Bang Beben Profile picture
Jun 5 72 tweets 12 min read
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 13 : Parang Maya

@IDN_Horor @P_C_HORROR @ceritaht

#bacahorror #bacahoror #ceritahoror #ceritahantu #ceritaserem #kalimantan #borneo #dayak #banjar

Bantu Rt dan Qrt ya supaya semakin semangat nulisnya.
Suasana di depan telaga jimat dicekam kepanikan luar biasa. Lima orang pria, termasuk aku, sekuat tenaga menarik tubuh Agau.

Pambakal Bahat dan mantir Tuweh, berjibaku berusah melepaskan pak Salundik dari cengkraman Agau.

Buuk!
Tendangan pak Salundik di dada membuat Agau terpental ke udara. Tubuh bocah kesurupan itu membentur batang pohon besar lalu hempas di atas semak belukar. Agau bangkit, merangkak bagai anjing liar. Ia bahkan menjulur-julurkan lidah, benar-benar liar dan bengis.
Kami yang melihat kebrutalan Agau merasa sangat ngeri. Kami bersiap dengan kayu, takut jadi sasaran amukan Agau berikutnya.

Pak Salundik telah berdiri dengan punggung kotor penuh tanah liat. Ia tampak tersengal-sengal, menghirup oksigen sebanyak-banyak.
Terhuyung-huyung, ia melangkah ke depan mendekati Agau yang siap menerkam.

Benar saja, Agau langsung menerjang. Kami serempak menjerit, tapi ternyata pak Salundik telah siap. Bocah itu menggelepar di udara, sewaktu lemparan beras kuning mengenai tubuhnya.
Agau terjatuh di tanah lalu kejang-kejang. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan liur yang sangat banyak.

Dengat cepat pak Salundik membekap tubuh anak lelakinya. Ia lantas memejam mata dengan mulut komat-kamit membaca mantra, kemudian mengusap wajah Agau.
Seketika Agau terkesiap, seperti tersadar dari mimpi buruk. Agau kemudian muntah darah yang sangat banyak, membuatku yang melihatnya bergidik ngeri.

"Pijat tengkuknya," ucap pak Salundik.

Mantir Tuweh langsung duduk di belakang Agau, memijat-mijat tengkuk, pungung hingga kepala
Pak Salundik membuka mulut Agau yang memuntahkan darah tanpa henti, mengorek-ngorek seperti mencari sesuatu. Aku menggigit bibir sewaktu pak Salundik menarik sejumput rambut dari mulut Agau.
Kami yang menyaksikan menahan nafas, karena rambut yang berasal dari dalam perut Agau sepertinya sangat panjang. Ditarik dari tadi tidak juga ketemu ujung pangkalnya. Rambut itu keluar bersama darah segar bercampur liur.
Polisi Rudi memalingkan muka, tidak tahan dengan apa yang ia lihat. Beberapa warga juga telah muntah karena merasa ngeri sekaligus jijik.

Tubuh Agau tersentak-sentak, matanya melotot dan mulutnya menganga lebar. Darah merah kehitaman keluar dari mulutnya bak keran air.
Urat lehernya menonjol dan bergerak-gerak, rupanya ada yang tersangkut disitu.

Agau merintih tertahan, kedua kakinya menghentak-hentak tanah menahan sakit di tenggorokan. Air matanya mengalir deras, bocah kecil itu benar-benar tersiksa. Ia bahkan terkencing-kencing di celana.
Melihat keadaan Agau, aku ikut merasa ngilu. Ia terus berontak menahan sakit yang menyayat-nyayat kerongkongan. Aku dan beberapa orang warga bercucuran keringat, memegang tangannya yang mencakar-cakar tanah.

Hoeekk...
Agau kelojotan tatkala seluruh rambut disertai darah kental berhasil keluar dari mulutnya. Tidak hanya darah, tapi lintah yang bergerak-gerak, jatuh satu persatu ke kubangan darah. Di atas tanah, lintah-lintah itu menggeliat di genangan darah kental berwarna merah kehitaman.
"Hiiii..."

