Di linimasa, setiap ada kasus kejahatan yang baru diungkap ke publik, selalu muncul tanya: kok baru skrng? Kenapa nggak dilaporkan ke pihak berwajib dulu?
Nah. Di kriminologi, kami mengenal istilah viktimisasi sekunder atau viktimisasi lanjutan/berulang.
Apa sih itu?
UTAS
Secara sederhana, istilah ini merujuk pada penderitaan dan/atau kerugian yang dialami oleh korban setelah menjadi korban dari kejahatan primer.
Kejahatan primer maksudnya kejadian kejahatan yang sebenarnya terjadi.
Nah penderitaan tsb dapat berupa victim blaming yg dapat berdampak pd psikologis dan memicu trauma semakin dalam bagi korban.
Mereka yg dapat melakukan viktimisasi sekunder biasanya merupakan anggota keluarga sendiri, masy sekitar, penyedia layanan sosial, hingga penegak hukum.
Istilah ini juga kerap secara khusus ditujukan pada perlakuan dan penanganan terhadap korban yg tdk sesuai oleh aparat hukum, spt polisi, pelayanan utk pendamping hukum, dan persidangan (Wolhuter et al, 2009: 33).
Artinya viktimisasi sekunder bisa terjadi saat kenyamanan dan keamanan yg seharusnya diperoleh dari proses hukum itu justru dirasa tidak ada.
Pertanyaan semisal: kok bisa sih, knp tidak melawan, knp diam, kenapa tdk teriak/minta pertolongan mjd ciri dari viktimisasi sekunder
Sebelum mengalami viktimisasi sekunder, korban sudah mengalami rasa bersalah, rasa malu, tidak berharga, dan perasaan negatif lainnya.
Dengan adanya stigma dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap korban, hanya akan menambah penderitaan psikis hingga ia merasa kewalahan.
Saya sendiri memandang istilah ini juga sangat erat kaitannya dg kejahatan yg berfokus pada korban spt kekerasan seksual, penipuan, bullying, hazing, dsb.
Beda dg kejahatan yg berfokus pada pelaku spt korupsi misalnya.
Dan… begitulah, saya berharap melalui utas ini, kita mjd lebih peka dan sensitif thd keadaan korban, lbh mengerti posisi korban, dan bisa lbh berpihak pada korban.
Jangan sampai korban sudah terjatuh, tertimpa tangga apalagi di zaman sosial media.
Akhirul Kalam
Wallahu A’lam
Izin menjawab. Ini pendapat pribadi.
Bagi pihak yg pertama kali mendapatkan cerita langsung dr korban, “kewajiban”-nya mendengarkan dan menghindari judging apalagi blaming.
“Sunnah”-nya adalah menawarkan bantuan (psikolog, aparat, dsb). Keputusan atas itu tetap ada di korban.
Bagi saya, alasan yg dapat memperkuat posisi korban adalah sistem hukum yg memihak padanya. Korban sejatinya tdk butuh dipublikasikan. Ia butuh keadilan.
Tantangannya adalah ketika pelaku punya kuasa, hukum jd tumpul dan ketika ada perhatian publik utk mengawal, hukum jadi kuat.
Sebenarnya ini bisa jadi menimpa siapa saja atas kejahatan khususnya yg berfokus pada korban. Contoh lainnya: pelecehan seksual di KPI maupun pemaksaan aborsi oleh Bripda Randy Bagus.
Berapa lama korban siap utk memproses keadilan? Entahlah. Setiap kasus itu unik. 😅
Di kriminologi, kami membaca pola dan salah satunya viktimisasi sekunder ini. Bukan berusaha melakukan pembenaran atas viktimisasi atau penundaan hukuman.
Lalu solusinya apa? Salah satunya: membangun sistem hukum yg aman dan nyaman bagi korban utk memperoleh keadilan
Akhirnya hari ini tiba juga
Saya terkonfirmasi positif COVID-19.
Saya tidak sendiri. Kasus saya setidaknya terdiri atas 4 klaster keluarga.
Kisah ini bermula dari kakak ipar saya yang mengeluhkan meriang dan badan ngilu pada Sabtu (23/1) lalu
[UTAS]
Keesokan harinya, Minggu (24/1), kakak ipar saya meminta untuk diurut dan dikerok oleh bapak mertua. Hari Senin, ia sudah merasa sehat dan beraktivitas seperti biasa.
Di sisi lain, pada hari Sabtu (23/1) itu pula Istri mulai mengeluhkan pilek/flu, batuk dan demam.
Gejala yang dialami istri tidak mereda hingga akhirnya diputuskan untuk swab antigen pada Senin (25/1) dengan hasil negatif
Selasa (26/1), gejala mulai bertambah. Istri mulai mengeluhkan dada terasa nyeri/pegal setiap bangun tidur tapi tidak sesak.
Dlm firman-Nya, umat ini harus melakukan sosialisasi massif, membuka perspektif, dan melakukan pembatasan sebelum akhirnya perintah larangan minuman keras itu muncul
Pada masa itu, ada proses yg harus dilewati scr bertahap. Tidak bisa tiba-tiba langsung melarang begitu saja. :)
Sosialisasi Massif
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” an Nahl 67
Membuka Perspektif
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Al Baqarah 219
Artikel tersebut sudah ditulis ulang dalam bahasa Indonesia di kolom Tirto berjudul “Dua Jalan Para Habib di Tengah Politik Jakarta”
Dlm artikel tersebut, Habib dijelaskan berperanan penting sbg mediator pengalaman spiritual khususnya dalam ziarah, zikir, salawat dan ritual berjamaah lainnya.
Habib bukanlah cendekiawan dan cenderung enggan melibatkan diri pada perdebatan/diskusi. Habib itu apolitis (harusnya)