Kemarin, mereka terlihat sibuk hanya demi kasak kusuk. Pada ruang-ruang gelap dan sepi, pada lorong-lorong keangkuhan yang lama telah mereka buat, mereka berbicara sambil berbisik. Mereka menyiasati sebuah agenda.
Kelak, mereka akan berbicara bahwa tingkat kepuasan pada Presiden berada pada posisi sangat tinggi, 73,9%.
Tak cukup dengan itu, mereka juga akan menyodorkan data berasal dari sebuah penelitian komprehensif.
Konon, satu dari empat isi hasil kajiannya adalah bahwa perubahan konstitusi di 199 negara, ternyata berdampak positif dengan perkembangan demokrasi mereka.
.
.
Pun ketika frekuensi pembicaraan pada media sosial mereka ungkap, big data yang mereka punya bicara bahwa pembicaraan terkait perpanjangan masa jabatan Presiden, ternyata sangat tinggi.
Tak pantaskah masa jabatan itu layak untuk diperpanjang demi Indonesia yang lebih baik?
Maka, demi keberlangsungan jalannya pembangunan yang terhambat karena pandemi, mereka juga harus berungkap adanya banyak permintaan dari para pengusaha agar jabatan beliau dapat diperpanjang.
.
.
Dan benar, 3 partai politik berbicara masalah itu. Tak tanggung-tanggung, Golkar, PKB dan PAN hadir dalam satu kata serentak.
"Ada apa ini?"
Bukan hanya sekali, berkali-kali sudah Presiden Jokowi berkata "TIDAK". Tak tahukah mereka makna tegas "TIDAK" pada pernyataan Presiden?
Keberlangsungan pembangunan tak harus bersyarat dengan menyisakan ruang eksklusif pada hadirnya beliau sebagai Presiden. Konstitusi, paling tidak sampai dengan saat ini, tidak memberi celah pada ide penundaan tersebut.
"Buat dong!"
Ada hal yang jauh lebih bermartabat. Ada etika berpolitik yang tak perlu harus diterabas demi nafsu sesaat. Beliau terlalu besar untuk diajak turut larut.
Pada tempat kita biasa berkubang debat, ada banyak potensi ruang dapat kita bangun tanpa manipulasi sesat menindas konstitusi. Ada begitu banyak cara untuk mewujudkan gagasan tanpa mempermalukan eksistensi wajah demokrasi yang telah kita sepakati.
Kontinuitas kepemimpinan harus tetap berjalan demi semangat reformasi. Di sana, unsur keteraturan dan etika harus selalu kita jaga tanpa harus menyisakan ruang tawar menawar.
Pak Jokowi telah sukses membangun hardware, kenapa kita kelak tak mencari pengganti secara konstitusional dengan sosok yang mampu meneruskan nya dan kemudian membangun software hingga brainware nya?
Pak Jokowi telah sukses membuat pondasi luar biasa bagus bagi arah pasti pembangunan negeri ini, kenapa kita tak mencoba mencari sosok tepat untuk kita percaya mendirikan bangunan di atasnya?
Tak adakah 1 atau 2 atau 10 orang dari 270 juta rakyat kita memenuhi kualifikasi itu?
Semiskin itukah sumber daya manusia politik kita?
Sepertinya, bukan itu alasan mereka ingin katakan. Mereka yang mencoba menjebak presiden adalah orang-orang yang takut bersaing dan maka berharap makan siang gratis.
Luar biasanya, orang-orang seperti itu lah yang kini duduk pada banyak posisi strategis di negeri ini.
Shame on you….
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SOEHARTO BUKAN ARSITEK DIA KOMANDAN TEMPUR “SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949”
.
.
.
-Utas panjang-
Bisa jadi, Fadli Zon adalah korban hoax. Kebohongan yg diceritakan terus & terus & kemudian seolah menjadi fakta tunggal bukanlah cerita fiktif. Itu masuk akal dalam ilmu psikologi.
