Belakangan ini suka denger hal yg semacam ini. Beberapa orang menyebutnya Viral-Based Policy.
Sebenernya ini menunjukkan ada sistem monitoring internal organisasi yang gak berjalan dengan baik.
Maksudnya gimana?
Kita analogikan ke dalam case perusahaan.
Perusahaan punya sistem yg disebut dengan Quality Control atau Quality Assesment.
QC disini bertugas memastikan semua produk yg diproduksi perusahaan sudah memenuhi kriteria standar yg ada.
Kenapa sebuah produk perlu quality standard yg jelas?
Supaya kualitasnya tetep terjaga dan ndak berubah seiring waktu berjalan.
Itulah kenapa rasa indomie goreng yg Anda makan 10 tahun yg lalu dan hari ini rasanya tetap sama. Tetep khas dan enak.
Kualitasnya terjaga.
Menjaga kualitas penting untuk menghindari potensi komplain yg ada.
Bayangin suatu produk kalo kualitasnya gak terkontrol. Hari ini rasanya agak asin. Besok terlalu manis. Minggu depan rasanya malah hambar.
Begitu rasanya stabil, eh kemasannya jebol semua. Gak karuan.
Ketidakstabilan kualitas akan menimbulkan ketidakpuasan customer. Dan ketidakpuasan customer diekspresikan dalam bentuk komplain.
Padahal salah satu goal tiap perusahaan adalah menjaga kepuasan customer. Sehingga menangani komplain juga gak bisa sembarangan.
Perusahaan gak bisa asal keluar statement melakukan klarifikasi atas komplain customer. Biasanya divisi QC juga punya sistem sendiri dalam handling complain.
Misalnya dengan minta informasi produk itu lot atau batch numbernya berapa.
Setelah tau batch numbernya, tim QC melakukan tracing untuk mencari tau akar masalahnya dimana.
Pada proses handling kah? Pada proses produksi kah? Pada material bahan baku kah? Atau murni human error tim QC yg kelolosan melepas barang reject ke pasaran?
Ini dicari tau dulu.
Yang jelas tanggapan komplain customer ini memegang peran penting. Beberapa customer semakin loyal sama perusahaan kalo bisa manage komplain dengan baik. Artinya, keluhan mereka bener2 didengar.
Sebaliknya, kalo gagal manage komplain, mereka bisa ditinggalkan customernya.
Persoalannya saat ini adalah.... lembaga negara bukan perusahaan yg punya kompetitor.
Kalo lapor aksi kejahatan, ya ke polisi.
Kalo urus data kependudukan, ya ke dispendukcapil.
Kita gak punya opsi alternatif lain. Sehingga mau gak mau ya urusannya sama mereka.
Inilah yg menurutku jd salah satu trigger viral-based policy itu tadi. Keluhan kita bener2 didengar kalo udah viral. Kalo udah dapet sorotan publik.
Itupun belum tentu memberikan output yg memuaskan juga. Tapi tetep kita ga bisa berbuat banyak. Sebab kita ga punya opsi lain.
Menurutku, Revolusi Mental harusnya ya mulai dari sini. Reformasi pelayanan publik agar bisa jd lebih baik.
Gimana caranya sistem quality control internal mereka berjalan dengan baik TANPA harus nunggu viral dulu.
Butuh komitmen serius dari atas, mulai dari pusat sampe daerah.
Morning rants over...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Studi Kelayakan Bisnis itu meliputi banyak hal. Misalnya :
- Aspek Hukum dan Legalitas
- Aspek Ekonomi dan Budaya
- Aspek Pasar dan Pemasaran
- Aspek Manajemen
- Aspek Keuangan
Yg menarik pengen kusoroti dalam hal ini adalah aspek Pemasaran.
Aspek pemasaran dalam Studi Kelayakan Bisnis membedah :
- Sejauh mana potensi dari market tersebut?
- Siapa aja kompetitornya?
- Siapa penguasa market sharenya?
- Apakah lokasi bisnisnya strategis?
- Strategi apa yg kelak akan digunakan?
"Sombong lu mentang2 sekarang cantik."
"Ah, lu sok bener dah. Gak inget pas jaman lu masih gendut?"
Pernah denger kalimat semacam ini? Orang2 kyk gini mgkn pernah ada dlm hidup kita.
They just want to kill our self-confidence. They want to drag us into our bitter past again.
Beberapa orang mungkin punya masa lalu yg kurang menyenangkan. Dikucilkan temen sekelas. Dikerjain tiap hari. Hingga duduk sendirian di pojokan. Nangis dan jadi bahan ketawaan.
Seringkali karna faktor fisik kita yg mereka anggap gak menarik. Jelek. Gak enak dipandang.
Seiring waktu berjalan dan saat kita mulai tumbuh dewasa, mungkin tampilan fisik kita pun berubah. Kita jauh berbeda dengan sosok yg jadi olok-olok beberapa tahun silam.
Gak sedikit orang yg pangling dan gak mengenali kita. We become a whole new different person.
Gak banyak referensi yg membahas soal Kaitz Index ini, namun secara sederhana konsep Kaitz Index ini merupakan rasio dari upah minimum dibandingkan dari median upahnya.
Rumusnya :
Kaitz Index = Upah Minimum/Upah Median
Pengertian Upah Median ini apa?
Upah median merupakan nominal upah yg jumlah persisnya ada DI TENGAH-TENGAH antara upah paling kecil dan upah paling gede yg diterima seseorang.
Misal, masyarakat Indonesia nerima gaji dari range 1-10 juta rupiah.
Maka mediannya adalah 5,5 juta (pake rumus excel).
Ketika kita menentukan harga pada suatu produk, tentu kita SUDAH menghitung komponen-komponen cost yg melekat disana, baik itu fixed ataupun variable cost.
Baru selisih antara harga dan cost itu yg nanti jadi margin profit.