Motor bergerak tertatih bagai kuda tua yang sakit-sakitan. Perkiraanku, kami akan tiba di desa sekitar pukul 10 malam. Karena jalur yang akan kami tempuh berupa jalan menanjak, perjalanan akan lebih lama.
Bila turun dari desa, perjalanan ke ibukota kecamatan bisa ditempuh dalam waktu setengan jam. Namun, ketika kembali ke desa biasanya antara 40 menit hingga satu jam.
Apabila musim hujan, tidak ada warga desa yang mau pergi dari desa kecuali sangat mendesak.
Biasanya jalan akan berubah jadi kubangan lumpur.
Begitu lepas dari ibukota kecamatan, kami melaju menyusuri jalan yang gelap. Hanya mengandalkan lampu depan, motor kubawa pelan untuk menghindari jalan yang berlubang.
Lampu depan juga kadang suka mati bila motor terhentak-hentak. Beberapa kali kupukul, baru lampu itu menyala lagi. Aku juga was-was bila lampu motor tiba-tiba menyorot sesuatu yang mengerikan di depan.
Tatkala melewati kebun karet warga, aku tidak berani melirik ke kiri dan kanan. Pandanganku fokus ke depan karena kebun karet itu tampaknya seram.
Gemirisik daun yang tertiup angin bagaikan suara mahluk halus yang terus memanggil, membuat bulu kuduk merinding.
Ditambah suara-suara biji karet yang jatuh ke tanah, membuat otakku berpikir macam-macam. Rasanya, ada hantu di atas pohon yang sengaja melempar biji-biji itu ke arah kami.
Hiii...Membayangkan itu semua aku jadi bergidik ngeri.
Aku membaca doa dalam hati, berharap tidak ada apa-apa.
Perjalanan semakin berat saat menanjak jalur bukit ular. Jurang di samping jalan membuatku gugup. Jurang itu tidak terlihat karena gelap dan tertutup kabut, benar-benar jebakan maut kalau sedikit saja lalai.
Beban di boncengan motor juga seketika menjadi sangat berat.
Rasanya beban pak Salundik bertambah berkali lipat. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, untuk memastikan yang duduk di boncengan benar-benar pak Salundik.
Motor tua ini memang tidak punya spion, hal lumrah bagi orang desa.
"Kasno, jangan menoleh!" tegur pak Salundik.
"A-ada apa, pak?"
"Sudah, jangan membantah. Kiri kanan kita ini jurang. Sebaiknya kau mulai berdoa saja."
Aku mulai merasa ada yang tidak beres, kenapa pak Salundik tiba-tiba menyuruhku baca doa. Aku menoleh sekali lagi, ternyata pak Salundik sedang memejam mata dan mulutnya komat-komit membaca mantra.
Seketika bulu kudukku mulai merinding. Aku merasa ada yang mengikuti kami di balik kegelapan.
Memang, selama dua tahun jadi guru ini adalah kali pertama aku pergi atau pulang ke desa saat malam hari. Bepergian melewati hutan saat malam hari terlalu beresiko.
Kata warga desa, hutan di sekitar sini angker. Bukan hanya binatang buas, tapi banyak mahluk halus yang suka menyamar jadi manusia untuk mengganggu.
Biasanya mahluk halus itu menyamar jadi anak kecil yang tersesat, berdiri di pinggir atau tengah jalan.
Anak kecil itu minta diantarkan untuk pulang, ternyata dibawa jatuh masuk jurang.
Akhirnya, bukit ular berhasil dilalui tanpa masalah. Motor berbelok ke arah kanan, menyusuri jalan yang sudah landai. Tersisa telaga jimat yang akan dilewati, telaga yang konon katanya angker.
Entah kenapa disebut telaga jimat, aku belum tahu.
Konsentrasiku mulai buyar karena tubuhku mulai menggigil. Aku menyesal tadi sore tidak membawa jaket, karena angin malam terasa sangat dingin membekukan tulang.