Kami yang melihat bergidik ngeri. Sungguh sulit dipercaya, tapi yang di depan mata kami sungguh nyata.

Pak Salundik bergerak cepat, membersihkan darah yang bersimbah di mulut, leher, dada dan perut Agau.
Anak malang itu tersungkur lemas kehilangan tenaga.
Kejadian yang paling mengerikan baru saja ia lewati.

Setelah merapal doa-doa, pak Salundik meminumkan sebotol air mineral ke mulut anaknya. Selang beberapa saat, Agau menganga lebar-lebar.
Seekor lalat tiba-tiba keluat dari mulutnya, terbang ke udara lalu menghilang ditelan malam.

Tidak hanya aku, semua yang menyaksikan kejadian malam itu-itu benar-benar dibuat terguncang. Berbagai perasan campur aduk, antara takut, tidak percaya, sekaligus miris menjadi satu.
Pambakal Bahat seketika datang membawa sebatang ranting. Takut-takut, ia mengorek-ngorek rambut yang ada di muntahan darah Agau.

Di gumpalan rambut, terlihatlah tiga buah benda tajam sebesar telunjuk. Berwarna hitam pekat seperti potongan kayu.

"A-apa itu?" tanya pambakal cemas
Pak Salundik menoleh, melihat ke benda yang ditunjuk pambakal.

"Potongan kayu ulin...diambil dari peti mati, dari raung," jelas pak Salundik.

"Parang Maya," sambung pambakal, "ada yang ingin mencelakai keluargamu. Kamu tahu siapa orangnya?"
Pak Salundik membisu, lalu menggeleng kepala.

"Apakah orang yang sama?" tanya mantir.

Pak Salundik menghela nafas.

"Kalau dilihat dari lintah yang keluar dari mulut anakku, pelakunya adalah siapa pun yang memberikan ketan hitam," ucapnya.

*****
Malam di sekitar telaga jimat semakin dingin dan kabut semakin tebal. Suara seranga dan binatang hutan juga riuh, sahut menyahut.

30 menit berlalu, Agau semakin membaik kendati belum sepenuhnya sadarkan diri. Kami menebak-nebak, dari mana Agau mendapatkan ketan hitam.
Kata pak Salundik, bila orang yang terkena parang maya atau santet memuntahkan ulat belatung berwarna putih, maka media yang digunakan adalah ketan putih.
Demikian juga sebaliknya. Tapi ia tidak bisa memastikan, apakah Agau menerima ketan hitam pemberian orang tidak dikenal, atau ketan hitam hanyalah bahan yang digunakan untuk mencelakai.
Pak Salundik lantas melumuri potongan kayu ulin dan rambut tadi dengan tanah liat lalu membungkusnya menggunakan dedaunan.

"Pak mantir, saya minta tolong," ujar pak Salundik.
Mantir Tuweh mengangguk setuju. Ia mengambil bungkusan dari tangan pak Salundik dan meminta dua orang warga menemani. Aku mengajukan diri, kami bertiga lantas melangkah menuju telaga jimat.

Tiba di tepi telaga, suasana angker langsung terasa.
Sepertinya ada ratusan pasang mata di dalam telaga tengah mengamati.

Mantir Tuweh melempar benda di genggaman ke tengah telaga, potongan kayu dan rambut tadi langsung tenggelam begitu saja.
Samar-samar, bulatan cahaya senter pak Tuweh seperti menyorot sesuatu yang mengambang di sisi lain telaga.
Kami bertiga memperhatikan baik-baik, ternyata ada sosok wanita tengah tidur di atas air.

"Hah..hah..." mantir Tuweh seketika sesak nafas.
"Sarunai!" seruku.

Aku sangat mengenalinya, ternyata wanita itu Sarunai. Tubuhnya mengambang di telaga, seperti orang tenggelam.

"Pambakal, Salundik! Di situ Sarunai!" teriak mantir.
Mereka langsung berhamburan ke tepi telaga. Pak Salundik berlari kencang sambil menggendong Agau.

Melihat Sarunai dalam bahaya, keberanianku muncul. Aku berlari menyusuri tepian telaga, menerobos rumput ilalang dan semak berduri.

