Melihat peredebatan di linimasa, saya teringat salah satu pernyataan Nabi
“Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”
Menegakkan hukum yang adil memang tidak mudah. Tapi bukan sesuatu yang berat. Seharusnya.
Dan saya mengakui adil itu seharusnya sejak dalam pikiran.
Guru saya sewaktu pesantren dulu mengingatkan mungkin adil itu terdengar abstrak, makanya Allah SWT menunjukkan lawan katanya: zalim.
Ya. Kedua kata itu memang berasal dari bahasa arab.
Hadits yang saya sebutkan di awal sebenarnya tidak lengkap. Asbabul wurud-nya (kisah di baliknya) sangat menarik.
Jadi gini… Ada seorang yang terbukti mencuri. Dia berasal dari keluarga terhormat dan disegani dari Bani Makhzum.
Hukumannya jelas: potong tangan. Tapi…
Tapi… keluarga dan kelompoknya keberatan. Mulai ada upaya agar hukuman itu dinegosiasikan, bahkan dibatalkan jika memungkinkan.
Mereka lalu menemui Usamah bin Zain, salah seorang sahabat yg dekat dan dicintai Rasulullah. Mereka memohon agar Usamah menghadap dan ngelobby Rasul.
Usamah kemudian beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita yang melakukan pencurian itu.
Setelah mendengarkan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”
Kemudian, beliau berdiri dan bersabda:
“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tdk menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yg mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya.”
Dan kisah itulah yang melatarbelakangi hadits di awal utas ini.
Rasul ingin menjamin tegaknya keadilan. Bahkan kalau anaknya sendiri mencuri, beliau yang akan mengeksekusi hukumannya
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Di linimasa, setiap ada kasus kejahatan yang baru diungkap ke publik, selalu muncul tanya: kok baru skrng? Kenapa nggak dilaporkan ke pihak berwajib dulu?
Nah. Di kriminologi, kami mengenal istilah viktimisasi sekunder atau viktimisasi lanjutan/berulang.
Apa sih itu?
UTAS
Secara sederhana, istilah ini merujuk pada penderitaan dan/atau kerugian yang dialami oleh korban setelah menjadi korban dari kejahatan primer.
Kejahatan primer maksudnya kejadian kejahatan yang sebenarnya terjadi.
Nah penderitaan tsb dapat berupa victim blaming yg dapat berdampak pd psikologis dan memicu trauma semakin dalam bagi korban.
Mereka yg dapat melakukan viktimisasi sekunder biasanya merupakan anggota keluarga sendiri, masy sekitar, penyedia layanan sosial, hingga penegak hukum.
Akhirnya hari ini tiba juga
Saya terkonfirmasi positif COVID-19.
Saya tidak sendiri. Kasus saya setidaknya terdiri atas 4 klaster keluarga.
Kisah ini bermula dari kakak ipar saya yang mengeluhkan meriang dan badan ngilu pada Sabtu (23/1) lalu
[UTAS]
Keesokan harinya, Minggu (24/1), kakak ipar saya meminta untuk diurut dan dikerok oleh bapak mertua. Hari Senin, ia sudah merasa sehat dan beraktivitas seperti biasa.
Di sisi lain, pada hari Sabtu (23/1) itu pula Istri mulai mengeluhkan pilek/flu, batuk dan demam.
Gejala yang dialami istri tidak mereda hingga akhirnya diputuskan untuk swab antigen pada Senin (25/1) dengan hasil negatif
Selasa (26/1), gejala mulai bertambah. Istri mulai mengeluhkan dada terasa nyeri/pegal setiap bangun tidur tapi tidak sesak.
Dlm firman-Nya, umat ini harus melakukan sosialisasi massif, membuka perspektif, dan melakukan pembatasan sebelum akhirnya perintah larangan minuman keras itu muncul
Pada masa itu, ada proses yg harus dilewati scr bertahap. Tidak bisa tiba-tiba langsung melarang begitu saja. :)
Sosialisasi Massif
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” an Nahl 67
Membuka Perspektif
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Al Baqarah 219
Artikel tersebut sudah ditulis ulang dalam bahasa Indonesia di kolom Tirto berjudul “Dua Jalan Para Habib di Tengah Politik Jakarta”
Dlm artikel tersebut, Habib dijelaskan berperanan penting sbg mediator pengalaman spiritual khususnya dalam ziarah, zikir, salawat dan ritual berjamaah lainnya.
Habib bukanlah cendekiawan dan cenderung enggan melibatkan diri pada perdebatan/diskusi. Habib itu apolitis (harusnya)