Wajahku mulai kaku sebab terus diterpa angin. Aku menggigit bibir untuk mengurangi rasa dingin yang membekap seluruh badan.
Aku sedikit lega ketika tidak jauh di depan, terlihat lampu motor yang melaju ke arah kami. Sepertinya warga yang ada urusan mendesak ke kecamatan.
Namun, lampu motor itu agak aneh. Cahayanya seperti nyala api yang berpijar. Bersinar kontras dengan malam yang gelap dan kabut tipis yang seperti asap putih. Sewaktu semakin dekat, semakin jelas apa yang ada di depan. Jantungku mulai berdegup kencang dan konsentrasiku pecah.
Ternyata di depan bukan lampu motor, tapi kepala orang. Sangat jelas itu adalah kepala manusia dengan isi perut menjuntai, melesat begitu saja di samping kami.
"Astagfirullahul azim!"
Aku berteriak kencang memecah kesunyian.
Motor oleng dan sulit dikendalilan karena aku sangat takut dan gugup.
"Sudah, jangan takut. Ia hanya mencari makan, tidak akan mengganggu kita," seloroh pak Salundik di boncengan.
Aku mengatur nafas agar tetap tenang. Bagaimanapun juga, yang kulihat barusan sangat mengerikan. Apalagi, wajahnya sempat menyeringai ke arahku sewaktu berpapasan tadi.
Kubaca berulang-ulang Alfatihah 4 untuk mengusir rasa takut. Perlahan, motor kembali stabil dan bisa dikendalikan. Ternyata, apa yang lewat barusan belum seberapa mengerikan dibandingkan saat kami hendak melewati telaga jimat.
Stang motor tiba-tiba berontak, susah dikendalikan. Stang itu bergerak-gerak sendiri seperti ada yang membawa. Aku mulai deg-degan karena di belukar terdengar suara krasak krusuk tidak jelas. Ranting yang bergoyang-goyang tertiup angin membuat perasaan semakin tidak tenang.
Suasana malam semakin mencekam, saat lampu motor tiba-tiba menyorot sosok aneh di depan. Samar-samar tertutup kabut, terlihat anak kecil berdiri di tengah jalan. Bocah lelaki itu tak bergerak, menatap tajam ke arahku.
Hanya mengenakan cawat, badannya kotor penuh tanah dan biji matanya hitam sempurna.
"Allahu Akbar!" pekikku.
Kuinjak pedal rem sekuat mungkin, pak Salundik yang di boncengan terlonjak kaget. Ban berdecit di atas tanah yang licin, motor terbanting ke ke kiri.
Aku meringis menahan sakit, ditambah lagi ketindihan motor yang berat. Pak Salundik juga tidak kalah gaduh. Mulutnya terus mengaduh seperti seperti perempuan.
"Kasno, kenapa?"
"Itu pak, di depan," rintihku pelan sambil menunjuk ke tempat bocah tadi berdiri.
"Apaan di depan?"
Aku menelan ludah, anak kecil tadi telah hilang. Hanya ada semak yang bergoyang-goyang, mungkin ia melompat ke arah situ.
Susah payah kudirikan motor, sementara pak Salundik menyalakan senter dan mengumpulkan serpihan martabak yang berserakan di tanah.
"Sepertinya ada yang ikut," ujar pak Salundik seraya menyeka keringat di dahi.
Ia berjalan pincang, menjingkat kaki sebelah menuju Sandung yang berdiri kokoh di pinggir telaga.
Kuselah motor berkali-kali, tapi mesinnya tidak mau menyala.
Tubuhku telah basah karena peluh meski malam semakin dingin.
Di depan sandung, entah apa yang pak Salundik lakukan. Ia terlihat serius, mengucap salam dalam bahasa Dayak. Sandung ia pukul tiga kali dan serpihan martabak tadi ia letakkan di situ.
Entah ada hubungannya atau tidak, mesin motor langsung meraung-raung. Aku cukup senang, pak Salundik sepertinya lumayan bermanfaat.