"Kasno...!"

"Kasno, berhenti!
"Kasno, jangan melompat!"

Tidak kuhiraukan teriakan-teriakan di belakang, aku terus berlari demi keselamatan Sarunai.

Begitu dekat, aku langsung melompat ke telaga.

Byuurr...
Aku kaget seketika, ternyata telaga ini lebih dalam dari yang kukira.

"Astagfirullahul azim!"

Aku mengucap istigfar sangat kencang. Kakiku gelagapan mencari dasar telaga. Lebih celaka lagi, aku tidak bisa berenang.

"Tolong...! tolong...!"
Aku berusaha menyelamatkan diri sejadinya. Aku panik, sungguh-sungguh panik. Tanganku meronta-ronta memukul air, berharap tetap mengambang. Kaki menendang ke sana kemari agar tidak tenggelam.
Namun terlambat, dari dalam air kurasakan ada tangan yang tiba-tiba mencengkram kakiku dan menariknya sangat kuat. Tubuhku meluncur cepat ke dasar telaga yang sangat dalam. Dadaku terasa sesak ketika air mulai masuk ke dalam paru-paru.
Hidungku terasa perih sewaktu air masuk ke lubangnya, mengalir deras dan menyumbat kerongkongan. Aku benar-benar lemas tidak berdaya. Kepalaku mulai sakit dan telingaku berdenging.
Dalam keadaan setengah sadar, aku akhirnya mengetahui betapa angkernya telaga ini. Samar-samar, tampak banyak sekali wujud mahluk halus yang begitu menyeramkan. Jumlahnya mungkin ratusan.
Mahluk-mahluk halus itu mengerubungi tubuhku seperti kumpulan semut memakan belalang yang tidak berdaya. Datang dari berbagai sisi, mereka berdesakkan dan saling berebut untuk meraihku.
Aku muntah darah saat badanku mulai remuk dan leherku tercekik hebat.
Perlahan, kesadaranku semakin hilang.

Mahluk-mahluk halus itu, sepertinya telah lama terkurung di sini, di telaga jimat.

...bersambung...

Scroll bawah ya 😁
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 14 : Telaga Jimat
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Sewaktu membuka mata, aku menggigil kedinginan di atas rerumputan di pinggir telaga. Gigiku bergemelutuk dan telapak tanganku membiru serta mengeriput.
Kurasakan perih di sekujur badan. Kulitku terkena luka gores sangat banyak bagai disayat ribuan silet. Entah terkena cakaran mahluk halus penunggu telaga, atau tersangkut duri belukar di dalam sana, aku tidak tahu.
Beberapa meter di samping, Sarunai terkulai tidak sadarkan diri. Tubuhnya ditutupi daun pisang juga keladi. Beberapa orang pria kulihat memotong kayu dan tanaman merambat. Sepertinya mereka tengah membuat tandu darurat.

"Sepertinya si bojon ini sudah sadarkan diri."
Aku tersentak. Pambakal Bahat berdiri di hadapanku penuh amarah. Cahaya senter ia sorotkan ke wajah membuat mataku silau. Aku menoleh ke samping dalam keadaan meringkuk, tapi pambakal masih saja menyorot wajahku.
Pak Salundik segera mendekat ke arahku. Sorot matanya tajam penuh dendam. Tubuhnya gemetar dengan tinju terkepal erat. Aku sadar, aku telah membuat darahnya mendidik karena amarah.

Buuk!
Tanpa banyak kata, tendangannya menghunjam dadaku. Aku terbatuk mengeluarkan liur dan darah. Pak Salundik hendak kembali menghantam, tapi beberapa warga keburu menghadang dan merangkulnya.
"Salundik, sabar. Percuma melawan orang bodoh, tidak jadi beras. Mending kau pikirkan anak-anakmu," bujuk mantir Tuweh.

Perlahan pak Salundik mulai tenang. Ia melangkah ke arah Sarunai tanpa sedikitpun menatapku.
Ia memeluk sang anak, mencengkram jemari dan membelai lembut rambut anak gadisnya.