Bukan tentang Soeharto tak berperan dalam serangan umum 1 maret 1949, namun strategis posisi beliau sebagai sosok di balik gagasan besar itulah yang kini sedang dikaji ulang.
Namun, konsep di kepala Fadli sudah terlanjur mengkristal. Dia sudah keburu yakin bahwa kebenaran versinya lah yang paling benar.
Bukan melulu terkait sensitif dan maka kudu hati-hati, ini lebih terkait dengan rumitnya masalah itu ditinjau dari banyak perspektif dengan masing-masing aspek memiliki banyak simpul tak mudah diurai.
Ajakan mendukung Rusia dengan alasan bahwa Barat dengan AS sebagai motor di balik semua permasalahan ini jelas terlalu dangkal. Pun mendukung Ukraina karena Rusia dianggap telah melanggar hukum Internasional tentu juga tak semudah kita berucap.
Dan maka, bisa dibilang, tak banyak politisi kita berani bicara perkara itu secara terbuka.
BUKAN SOAL MOBIL |anda tak mampu mencapai kecepatan itu, aturan yang ada tak memberi izin. Pada ruas jalan tol, kecepatan maksimal diizinkan adalah 100 km/jam. Di atas batas kecepatan itu anda akan dianggap melanggar dan sanksi menanti.
Itu batasan pertama. Itu batasan yang dengan mudah dapat dilanggar dengan banyak alasan yang dapat diperdebatkan. Soal sanksi, itu nilai relatif dan tak sama pada setiap orang.
Batasan kedua, biasanya terkait keamanan anda sendiri. Entah karena faktor mobil atau kondisi jalan, pada kecepatan 160 km/jam misalnya, anda mulai berpikir ulang untuk injak gas lebih dalam lagi. Anda mulai berhitung nyawa. Nalar mulai mengambil alih.
Waktu bukan sekadar jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Waktu, di sana ada makna uang, kesempatan dan hingga karya yang terus bergulir tanpa ujung demi mengukir makna hidup yang tiada hentinya.
Waktu hanya menjadi pengikat dan kemudian mengungkung kebebasan kita manakala kita jatuh pada makna menunggu. Menanti perintah atau komando.
Kebebasan waktu, hanya terjadi pada orang yang mampu memberikan segala karya, cipta, dan karsanya bagi semua.
Dan kebebasan waktu itu sekarang ada pada kita. Karya dan karsa Indonesia sebagai Presidensi G20 dinanti oleh dunia.
Bila ada salah satu negara dari Eropa Barat yang akan segera merespon perkembangan di Ukraina, bukan mustahil itu adalah Jerman. Jerman bagian timur secara geografis sangat dekat dengan Ukraina dan hanya berjarak Polandia di timurnya.
Dan benar, di utara, Jerman langsung melakukan antisipasi dan dikabarkan telah bersiap memimpin 1.610 pasukan. Itu terdiri dari personil tentara Jerman, Norwegia dan Latvia.
Kepada Presiden Latvia Egils Levits, Kanselir Jerman Olaf Scholz berkata, Jerman punya hak untuk berperang. Pernyataan itu dia katakan pada 17 Februari 22 saat menyertai 350 pasukan dari negaranya bergabung dengan pasukan Nato yang terpusat di negara itu.
KAREL DOORMAN PUN MENYELINAP PERGI.
.
.
SEPERTI DI UJUNG SENJA KITA MASIH TERUS BERDEBAT MENCARI JAWAB DAN SESEKALI MELIRIK PADA RUMPUT YANG BERGOYANG. SIAPA TAHU DI SANA ADA JAWABNYA.
.
.
.
.
Janjinya, sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, konon Belanda akan kembali bicara soal Papua barat. Bukan setahun atau dua tahun, bahkan hingga 10 tahun kemudian niat itu tak pernah mereka wujudkan.
Presiden Soekarno pun marah. Ide mengambil paksa beliau gaungkan. Menjadi masalah, negara ini tak memiliki alutsista memadai bagi pengambilan paksa tersebut.
Pilihan pertama, pada AS lah kita utarakan niat untuk membeli alutsista..