Selama dua minggu terakhir, di tengah tuntutan tesis, saya “iseng-iseng” melanjutkan kursus bahasa Prancis yang sempat tertunda selama 13 tahun. Saya belajar bahasa Prancis sewaku SMA saja.
Kebetulan, di sekolah ada pelajaran bahasa asing lain selain bahasa Inggris. Setelah lulus SMA, saya tidak pernah mempelajari bahasa itu lagi secara formal. Jadi, kemampuan saya betul-betul berdasarkan ingatan sewaktu SMA saja.
Saya bisa bilang, saya memang suka “belajar”, khususnya belajar bahasa. Namun, lebih dari itu, saya selalu suka mempelajari hal baru.
Jadi, bagi saya, agak aneh rasanya tiap kali saya mendapat pertanyaan: “Kak, aku telat enggak sih belajar X”, sementara usia si penanya mungkin hampir separuh usia saya.
Guys, enggak pernah ada kata terlambat mempelajari sesuatu. Pikiran bahwa “saya terlambat belajar” itu sering kali cuma alasan yang coba kita cari-cari untuk menjustifikasi bahwa kita mungkin sebaiknya tidak perlu belajar.
Pada usia saat ini, yang sebetulnya sudah “lumayan”, saya masih punya cita-cita belajar piano atau cello, bahkan flute atau saxophone. Saya masih mau belajar bahasa Spanyol, Italia, Belanda, bahkan Arab, atau Korea — entah kapan.
Saya juga masih mau belajar pemrograman, bahkan ingin mahir menggunakan Adobe Illustrator. Tak hanya itu, saya juga mau belajar masak makanan-makanan ala restoran berkelas.
Oh ya, saya belajar bahasa Rusia sewaktu usia 23, dua tahun setelah lulus kuliah. Telat? Enggak. Saya bahkan baru melanjutkan S-2 delapan tahun setelah lulus kuliah S-1, dan saya sekarang mahasiswa paling tua di kelas. Telat? Enggak. Ada masalah? Enggak, sih … biasa saja.
Kenapa harus minder? Tak hanya itu, saya bahkan baru belajar menulis secara serius pada usia 23. Sebelumnya, saya memang sudah gemar menulis, tetapi tidak pernah betul-betul memperhatikan tata bahasa atau sturktur penulisan. Telat? Enggak sama sekali.
Sementara itu, di tengah rutinitas menjawab segala pertanyaan orang-orang di media sosial seputar kebahasaan, saya pun terus belajar. Alhasil, pemahaman saya sekarang dan tahun-tahun yang lalu tentang bahasa Indonesia pun berbeda.
Belajar adalah proses berkelanjutan. Belajar itu tidak selesai hanya karena kita menyelesaikan pendidikan formal. Belajar itu memang proses seumur hidup. Lantas, mengapa harus “takut” atau minder untuk mempelajari hal baru?
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ini yang disebut sebagai “bystander effect”, suatu fenomena ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, tetapi orang-orang di sekitar tidak ada yang membantu. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban.
Masalahnya, karena semua orang memikirkan hal yang sama, akhirnya tidak ada orang yang menolong sama sekali. Oleh karena itu, fenomena ini disebut “bystander” karena orang-orang tersebut hanya menonton korban meminta tolong sambil berharap orang lain akan membantunya.
Menurut psikologi sosial, seseorang akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan jika tidak ada orang lain di sekitarnya. Sebaliknya, jika ada banyak saksi mata, seseorang cenderung mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk menolong.
Tak jarang, mahasiswa saya pun berkeluh kesah terhadap beberapa dosen yang tak kunjung membalas pesan mereka dan akhirnya semuanya terasa “serbasalah”.
Maksudnya, kalau ditanya lagi, takutnya dosen yang bersangkutan “baper” (kesannya si mahasiswa tidak sabar), tetapi kalau “pasrah” saja, siapa yang tahu kapan beliau akan (atau mau) membalas?
Seperti yang saya janjikan, silakan bergabung kalau tertarik. Kelas ini sepenuhnya gratis (sayang Zoom-nya tidak terpakai). Kapasitas tiap sesi 500 orang. Mulai Kamis, 6 Mei 2021.
Ada yang pernah berpikir begitu? Atau, misalnya, kenapa harus hip-hop? Kenapa bukan hop-hip? Atau kenapa zig-zag, bukan zag-zig? Atau ... tip-top, bukan top-tip? Ping-pong, bukan pong-ping? Chit-chat, bukan chat-chit?
Kadang, pertanyaan-pertanyaan semacam ini melintas secara tiba-tiba tengah malam, dan ya ... akhirnya saya enggak bisa tidur dan mencoba mencari tahu karena saya enggak suka dengan jawaban “terima saja, memang sudah dari sananya”.
Ternyata jawabannya memang berkaitan erat dengan linguistik.
Hal semacam ini memang merupakan bentuk reduplikasi dalam bahasa Inggris. Namun, sebagian besar orang memang tidak mempertanyakan ini, apalagi penutur jati bahasa Inggris itu sendiri.