"Andaikan tidak menjaga kehormatan leluhur, sudah kubiarkan ia tewas di telaga itu. Seharusnya kubiarkan saja ia dimakan hantu, jin dan siluman yang dikurung di tempat itu."
Aku hanya merenung mendengar ucapan pak Salundik. Ia tak sepenuhnya salah. Lelaki bodoh sepertiku memang layak dihajar. Pambakal Bahat kemudian duduk di samping pak Salundik, menepuk-nepuk pundak supaya pak Salundik tenang.
"Kau tahu kenapa tempat ini disebut telaga jimat?" tanya pak Mantir.

Ia duduk disebelahku sembari menyesap sebatang rokok. Ia menatap lurus ke telaga jimat, sebuah telaga yang dihuni banyak sekali mahluk halus. Menyadari aku hanya diam tanpa kata, pak mantir kembali bercerita.
"Telaga ini adalah tempat orang membuang jimat. Kau tahu apa isinya jimat? Mahluk halus. Ada jin, setan, hantu dan siluman. Sebutkan saja, semua mahluk halus penunggu jimat ada di sini. Terkurung dan mencari kesempatan untuk lepas. Kau tahu siapa yang memakai jimat?"
Aku hanya menggeleng mendengar pertanyan pak Mantir.

"Sebagian besar, jimat dipakai oleh perampok, maling, pembunuh atau pelaku kriminal lainnya. Artinya, mahluk halus penunggu jimat itu, adalah mahluk tak kasatmata yang ganas.
Mahluk gaib yang sudah terbiasa merasakan darah manusia.

Mungkin, para pemilik jimat itu ingin bertaubat dan kembali ke jalan lurus. Bisa juga karena mereka ingin mati dengan tenang dan tidak ingin berubah jadi hantu.
Jadi, jimat-jimat itu dibuang di sini. Jimat yang melekat di benda pusaka atau di tubuh. Yang datang juga banyak yang dari luar daerah. Dari pulau Jawa juga tidak sedikit yang membuang jimat di sini.
Beberapa tahun lalu, ada orang dari Sumatra yang membuang jimat di sini. Aku dan pak Salundik membantunya melakukan ritual. Setelah mandi di telaga, Harimau gaib sebesar sapi keluar dari tubuhnya.
Harimau itu mengaum sangat kencang, membuat pepohonan bergetar. Mahluk mengerikan itu lalu tenggelam, diisap kekuatan gaib telaga ini."

Aku tercenung mendengar penjelas pak Mantir. Bukan hanya aku, beberapa warga yang ikut mendengar juga termangu.
"Aku tidak tahu sejak kapan telaga ini ada. Yang jelas, jauh sebelum aku lahir. Bila suatu saat kau melihat ada orang asing mandi di telaga ini saat gelap, tidak usah bertanya. Mereka sedang melakukan ritual membuang segala mahluk halus yang ada di badan.
Beberapa di antara mereka juga tidak berhasil selamat, ikut diseret mahluk gaib yang selama ini bersekutu dengannya ke dasar telaga. Padahal, aku dan pak Salundik siap membantu kapan saja."

Mantir Tuweh menghisap rokok yang sisa separo.
"Kadang, mahluk gaib itu berhasil kabur dari telaga ini. Mereka bergentayangan membuat kerusakan, hingga ada dukun yang mempertemukan mereka dengan majikan baru.
Karena itulah, kenapa telaga ini sangat angker, lantaran ada ratusan mahluk gaib penuh amarah di sini," tutup pak mantir.

Pak Mantir membuang rokoknya ke telaga. Rokok itu seketika terbakar lalu tenggelam seperti di sambar ikan.
Pak Salundik, tandu sudah siap!” seru seorang warga.

Pak Salundik berdiri, menggendong Sarunai.

"Baiklah, sebaiknya kita pulang," tanpa menoleh ia mengucap namaku, "Kasno, sejak detik ini kau jangan lagi berani mendekati anakku. Kecuali kau ingin jadi penghuni telaga jimat!"
Deg!

Aku semakin meringkuk seperti udang.

