Russia punya sekitar senilai $100 Miliar dalam bentuk Bond Pemerintah China dalam mata uang RMB. Bisa jadi kolateral.
Tapi kalau Bank BUMN China tidak mau memberikan line credit bagi perusahaan minyak Russia (yang punya cash flow kuat), lalu siapa lagi yang mau dan bisa?
Menjadi istimewa karena Singapura salah satu hub transaksi RMB off shore terbesar di luar Hong Kong. Hub satu lagi adalah London, yang sudah pasti dihindari Russia.
Barter minyak Russia? Bisa saja, tapi sangat tidak efisien. Siapa yang menanggung? Russia.
Perdagangan yang efisien selalu dibiayai secara marjinal.
Negara A beli dari negara B senilai $100 Miliar, negara B beli dari negara A senilai $120 Miliar.
Maka nilai barang saling di-offset, alhasil duit yang pindah $20 Miliar. Jadi uang yang bergerak hanya selisihnya.
Russia punya banyak bahan mentah: minyak, gas alam, nikel, mineral, berlian, dll. Tapi industri pengolahannya terbatas, kecuali industri senjata.
Ada banyak yang bisa dibeli Russia dari China - tapi sebanyak apa? Bisa tidak direekspor ke negara lain?
Nah ini masalahnya.
Contoh sebaliknya adalah Singapura. Yang diproduksi sendiri oleh negara itu sedikit sekali. Penduduknya juga sedikit.
Tapi nilai ekspor dan impornya sampai 350% ekonominya. Singapura spesialis kegiatan reekspor. Kalau lihat neraca dagangnya: Singapura eksportir sawit!
Kita pasti langsung bertanya: Gimana ceritanya Singapura eksportir sawit? Memangnya ada pohon sawit di Singapura? Tentu saja tidak.
Sawit yang diekspor Singapura berasal dari negara lain, dan digunakan untuk offset posisi dagang Singapura atas negara lain lagi.
Kembali ke soal Russia-China soal dagang.
Selama ekspor terbesar China adalah ke Amerika dan dibayar dalam US Dollar, maka risiko membantu Russia menjadi terlalu besar bagi perbankan China, karena US Dollar yang mereka terima pun dikliring di Federal Reserve New York.
Sejak 2008 saat krisis Subprime meledak, China tahu bahwa ketergantungan pada Amerika dan US Dollar adalah berisiko.
Tapi bertahun-tahun China gagal melakukan diversifikasi ekonomi. Pernah bereksperimen tahun 2015, tapi ongkosnya mahal: cadangan devisa hilang $1 Triliun.
Tahun 2021 lalu, China membukukan surplus dagang terbesar dalam sejarah. Surplus terbesar terhadap siapa? Dengan Amerika. Kok nggak kapok?
Karena memang tidak punya pilihan. Bisa dibayangkan sebanyak apa pilihan Russia.
Rangkaian Tweet tentang hubungan ekonomi Russia-China dan dampaknya terhadap Indonesia.
Sebuah utas 🧵
Sejak dua hari lalu saya sudah sampaikan bahwa sekalipun China dan Russia melakukan kesepakatan untuk "saling bantu" tanpa batas pada bulan Februari 2022 lalu - sejenak sebelum Olimpiade Musim Dingin dibuka, ternyata saling bantu itupun ada batasnya.
Kenapa begitu? Karena ekonomi China memang tidak didesain untuk bisa segera membantu Russia. Untuk urusan ekspor - Russia cuma ranking 15.
Ekspor China ke Vietnam atau Korea Selatan volumenya DUA KALI nilai ekspor ke Russia.
Apa susahnya untuk mengakui saja bahwa orang Indonesia memang nggak terlalu berbakat main sepak bola?
Sama seperti orang India nggak berbakat tinju, orang Arab nggak jago renang, atau orang Amerika nggak bisa badminton.
Menyakitkan? Mungkin.
Tetapi jauh lebih menyakitkan suatu negara berpenduduk 275 juta selama BERPULUH TAHUN menaruh tinggi harapan. Dan selalu kecewa.
Kroasia jago sepak bola walau penduduknya cuma 4 juta. Denmark? 6 juta.
Mereka jelas berbakat.
Pernahkah anda perhatikan bahwa Indonesia unggul di olah raga individu atau tim kecil? Badminton, Panahan, Taekwondo, Panjat Tebing, Tinju, dan Bridge. Tidak perlu ada koordinasi ruwet. Cukup keunggulan individu.
Berdasarkan artikel majalah National Geographic, pohon Redwood Mark Twain yang ditebang pada tahun 1891 di California, adalah pohon tertua yang pernah ditebang orang.
Pohon setinggi 100 meter tersebut berusia 1341 tahun. Garis tengah bagian batangnya sepanjang 27 meter.
Untuk menebangnya perlu waktu 6 hari dengan menggunakan gergaji raksasa. Sesudah pohon tumbang masih diperlukan pemotongan kayu hingga bagian-bagian lebih kecil yang baru selesai dalam berminggu-minggu.
Pohon bernama Mark Twain ini tumbuh di tempat bernama Millwood.
Kasus Evergrande ini nggak ada yang bahas ya di Indonesia? Padahal ini bisa meledak kayak Lehman Brothers.
Evergrande ini adalah pemilik properti terbesar nomer dua di China. Sempat menjadi nomer satu beberapa tahun lalu. Evergrande anggota Fortune 500 Global.
Masalah ada di utang $100 Miliar yang terancam default. Ada yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini. Dan nggak ada duit.
Pemerintah China sudah bilang nggak akan melakukan bailout. Tapi apa iya kalau sudah sebesar Evergrande dampaknya nggak akan menjalar ke sektor properti lain di China?
Dan ini jadi masalah karena banyak perusahaan properti di China adalah cash cow Pemerintah Daerah.
Di antara para ekonom Indonesia yang memperhatikan kenaikan harga beras waktu itu, muncul kelegaan karena harga beras bisa terkendali akibat stok yang cukup.
Indonesia beruntung karena bisa duluan borong beras di pasar internasional sehingga harga bisa stabil.
Hal seperti ini tidak mudah dikomunikasikan kepada masyarakat - karena ada pemahaman umum: "impor pasti buruk", "kita harus bisa swasembada pangan" dll.
Padahal swasembada bisa sangat mahal ongkos ekonominya kalau harga beras naik terlampau tajam. Yang jadi korban: daya beli.
"Bukankah harga beras yang tinggi menguntungkan petani?"
Kata siapa? Nilai Tukar Petani di Indonesia nggak pernah nyambung dengan harga beras di pasar. Mengapa? Karena rantainya sampai ke pasar sangat panjang. Dan tiap mata rantai punya marjin laba tersendiri.
CATATAN: harga beras rata-rata di sekitar 1998 naik lebih dari 2x lipat. Pak @boediono dalam bukunya pernah menulis hal ini.
Kenaikan harga beras ini mendorong kenaikan tajam inflasi karena bobot beras dalam konsumsi masyarakat saat itu mencapai hampir 1/4 belanja masyarakat.