Ini yang disebut sebagai “bystander effect”, suatu fenomena ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, tetapi orang-orang di sekitar tidak ada yang membantu. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban.
Masalahnya, karena semua orang memikirkan hal yang sama, akhirnya tidak ada orang yang menolong sama sekali. Oleh karena itu, fenomena ini disebut “bystander” karena orang-orang tersebut hanya menonton korban meminta tolong sambil berharap orang lain akan membantunya.
Menurut psikologi sosial, seseorang akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan jika tidak ada orang lain di sekitarnya. Sebaliknya, jika ada banyak saksi mata, seseorang cenderung mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk menolong.
Hal ini disebabkan ia merasa bukan satu-satunya orang yang ada di tempat tersebut, juga merasa banyak orang di sekelilingnya yang bisa membantu. Teori ini dikemukakan pada 1964 sebagai hasil dari peristiwa yang dialami Catherine Genovese di rumahnya. fs.blog/2009/11/video-…
Ia diserang dan dibunuh di depan apartemennya. Jeritan Genovese membangunkan 38 tetangganya. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berani untuk menolongnya, bahkan tak ada yang melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
Penelitian ini juga menarik untuk dibaca (dalam bahasa Indonesia): bit.ly/3Bg7LYr
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Selama dua minggu terakhir, di tengah tuntutan tesis, saya “iseng-iseng” melanjutkan kursus bahasa Prancis yang sempat tertunda selama 13 tahun. Saya belajar bahasa Prancis sewaku SMA saja.
Kebetulan, di sekolah ada pelajaran bahasa asing lain selain bahasa Inggris. Setelah lulus SMA, saya tidak pernah mempelajari bahasa itu lagi secara formal. Jadi, kemampuan saya betul-betul berdasarkan ingatan sewaktu SMA saja.
Saya bisa bilang, saya memang suka “belajar”, khususnya belajar bahasa. Namun, lebih dari itu, saya selalu suka mempelajari hal baru.
Tak jarang, mahasiswa saya pun berkeluh kesah terhadap beberapa dosen yang tak kunjung membalas pesan mereka dan akhirnya semuanya terasa “serbasalah”.
Maksudnya, kalau ditanya lagi, takutnya dosen yang bersangkutan “baper” (kesannya si mahasiswa tidak sabar), tetapi kalau “pasrah” saja, siapa yang tahu kapan beliau akan (atau mau) membalas?
Seperti yang saya janjikan, silakan bergabung kalau tertarik. Kelas ini sepenuhnya gratis (sayang Zoom-nya tidak terpakai). Kapasitas tiap sesi 500 orang. Mulai Kamis, 6 Mei 2021.
Ada yang pernah berpikir begitu? Atau, misalnya, kenapa harus hip-hop? Kenapa bukan hop-hip? Atau kenapa zig-zag, bukan zag-zig? Atau ... tip-top, bukan top-tip? Ping-pong, bukan pong-ping? Chit-chat, bukan chat-chit?
Kadang, pertanyaan-pertanyaan semacam ini melintas secara tiba-tiba tengah malam, dan ya ... akhirnya saya enggak bisa tidur dan mencoba mencari tahu karena saya enggak suka dengan jawaban “terima saja, memang sudah dari sananya”.
Ternyata jawabannya memang berkaitan erat dengan linguistik.
Hal semacam ini memang merupakan bentuk reduplikasi dalam bahasa Inggris. Namun, sebagian besar orang memang tidak mempertanyakan ini, apalagi penutur jati bahasa Inggris itu sendiri.