Namun, tiba-tiba firasatku mengatakan ada yang aneh. Keadaan di sekitar telaga jimat mendadak sepi seperti tidak ada kehidupan.
Tidak ada ranting yang bergoyang tertiup angin. Burung hantu, jangkrik maupun karariang mendadak pergi, seolah sembunyi.
Aku yakin sepinya suara binatang adalah tanda bahaya. Aku mulai cemas, hendak pergi secepatnya dari sini.
Sepertinya pak Salundik juga khawatir. Senter ia sorotkan ke batang-batang pohon dan dedaunan, mencari sesuatu yang tidak beres. Aku bergidik ngeri melihat ranting-ranting yang menjuntai, bisa saja anak kecil tadi ada di situ.
Tak ingin cari perkara, kuselah motor yang tadi mati lagi.
"Kasno!" teriak pak Salundik dengan wajah tegang.
"Heh!?"
"Kasno, tiarap!"
"Heh!? Kenapa?"
Pak Salundik berlari ke arahku, tangan kanannya menggengam ranting buah karamunting yang tumbuh liar di tepi jalan.
Buuk...!
Tendangan pak Salundik menghantam dadaku. Aku tersungkur menahan sakit.
Praak...!
Terdengar suara ranting patah.
Terkulai di tanah, kurasakan sakit yang luar biasa di dada. Kuat juga tendangan orang tua itu, batinku.
Aku bangkit dengan amarah, siap membalas perbuatannya. Kudatangi dia yang kini tengah berdiri di samping sandung.
Aku tersentak, saat cahaya senternya menyorot sesuatu di batang pohon besar di dekat sandung. Sebuah mandau!
Mandau dengan bilah hitam mengkilap, menancap di batang pohon itu.
Kulihat Pak Salundik seperti orang ketakutan. Belum pernah kulihat ia setakut ini. Dadanya kembang kempis dan desah nafasnya juga sangat jelas terdengar.
"Mandau Mantikei," ucapnya lirih, "sebentar lagi akan ada pertumpahan darah. Banjir darah...sungai darah akan mengalir di atas tanah."
Entah apa maksud ucapannya, kulihat tubuhnya gemetaran karena saking takutnya.
...berkentang...
Sampai jumpa malam Rabu yak.
Bagi yang ingin mendukung saya untuk terus berkarya, atau tidak sabar baca part berikutnya bisa mampir ke @karyakarsa_id
Sudah ada part 11 dan 12
Sentakkan pak Salundik di pundak mengagetkanku. Ajaibnya, punggungku terasa ringan. Kulirik di kaca, nenek tadi telah menghilang.
"Sinikan tanganmu, tali sudah siap!" lanjutnya sambil nyengir.
*****
Bagai pesakitan jaman Jepang, aku diseret dengan tali menuju dermaga oleh pak Salundik. Kami berdua kembali menyusuri jalan desa yang sepi bagai kampung hantu. Sesekali tali ditarik, seperti gembala menarik sapi.
Aku hempas ke tanah. Tubuhku menggelepar bagai ikan terdampar di darat. Cengkraman di leher membuat nafasku sesak dan tubuh berguncang-guncang tidak karuan.
Suara parau dengan desah nafas mulai memanggil namaku.
"Kaaass...nooo....!"
Suara parau itu terus memangil berulang-ulang, hingga ada cahaya terang menyilaukan mataku.
"Kasno...! Kasno...!"
Aku tersentak, ternyata pak Salundik. Cahaya senter ia sorotkan ke wajahku dan tangan kirinya mengguncang pundak.
"Ia terpaksa kupasung karena mengamuk," tutur pak Gerson lemah.
Ia duduk bersandar pada dinding di sebelah pintu. Matanya berkaca-kaca penuh kesedihan.
"Enam bulan lalu, waktu itu aku sedang sibuk kampanye untuk mencalon lagi sebagai pambakal di desa ini. Sejak saat itu, putri kecilku mendadak bertingkah seperti orang hilang ingatan. Ia berprilaku layaknya binatang, memakan ayam mentah yang masih berdarah."