*****

Aku tertatih mengikuti mereka yang berjalan terburu di depan. Aku menggigil kedinginan meski jaket polisi Rudi tersampir di bahuku.
Di depan, pak Salundik menggendong Agau di punggung. Sarunai yang belum sadar ditandu beberapa warga menggunakan batang kayu galam yang dijalin akar bakah.

Sekitar 30 menit berjalan, akhirnya kami sampai di pekarangan rumah pak Salundik.
Hatiku perih melihat Sarunai terkulai tak berdaya digotong ke dalam rumah. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Sejak malam ini, aku takkan lagi bisa bertegur sapa dengannya.

Sebelum masuk ke dalam rumah, pak Salundik mendatangiku.
"Kasno, berdoalah kau bisa melewati malam ini," ujarnya dengan sorot mata permusuhan.

Ia kemudian melangkan gontai, meninggalkanku yang hanya berdiri termenung.
"Sudahlah, mungkin Sarunai bukan jodohmu," polisi Rudi merangkul pundakku, "sebaiknya kita pulang, nanti kena jipen (denda adat)."

Aku mengangguk lalu melangkah menuju motor yang terparkir di bawah pohon jambu.
Polisi Rudi duduk di belakang, kami berdua melaju menuju rumah dinas di belakang sekolah.

Sewaktu melewati pagar rumah pak Salundik, lampu depan motor menyorot sesuatu yang janggal. Barisan tebu hitam yang berjejer rapi, beberapa batang pohonnya tampak kering dan layu.
"Kenapa, No?" tanya bang Rudi.

"Enggak bang. Engak apa-apa."

"Ya sudah, jangan melamun. Nanti kapidaraan."

Motor kembali melaju di tengah malam buta, melewati jalan desa lalu berbelok melewati pagar sekolah.

*****
Pukul 02.10 dini hari aku sudah terbaring dalam kelambu. Tubuhku telah bersih setelah mandi dan ganti pakaian. Sarung dan selimut ternyata tidak cukup untuk menepis dinginnya malam. Apalagi kami tinggal di desa di atas perbukitan, tentu semakin dingin.
Aku tidak terbiasa tidur dengan lampu kamar menyala. Tapi malam ini, semua lampu kunyalakan bahkan di kamar mandi.

30 menit berlalu, kantuk tak juga kunjung datang. Aku berbalik ke kiri dan kanan memeluk guling, tetap tak bisa tertidur.
Walau mataku terpejam, pikiranku masih melayang-layang memikirkan kejadian yang kualami hari ini.

Terlebih lagi, bagaimana dengan Sarunai? Semakin dipikir, semakin kepalaku terasa pusing.
Belum hilang kegamanganku, aku tersentak saat mendengar ada suara berisik sayup-sayup dari arah dapur.

Srak...srek...srak...srek...

Suara orang mengasah pisau!
Aku bergegas menyibak kelambu, melangkah pelan menuju pintu. Aku melangkah sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi berderit di lantai papan.

Kubuka daun pintu sangat pelan, lalu mengintip di celahnya. Aku menutup mulut demi menahan jeritan.
Di dapur, ada sosok hitam yang tengah duduk membelakangiku.

Rambutnya yang putih kelabu tergerai ke lantai. Pundaknya bergoyang pelan dan teratur, mengasah pisau pada batu asahan.

Srak...srek...srak...srek...

... berkentang...
Sampai jumpa malam rabu yak. Jangan lupa berdoa dan hati-hati kalo ke dapur, kali aja ada kamiyak 🤭

Yang ingin baca duluan atau sekedar mendukung, bab 15 & 16 sudah tersedia di @karyakarsa_id

karyakarsa.com/benbela/parang…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Jun 2
PARANG MAYA : PERANG SANTET DI TANAH DAYAK

Bab 12 : Nyuhukan Kambe

@IDN_Horor @P_C_HORROR @ceritaht
#ceritaserem #ceritahoror #CeritaJumatan #malamjumat #santet #kalimantan #dayak #banjar

Jangan lupa RT dan QRT ya... Image
Pukul 11 malam kami melakukan pencarian dipimpin langsung pak Salundik. Ia membawa perlengkapan ritual dari rumah dan mandau mantikei tadi ia simpan di sana.

