pada aturan Allah." Sekarang, mari kita gali lebih dalam, sebenarnya "aturan Allah" itu aturan yang mana?
Apakah aturan Allah itu maksudnya adalah agama Islam? Bukan! Agama Islam itu dalam lingkup sunnah Rasul atau aturan yang dibawa Nabi Muhammad saw. Sedangkan sunnatullah, alias ketentuan Allah, alias hukum Allah, itu jauh lebih luas dari agama Islam.
Dari mempersulit pembangunan rumah ibadah hingga meributkan acara ibadah yg dilakukan di luar rumah ibadah. Kejadian itu tampaknya makin sering terjadi. Yang perlu Anda tahu, itu bukan ajaran Islam, bahkan melanggar ajarannya. Saya coba bahas.
Pertama, perintah AlQur'an dan hadits agar umat Islam berbuat adil itu sangat jelas.
Lalu kenapa saat umat agama lain ibadah di mall, di ruko, di rumah, kok diributkan? Bangun rumah ibadah dipersulit.
Padahal umat Islam sendiri boleh beribadah dan bikin acara agama kapanpun dan di manapun tanpa ada yang melarang. Bangun musholla dan masjid di manapun bisa.
Itu jelas tidak adil. Dan jelas melanggar ajaran agama Islam itu sendiri.