Sebagai seorang kekasih, aku sangat khawatir dengan keadaan Serunai. Entah ia ada dimana di saat malam seperti ini.
Karna itu aku bertekad habis-habisan ikut melakukan pencarian, meski nyawa jadi taruhan.

Titik pencarian diawali dari sungai tempat menghilangnya Sarunai dan Agau. Aku tergopoh membawa parapen milik pak Salundik, semacam tungku untuk membakar kemenyan atau kayu gaharu.
Read 41 tweets
May 31
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 11 : Mandau Mantikei

Bantu Rt dan QRT ya 😁🙏

cc @IDN_Horor #bacahorror #bacahoror #ceritahoror #ceritaseram #parangmaya #santet #borneo #kalimantan #dayak
"Mandau Mantikei?" tanyaku bingung.

Pak Salundik mengangguk.

"Mandau kuno. Kukira hanya dongeng orang tua jaman dulu. Tidak kusangka bisa melihat langsung kehebatannya.
Pegang ini!"

Pak Salundik menyerahkan senter padaku.
Ia lalu berlutut memberi hormat dengan kedua tangan bertangkup di dahi.

Ia lantas berdiri dan memejamkan mata. Aku yang tadi hendak menuntut balas, dibuat terbengong-bengong dengan sikapnya.

Pak Salundik kemudian mencabut senjata pusaka itu dengan sangat gugup.
Read 35 tweets
May 29
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 10 : Jalan Pulang

Jangan lupa Rt dan Qrt yak, biar semangat nih up nya 😁

Cc @IDN_Horor #bacahoror #bacahorror #CeritaJumatan #ceritahoror #kalimantan #parangmaya #santet #borneo
Motor bergerak tertatih bagai kuda tua yang sakit-sakitan. Perkiraanku, kami akan tiba di desa sekitar pukul 10 malam. Karena jalur yang akan kami tempuh berupa jalan menanjak, perjalanan akan lebih lama.
Bila turun dari desa, perjalanan ke ibukota kecamatan bisa ditempuh dalam waktu setengan jam. Namun, ketika kembali ke desa biasanya antara 40 menit hingga satu jam.

Apabila musim hujan, tidak ada warga desa yang mau pergi dari desa kecuali sangat mendesak.
Read 38 tweets
May 26
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 9 : Amarah Pambakal Dehen

@IDN_Horor #bacahorror #bacahoror #malamjumat #ceritaserem #ceritahoror #ceritasera #ceritamalamjumat Image
"Kasno, jangan melamun!"

Sentakkan pak Salundik di pundak mengagetkanku. Ajaibnya, punggungku terasa ringan. Kulirik di kaca, nenek tadi telah menghilang.

"Sinikan tanganmu, tali sudah siap!" lanjutnya sambil nyengir.

*****
Bagai pesakitan jaman Jepang, aku diseret dengan tali menuju dermaga oleh pak Salundik. Kami berdua kembali menyusuri jalan desa yang sepi bagai kampung hantu. Sesekali tali ditarik, seperti gembala menarik sapi.
Read 36 tweets
May 23
-Full Thread-

PARANG MAYA : PERANG SANTET DI TANAH DAYAK

Saya kumpulkan di utas ini. Selamat membaca. Image
Read 15 tweets
May 22
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 7 : Kamiyak

@IDN_Horor
#bacahorror #bacahoror #ceritaserem #ceritahoror #ceritaseram Image
Bruuk..!

Aku hempas ke tanah. Tubuhku menggelepar bagai ikan terdampar di darat. Cengkraman di leher membuat nafasku sesak dan tubuh berguncang-guncang tidak karuan.

Suara parau dengan desah nafas  mulai memanggil namaku.

"Kaaass...nooo....!"
Suara parau itu terus memangil berulang-ulang, hingga ada cahaya terang menyilaukan mataku.

"Kasno...! Kasno...!"

Aku tersentak, ternyata pak Salundik. Cahaya senter ia sorotkan ke wajahku dan tangan kirinya mengguncang pundak.

"Kasno! Kamu kenapa, hah!?"
Read 37 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(